• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Faktor-faktor Estetika

Elemen-elemen untuk menganalisa kualitas estetis urban design menurut Moughtin (1992) dan Moughtin et al (1995) terdiri dari keterpaduan, keseimbangan, proporsi, skala, kontras, harmoni serta ritme. Estetika suatu kota dapat dirasakan oleh setiap orang yang berada di dalamnya apabila elemen-elemen kotanya memiliki unsur-unsur tersebut (Ishar, 1993).

2.7.1 Keterpaduan (Unity)

Dalam bahasa Indonesia unity berarti kesatuan atau keterpaduan yang berarti tersusunnya beberapa unsur menjadi satu kesatuan yang kompak, utuh dan serasi (Ishar, 1993). Pola bahasa arsitektur termasuk dalam bahasa visual kota, yang pada prinsipnya language of town sangat banyak macamnya. Keterpaduan menciptakan kesatuan secara visual dari tiap-tiap komponen kota dari elemen yang berbeda, sehingga membuat hal-hal yang kurang menyatu ke dalam organisasi visual terpadu (Mougtin 1992 dan Moughtin et al 1995). Hal penting dalam karakteristik unity adalah proporsi dari tiap-tiap elemen yang membentuk komposisi. Gibberd dalam Moughtin (1992) menyatakan bahwa jalan bukanlah muka bangunan, tetapi ruang yang dibentuk oleh bangunan-bangunan yang membentuk street picture. Oleh sebab itu tampak luar bangunan individu sangat penting dalam membentuk keseluruhan townscape.

Keterpaduan dapat menciptakan kesatuan visual yang utuh dari tiap elemen koridor yang berbeda. Menurut Ishar (1993) semakin sedikit jumlah unsur yang harus disatukan, semakin mudah dicapai keterpaduan, dan semakin besar jumlah elemen yang yang harus disatukan, semakin sulit mencapai keterpaduan, tetapi jika berhasil, semakin besar pula nilai keterpaduan yang telah dicapai. Hal serupa juga disampaikan oleh Darmawan (2003), bahwa kesatuan visual elemen-elemen kota adalah dengan menghindarkan semaksimal mungkin perbedaan. Jakle (1987) menambahkan bahwa untuk menciptakan kesatuan yang baik, elemen-elemen koridor yang berjumlah banyak harus tertata secara keseluruhan sehingga pemandangan yang terlihat pertama

kali adalah satu pemandangan keseluruhan sepanjang koridor sebelum pemandangan tertentu ke elemen-elemen koridor. Signage akan lebih efisien jika dibuat terpadu dalam satu tiang (Barnet, 1982) dan seperti Spreiregen (1979) ungkapkan banyaknya tiang di jalanan akan mengurangi kualitas estetika.. Menurut Ishar keterpaduan memiliki karakteristik berupa proporsi setiap elemen yang membentuk komposisi massa dan street furniture menjadi kesatuan. Padahal traffic signs akan lebih jelas dan fungsional jika menggabungkannya dengan berbagai fungsi signage, seperti diungkapkan Barnet (1982). Jadi objek mestinya tidak merusak kualitas perasaan pengguna dan visual koridor, dengan mengutamakan kesatuan dan keterpaduan yang ada di kawasan tersebut (Cullen, 1961).

2.7.2 Proporsi

Proporsi merupakan suatu perbandingan kuantitatif dari dimensi-dimensi yang menghasilkan hubungan dan kesan visual yang konsisten berdasarkan keseimbangan rasio, yaitu suatu kualitas permanen dari rasio ke rasio lainnya (Ching,1991). Dalam urban design proporsi adalah hubungan antara elemen–elemen dan signage secara keseluruhan menjadi hubungan menyatu secara visual (Moughtin,1992 dan Muoughtin et al 1995), Gambar 2.12. Bangunan dikatakan memiliki bentuk proporsional jika dilihat dari jarak sudut pandang pengamat memenuhi persyaratan tertentu. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa proporsi didapatkan dari hubungan antara ketinggian, lebar dan tinggi. Proporsi menunjukkan kualitas keruangan yang terbentuk dari masing-masing posisi pengamatan. Sebagai contoh

dalam bahasan ini, suatu objek memiliki bentuk proporsional yang baik dengan jalan adalah apabila objek dapat dilihat secara utuh dari jarak dan sudut pandang tertentu.

Aspek penting townscape diperoleh melalui komposisi dengan membandingkan antara lebar jalan (D) dengan ketinggian bangunan (H). Perbandingan ini telah ditemui baik di jalan-jalan Medieval City, Baroque City maupun Renaisance City (Ashihara, 1983). Dengan membandingkan antara D/H akan diperoleh proporsi sebagai berikut:

a) D/H=1, terjadi proporsi seimbang antara ketinggian bangunan/signage dan lebar jalan/pedestrian path.

b) D/H < 1, ruang intim, berkesan sempit dan terasa tertekan.

c) D/H > 1, ruang berkesan terbuka, semakin besar hasil perbandingan D/H maka berkesan semakin terbuka.

d) D/H = 1,2 atau 3 sangat umum di dalam ruang kota. e) D/H > 4, pengaruh ruang sudah tidak terasa.

Gambar 2.12 Hubungan Antara Elemen–Elemen Dan Signage Menjadi Hubungan Menyatu Secara Visual

2.7.3 Skala (Scale)

Produk arsitektur merupakan tempat atau ruang yang selalu berhubungan dengan manusia. Oleh sebab itu skala dalam arsitektur harus selalu menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan elemen tertentu yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan manusia. Menurut Ching (1991) skala adalah suatu perbandingan tetentu yang digunakan untuk menetapkan ukuran dan dimensi-dimensinya. Dimensi adalah manifestasi dari ukuran secara matematis dari bentuk bangunan, sedangkan skala memiliki arti perbandingan besarnya unsur suatu bangunan secara relatif terhadap bentuk-bentuk lainnya. Pada ruang-ruang yang masih dapat dijangkau manusia, dapat langsung dikaitkan dengan ukuran manusia, tetapi pada ruang-ruang di luar jangkauan penentuan skala harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen yang berhubungan dengan manusia (Budiharjo dan Sujarto, 1998).

Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak faktor, dapat dikatakan secara umum bahwa skala, yaitu hubungan antar lebar/panjang dan tinggi ruang dari suatu tempat memberikan kesan yang bersifat agak umum pada orang yang bergerak di dalamnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa ukuran suatu ruang dari dua tempat akan sangat berbeda, walaupun skalanya tetap sama (Zahnd, 1999).

Istilah "skala manusia" seringkali digunakan untuk menggambarkan dimensi bangunan berdasarkan ukuran tubuh manusia. Skala manusia kadang-kadang disebut sebagai "antropomorfik skala." (Gambar 2.13)

Gambar 2.13 Skala Perkotaan, Dengan Memperhatikan Pembatas Place Secara Vertikal

Sumber: Zahnd (1999;150)

Selain itu Ashihara (1974) dan Spreiregen (1978) menjelaskan melalui sudut pandangan mata sebagai berikut:

1. Jika orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan horizontal dengan sudut 40°, atau 2/3 seluruh pandangan mata.

2. Orang dapat melihat seluruh bangunan atau signage dengan sudut pandang 27°, atau D/H = 2.

3. Orang akan melihat sekelompok bangunan atau sekelompok signage sekaligus dengan sudut mata 18°, ini terjadi jika D/H=3.

4. Bangunan atau signage akan dilihat sebagai pembatas depan saja, jika sudut pandang 7°, atau D/H > 4.

Sudut pandang manusia secara normal pada bidang vertikal adalah 60°, tetapi bila ia melihat secara intensif maka sudut pandangnya berubah menjadi 1°. H. Marten seorang arsitek Jerman dalam papernya ”Scale in Civic Design” mengatakan bahwa bila orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan vertikal di atas bidang pandangan horizontal mempunyai sudut 40°. Orang dapat melihat keseluruhan objek bila sudut pandangnya 27° atau bila D/H=2 (perbandingan jarak bangunan dan tinggi bangunan = 2) atau dapat dilihat pada Gambar 2.14.

Gambar 2.14. Sudut Pandang Manusia Secara Normal Pada Bidang Vertikal Sumber: Ashihara dalam Iswanto, 2006

2.7.4 Keseimbangan

Keseimbangan merupakan suatu nilai pada setiap obyek yang daya visualnya di kedua sisi pusat seimbang atau pusat daya tarik adalah keseimbangan. Pusat

keseimbangan ini adalah titik istirahat mata, titik perhentian mata yang menghilangkan kekacauan dan keresahan. Darmawan (2003) menjelaskan bahwa manusia secara naluri mencari pusat keseimbangan dan berjalan ke arah itu. Pentingnya keseimbangan karena mempunyai daya untuk menunjuk arah gerak manusia. Keseimbangan ini menunjukkan sumbu yang jelas (dapat berupa garis) yang menyeimbangkan dua arah massa-massa yang berhadapan(Moughtin,1995).

Pandangan yang seimbang menjadi salah satu faktor yang dapat memberikan nilai tambah dalam desain. Menurut Ishar (1992), keseimbangan adalah nilai yang ada pada setiap objek yang daya tarik visualnya terdapat dikedua titik pusat keseimbangan. Secara jelas Jakle (1987) menambahkan bahwa dalam interpretasi ekspresi visual, Keseimbangan dapat memberikan rasa yaitu kestabilan visual yang muncul dari kesan sebuah garis aksis. Hal lain yang perlu diketahui keseimbangan tak hanya diraih dari sesuatu yang simetris, namun bisa juga berasal dari sesuatu yang asimetris dan simetris radial (Jakle,1987) diperlihatkan pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Balance dicapai dengan formal simetry Sumber: Moughtin, et al 1995

2.7.5 Irama (Rhythm)

Ritme atau irama dalam seni visual adalah pengulangan ciri secara sistematis dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan yang dikenal (Ishar, 1992). Ritme di dalam urban design diperoleh dengan membuat komposisi yang serasi dengan memberi penekanan, interval atau jarak dan arah tertentu dari elemen-elemen pembentuk ruang kota (Moughtin,et al, 1995). Menurut Darmawan (2003) keberhasilan desain sebuah koridor dari segi estetis apabila dapat menghindari kemonotonan dan memiliki daya tarik.

Kemonotonan terjadi bila objek yang diulang adalah objek yang bentuknya tidak kontras, sebaliknya bila objek yang diulang adalah bentuk yang kontras dibandingkan lingkungannya, maka pengguna akan mudah untuk menginterpretasikannya. Jakle (1987) menambahkan bahwa Irama tersebut dapat memainkan peranan sehingga dapat memunculkan kesan kawasan yang berkarakter dan menyeluruh. Adanya pengulangan objek menimbulkan kesan pergerakan bagi pengamat dalam ruang koridor, (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Irama Memiliki Sifat Yang Menarik Dalam Menghubungkan Dua Tempat Secara Visual

2.7.6 Warna

Pemilihan warna pada desain signage harus hati-hati, warna adalah satu aspek penting dari komunikasi visual yang mempengaruhi kemampuan mata melihat pesan yang akan disampaikan. Pemilihan warna berkontribusi terhadap kejelasan dan desain signage. Warna dapat menimbulkan kesan tertentu pada suatu bangunan atau kawasan (Porter, 1982).

Meskipun bukan merupakan unsur utama dalam membentuk kualitas estetika townscape tetapi warna berperan cukup penting karena pengaruhnya cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh karena tiap-tiap individu memiliki cita rasa tersendiri terhadap warna. Frank Orr (1995) menjelaskan bahwa warna terang dan gelap dapat memperkuat hubungan, dominasi, dan subordinasi. Warna juga dapat memberikan pengaruh terhadap kesan skala, menciptakan keseimbangan dan irama tertentu (Ishar, 1992), lihat Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Skema Warna Signage Memberikan Penegasan Pada Ruang Jalan Sumber: Moughtin, et. al 1995

Ada dua cara pemakaian warna dalam urban design, untuk menggambarkan hue dari pelangi warna (merah, kuning, biru dan sebagainya), dan yang lebih populer dengan pemakaian warna hitam, putih dan abu-abu. Dalam urban design terdapat bermacam-macam kualitas warna dari kota ke kota atau kawasan ke kawasan lain dan dari waktu ke waktu. Warna-warna terang akan memberikan kesan ruang lebih luas, sedang warna gelap memberikan kesan sempit atau berat (Moughtin et al. 1995). Masih menurut Moughtin, ada empat perbedaan skala warna di dalam kota yaitu:

1. Skala dari kota atau kawasan kota.

2. Skala jalan atau square, dimana warna dapat memberikan karakteristik, atau mempengaruhi bangunan sekelilingnya.

3. Skala dari masing-masing bangunan/signage.

4. Skala dari detail bangunan seperti jendela, pintu atau elemen dekorasi lainnya.

Warna juga memiliki peran penting pada signage, dan dapat digunakan sebagai pemberi stimulus yang efektif dan fungsional. Menurut Daniel dalam Kurniawan (2002), kombinasi warna yang baik adalah tidak lebih dari 3 (tiga) macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek yang ingin ditonjolkan.

2.7.7 Orientasi (Orientation)

Sebuah kota atau bagian kota tidak dapat dilihat dalam satu titik saja, tetapi melalui proses pengamatan di dalam gerakan. Cullen memakai istilah optics dalam proses tersebut, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Pemandangan yang ada (existing view), terfokus pada satu daerah saja. 2. Pandangan yang timbul (emerging view), fokusnya pada kaitan antara satu

daerah dengan daerah lain.

Biasanya orang melakukan hal tersebut tanpa pengetahuan atau perhatian khusus, dan mereka melihat tanpa sadar apa yang ada dan terjadi secara visual, jika bergerak dari satu tempat ke satu tempat lain. Namun dalam ketidaksadarannya orang selalu menerima berbagai informasi dari lingkungan yang akan mempengaruhi keadaaannya, baik melalui faktor sosial maupun arsitektural (Zahnd, 1999).

2.7.8 Posisi (position)

Cullen (1962) mengilustrasikan bahwa orang selalu membutuhkan perasaan terhadap posisinya dalam suatu lingkungan, dimana dia berada, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Akan tetapi dalam aspek ini, perasaan orang terhadap identitas tempat terebut selalu mempunyai dua sisi, yaitu: saya disini, bukan disana. Ungkapan tersebut sering sekali bagi perasaan orang, karena tanpa kepekaan terhadap disana tidak muncul kepekaan terhadap disini dan sebaliknya. Antara di sini dan di sana dalam urban design tergantung pada cara pemisahan atau perhubungannya. Masih menurut Cullen, perasaan terhadap posisi orang sangat tergantung pada dua faktor yaitu pada tingkat batasnya (enclosure) dan tingkat perlindungan (exposure). Dengan adanya perasaan posisi ini maka orang akan dapat merasakan mereka berada di pinggir, di dalam atau di luar suatu kawasan kota (Zahnd, 1999). Berikut ini adalah sebagian dari kategori posisi:

1. Occupied Teritory adalah bayangan, tempat berlindung, orang bercakap-cakap atau aktivitas biasanya menjadi daerah pemilikan atau penguasaan yang akan menimbulkan suatu image tersendiri pada sebuah kota (Cullen, 1962).

2. Enclosure adalah pola dasar lingkungan selain suara dan komunikasi yang tidak membentuk ruang. Di dalam ruang seperti pada alun-alun atau courtyard, pada enclosure akan terasakan suatu skala manusia (Cullen, 1962).

3. Focal Point merupakan titik tangkap pandang mata pada satu lingkungan atau kawasan. Pada sekumpulan objek signage yang membentuk ruang enclosure, unsur vertikal menjadi focal point. Pada suatu kawasan kota, bangunan tugu vertikal akan mengkristal menjadi titik tangkap lingkungan. (Gambar 2.18).

Gambar 2.18 Dengan Adanya Perasaan Posisi Ini Maka Orang Akan Dapat Merasakan Mereka Berada di Pinggir, di Dalam atau di Luar Suatu Kawasan Kota.

2.7.9 Isi (Content)

Perasaan orang terhadap satu tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada, dalam aspek ini perasaan terhadap identitas ada dua macam, yang pertama ini adalah ini dan bukan itu, artinya tanpa kepekaan terhadap ini maka tidak muncul kepekaan terhadap itu dan sebaliknya. Manusia membedakan dan menghubungkan bahan-bahan melalui rupa, warna pola, sifat, skalanya dan lain-lain. Sedangkan perasaan orang terhadap suatu tempat tergantung dari dua faktor, yaitu konformitas (conformity) dan pada tingkat kreativitas (creativity). Hal ini dapat diartikan jika suatu tempat diwujudkan dengan cara yang sama, akibatnya timbul rasa bosan akibat ruang diisi oleh objek-objek yang sama tanpa adanya kreativitas yang memberikan perbedaan atau ketertarikan terhadap isi ruang tersebut. Namun jika perwujudannya dengan cara yang sangat berbeda maka timbul kekacauan akibat tidak munculnya kreativitas berupa pengaturan objek-objek yang muncul secara semrawutan (Zahnd, 1999).

Masih menurut Zahnd, tugas membangun di kawasan perkotaan adalah mencari titik temu diantara kedua polarisasi atau pertentangan itu. Artinya dalam mencari kerangka sebuah tata kota (network of urban fabric) harus menjadi konformitas, dimana kreativitas justru mempunyai arti. Tetapi dalam realitas kota tersebut sering kurang diperhatikan dengan baik, sehingga menimbulkan dampak negatif , baik bagi lingkungan maupun bangunannya. Aspek yang termasuk dalam content antara lain seeing in detail, trees in value centre dan publicity, artinya memperlihatkan bagian detail dari bagian isi ruang kota akan memberikan nilai.

2.8. Kaedah-kaedah penataan signage dalam upaya menciptakan kota yang