• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umur responden dibagi dalam dua kategori yaitu produktif dan non produktif. Umur produktif ialah responden yang berumur 15-45 tahun, sedangkan yang tidak produktif ialah 45 tahun keatas. Umur warga belajar dibagi dalam dua kategori yaitu produktif dan non produktif. Umur produktif ialah warga belajar yang berumur 15-45 tahun, sedangkan yang tidak produktif ialah 45 tahun ke atas. Jumlah warga belajar yang menjadi responden penelitian ini 55,7 persen (25 orang) tergolong usia produktif, dan 44,3 persen (20 orang) termasuk umur tidak produktif.

Seseorang dalam umur produktif masih memungkinkan untuk bisa diasah dan dimaksimalkan kemampuannya, sehingga mereka menjadi sasaran utama program KF. Namun demikian, penduduk Desa Citapen yang telah berumur di atas 45 tahun tetap diperbolehkan untuk mengikuti program KF di SKBM SLIM karena tingginya keinginan mereka untuk melek aksara. Diduga warga belajar dalam umur produktif lebih lebih berhasil mempertahankan kemampuan aksaranya daripada umur tidak produktif.

Tabel 5 Pengaruh Umur terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Umur Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi

Tidak Produktif 18 (64,3 %) 7 (41,2 %)

Produktif 10 (35,7 %) 10 (58,8 %)

Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Tabel 5 menunjukkan bahwa umur warga belajar memiliki pengaruh dengan kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Sebesar 64,3 persen (18 orang) termasuk dalam katagori umur tidak produktif dan memiliki kemampuan mempertahan aksara rendah artinya warga belajar tersebut telah mengalami buta aksara kembali. Hal ini karena mayoritas dari mereka tidak memiliki motivasi diri yang rendah, minimnya pengingatan di usia mereka, dan faktor kesehatan sehingga sulit untuk mempertahankan kemampuan aksara. Di sisi lain ada pula warga belajar yang masuk dalam kategori umur tidak produktif, namun memiliki kemampuan mempertahan aksara tinggi, yang artinya warga belajar tersebut masih mampu membaca menulis dan berhitung yaitu sebesar 41,2 persen (7 orang), karena warga belajar memiliki motivasi yang tinggi dalam dirinya untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

Warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif lebih mampu mempertahankan kemampuan aksara. Terbukti Warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif dan memiliki kemampuan mempertahan aksara tinggi atau masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 58,8 persen (10 orang). Selebihnya warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif, namun memiliki kemampuan mempertahan aksara rendah yaitu sebesar 35,7 persen (10 orang). Hal ini karena rendahnya motivasi dari warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

6.1.2 Status Pernikahan

Status pernikahan adalah keterkaitan dan tanggung jawab warga belajar terhadap perannya dalam keluarga. Warga belajar dibatasi dengan status belum menikah, menikah, dan janda. Warga belajar yang belum menikah berarti memiliki tanggung jawab terhadap perannya dalam keluarga yaitu rendah, warga belajar yang telah menikah dan janda berarti memiliki tanggung jawab terhadap perannya dalam keluarga tinggi, karena mereka harus mengurusi keluarga mereka. Mayoritas warga belajar memiliki status menikah yaitu menikah sebesar 93,4 persen (42 orang). Sisanya belum menikah 2,2 persen (1 orang), dan janda sebesar 4,4 persen (2 orang).

Tabel 6 menunjukan, bahwa status pernikahan berpengaruh dengan kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara. Sebesar 61,9 persen (26 orang) tergolong dalam kategori berstatuskan telah menikah dan memiliki kemampuan

mempertahankan kemampuan aksara rendah atau telah mengalami buta aksara kembali. Hal ini karena sibuknya pekerjaan domestik, sehingga sulit meluangkan waktu untuk belajar kembali di rumah, serta beberapa dari warga belajar tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggal, yaitu tidak adanya izin dari para suami mereka untuk mengikuti program KF sehingga warga belajar mengikuti kegiatan belajar mengajar secara diam-

diam. Warga belajar yang berstatuskan menikah dan mengalami buta aksara kembali dua

kali lipat lebih banyak daripada warga belajar yang telah menikah dan mampu mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini menegaskan bahwa status menikah mempengaruhi kemampuan mempertahankan kemampuan aksara warga belajar.

Tabel 6 Pengaruh Status Pernikahan terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Status Pernikahan Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi Belum Menikah 0 % 1 (100,0 %) Menikah 26 (61,9 %) 16 (38,1 %) Janda 2 (100,0 %) 0 %    Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Seperti halnya warga belajar yang berstatuskan menikah, mayoritas warga belajar yang masuk dalam kategori janda juga memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah atau telah buta aksara kembali yaitu sebesar 100 persen (2 orang). Hal ini dikarenakan warga belajar yang berstatuskan janda memiliki pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pekerjaan mereka berlangsung dari pagi hari hingga sore hari. Setelah selesai dari bekerja pun mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik di rumahnya, sehingga mereka sulit meluangkan waktu untuk belajar atau mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, seperti yang dikemukakan oleh salah satu warga belajar sebagai berikut:

“saya kan kerja dirumah bu H. Embed dari pagi sampai sore, sampai rumah juga masih ada aja kerjaan yang harus diselesain, jadikan udah kecapean duluan, jadi gak ada waktu buat belajar lagi” (Yyt, 60thn)

Warga belajar yang temasuk dalam kategori belum menikah dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi atau masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang), karena tingginya motivasi warga belajar dan banyaknya waktu luang yang dapat digunakan untuk mempertahankan kemampuan aksara yang di miliki. Hal ini membuktikan semakin rendah tanggung jawab yang dimiliki oleh warga belajar, maka kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki oleh warga belajar semakin tinggi.

6.1.3 Jumlah Anak

Keterbatasan warga belajar yang mayoritas ibu rumahtangga adalah jumlah anak mereka, terutama jika memiliki anak balita. Sebaran responden warga belajar sesuai jumlah anak adalah sebagai berikut: 64,4 persen (29 orang) memiliki jumlah anak tiga sampai lima anak dan tidak memiliki balita, 20 persen (9 orang) memiliki jumlah anak maksimal dua dan tidak memiliki balita, 2,2 persen (1 orang) memiliki jumlah anak enam sampai delapan orang dan tidak memiliki balita, dan ada 13,3 persen (6 orang) memiliki balita. Warga belajar yang memiliki balita, berarti memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengasuh anaknya. Hubungan antara jumlah dan umur anak dengan tingkat mempertahankan kemampuan aksara disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 menunjukkan, bahwa tidak terdapat pengaruh antara jumlah dengan kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara. Mayoritas warga belajar sebesar 72,5 persen (21 orang) memiliki jumlah tiga sampai lima anak dan tidak memiliki balita, memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah.

Warga belajar yang memiliki jumlah enam sampai delapan anak dan tidak memiliki balita, namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Hal ini dikarenakan, walaupun jumlah anak yang dimiliki banyak namun usia anak tersebut sudah memasuki usia dewasa bahkan sudah ada yang menikah, sehingga banyaknya anak yang dimiliki tidak mempengaruhi warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

Tabel 7 Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Jumlah Anak Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi

Memiliki Balita 2 (33,3 %) 4 (66,7 %)

0 sampai 2 (tidak memiliki balita) 5 (55,6 %) 4 (44,6 %) 3 sampai 5 (tidak memiliki balita) 21 (72,5 %) 8 (27,6 %) 6 sampai 8 (tidak memiliki balita) 0 % 1 (100,0 %)

Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Warga belajar yang memiliki balita dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah yaitu sebesar 33,3 persen (2 orang). Pada kenyataannya terdapat warga belajar yang memiliki balita namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu sebesar 66,7 persen (4 orang), bahkan warga belajar yang memiliki anak balita lebih banyak yang mampu mempertahankan keaksaraannya dibandingkan dengan warga belajar yang tidak memiliki balita. Hal ini karena warga belajar tersebut mengasuh anaknya sekaligus belajar mempertahankan aksaranya yaitu ketika mereka belajar sekaligus mengajari anaknya yang balita untuk membaca dan berhitung, sehingga mereka mampu mempertahankan kemampuan aksaranya, serta adanya dukungan dari suami mereka untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

6.1.4 Pendidikan Formal

Sejumlah 31,1 persen (14 orang) responden warga belajar pernah mencicipi bangku

sekolah formal, meskipun hanya sampai SD kelas 6 sedangkan sisanya sebanyak 68,9

persen (31 orang) tidak pernah sekolah. Namun setelah bertahun-tahun tidak pernah dipergunakan, mereka yang pernah sekolah telah kehilangan kemampuan aksaranya kembali. Warga belajar yang pernah mengikuti sekolah formal sampai diatas kelas 3 SD mengakui, walaupun mereka pernah sekolah SD, namun sebelum mereka mengikuti progam KF mereka sama sekali tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Diduga ada

pengaruh pendidikan formal yang pernah dilalui dengan kemampuan mempertahankan keaksaraan dari warga belajar.

Tabel 8 Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Pendidikan Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi

Tidak Pernah SD 21 (67,7 %) 10 (32,3 %)

1 SD ≥ x ≥ 3 SD 7 (58,3 %) 5 (41,7 %)

>3 SD 0 % 2 (100,0 %)

Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Tabel 8 menunjukkan, pendidikan formal mempengaruhi kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara. Warga belajar yang pernah sekolah lebih dari kelas 3 SD sebesar 100 persen (2 orang) memiliki kemampuan aksara tinggi. Begitu pula yang terjadi dengan warga belajar yang tidak pernah mengikuti sekolah formal, sebesar 67,7 persen (21 orang) memiliki kemampuan aksara rendah atau telah buta aksara kembali. Warga belajar yang tidak pernah sekolah formal dan mengalami buta aksara kembali dua kali lipat lebih banyak daripada warga belajar yang tidak pernah sekolah formal dan mampu mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini membuktikan semakin rendah pendidikan formal yang pernah di ikuti warga belajar, maka kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang di miliki oleh warga belajar semakin rendah.

6.1.5 Pekerjaan

Pekerjaan merupakan mata pencaharian warga belajar yang menghasilkan uang. Rendahnya pendidikan warga belajar mempengaruhi pekerjaan yang dimiliki oleh warga belajar KF. Tabel 12 menunjukan, bahwa sebagian besar pekerjaan warga belajar yaitu ibu rumah tangga 84,5 persen (38 orang), disusul dengan pembantu rumah tangga 11,1 persen (5 orang), pedagang 2,2 persen (1 orang), dan pengangguran 2,2 persen (1 orang). Banyaknya warga belajar yang hanya menjadi ibu rumah tangga dikarenakan rendahnya

pendidikan warga belajar dan mereka masih berpegangan pada budaya bahwa perempuan pekerjaannya yaitu di dapur untuk memasak, mencuci, dan menjaga anak, sehingga mereka hanya menggantungkan kehidupan mereka pada penghasilan suami. Padahal pekerjaan suami mereka hanya bekerja sebagai buruh tani, buruh, dan supir yang hanya menghasilkan uang rata-rata Rp 800.000,00 per bulannya.

Pekerjaan warga belajar merupakan salah satu aspek yang diduga dapat mempengaruhi kemampuan warga belajar untuk mempertahankan keakasaraannya, karena semakin besar tanggung jawab warga belajar pada pekerjaan, maka semakin rendah kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Tabel

9 menunjukan, pekerjaan yang dimiliki oleh warga belajar berpengaruh terhadap

kemampuan mempertahankan aksara yang dimiliki warga belajar.

Mayoritas warga belajar yang memiliki pekerjaan ibu rumah tangga, memiliki kemampuan mempertahankan aksara yang rendah atau telah buta aksara kembali yaitu sebesar 60,5 persen (23 orang). Telah terjadi buta aksara kembali karena warga belajar yang telah menikah memiliki kesibukan dalam pekerjaan domestik yaitu tanggung jawab warga belajar dalam hal memasak, mencuci, dan membereskan rumah sehingga warga belajar tidak memiliki waktu yang banyak untuk mempertahankan kemampuan aksara yang

dimiliki, serta tidak adanya dukungan dari lingkungan tempat tinggal untuk

mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

Tabel 9 Pengaruh Pekerjaan Warga Belajar terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Kategori Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi

Ibu Rumah Tangga 23 (60,5 %) 15 (39,5 %)

Pedagang 0 % 1 (100,0 %)

Pembantu Rumah Tangga 5 (100,0 %) 0 %

Pengangguran 0 % 1 (100,0 %)

Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Di sisi lain, ada pula warga belajar yang memiliki pekerjaan ibu rumah tangga, namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi, yaitu sebesar 39,5 persen (15 orang). Hal ini dapat terjadi karena warga belajar tersebut memiliki motivasi yang tinggi untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki dimana warga belajar belajar membaca, menulis, dan berhitung kembali di rumah, belajar bersama anak di rumah, membaca koran setiap pagi, serta tidak malu untuk bertanya kepada tutor.

Warga belajar memiliki pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga 100 persen (5 orang) memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah, karena pekerjaan mereka berlangsung dari pagi hari hingga sore hari. Setelah selesai dari bekerja pun mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik di rumahnya, sehingga mereka sulit meluangkan waktu untuk belajar atau mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki

Warga belajar yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang, memiliki kemampuan mempertahankan aksara yang tinggi atau masih mampu membaca, menulis dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Hal ini dikarenakan ia menerapkan kemampuan aksara yang dimiliki saat berdagang, seperti mengukur takaran minyak, menimbang makanan, membaca tulisan dikemasan, menghitung uang, dan menulis nota belanjaan setiap harinya, sehingga warga belajar tersebut berdagang sekaligus belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.

Warga belajar yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran, dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Tidak adanya pekerjaan yang dimiliki dikarenakan warga belajar tersebut mengalami lumpuh dan berstatuskan belum menikah. Warga belajar tersebut mengakui dirinya memiliki motivasi yang kuat dan banyak waktu luang untuk belajar kembali membaca, menulis, dan berhitung dirumahnya agar menutupi kekurangan fisik yang ia miliki.

6.1.6 Motivasi Warga

Motivasi warga belajar adalah kemauan dari dalam diri warga belajar untuk mau belajar dan mempertahankan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Motivasi belajar dikategorikan menjadi motivasi rendah dan motivasi tinggi. Motivasi diukur dengan tidak ada dan banyaknya usaha yang dilakukan oleh warga belajar dalam mempertahankan

kemampuan aksaranya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,2 persen (28 orang) responden bermotivasi rendah, dan hanya 37,8 persen (17 orang) bermotivasi tinggi. Diduga semakin tinggi motivasi warga belajar maka semakin tinggi pula kemampuan untuk mempertahankan kemampuan aksaranya.

Tabel 10 menyatakan, bahwa motivasi warga belajar berpengaruh pada kemampuan mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini dibuktikan semakin tinggi motivasi warga belajar, maka semakin tinggi pula kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, begitu juga sebaliknya. Sebesar 100 persen (28 orang) warga belajar yang masuk dalam kategori motivasi rendah, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara rendah. Hal ini menunjukkan warga belajar yang memiliki motivasi rendah telah mengalami buta aksara kembali.

Tabel 10 Pengaruh Motivasi Warga Belajar terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011

Motivasi Warga Kemampuan Mempertahankan Aksara

Rendah Tinggi

Rendah 28 (100,0 %) 0 %

Tinggi 0 % 17 (100,0 %)

Jumlah 28 (100,0 %) 17 (100,0 %)

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011

Warga belajar yang termasuk dalam kategori motivasi tinggi, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara tinggi, yaitu masih dapat mempertahankan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (17 orang). Warga belajar yang memiliki motivasi tinggi berarti mempunyai kemauan yang tinggi atau usaha yang maksimal dalam mempertahankan kemampuan aksara, seperti yang dikemukakan salah satu warga belajar berikut:

“walaupun saya cacat, gak bisa jalan, tapi saya punya tekat yang kuat buat bisa membaca,menulis, dan berhitung. Setiap hari saya selalu belajar sendirian, baca modul yang dikasi tutor, dan sekarang saya masih lancar membaca, menulis, dan berhitung.” (Ynh, 25thn)

Bentuk motivasi yang dilakukan oleh warga belajar yaitu belajar membaca, menulis, dan berhitung kembali di rumah, belajar bersama anak di rumah, membaca koran setiap pagi, serta tidak malu untuk bertanya kepada tutor.

Dokumen terkait