• Tidak ada hasil yang ditemukan

STOK KARBON PENGUKURAN LAPANGAN

Dalam dokumen Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 (Halaman 194-200)

Pendekatan Multiregresi Indeks Vegetasi untuk Pendugaan Stok Karbon

3. STOK KARBON PENGUKURAN LAPANGAN

Stok karbon didefinisikan sebagai jumlah karbon absolut yang tersimpan dalam biomassa pada waktu tertentu (IPCC, 2003) Mengukur stok karbon meliputi stok karbon di atas tanah (Aboveground biomass ) dan karbon tanah. Perhitungan stok karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh sehingga hanya dapat memantau stok karbon di atas tanah.

Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa suatu pohon, yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa pohon diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik sebagai berikut (Brown, 1997) :

B = 0,118 D 2,53 (1)

di mana :

B = Biomassa di atas tanah (kg) D = diameter batang setinggi dada (π) π = 3.14155927

Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung sebagai berikut:

Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x 0,46 Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter > 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai plot besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 – 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar (Gambar 2).

Gambar 2. Plotting Area (Sumber : Hairiah dan Rahayu , 2007)

Data cadangan karbon pengukuran lapangan diukur pada agustus 2008 oleh Pusat Infrastruktur data Spasial (PIDS). Area penelitian dilakukan di beberapa provinsi di Jawa Barat meliputi Ciwidey, Bandung, Sukabumi, and Banjaran seperti ditunjukan pada gambar 3.

Table 1. Nilai Sampel Stok Karbon

No Land Use Lokasi Cadangan Karbon

di Atas Tanah (ton)

1 Hutan Ciwidey 221.09

2 Hutan Sukabumi (Situ Gunung) 272.84 3 Hutan Sukabumi (Gunung Salak) 537.11

4 Sektor Pertambangan Bandung 0.61

5 Perkebunan Ciwidey 84.08

6 Perkebunan Sukabumi 15.69

7 Ladang Ciwidey 0.37

8 Ladang Ciwidey 0.83

9 Ladang Ciwidey 1.74

10 Padang Rumput Sukabumi 9.92

11 Padang Rumput Sukabumi 3

12 Permukiman Sukabumi 31.64

13 Perkebunan Ciwidey 364.05

14 Sawah Banjaran 6.28

15 Sawah Sukabumi 2.73

16 Semak Belukar Bandung 6.88

17 Semak Belukar Sukabumi 2.54

18 Tanah Kosong Banjaran 2.14

3.1 Reduksi Outlier

Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatan-pengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam 4 penyebab,yaitu :

1. Kesalahan prosedur

2. Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan 3. Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan

4. Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik

Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling rule membatasi data dalam 2 rentang yaitu Upper dan Lower, yang ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut (Tukey, J. W., 1977):

Upper = Q3+( Q3 – Q1 )*g Lower = Q1-( Q3 – Q1 )*g

Dimana

Q1 = Percentile 75 dari data Q3 = Percentile 25 dari data g = 2.2

Gambar 4. Distribusi nilai sampel Stok Karbon

Dari persamaan (2), ditentukan batas Outlier berupa 264.348 ton. itu perlu dilakukan eliminasi 3 data Outlier yaitu data stok karbon bernilai 272.84 ton, 537.11 ton, dan 364.05 ton.

3.2 Koreksi Geometrik

Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah sensor ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan bantuan titik control tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik yang diketaui koordinatnya pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada citra) untuk melakukan proses transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM. Proses transformasi ini akan menggunakan model transformasi affine-2D. Transformasi Affline 2D digunakan sebagai persamaan matematika untuk mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari suatu sistem koordinat dua dimensi ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada penelitian ini digunakan datum WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi bagian selatan sebagai sistem koordinat acuan.

Titik GCP yang digunakan sebanyak 11 titik yang tersebar di sekeliling area penelitian. Objek yang digunakan sebagai titik GCP adalah perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Setelah itu dihitung penyimpangan koordinat titik hasil transformasi dengan koordinat titik pada peta atau citra referensi yang direpresentasikan dengan harga standar deviasi untuk mengetahui tingkat kepresisian hasil plot data-data GCP pada citra.

Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan titik Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Titik ICP yang digunakan sebanyak 6 titik. Objek yang digunakan sebagai titik GCP dan ICP adalah perpotongan jalan dan perpotongan sungai. Tingkat ketelitian dari ICP dapat ditentukan dengan menghitung nilai RMSEICP-nya.

Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan berikut: √ ̂ (4) √ ̂ (5) (6) Dari hasil koreksi geometrik didapatkan ketelitian GCP berupa 0.47 dan ICP berupa 0.5 dimana nilai – nilai standar deviasi GCP dan RMSEICP yang dihitung memenuhi kriteria koreksi geometrik, dimana secara umum nilai-nilai tersebut harus lebih kecil dari 1 pixel (Purwadhi & Santojo, 2008), sehingga citra yang digunakan dianggap sudah mewakili kondisi geometris wilayah penelitian.

3.3 Koreksi Radiometrik

Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer, dapat terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses perekaman citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini menyebabkan citra tampak lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap karena efek serapan). Kondisi ini menyebabkan nilai yang terekam oleh citra satelit, bukan merupakan nilai sebenarnya (Sri Hartanti. 1994).

Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel pada citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai kegunaan citra yang dipakai (Gao, 2009).

Koreksi radiometrik merubah nilai DN ke nilai reflektansi berdasarkan persamaan berikut:

(7) Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2sr-1m-1), λ adalah band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX adalah nilai radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN merupakan nilai digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan berikut:

(8)

Dimana ρ adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel pada citra, Lλ adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esunλ adalah konstanta radiansi exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit astronomi (UA).

3.4 Eliminasi daerah Laut

Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number yang ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana nilai digital number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah daratan. Karena itu perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara dijitasi daerah yang diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.

Gambar 5. Eliminasi daerah Laut; (a) Daerah laut di-ikutsertakan pada Landsat 5-TM (b) Citra Landsat-5 TM tanpa daerah laut

Eliminasi daerah laut juga diperlukan untuk kepentingan koreksi radiometrik dimana pada proses tersebut, menggunakan informasi nilai DN pada perhitunganya. Jika daerah laut diikutsertakan, menyebabkan adanya nilai DN yang terlalu rendah sehingga hasil yang didapatkan tidak mencapai tingkat akurasi yang baik.

3.5 Vegetation Index

Indeks Vegetasi merupakan proses pengolahan citra satelit dengan mengkombinasikan dua atau lebih band spectral, sehingga mampu menggambarkan kondisi vegetasi di wilayah tersebut.

Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika mengandung clorophil (Zat hijau daun) dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif menyerap karbon. Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya perbedaan karakteristik suatu tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan spectrum gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh sensor satelit.

Ada 5 pendekatan index vegetasi yang digunakan dalam pendekatan perhitungan cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil Adjusted Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI).

3.6 Water Band Index

Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kadar air pada suatu wilayah. Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu tumbuhan terhadap citra yang terekam. Jumlah air yang meningkat secara drastis menyerap gelombang NIR dan MID Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap (Environmental Protection Agency). Water Index digunakan untuk mengakomodasi pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam. Aspek ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi, mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save, 1995).

Digunakan 2 pendekatan water band index pada perhitungan cadangan karbon yaitu : Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index (NDWI).

Dalam dokumen Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2012 (Halaman 194-200)