• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Unit Lahan

Model Analisis Citra Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan Tanaman Industri

2. ASPEK SPASIAL PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Karena lamanya waktu tunggu hingga masak tebang untuk dipanen kayunya,

2.3. Klasifikasi Unit Lahan

Pada dasarnya setiap jengkal lahan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda baik dalam fisiografi, morfologi, ekologi maupun kondisi tanahnya. Di samping itu, terdapat juga kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk mendukung operasional pengelolaan hutan tanaman, seperti misalnya pembangunan sistem kanal untuk transportasi produksi di lahan rawa. Semuanya ini memerlukan pengaturan penggunaan areal secara spasial yang efektif dengan melakukan klasifikasi unit lahan.

2.3.1. Delineasi Areal Kerja

Klasifikasi unit lahan yang wajib dilakukan oleh pengelola ialah membuat delineasi areal untuk mengidentifikasi fungsi produksi dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan keseimbangan lingkungan. Untuk areal yang teridentifikasi sebagai hutan alam bekas tebangan, maka akan dilanjutkan dengan delineasi mikro seperti nampak dalam Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Kondisi liputan lahan yang didelineasi secara makro dan mikro 1. Areal hutan alam bekas tebangan

A Areal hutan alam yang harus dipertahankan

B Areal hutan alam yang dipertahankan untuk diusahakan dengan sistem silvikultur bukan THPB

C Areal hutan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan tanaman dengan sistem silvikultur THPB

2. Areal yang telah ditanami 3. Areal tanah kosong, alang-alang 4. Sarana dan prasarana

5. Permukiman, ladang, kebun, areal pinjam pakai

Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/Menhut-II/2008.

Ada kriteria tertentu dalam mendelineasi hutan alam menjadi tiga bagian yaitu pada intinya dengan mempertimbangkan kerentanannya jika pada areal berhutan tersebut dilakukan suatu sistem silvikultur atau budidaya. Berdasarkan delineasi mikro ini, dapat dilakukan penataan ruang lebih lanjut.

2.3.2. Penataan Ruang Hutan Tanaman Industri

Pola pemanfaatan lahan berupa alokasi peruntukan ruang di dalam suatu konsesi hutan tanaman industri ditata dengan memperhatikan aspek kepastian lahan, sumberdaya hutan, kontinuitas produksi hasil hutan, konservasi, sosial ekonomi dan institusi. Dasar dari penataan ruang adalah hasil delineasi mikro seperti yang telah diuraikan di atas. Tabel 4. di bawah ini menunjukkan alokasi peruntukan dan persentase luasnya.

Tabel 4. Alokasi peruntukan lahan dalam penataan ruang hutan tanaman industri

No Peruntukan Keterangan % luas

1. Areal tanaman pokok

Tanaman komersial untuk tujuan

produksi 70%

2. Areal tanaman unggulan

Tanaman jenis asli yang mempunyai

nilai tinggi 10%

3. Areal tanaman kehidupan

Tanaman yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar

5% 4. Areal

konservasi

Areal yang dilindungi tetap sebagai

hutan alam 10%

5. Areal sarana dan prasarana

Infrastruktur pengusahaan HTI: jalan,

kanal, camp 5%

Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95

Peruntukan berupa areal konservasi dalam penataan ruang adalah areal hutan alam yang harus dipertahankan sesuai hasil delineasi mikro. Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam menentukan areal tersebut di antaranya:

a. Kawasan hutan yang mempunyai kombinasi kelerengan, jenis tanah dan intensitas curah hujan dengan agregat skoring lebih besar 175.

b. Kawasan hutan dengan kelerengan lebih besar 40% dan atau dengan kelerengan lebih besar 15% untuk jenis tanah tertentu yang sangat peka erosi.

c. Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 meter.

d. Kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu sampai dengan 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air, 100 meter dari tepi sungai, 50 meter dari tepi anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang dan 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah dari tepi pantai.

e. Kawasan penyangga hutan lindung atau kawasan konservasi. f. Kawasan pelestarian plasma nutfah.

g. Kawasan perlindungan satwa liar.

h. Kawasan cagar budaya dan atau ilmu pengetahuan serta i. Kawasan rawan bencana.

2.3.3. Penataan Areal Kerja

Guna mempermudah pengaturan hasil yang berkesinambungan, maka dilakukan pembagian blok-blok kerja tahunan, misalnya untuk tanaman hutan dengan daur produksi enam tahunan, maka luas efektif areal tanaman pokok akan dibagi enam. Gambar 1.(i) di bawah ini menunjukkan contoh pembagian blok kerja tahunan menjadi enam blok setelah dikurangi areal yang dialokasikan untuk Areal Konservasi, Tanaman Unggulan dan Tanaman Kehidupan.

Gambar 1. (i) Contoh pembagian blok kerja tahunan dan (ii) kompartemen atau petak tanaman

Tiap blok kerja tahunan terdiri dari beberapa kompartemen atau petak tanaman yang merupakan suatu unit manajemen terkecil yang mempunyai suatu keseragaman dalam karakteristik lahannya. Petak tanaman ini mempunyai luas optimum 25 hektare dengan pertimbangan bahwa pengerjaan pemanenan dan penanaman dapat diselesaikan dalam waktu paling lama dua bulan. Contoh petak tanaman dapat dilihat pada Gambar 1.(ii) di atas. Dikatakan bahwa petak sebagai unit manajemen terkecil karena tanaman dalam satu petak akan dikenai perlakuan yang sama, sehingga dalam satu petak terdapat hanya satu tegakan hutan yang seumur dan seragam spesiesnya. Idealnya, kompartemenisasi ini bersifat permanen dan tidak berubah pada rotasi tanam berikutnya, akan tetapi pada kenyataannya petak-petak ini sering berubah, terutama jika batas petak yang berupa jalan itu mengalami pergeseran.

2.3.4. Kesesuaian Lahan

Pada dasarnya, ekosistem hutan dapat berkembang secara alami di daerah beriklim tropika basah seperti di Indonesia, karena itu kesuburan tanah bukan suatu hal yang menentukan bagi hutan. Akan tetapi, dalam konteks hutan tanaman, agar memberikan tingkat produktivitas yang tinggi, kesesuaian lahan akan tanaman komoditi tertentu tetaplah penting. Telah lama dikenal konsep bonita yang menggambarkan kemampuan produksi suatu tempat tumbuh jenis pohon tertentu, berdasarkan karakteristik lahan dan pertumbuhan pohon dominan pada berbagai tingkat umur (Arief, 2001). Karena itulah bagi pembangunan areal yang relatif baru, jenis dan karakteristik tanah dapat diteliti untuk dapat menentukan kesesuaian lahan terhadap varietas pohon tertentu.

(ii) (i)

Karakteristik tanah dan faktor lain seperti iklim dapat dievaluasi untuk memprediksi produktivitas hutan tanaman. Faktor-faktor seperti ini dapat direpresentasikan secara spasial dalam bentuk peta, yang nantinya akan diperkaya dengan data pertumbuhan tanaman itu sendiri untuk memprediksi tingkat produktivitas tiap unit karakteristik lahan. Peta site matching yang diperlukan bagi pembangunan hutan tanaman memuat informasi sebagai berikut:

a. jenis tanah

b. spesies pohon yang sesuai

c. rekomendasi pemupukan dan perlakuan khusus lainnya d. perkiraan produksi kayu