• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya-Karya Hamka

MENGENAL BUYA HAMKA

A. Latar Belakang Internal Hamka 1. Profil Kehidupannya

2. Karya-Karya Hamka

a. Bidang Satra dan Autobiografi

Dalam bidang ini karya-karya Hamka adalah sebagai berikut:

1) Si Sabariyah (1928), roman pertama yang ditulis Hamka saat ia masih berumur 17 tahun pada tahun 1928. Ditulis dalam bahasa Minangkabau.

2) Laila Majnun

3) Mati Mengandung Malu (1934) 4) Di bawah Lindungan Ka’bah (1936)

5) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1937) 6) Di dalam Lembah Kehidupan (1939)

7) Tuan Direktur (1939)

264Rusydi, Pribadi dan Martabat, 7. 265Rusydi, Pribadi dan Martabat, 60. 266Rusydi, Pribadi dan Martabat, 230.

8) Dijemput Mamaknya (1939) 9) Keadilan Ilahi (1939) 10) Merantau ke Deli (1940) 11) Terusir (1940) 12) Margaretta Gauthier (1940) 13) Cemburu (Ghirah) (1949)

14) Kenang-kenangan Hidup I-IV, sebuah autobiografi sejak ia lahir 1908 sampai 1950.

b. Bidang Tafsir

Di bidang tafsir, karya monumental Hamka adalah Kitab Tafsir Al-Azhar Juz I-XXX yang kebanyakan ditulisnya ketika dia berada di dalam tahanan masa rezim Soekarno. Buku ini pada mulanya berasal dari pengajian Hamka pada kegiatan kuliah Subuh di Mesjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta dalam rentang waktu 1958-1960. Karena besarnya perhatian umat Islam pada materi tersebut, maka materi tafsir ini dimuat dalam Majalah Gema Islam. Kuliah Subuh tersebut terpaksa terhenti ketika Hamka ditangkap dengan tuduhan penghianatan terhadap negara. Meskipun begitu, Hamka tetap menuangkan pemikirannya melalui tulisan selama ia di penjara. Bagi Hamka, tafsir ini adalah kenangan buah pikirnya bagi bangsa dan umat Islam Indonesia.267

c. Bidang Tasawuf

Dalam bidang tasawuf, Hamka menulis beberapa buku sebagai berikut:

1) Tasawuf Modern, (1939) Pada mulanya ini adalah artikel-artikel Hamka dalam rubrik “Tasawuf Modern” yang diterbitkan dalam Majalah Pedoman Masyarakat, ditulis antara tahun 1937-1938.

2) Falsafah Hidup (1939) 3) Lembaga Hidup (1940) 4) Lembaga Budi (1940)

5) Pandangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952) 6) Islam dan Kebatinan (1972)

7) Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya (1973) d. Bidang Teologi

Dalam bidang teologi ia menulis dua karya yaitu: 1) Arkanul Islam, dan

2) Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia

e. Bidang Sejarah Islam

Sementara itu dalam bidang sejarah Islam ia menghasilkan tiga karya yakni:

1) Khatibul Ummah Jilid I, II, III

2) Ringkasan Tarikh Umat Islam (1929)

3) Sejarah Ummat Islam Jilid I sampa IV (ditulis tahun 1938 diangsur) B. Latar Belakang Eksternal

Hamka adalah seorang ulama yang aktif berkiprah dalam gerakan Islam di bawah naungan organisasi Muhammadiyah. Oleh karenanya, banyak posisi penting di Muhammadiyah yang dijabatnya. Ia melaksanakan amanat jabatannya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Berikut ini beberapa jabatan yang pemah diberikan kepada Hamka, baik di Muhammadiyah maupun lainnya:

1. Ketua Cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang pada tahun 1928.

2. Konsultan Muhammadiyah di Makassar pada tahun 1931.

3. Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat pada tahun1946.

4. Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1953. 5. Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang.

6. Ketua Bagian Taman Pustaka

7. Pada tanggal 26 Juli 1975/17 Rajab 1395 Hamka dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.268

Pada tahun 1930 Kongres Muhammadiyah ke-4 berlangsung di Bukit Tinggi dan Hamka tampil sebagai pemberi saran dengan judul "Agama Islam dan Adat Minangkabau." Ketika berlangsung Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka muncul dengan ceramah yang berjudul "Muhammadiyah di Sumatera."Setahun kemudian atas kepercayaan Pimpinan Muhammadiyah di masa itu, tahun 1950 ia menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya sebagai anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia. Tahun 1952 ia mendapat undangan dari State Departement (Departemen Luar Negeri) Amerika yang mengadakan kunjungan ke negara itu selama enam bulan. Perjalanan ke Amerika tersebut melalui Eropa dan pulang lewat Australia. Kunjungan ini merupakan perkenalannya yang pertama dengan dunia Barat. Dari lawatan ini dia mengarang buku “4 Bulan di Amerika".

Pada Pemilihan Umum yang pertama (1955), Hamka dicalonkan menjadi anggota DPR mewakili daerah pemilihan Masyumi Jawa Tengah. Namun dia tidak bersedia untuk duduk di DPR dan hanya sebagai pengumpul

suara (votegetter) saja. Pada awal tahun 1958 ia turut sebagai delegasi Indonesia menghadiri simposium Islam di Lahore bersama almarhum Prof. Dr. Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH. Anwar Musaddad. Setelah itu meneruskan perjalanan ke Mesir dan sampai bertemu dengan pemuka-pemuka Islam di Mesir dan diberi kesempatan untuk berpidato dengan judul "Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia" yang menguraikan tentang kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern seperti Thawalib Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Setelah partai Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan perhatiannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar. Pada bulan Juli 1959 ia menerbitkan Majalah "Panji Masyarakat” bersama KH. Faqih Usman yang menitikberatkan pada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Islam. Panji Masyarakat kemudian dilarang terbit oleh rezim Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, baru pada tahun 1962 ia kembali menerbitkan majalah "Gema Insani" yang dipimpin oleh Letjend. Mukhlas Rowi, sebagai pengganti majalah Panji Masyarakat yang dibredel Sukarno.269

Meskipun dalam wacana politik Hamka menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dan pernah menjadi anggota partai Masyumi, namun Hamka bukanlah seorang politikus. Karena, Hamka tidak begitu tertarik dengan hiruk pikuk politik. Menurut Syaikhu, meskipun dulunya Hamka pernah duduk dalam dewan konstituante, namun ia kurang menarik untuk diamati.270 "Bagaimana mungkin kita akan mengamati politik Hamka, kalau ternyata ia sendiri tidak menaruh perhatian serius terhadap politik,"demikian pengakuan Syaikhu.

Syaikhu merujuk pada pernyataan Hamka ketika memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang diselenggarakan oleh Panitia Nasional yang pada saat kesempatan itu, Hamka mengatakan: "Lapangan siasat bukan medanku. Aku dikenal seorang pujangga, yang bersayap terbanglah lalu, aku kan pahlawan pena". Berdasarkan bait-bait syair yang disampaikan Hamka, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. A. Syaikhu sampai menyimpulkan bahwa Hamka sampai akhir hayatnya lebih dikenal sebagai ulama dan pujangga.

Kesimpulan Syaikhu tersebut sangat tepat jika melihat pada latar belakang keluarga dan status sosial yang dimiliki oleh Hamka, dan juga kehidupan sosio-kultural yang mengitarinya. Hamka hidup dalam tradisi Minangkabau dengan ungkapan yang sangat terkenal, “Adat basandi syara',

syara' basandi kitabullah, syara' mangato, adat memakan." Dari ungkapan

ini jelas bahwa adatdan agama merupakan dua hal yang sangat dominan di

269Hamka, Tafsir Al-Azhar, 5-7. 270Rusydi, Pribadi dan Martabat, 26.

kalangan Suku Minangkabau. Menurut Mohammad Damami kondisi ini membentuk sebuah tradisi yang sangat khas pada masa itu. Ia mengatakan:

Sebagai sampingannya, siapa yang memegang kewenangan adat, seperti adat ninik-mamak misalnya, menjadi memiliki posisi sosial yang tinggi. Demikian juga siapa orang yang berhasil 'alim dalam bidang agama, atau boleh juga ulama, maka dia juga akan memiliki status sosial yang tinggi juga dalam masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, ulama menjadi bagian dari kelompok elitik di kalangan Suku Minangkabau".271

Hamka tampaknya menyadari latar belakang dan status sosial yang telah disandang oleh ayahnya yang juga rupanya melekat pula ke dalam dirinya. Karena itu sebagai seorang ulama, Hamka berbeda dalam cara dan pendekatan keagamaannya. Bahkan ia tampil dengan kekhasan yang telah dibangunnya sendiri. Dalam perjalanan karir keulamaannya, ia pernah terlibat dalam kontroversi serius dengan Muhammadiyah, organisasi yang sudah ia abdikan sebagian usia mudanya. Dengan keras Hamka mengkritik apa yang dipandangnya sebagai kedangkalan wawasan Muhammadiyah.272 Munculnya kontroversi itu mengindikasikan bahwa Hamka adalah seorang ulama yang "independent-mindedness", seorang ulama yang berjiwa besar.273

Hamka adalah seorang yang sangat mantap kepada diri sendiri dan yakin kepada jalan hidup yang telah dipilihnya. Sesungguhnya jiwa kepeloporan, pembaharuan dan inovasi yang telah merasuki dirinya sejak masa muda sampai saat usia senjanya adalah pancaran dari kemantapan dan keyakinan pada diri sendiri tersebut. Hamka memang putera seorang ulama pelopor dan pembaharu (mujaddid, reformer), yaitu Dr. Abdul Karim Amrullah, tetapi kepeloporan dan pembaharuan Hamka adalah khas ia sendiri dan merupakan produk pencaharian dan mujahadah ia sendiri.274

Ketika perkembangan politik di Indonesia semakin buruk Hamka sebagai masyarakat dan ulama tak luput dari berbagi hasutan. Dia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Soekarno dan atas tuduhan tersebut ia ditangkap dan dijebloskan ke dalam

271Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000), 79.

272Taufik Abdullah, "Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam

Kontemporer" dalam Mark R. Woodward (editor), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), 79.

273Nurcholish Madjid, "Hamka Profil Seorang Ulama Berjiwa Independen", dalam

Solichin Salam, Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,

1978-1979) 253.

penjara.275 Tapi rupanya penjara ini memberikan hikmah tersendiri bagi Hamka. Seperti dikatakan Islamisis Belanda, Karel Steenbrink, kehidupan Hamka dalam penjara merupakan periode 'a time of grace', waktu yang berkah. "Because now he had the time to write a full commentary of the

Qur'an", demikian komentar Karel. Komentar Karel ini sangat tepat, karena

Hamka sendiri dalam

Tafsir Al-Azhar-nya membeberkan pengalaman di penjara sebagai berikut: “..Tetapi di samping hati mereka yang telah puas, Allah telah melengkapi apa yang disabdakan-Nya di dalam surat at-Tagabun ayat 11. Yaitu bahwa segala musibah yang menimpa diri manusia adalah dengan izin Allah belaka. Asal manusia beriman teguh kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya. Allah rupanya menghendaki agar terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Al-Qur’anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan ayah ini tidak akan selesai sampai saya mati. Masa dua tahun telah saya pergunakan sebaik-baiknya. Maka dengan petunjuk dan hidayat Allah Yang Maha Kuasa, beberapa hari sebelum saya dipindahkan ke dalam tahanan rumah, penafsiran Al-Qur’an 30 juzu' telah selesai. Dan semasa dalam tahanan rumah dua bulan lebih saya pergunakan pula buat menyisip mana yang masih kekurangan”.276

Pengalaman dalam penjara ini rupanya sangat berkesan bagi Hamka, dan kesan itu dapat dirasakan ketika dia menafsirkan ayat: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al-Insyirah/94:5-6). Hamka menerangkan sebagai berikut:

Kesulitan selalu beserta kemudahan, yang sulit saja tidak ada. Dan yang mudah saja pun tidak ada. Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah, itulah perjuangan hidup. Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, pikiran mencari jalan keluar. Ternyata kesulitan adalah kejayaan dan keberuntungan yang tiada taranya.277

Hamka sendiri tidak merasa dendam kepada orang-orang yang telah melakukan fitnah yang menyebabkan ia harus mendekam dalam penjara. Ia menulis: "Adapun kepada mereka itu yang telah menyusun fitnah itu, atau

275Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, 50.

276Sulaiman Al-Kumayi, 99 Q (Kecerdasaan 99): Cara Meraih kemenangan dan

Ketenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Nama Allah, Buku Kedua, (Jakarta: Hikmah, 2003),

171-172.

yang telah menumpangkan hasadnya dalam fitnah orang lain, setinggi-tinggi yang dapat ayah berikan hanya maaf saja”.278

Di lain pihak, selama penahanan ini, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka juga mendapat kesempatan di malam hari untuk shalat tahajud, mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 100 kali. la juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits Rasulullah, tarikh pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama, jalan akhirat ia pelajari dan resapkan.279 Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.

Selesai dari tahanan, tahun 1975 Hamka diminta menjadi Ketua Umum MUI. Pengangkatannya sebagai Ketua Umum MUI ini oleh Nurcholish Madjid adalah sebagai bukti dari jiwa independen Hamka. Sebab MUI sendiri di masa itu sangat kontroversial baik dari gagasan maupun motif pembentukan organisasi itu. Sampai saat inipun sisa-sisa kontroversi itu masih terasa di masyarakat. Karena gagasan tentang lembaga itu erat berkaitan dengan kepentingan pemerintah. Maka tak dapat lagi dihindarkan adanya penilaian kurang positif kepada Hamka, malah sempat pula terdengar tuduhan kepadanya sebagai “oportunis”.280 Tetapi pada bulan Mei 1981 Hamka kemudian meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI akibat fatwanya berlawanan dengan kebijakan pemerintah terkait perayaan Natal ber-sama. Sebagai aktivis Muhammadiyah, Hamka kembali duduk sebagai penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.