PEMIKIRAN TASAWUF HAMKA
D. Nilai Tasawuf dan Filsafat dalam Tasawuf Modern
Akar dari nilai tasawuf modern dalam pemikiran Hamka dapat ditelusuri dari tulisan Hamka yang menjelaskan tentang sebuah lukisan tangan karya Rafael di gereja Vatikan. Lukisan itu menggambarkan plato sedang menunjukkan ke langit sebagai isyarat kepada alam yang dinginkan dan dicita-citakan manusia untuk mengetahui rahasianya. Kemudian, di sampingnya berdiri muridnya Aristoteles yang menujuk ke bumi yang mengisyaratkan bahwa hakikat dan hikmah itu ditelusuri dan ditemukan di
347Hakim, Hidup yang Islami, 89. 348Hamka, Tasawuf Modern, 16. 349Hamka, Falsafah Hidup,78.
bumi. Di dalam budi manusia yang mulia atau etika. Di sanalah terdapat cita-cita manusia yang ingin mengetahui hakikat nilai bahagia.350
Secara umum, nilai bagi Hamka adalah ukuran dari kebaikan dan kebenaran dari sesuatu sikap, barang, atau apa saja, di mana sesuatu itu berpotensi semakin mendekatkan jiwa kepada tuhan. Sedangkan yang tidak bernilai adalah ukuran ketidakbaikan dan ketidakbenaran dari sesuatu di mana sesuatu itu berpotensi untuk menjauhkan jiwa dari tuhan.
Ia menjelaskan tentang penilaiannya terhadap aliran materialisme sebagai sikap hidup. Dapat disimpulkan bahwa Hamka memiliki penilaian yang negatif terhadap aliran ini atau disebut kurang bernilai. Menurutnya, materialisme praktis hanya mengajarkan kepada manusia bahwa hidup hanya untuk mencari kesenangan jasmani semata. Di mana hal ini didasarkan hanya kepada pertimbangan akal semata dan demikian juga pertimbangannya dalam menentukan sikap hidupnya.351
Terhadap pandangan materialisme, ia mengatakan: “Bukan yang ada itu tidak ada, melainkan merekalah yang tidak bertemu, karena kurang berani atau karena pikiran tidak merdeka, karena diikat oleh yang terbiasa, walaupun golongan ini kadang-kadang menamai dirinya golongan yang berfikir merdeka.”352 Inilah alasan kuat Hamka mengkritik materialisme.
Dari ucapannya tersebut dapat disimpulkan bahwa Hamka adalah sosok yang sangat dipengaruhi oleh budayanya sendiri dalam menentukan satu sikap dan memberi penilaian, untuk menolaknya atau menerimanya lalu menunjukkannya dalam kehidupannya. Terbukti dari sikap Hamka yang masih di usia relatif muda sudah meninggalkan kampung kelahirannya, pergi merantau ke negeri-negeri yang menurutnya dapat memberikan kebebasan berfikir, bergerak, dan berkembang bagi jiwa dan pemikirannya. Dalam hal ini, di antara daerah yang pernah dikunjunginya termasuk Medan bahkan ia sempat berguru kepada ulama tiga serangkai. Di antaranya, Zainal Arifin Abbas untuk mendalami ilmu tafsir Al-Qur’an. Hanya saja, penulis tidak menemukan referensi yang menjelaskan secara detail seberapa besar pengaruh pengalaman merantaunya dalam membentuk pemikiran dan gagasan Hamka, khususnya tentang nilai.353
350Hamka, Falsafah Hidup, 13. 351Hamka, Falsafah Hidup, 16. 352Hamka, Falsafah Hidup, 10.
353Muhammad Abdullah Asy-Syarqawi, Sufisme dan Akal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 107.
Salah satu nilai filsafat menurut Hamka adalah pada pembentukan jiwa. Kebebasan berfikir sehingga menghasilkan manusia yang tidak hanya memikirkan konsumsi perutnya saja hari ini, tetapi juga mampu memikirkan kebutuhan umat manusia yang akan datang. Tentunya ini semua mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dalam perjalanan sejarah panjang anak manusia. Besarnya nilai filsafat di tengah-tengah suatu bangsa di tentukan oleh kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa tersebut. Sejauh mana pemerintahnya mampu memberikan jaminan kebebasan, keamanan, dan peningkatan taraf hidup. Setinggi itu pulalah apresiasi anak bangsa terhadap filsafat, dan selanjutnya berefek pada kemajuan cara berfikir dan pencapaian mereka di berbagai bidang nilai kebahagiaan.354
Dalam perspektif Islam, kebahagiaan dibahas secara luas baik teoritis maupun praktis dalam kajian filsafat dan tasawuf. Penekanan pembahasannya adalah bagaimana upaya mencapai kebahagiaan sebagai tingkat kepuasan atau kelezatan tertinggi. Hamka sendiri merumuskan bahwa kebahagiaan adalah harapan dan tujuan setiap orang. Ini sejalan dengan perspektif filsafat, bahwa kebahagiaan menjadi puncak pencapaian moral atau akhlak.
Pada tataran teoritis dan praktis, filsuf berbeda dengan sufi dalam melihat kebahagiaan. Secara umum, filsuf meletakkan pencapaian kebahagiaan pada kemampuan oleh nalar (akal). Sementara sufi meletakkannya pada penajaman dan penyucian hati (zawq). Pandangan filsuf dipelopori oleh Al-Farabi, yang melihat bahwa capaian tertinggi manusia adalah ketika manusia telah sanggup menerima limpahan ilmu dari akal aktif (al-‘aql al-fa’’al). Sementara sufi, di antaranya diwakili oleh Al-Ghazali berpandangan bahwa kebahagiaan didapat jika hati manusia telah sanggup untuk melintasi tabir (hijab) yang menghalangi penglihatan mata batinnya untuk melihat rahasia-rahasia maha ghaib, Allah Swt. Hal ini disebut oleh Al-Ghazali sebagai ma’rifatullah.355
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa filsafat dan tasawuf menempuh jalan berbeda dalam mencapai kebahagiaan, meskipun perbedaan itu tidak terlalu ekstrim. Alasannya adalah jalan yang ditempuh filsafat dan tasawuf sama memerlukan metode yang memiliki titik temu. Jalan filsafat secara relatif memerlukan zawq sebaliknya jalan tasawuf membutuhkan pula penajaman atau penyucian.356
354M. Yaniyullah Delta Auliya, Melejitkan Kecerdasan Otak dan Hati Menurut
Petunjuk Alquran dan Neurologi, (Jakarta: Srigunting, 2005), 105.
355Javad Nur Bakhsy, “Tasawuf dan Psikoanalisa Konsep Iradah dan Transferisasi dalam Psikologi Sufi,” Jurnal Ulumul Quran, 1991, 14.
Meskipun peran akal paling menentukan, tetapi menurut Hamka, semata-mata menggantungkan usaha kepada akal, tidak akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan yang paripurna. Ia mengatakan:
Pekerjaan akal yang paling berat ialah membedakan mana yang buruk dan mana yang baik, serta memahamkan barang sesuatu. Tetapi dengan akal saja belum pula cukup untuk mencapai bahagia, karena akal akan berhenti perjalanannya sampai di situ. Adapun yang menjadi perantaraan antara akal dengan bahagia, ialah iradah (kemauan). Walaupun akal sudah lanjut dan tinggi, kalau tidak ada iradah untuk mencapai bahagia, bahagia itu tidak akan tercapai.”357
Menurut Hamka, salah satu nilai akal terletak pada fungsinya sebagai alat penjaga, penyeimbang, dan penguasaan diri manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Baik karena diukurnya perbuatan itu baik dan layak dilakukan, atau meninggalkannya karena menurut akalnya perbuatan itu tidak manusiawi dilakukan. Jadi, meskipun suatu perbuatan itu diinginkan oleh nafsu manusia atau dengan kata lain ‘nikmat’ untuk badannya. Tetapi ketika hal itu tidak dapat persetujuan dari akalnya, maka orang tersebut tidak akan mau melakukan perbuatan atau panggilan nafsu tersebut.358
Dalam hal ini penulis menyimpulkan betapa nilai-nilai prinsipil sangat melekat dalam filsafat Hamka. Di mana akal manusia tetap pada nilai prinsipilnya, yaitu bernilai baik dan benar. Inilah sebenarnya yang menjadi nilai sentral, menjadi fokus perhatian Hamka. Hamka memposisikan akal sehat manusia sebagai pusat dan poros penentu nilai dalam diri manusia. Jika akal sehatnya berkembang dan terasah dengan baik, maka akan muncul darinya nilai-nilai baik dan pada akhirnya membuat sikap hidupnya menjadi bernilai. Jika tidak demikian, maka sikap dan perilaku hidupnya cenderung jauh dari bernilai baik.359
Maka jika akal seseorang bernilai karena telah dididik dan diasah dengan benar. Hal ini akan melahirkan manusia-manusia yang beretika, bermoral dan berahlak mulia sesuai dengan tuntutan akal. Di mana akal juga selalu sejalan dengan tuntutan agama. Meskipun ada ajaran agama yang masuk pada ranah
357Haidar Putra Daulay, Qolbu Salim Jalan Menuju Pencerahan Ruhaniah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 67.
358Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah dan Amiruddin, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), 88.
359William C Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spritual Jalaluddin
Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Ahmad Nidjam, (Yogyakarta: Qalam, 2001), lihat juga
William C Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Hermeneutika Alquran ibn Arab, terj. Ahmad Nidjam dkk, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 90.
yang tidak mampu dipikirkan oleh akal manusia, tapi bukan berarti tidak masuk akal atau tidak sesuai dengan akal sehat. 360
Hamka dikenal oleh banyak peneliti sebagai orang yang modern dan moderat; menerima suatu perubahan, selama itu dinilai logis menurut logika yang sehat dan lurus. Serta cenderung seimbang dalam mengukur sisi duniawi dan ukhrawinya. Hamka juga orang yang memiliki komitmen terhadap suatu gagasan perubahan yang dicetuskannya. Sebagai contoh, penafsirannya ini sangat berbeda dengan apa yang dituliskan oleh para ulama sebelumnya yang sudah tentu telah dibaca Hamka dalam kitab klasik. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan akal dan logika manusia., penemuan para ilmuwan yang juga mengatakan bahwa sebelum adam telah ada manusia-manusia purba, yang menurut Hamka lebih logis dan membuatnya berani menafsirkan Al-Qur’an dan mengatakan bahwa adam bukan manusia pertama.361
Bagi Hamka akal seharusnya mampu menghindarkan orang dari perbuatan mengambil barang milik atau harta yang bukan haknya. Seseorang juga tidak akan mendekati lawan jenisnya jika akalnya benar-benar terbimbing dan menguasai dirinya. Karena menurut Hamka pertimbangan akal, pasti perbuatan tersebut akan menurunkan martabat dan harga dirinya. Orang yang mendengar pertimbangan akal akan khawatir jika sampai rasa malunya hilang atau memudar. Karena orang yang tidak punya malu untuk melakukan pelanggaran dan perbuatan amoral hanyalah orang yang lemah akal, nafsu kuat, tuli telinga dari seruan mendengar batin dan akalnya. Itulah sebabnya dia mudah terperosok dan tahan menanggung malu.362
Sementara itu pandangan Hamka terhadap nilai dalam filsafat pragmatisme atau soal kebenaran dan kegunaan terdari dari dua hal idealis dan praktis. Kebenaran praktis itulah yang kemudian disebut pragmatisme. Ajaran Islam dapat ditelusuri mengandung kebenaran (kegunaan) idealis maupun praktis. Menurut Hamka, jangan dikira bahwa orang yang berilmu atau kaya ilmu secara otomatis menjadi kaya harta, karena ilmu tidak berhubungan langsung dengan materi. Hal yang sama juga dapat dilihat pada shalat. Orang yang rajin shalat atau kaya ibadah tidak secara otomatis menjadi kaya harta. Jadi, nilai ilmu tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah harta.363
360Hamka, Kenang-kenangan Hidup, 432. 361Hamka, Kenang-kenangan Hidup, 435. 362Hamka, Lembaga Budi, 78.
Menurut Hamka, salah satu faktor yang memunculkan atau mengembangkan pragmatisme di indonesia adalah adanya ajaran atau prinsip “asas manfaat” yang ditanamkan oleh rezim Suharto selama 32 tahun kepemimpinannya. Di mana pemerintah pada waktu itu menetapkan asas manfaat sebagai prinsip dasar ekonomi, dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.364
Bagi Hamka sendiri, prinsip nilai ditentukan oleh agama, di mana koridor agama sangat selaras dengan nila-nilai kemanusiaan yang universal. Misalnya, dalam kasus menikah dengan orang yang berbeda agama. Bagi penganut pragmatisme, menikah dengan orang yang berlainan agama tidak menimbulkan masalah atau disebut tetap bernilai. Selama kepentingan-kepentingan pragmatis dapat dipenuhi dalam pernikahan tersebut seperti kebutuhan materialis dan fisik. Hal ini didasarkan pada prinsip hidup mereka yang tidak mempermasalahkan nilai-nilai hidup yang harus dibangun dalam sebuah kehidupan berumah tangga. Terlebih lagi nilai-nilai yang harus terkandung dalam pendidikan jiwa anak.365
Untuk itu nilai ilmu bagi Hamka, tidak berarti sekedar memperkaya dirinya dengan ilmu. Tetapi lebih dari itu, ia memandang ilmu yang tidak diperluas jaringannya dan targetnya dalam bentuk perjuangan aktivisme atau pergerakan. Di mana perjuangan itu bertujuan untuk mengenalkan dan memberitahu kepada yang tidak tahu tentang nilai-nilai kebenaran, ilmu pengetahuan. Maka ilmu yang tidak digunakan untuk mencerahkan kehidupan kemanusia cenderung tidak bernilai, termasuk ilmu yang sekedar ditransfer an sich. Tanpa target untuk membenahi kehidupan masyarakat. Ilmu yang bernilai adalah yang memberi arti buat kemanusiaan dan kehidupan. Dalam ungkapan Hamka, “ilmu yang bernilai yang terus berkembang dalam dunia perjuangan dan pergerakan.”366
Selanjutnya Hamka menyatakan pula bahwa kebahagiaan sejati (hidup yang bernilai) diperoleh dengan hidup bermasyarakat, tidak dengan mengasingkan diri (uzlah,), hal itu lebih sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Karena menurutnya, meskipun dalam keramaian, orang yang berakal akan senantiasa menyediakan waktu bagi jiwa dan akalnya untuk tafakkur, merenung, dan menemukan rahasia dan hikmah.367
364Danah SQ Zohar, Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berpikir
Integralistik dan Holistik Untuk Memahami Kehidupan, terj. Rahmani Astuti dkk, (Bandung:
Mizan, 2002), 135.
365Hamka, Pelajaran Agama Islam, 21. 366Hamka, Muqaddiadh, 45.
Sehingga nilai-nilai kebenaran akan lebih mudah ditemukan, dikenali, difahami, lalu mempengaruhi secara positif segala aspek kehidupan manusia. Semuanya hanya bisa dicapai melalui upaya kolektif, tidak dengan perilaku perseorangan atau individualis. Sebagaimana seruan Al-Qur’an yang menyuruh umat muslim mencari kebenaran, Al-Qur’an menyatakan bahwa sifat-sifat yang demikian adalah lebih utama: “Orang yang mendengar kata nasehat lalu mereka ikuti mana yang lebih baik” (Q.S. Az-Zumar: 18), sebab “Kebenaran itu adalah dari Allah” (Q.S. Al-Baqarah: 147).
Artinya, semua ahli hikmat filsuf sedunia mencari kebenaran. Lantas, masing-masing pun mencari kebenaran tersebut dan mendapatkannya dalam porsi yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan besar dan melimpahnya pengetahuan kebenaran yang ingin dicapai. Serta tidak akan cukup waktu untuk menghimpunnya dibandingkan dengan pendeknya umur manusia, sebab pengetahuan itu meliputi langit dan bumi, yang panjangnya tiada ujung dan luasnya tiada tepi.368 Selanjutnya, nilai kebenaran yang sedikit dicapai oleh filsuf ini akan bertemu dan saling melengkapi hingga memperluas pengetahuan dan pencapaian manusia tentang kebenaran.
125