• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjaga Akal dan Qalbu

KONSTUKSI KEBAHAGIAAN HAMKA

3. Menjaga Akal dan Qalbu

Akal dan jiwa (qalbu) memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah kehidupan manusia di dunia, yang juga akan memberikan pengaruh pada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, tidaklah heran jika akal dan hati dijelaskan dengan berbagai penjelasan.522

Menurut Hamka kata akal adalah sebuah kata kerja yang terdapat di dalam Al-Qur’an untuk proses pemikiran, pemahaman, dan penganalisisan, yang bersifat untuk merenungkan, memahami, memikirkan suatu benda atau sebuah kejadian. Akal juga sebagai perantaraan untuk menganalisis sebuah benda yang tak jauh berbeda dengan mata yang fungsi hanya sebagai sarana perantaraan penglihatan dan telinga yang sifatnya juga sebagai perantaraan pendengaran.523

Satu hal yang menarik perhatian penulis adalah, Hamka menjelaskan kata “aqala” dalam berbagai derivasinya tidak pernah didapatkan dalam bentuk isim atau benda. Dari 49 kata akal yang ada di dalam Al-Qur’an, semua berbentuk fi'il mudhari dan hanya satu berbentuk fi'il madhi yaitu pada QS. Al-Baqarah/2:75.

Artinya: Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman

521Hamka, Islam, Revolusi dan Ideologi, 173.

522Sujana WS, The Power of Heart (Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2014), 8. 523Hamka, Tafsir al-Azhar, 171.

Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (QS. Al-Baqarah/2:75)

Berbeda dengan pengertian akal, terdapat 168 kata “qalbu” dalam Alquran dengan berbagai variasinya, sebagian kata dalam bentuk fi'il dan

isim (isim mufrad, masdar, fa'il, maf ul, jama' taksir dan lain-lain). Dalam

kitab Tafsir Al-Azhar-nya Hamka menjelaskan makna dari kata “qalbu” yaitu mempunyai dua makna, pertama hati sebagai bagian badan manusia yang terletak di dalam kurungan dada manusia. Itulah hati sebagai benda atau bagian tubuh. Kedua, yaitu kadang berarti akal kadang berarti perasaan halus, bisa juga disebut rasa hati, hati kecil atau hati sanubari serta hati nurani.524

Dalam hal melakukan pemikiran, Hamka sepakat bahwa proses untuk berpikir itu dilakukan oleh akal, namun untuk menentukan hasil dari proses pemikiran itu adalah hati. Hal yang serupa juga ditafsirkan oleh Abi Su'ud dalam kitab Tafsir Abi Su'ūd menyatakan bahwa sifat dan kegunaan dari hati itu banyak di antaranya adalah untuk memahami, berpikir tentang hal-hal yang benar.525

Muhammad Abduh seorang ulama dari Mesir memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap akal. Beliau menyatakan bahwa kedudukan akal seseorang sama dengan kedudukan nabi pada suatu umat. Akal adalah sendi dari kehidupan. Akal juga salah satu pembeda antara sesama manusia. Selain akal, amal dan pengetahuan juga sebagai pembeda antara manusia dan wadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dari rasa keraguan.526

Fahrur Ar-Räzi juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui dan bisa menentukan segalanya, sehingga wahyu tidak diperlukan lagi. Al-Răzī juga menolak kenabian dengan tiga alasan berikut:

a. Akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.

b. Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.

524Hamka, Tafsir al-Azhar, 169.

525Abī Su'ūd Muhammad al-'Umari, Tafsir Abi Su id (Beirut-Libanon, 1990), 295. 526Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986) 97.

c. Ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan. Baginya, tidaklah masuk akal rasul-rasul itu dikirim Tuhan, karena mereka membawa kekacauan di dunia dan rasa benci serta permusuhan di kalangan bangsa-bangsa.527

Dalam membahas fungsi akal dan kalbu untuk memahami sesuatu, Al-Razi secara khusus menafsirkan QS. Al-Syu'arā'/26:193-196. Al-Rāzī menyatakan bahwa qalbulah yang pada hakekatnya mendapat khithāb Al-Qur’an, karena di sanalah tempat manusia bisa mengetahui dan membedakan sesuatu. Argumen tersebut, menurutnya, didasarkan alas dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan pikiran rasional.528

b. Fungsi akal dan jiwa (qalbu) dalam kehidupan

Akal dan qalbu adalah organ tubuh manusia yang mempunyai sistem kerja yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, Hamka menyatakan bahwa proses berpikir adalah perbuatan yang dilakukan oleh akal namun untuk menentukan hasil pemikiran tersebut adalah qalbu, jadi, rusaknya akal akan membuat orang tidak bisa berpikir dengan proses yang benar, begitu juga sebaliknya, qalbu yang rusak juga akan menentukan perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang oleh agama Islam.

Begitu penting akal dan qalbu sebagai alat pemikir dan penentu dari pola kehidupan seseorang. Ia yang mengarahkan seseorang kepada jalan yang benar dan salah, banyaknya orang yang melakukan perbuatan jahat, seperti judi, minum khamar, korupsi dan nepotisme, dan lainya, semua tidak terlepas dari pikiran dan hati mereka yang rusak dan kotor. Hati yang jernih dan hati yang bersih akan membawa insan kejalan yang benar dan lebih baik. Seperti yang telah di jelaskan dalam hadis Nabi saw., diriwayatkan Bukhari-Muslim disebutkan:

Dari An Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu

'alaihi wa sallam bersabda. “Ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpal

darah, apabila baik akan buik seluruh tubuh dan apabila rusak, rusaklah seluruhnya, itulah dia hati.529 (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

527Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), 103-104.

528Imäm Muhammad al-Razi Fakhr al-Din, Tafsir ul-Fakhr al-Răzi al-Musytahir bi

alafsir al-Kabir wa Mufātih al-Ghaib juz XXIV (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 167.

529Al-Imam Häfiz Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ismäil Bukhari, Sahih

al-Bukhärī. (Yordan: Bait al-Afkärad-Dauliyah, 1998), 227. 34. Kitab al-Buyü', 2. Bab al-Halal Baiyinu Haramu Baiyimu wa Bainahuma Musytabihat, No. hadis 2051.

Hadis tersebut menjelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah yang membawa bisa manusia kejalan yang baik dan benar serta juga bisa ke jalan salah dan hina, oleh karenanya menjaganya kejalan yang baik dan benar adalah tanggungjawab sang pemilik.

Akal pada masa pra-Islam, menurut Izutsu bermakna “kecerdasan praktis” yang ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi yang berubah-ubah. Hal ini berhubungan dengan psikologi modern yang disebut kemampuan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang yang memiliki akal pada masa itu adalah orang vang dalam situasi tak terduga seperti apapun, dapat menemukan cara-cara memecahkan masalah dan menemukan jalan keluar. Kecerdasan praktis bentuk ini sangat dikagumi dan dihargai oleh orang-orang Arab pra-Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena kalau tidak demikian tentu mustahil hidup dengan aman di alam gurun pasir.530

Orang-orang berakal dalam Al-Qur’an bukanlah orang-orang yang mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi, tetapi orang-orang yang bisa memahami ayat-ayat Allah. Baik ayat-ayat qauliyah yang berbentuk teks wahyu maupun ayat-ayat kauniyah (alam semesta), sebagai anugerah besar yang bersumber dari Dzat Yang Esa dan Kuasa. Oleh karena itulah mempercayai adanya kekuasaan selain Allah dan mengikutinya, maka disebut sebagai orang-orang yang tidak berakal dan tidak bisa memahami.531

Kaum munafik dan kafir bukanlah orang-orang yang tidak mempunyai kecerdasan intelijensi. Mereka secara lahir adalah kelompok orang-orang cerdas dan mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat. Ini terlihat ketika orang-orang kafir berusaha menolak kebenaran apa yang disampaikan Muhammad Saw., mereka mengutarakan alasan-alasan logis yang berangkat dari pengalaman hidup mereka. Akan tetapi karena mereka tidak mampu memahami kekuasaan Allah dan mempercayai-Nya, maka mereka dianggap tidak bisa menggunakan potensi akalnya. Lebih dari itu, ketidakmampuan mengunakan potensi akal tersebut kemudian menjadikan mereka menempati kedudukan yang lebih rendah daripada binatang.532

Seperti pada penjelasan Hamka yang sudah lewat bahwa akal dalam Al-Qur’an tidak pernah muncul dalam bentuk isim (kata benda) tetapi selalu

530Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap

Alquran, Terj. Agus Fahri Husein, Suprianto Abdullah dan Amiruddin (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1997). 65.

531QS. Al-Baqarah/2:171 dan QS. Al-Anfal/8:65. 532QS. Al-A'raf/7:179. dan QS. Al-Anfal/8:22.

hadir sebagai fi'il (kata kerja).533 dengan bermacam bentuk derivasinya. Kata akal tersebut terdiri atas 49 kali kemunculannya, semuanya adalah fi'il

mudhāri' kecuali satu kali dalam QS. Al-Baqarah/2:75 berbentuk fi'il mādi'.

Bentuk mudhāri’ kata akal ini memberikan indikasi bahwa kegiatan berta

'aqqul adalah kegiatan yang berlangsung secara berulang-ulang.534 Setiap

fi'il dipastikan mempunyai fa'il yang secara umum berbentuk isim, baik itu

berupa isim zhāhir yang tampak jelas maupun isim dhämir yang tersimpan. Dalam kasus QS. Al-Hajj/22:46, fi'il mudhāri kata ya'qilün mempunyai fă'il ber-bentuk dhamir yang diperkirakan (taqdiruhu) adalah orang-orang kafir Mekah (kuffär makkah).535

Adapun kata qalbu menurut Hamka ada banyak yang berbentuk fi'il, akan tetapi sebagian besar berbentuk isim, dan inilah yang menjadi objek kajian di bagian ini. Bentuk isim pada kata qalbu ini menunjukkan sifat ketetapannya (tsubūt) serta kelangsungannya yang terus menerus (istimrar), yang menunjukkan sebuah substansi bukan hanya mood yang sesaat.536 Kata

qalbu dalam QS. Al-Hajj/22:46 berbentuk isim jama' dan disebut sebanyak

dua kali. Pertama dalam bentuk nakīrah dan kedua berbentuk ma'rifah. Dalam kaidah tafsir, apabila ada satu isim disebut dua kali daļam satu ayat di mana yang pertama berbentuk nakīrah dan kedua berbentuk ma'rifah maka dapat dipastikan kandungan yang kedua adalah sama dengan yang pertama.537 Selain itu, qalbu dalam ayat tersebut, mempunyai posisi sebagai

533Lafadz fi'il oleh ulama bahasa menunjukkan arti tajaddud (timbul tenggelam) dan dibatasi waktu/temporal (tagyīd bi al-waqt/hudüts). Ini berbeda dengan lafadz isim yang mempunyai dilalah tsubüt (tetap) dan istimrār/dawām (kontinuitas/abadi) Lihat: ‘Abd al-Rahman Al-Akhdarf, Tagrirāt al-Jauhar al-Maknūn fi Tsalāstah Funun, (Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi'in, tth.), 46-47, Lihat juga: Jalāl Din Suyüthi, itqān fi Ulüm

al-Qur 'ăn, (Dar al-Kitab al'Arabi, 1999), juz I, 586.

534Berbeda dengan fi'il mudhari, fi'il mådhi menunjukkan sebuah perbuatan yang timbul tenggelam, terkadang ada dan terkadang juga tidak. Lihat: Mohammad Nor Ichwan,

Memahami Bahasa Alquran Refleksi atas Persoalan Linguistik, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), 70.

535Jalal al-Din al-Suyüthi dan Jalāl al-Din al-Mahalli, Tafsir al-Qur'an al-Karim li

al-imamain al-Jalalain, (Semarang: Toha Putra, t.th.), 279.

536Ichwan, Memahami Bahasa al-Quran, 66. Pendapat yang mengatakan bahwa isim mempunyai dilālah tsubūt (tetap) ditentang oleh Ibn 'Amirah dalam kitab al-Tamwihät 'ala

al- Tibyān. Dia nengatakan pendapat seperti itu adalah gharib dan tidak punya dasar, karena isim hanya menunjukkan maknanya sendiri saja. Lihat: Jalal al-Din al-Suyuti, Shahih Muslim, (Reinit: Dar al-kutub al-llmiyyah, 1995), Juz I, 588.

537Ada sebuah kaidah tafsir, apabila ada pengulangan isim yang kedua-duanya adalah ma'rifah maka isim yang kedua hakekatnya adalah isim pertama. Apabila keduanya

nakīrah, maka yang kedua bukanlah yang pertama. Apabila yang pertama ma'rifah dan

kedua nakirah maka yang kedua sama dengan yang pertama. Bila yang pertama ma'rifah dan yang kedua nakirah maka kaidah yang berlaku tergantung pada qarinah-nya. Kaidah semacam ini oleh Baha’ al-Din. dalam ‘Arūs al-Afrah, dianggap tidak semuanya tepat,

alat yang dipakai făil untuk berta'aqqul, yakni sebagai isim yang ditunjuk oleh dhamir muttashil.

Hal di atas selaras dengan beberapa riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi dan para sahabatnya. Dalam beberapa hadis, Rasulullah Saw. selalu menyandarkan pengetahuan kepada qalbu. Beliau pernah mengatakan, “inna

al-ma'rifah fi'l al-qalb” (“sesungguhnya mengetahui adalah perbuatan qalbu”).538 Selain itu, dalam mendefinisikan keimanan Rasulullah bersabda, “al-īmān ma'rifah bi al-qalb wa gaul bi al-lisān wa "amal bi al-arkän” (iman adalah mengetähui dengan qalbu; mengucapkan dengan lisan, dan mengerjakan dengan anggota-anggota badan).539 Termasuk juga dalam hal ini adalah hadits dari hudzaifah yang sudah dibahas di atas. Di mana Rasulullah megungkapkan bahwa hati yang sudah tertutup tidak bisa mengetahui yang ma'ruf atau haq, dan tidak bisa mengingkari yang munkar (lā rūfa wa lā yunkitu munkara).540

Hubungan akal dan qalbu dalam Al-Qur’an dikatakan sebagai satu hubungan searah. Akal adalah bentuk aktifitas dari substansi qalbu. Adanya akal mengharuskan adanya qalbu, sedangkan ketiadaan akal tidak harus meniadakan keberadaan qalbu. Oleh karena itu , qalbu şebagai pembantu dari aktivitas berakal kemudian juga penentu segala perbuatan yang akan dilaku-kan seseorang akan berpengaruh dengan perbuatan yang dilakukan.

Qalbu yang baik akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang terpuji

sedangkan qalbu yang buruk akan melahirkan perbuatan-perbuatan tercela.541 Sebaliknya, perbuatan-perbuatan mulia akan membuat qalbu menjadi suci dan bersih, sedangkan perbuatan-perbuatan tercela akan

karena terdapat beberapa ayat yang tidak sesuai dengan kaidah tersebut. Akan tetapi kritik dari Syaikh Baha' al-Din itu ditanggapi oleh al-Suyuti bahwa pada ayat-ayat tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan kaidah di atas. Lihat: Ichwan, Memahami Bahasa

Alquran, 19-26 dan Jalal al-Din al-Suyan, al-ltaän fi Ulüm al-Qur 'än, Juz 1, 570-573.

538Muhammad bin Isma'il al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, versi CD: (al-Maktabah al- Syämilah, edisi II), juz I, 15.

539Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, 25. Dan Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Syu’b

al-Iman li al-Baihaqi, (Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, t,th), Juz I, 47.

540Muhammad bin ‘Abdillah Abu ‘Abdillah al-Häkim al-Naisābüri, al-Mustadrak

'ala al- Shahihain, (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990) juz IV, 515. Lihat juga: Muslim

bin al-Hajjāj Abü al-Husain al-Qusyairí al-Naisabūrī, Shahih Muslim, (Beirut: Dār al-kutub al-'llmiyyah 1995), juz I, 150-151, dan Abu 'Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal,

Musnād Ahmad bin Hanbal, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1998), Juz V, 386, 405.

541Muslim bin al-Hajjaj Abü al-Husain al-Qusyairi al-Naisābūrī, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-kutub al-'Ilmiyyah, 1995), 23.

membuat qalbu menjadi semakin kotor. Bersih dan kotornya qalbu itu kemudian akan berpengaruh terhadap potensi berpikir bagi manusia.542

c. Tahapan menjaga kesehatan akal dan jiwa

Hamka memandang bahwa kesehatan jiwa dan badan harus bersinergi secara simbiotik, padu, dan utuh. Karena itu menurutnya tidak mungkin hanya memperhatikan kesehatan jiwa dan melupakan kesehatan badan, begitupun sebaliknya. Tentang ini Hamka berkata:

Kalau jiwa sehat, dengan sendirinya memancarlah bayangan kese-hatan kepada mata, dari sana memancar nur yang gemilang, timbul dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan badan, membukakan fikiran, mencerdasarkan akal, menyebabkan juga kebersihan jiwa. Kalau jiwa sakit, misalnya ditimpa penyakit marah, penyakit duka, penyakit kesal, terus dia membayangkan kepada badan kasar, mata merah, tubuh gemetar. Kalau badan ditimpa sakit, jiwa pun turut merasakan, fikiran tidak berjalan lagi, akal pun tumpul. Jiwa yang sehat (jiwa yang utama) membutuhkan hal-hal yang utama pula, misalnya mencari ilmu dan hikmah (kearifan), dan segala upaya yang bertujuan membersihkan diri (jiwa).”543

Puncak kesehatan jiwa adalah tercapainya jiwa utama, dan men-cari ilmu dan hikmat dan segala jalan untuk menjaga diri.544 Untuk mencapai puncak kesehatan jiwa menurut Hamka perlu memperhatikan empat hal pokok:

a. Bergaul dengan orang-orang berbudi (intelek)

Menurut Hamka, interaksi seseorang dengan orang lain atau masyarakatnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan dan pemikirannya. Bahkan dapat mempengaruhi ideologi dan keyakinannya.545 Oleh karena itu, agar perkembangan jiwa berjalan ke arah kesempurnaan, maka hendaklah berinteraksi dengan orang-orang yang berbudi (intelek),

542QS. Al-Mutaffifin/83:14. QS. An-Nisă/4:155, QS. Al-Jātsiyah/45:23, QS. Yunus/10:74. QS Al-Baqarah/2:7. Lihat juga: hadits dari Abu Hurairah (Muhammad bin 'Isä Abū ‘Isa Tirmidzi, Jāmi’ Shahih Sunan Tirmidzi, (Beirut: Dar Kutub al-‘llmiyah, 1987), Juz V, 404. Dan Hadits dari Hudzaifah (Muslim bin al-Hajjaj Abü al-Husain al-Qusyairi al-Naisābūrī, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-kutub al-'Ilmiyyah, 1995), Juz I, 150-151.

543Hadits dari Abu Hurairah (al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, Juz V, 105.

544Muhammad Utsman Najati, Jiwa Manusia dalam Sorotan Al-Qur’an, Terj. Ibn Ibrahim, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), 32.