• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus ke lima: Penanaman Nilai-Nilai untuk Meningkatkan Needs for Achievement

Deskripsi

Yayasan Penyelenggara Illahi melakukan pertemuan-pertemuan berkala untuk saling berbagi pengalaman dari setiap kelompok dampingan. Antara lain di Kebon Dalem dan Gunung Brintik. Ada penanaman nilai-nilai rasa kesetia-kawanan sosial terhadap masyarakat miskin yang terpinggirkan Sebuah contoh, istri tukang becak yang mengikuti kursus menjahit, dan anaknya mengikuti pendampingan belajar di daerah Kebon Dalem itu. Pada anak dampingan termasuk yang ada di Gunung Brintik, ada kegiatan menabung setiap pertemuan. Besarannya saat itu sekitar Rp 500,-. Untuk peserta kursus menjahit tidak ada tabungan. Ada Usaha Bersama Simpan Pinjam (USB Simpan Pinjam) dari bapak-bapak becak. Saat ini simpan-pinjam ini dikelola secara professional yang diberi nama “Kopdit Pelita Usaha” sebagai suatu usaha yang berada di Temanggung buka cabang di Semarang. Menurut “Sr.Yk” ketika penulis lakukan wawancara:

”…Pernah ada pengalaman pada pendampingan di daerah ini. Ada seorang anak dampingan yang nunggak bayar sekolah selama 5 bulan.Orang tuanya tidak memiliki uang untuk membayarnya.Uang tabungan bersama itu biasanya digunakan untuk kegiatan akhir tahun misalnya piknik atau

Kumpul Bocah di suatu tempat.Tetapi anak-anak waktu itu

mengusulkan …untuk membayar tunggakan saja suster…. dari situ sesungguhnya kita justru bisa belajar banyak dari anak-anak……(diceritakannya sambil berkaca-kaca)

Pada saat para suster membantu melaksanakan pendampingan, kegiatan sederhana itu berdampak langsung terhadap jumlah pengemis terutama pengemis anak-anak yang mangkal di depan gereja Randusari. Pada saat trianggulasi sumber telah jarang ditemui pengemis anak-anak di kawasan itu.

Pendampingan di Komunitas Gunung Brintik itu tidak memiliki kurikulum yang baku. Pendampingan dilakukan mengikuti

kegiatan yang dilaksanakan oleh anak di sekolahnya. Norma dan nilai-nilai sosial amat ditekankan di daerah dampingan itu. Maklum dari komunitas pekerja serabutan. Kata-kata kasar yang cenderung kotor, nama-nama binatang di kebun binatang sering terucap ketika suasana belajarnya diganggu temannya, atau terasa kurang berkenan di hati.

Ada pula intervensi NGO yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pak Hadi yang berprofesi sebagai penjual mainan anak-anak, mempunyai tiga orang anak dan ia adalah sosok pekerja keras. Sebelum bergabung dengan Koperasi, Pak Hadi pernah kekurangan modal untuk usaha, lalu meminjam ke perorangan dengan bunga pinjaman yang tinggi (sekitar 20%). Karena beban yang besar dan penghasilan yang serba pas-pasan akhirnya ia memutuskan untuk segera melunasi pinjamannya itu.

Kemudian ia beralih profesi dari penjual pakaian menjadi penjual mainan anak-anak dengan modal Rp. 70.000,-. Suatu ketika, saat dia berjualan, ada seorang anggota Koperasi yang mengajaknya untuk bergabung. Anggota tersebut menjelaskan supaya menabung dahulu semampunya, kemudian apabila dirasakan cukup, baru menjadi anggota Koperasi PU. Pak Hadi mengikuti anjuran tersebut. Setiap hari ia menyisihkan hasil jualannya dari Rp.1.000,-, Rp.2.000,- atau Rp.3.000,- Beberapa bulan kemudian ia bergabung dengan Koperasi "Pelita Usaha" dari uang hasil tabungannya. Satu bulan kemudian ia mengajukan pinjaman sebesar simpanan sahamnya. Setelah lunas ia mengajukan lagi untuk tambah modal usaha sekitar Rp.500.000,-.

Dalam jangka waktu tiga bulan ia sudah dapat melunasi. Untuk membantu memperlancar usahanya ia perlu kendaraan bermotor di samping tambahan modal usaha. Akhirnya ia dapat membeli sepeda motor dan tambahan modal dari Koperasi.

Ibu Hartini berprofesi sebagai penjual kue semprong. Usaha yang digelutinya sudah hampir tujuh tahun, pelanggannya bukan hanya dari Temanggung saja, tetapi juga sampai kota Semarang. Produksinya paling banyak adalah apabila ada pesanan atau di saat

hari-hari raya keagamaan. Modal awal sebesar Rp.500.000,- hanya cukup untuk sirkulasi dan untuk tambahan kebutuhan sehari-hari. Apabila ada pesanan dalam jumlah banyak dari pelanggan atau persediaan kue semprong di toko-toko tempat ia menitipkan kuenya masih belum laku, padahal modal sudah habis, maka mau meminjam ke tetangga ia sungkan atau malu, karena takut menjadi pembicaraan orang. Hal ini seringkali terjadi. Seorang kenalan menyarankannya untuk menjadi anggota Koperasi Pelita Usaha. Ia mengajukan permohonan pinjaman sebesar Rp. 2.000.000,- Dalam jangka waktu enam bulan pinjamannya lunas. Biaya produksi semakin mahal, ditambah lagi harga kemasan (stoples), untuk itu Ibu Har mematok harga kue semprongnya per kilo Rp.30.000,- atau per lima kilo Rp.150.000,-. Dari hasil penjualannya setiap bulan ia dapat menghasilkan Rp. 1.000.000,- sampai Rp.2.000.000,-. Saat ini Ibu Har sudah menerima modal tambahan lagi dari Koperasi untuk meningkatkan produksinya.

Analisis: Konsep Yang Dipakai/Teori Apa Yang Dipakai.

Perilaku proaktif yang memiliki kandungan Modal Sosial dapat dilihat melalui tindakan-tindakan dari yang paling sederhana sampai yang berdimensi dalam dan luas. Peserta kursus yang terbiasa proaktif untuk memungut sampah yang berserakan di ruangan, membersihkan lingkungan tempat kursus, melakukan insiatif untuk menjaga keamanan bersama, merupakan bentuk tindakan yang didalamnya terkandung semangat keaktifan dan keperdulian. Begitu pula dengan inisiatif untuk mengunjungi berbagi infomasi yang positif para anggota dan calon anggota koperasi. Mencari informasi yang dapat memperkaya ide, pengetahuan dan beragam bentuk inisiatif individu yang kemudian menjadi inisiatif kelompok, merupakan wujud proaktivitas yang bernuansa Modal Sosial.

Saat ini tidak ada lagi, atau sekurang-kurangnya, jarang ada peminta-minta yang nakal, misalnya membarut mobil. Sekarang mereka terlihat lebih sopan, meminta dengan meng-angguk. Tidak

sekedar meminta, tetapi mereka membawa lap dan sulak untuk membersihkan kaca depan mobil, dan membersihkan spion. Meminta dengan sopan-santun. Pendapatan mereka lebih besar dari sebelumnya. Penanaman nilai-nilai melalui pendampingan dapat meningkatkan

Needs for Achievement individu dan kelompok, yang pada akhirnya

dapat meningkatkan pendapatan mereka.

Paradigma yang biasa disebut sebagai intellectual commitment, adalah suatu citra fundamental pokok perma-salahan dari suatu iimu, yang lahir dari komunitas ilmuwan yang memakai, mengembangkan, dan mengelola, suatu bentuk pendekatan secara sungguh-sungguh. Mereka berfikir dengan acuan pemikiran yang sama, memakai asumsi-asumsi konseptuai teoritik fundamental yang sama pula, sehingga melahirkan cara berfikir paradigmatik. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipeiajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, bagaimana seharusnya suatu pernyataan dikemukakan, dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam penafsiran atas jawaban yang diperoleh. Paradigma dapat diibaratkan sebagai sebuah teropong untuk mengamati dunia luar, tempat bertolak untuk menjelajahi dunia wawasan (world-view). Paradigma secara umum diartikan sebagai perangkat keper-cayaan atau keyakinan yang mendasar, menuntun seseorang untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Soegito, H.A.T, (2013.) dalam bukunya yang berjudul Pergeseran Paradigmatik Manajemen Pendidikan menjelaskan:

“Paradigma pendidikan adalah pemikiran, persepsi,

kepercayaan, pandangan dan sikap mengenai pendidikan, sehingga menjadi pandangan hidup atau visi tertentu atau khas mengenai pendidikan, dan berikutnya bagaimana masyarakat yang bersangkutan mengorganisasikan sistem pendidikannya, bagaimana melaksanakannya, sehingga mayoritas pendidik terlibat dalam pelaksanaan sistem pendidikan tersebut, sedangkan tingkat ketercapaian dan keberhasilannya sesuai dengan keterpaduan, intensitas, dan kontinuitas pelaksanaan oleh para pendukung dan penganutnya” (Soegito, H.A.T, 2013.: 2)

Berbagai model pendidikan non formal seperti pendampingan yang dilakukan di Gunung Brintik dapat mengubah perilaku individu dan kelompok serta rekayasa sosial melalui pengaturan interaksi sosial di dalam komunitas yang berusaha untuk bertahan untuk hidup. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh NGO di Komunitas Makam Gunung Brintik dapat dilihat dampak yang ditimbulkan oleh

intervensi ini.

Pengaturan interaksi sosial di antara para anggota masyarakat tersebut dapat terjadi oleh karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu sama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial tertentu.

Parson melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara di mana tindakan sosial bisa diorganisasikan. Disamping terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yaitu sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. Masyarakat menurut Parson adalah sistem sosial yang dilihat secara total. Jika sistem sosial dilihat sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, seperti keluarga, sistem pendidikan, dan lembaga-lembaga keagamaan.

Pemikiran Talcott Parson (1966), yang kemudian dikenal dengan pendekatan Fungsionalisme Struktural, adanya anggapan, antara lain masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang mana bagian-bagian saling berhubungan satu sama lain, hubungan tersebut saling pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut dan bersifat ganda dan timbal balik;

Di dalam setiap sistem sosial atau masyarakat baik masyarakat yang maju atau modern maupun masyarakat yang bersahaja atau tradisional selalu memiliki sejumlah nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial yang digunakan sebagai patokan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial tersebut

diperlukan sebagai aturan hidup agar tercipta keteraturan sosial. Aturan hidup tersebut tidak selalu diwujudkan secara nyata, tetapi terdapat dorongan dalam diri manusia untuk melakukan atau untuk tidak melakukan hal-hal tertentu. Meskipun terlihat abstrak, tetapi dapat dirasakan manfaatnya, bahkan ada yang dapat dihayati secara mendalam dengan intensitas yang tinggi.

Nilai sosial adalah sejumlah sikap perasaan ataupun anggapan terhadap suatu hal mengenai baik-buruk, benar-salah, patut-tidak patut, mulia-hina, maupun penting-tidak penting. Pada kenyataannya, di dalam masyarakat, melahirkan adanya nilai individual, yaitu nilai-nilai yang dianut oleh individu sebagai orang-perorangan yang mungkin saja selaras dengan nilai-nilai yang dianut orang lain, tetapi dapat pula berbeda atau bahkan bertentangan. Sehingga nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat dinamakan sebagai nilai-nilai sosial.

Nilai sosial merupakan gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai tersebut. Nilai-nilai sebagai pengertian-pengertian tentang baik tidaknya perbuatan-perbuatan, dengan kata lain, nilai adalah hasil penilaian atau pertimbangan moral.

Kondisi-kondisi apa saja yang berpengaruh terhadap

over-coming-nya tersebut.

Adanya tindakan yang proaktif anggota Koperasi menunjukkan salah satu unsur penting dalam Modal Sosial. Tindakan proaktif adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpatisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan bersama. Ide dasarnya yaitu seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif.

Anggota koperasi melibatkan diri dan mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubungan-hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan oran lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani,

melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif.

Rasa saling percaya, cinta kasih, rumongso handar-beni, melu hangkrungkebi, mengandung unsur kearifan lokal, ada perwujudan kepekaan terutama kepada suara yang kecil, lemah, dan tersisih/terpinggirkan, memerlukan dukungan model pendidikan yang khas untuk mengintervensi, untuk bisa masuk terlibat dalam pergulatan kaum miskin itu.

Ringkasan

Penanaman nilai-nilai rasa kesetiakawanan sosial terhadap masyarakat miskin yang terpinggirkan berdampak luas terhadap prestasi pembangunan. Penanganan kemiskinan perlu pelaksanaan

survival strategy Adaptive Capacity dengan langkah-langkah IMAO

secara komprehensif.

Penanganan secara menyeluruh dilakukan simultan. Ada istri tukang becak yang mengikuti kursus menjahit, dan anaknya mengikuti pendampingan belajar di daerah itu. Pada anak dampingan termasuk yang ada di Gunung Brintik, ada kegiatan menabung setiap pertemuan. Besarannya saat itu sekitar Rp 500,-. Untuk peserta kursus menjahit tidak ada tabungan. Ada Usaha Bersama Simpan Pinjam (USB Simpan Pinjam) dari bapak-bapak becak. Saat ini simpan-pinjam ini dikelola secara professional yang diberi nama “Kopdit Pelita Usaha”

Kegiatan ini berdasarkan semangat kekeluargaan yang nyata dengan banyak orang, tanpa pilih kasih, suku atau agama. Ini hanya mungkin karena berkat dan penyertaan Allah, di mana melalui kegiatan berkoperasi berupaya untuk membantu menumbuhkan ekonomi masyarakat.

Modal sosial mempengaruhi pembangunan ekonomi dengan melancarkan transaksi antar individu, rumahtangga, dan kelompok. Partisipasi para individu dalam jejaring sosial meningkatkan ketersediaan informasi dan menurunkan biayanya;

Jejaring dan sikap mengurangi perilaku oportunis anggota komunitas. Pada komunitas dengan perilaku extrovert, dan di fihak lain introvert, tekanan sosial dan perasaan dikucilkan mendorong antar individu berperilaku berdasarkan ancangan konflik.

Partisipasi dalam jejaring lokal dan sikap saling per-caya memudahkan kelompok manapun mencapai keputusan dan melaksanakannya bersama seperti khususnya Yayasan Penyelenggara Illahi yang menyelenggarakan Koperasi Pelita Usaha.

Dokumen terkait