• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejak Kasus Survival Strategy Komunitas Miskin yang Terpinggirkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jejak Kasus Survival Strategy Komunitas Miskin yang Terpinggirkan"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 7

Jejak Kasus

Survival Strategy

Komunitas Miskin yang

Terpinggirkan

Kasus Pertama: Memutus Lingkaran Setan Kemiskinan

Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang menghuni kawasan pemakaman, bertempat di atas makam, atau mendirikan bangunan di sela-sela kubur atau lahan yang belum atau tidak bisa digunakan mengubur jenasah seperti misalnya di lereng kawasan itu. Kawasan Gunung Brintik berada di pinggir Kali Semarang, di tepi Jalan Dr. Sutomo. Area tersebut bersebelahan dengan makam Bergota Semarang. Seiring perjalanan sejarah komunitas itu, ada sebagian komunitas yang telah survive, dan berkembang, ada yang masih mirip seperti permulaan kehidupan di kawasan makam Gunung Brintik, dan ada pula yang sedang berkembang. Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang merupakan komunitas miskin yang terpinggirkan.

Seseorang yang miskin adalah seseorang yang memiliki rendah asupan dan kekurangan nutrisi atau bahan pangan, tinggal di tempat yang kondisinya memprihatinkan, serta kondisi kesehatan dan sanitasi yang buruk. Orang miskin akan melahirkan kembali orang miskin. Orang miskin memiliki sejumlah keterbatasan seperti keterbatasan modal, keterbatasan pendapatan, dan keterbatasan ketrampilan. Mereka ini berada pada semacam sebuah lingkaran setan. Tidak berpendidikan, produktivitas rendah, akibatnya pendapatan rendah, jadilah orang miskin, kekuatan atau kemampuan daya beli kecil, kurang gizi, tempat tinggal di bawah standard kesehatan, lalu tidak sehat, akibatnya tidak sekolah dan tidak berpendidikan, produktivitas

(2)

rendah pendapatan rendah, dan kembali miskin. Lingkaran kemis-kinan seperti itu harus diputus.

Pembangunan kemampuan kebertahanan hidup, untuk survive, berdasarkan sejarahnya, bisa belajar dari salah satu survival strategy-nya dunia intelligence yang disebut IMAO, singkatan dari Improvise,

Modify, Adapt dan Overcome. Strategi ini diajarkan kepada para calon

agen intelligence sebelum mereka diterjunkan di lapangan atau daerah lawan. Sebagus apapun mereka digembleng dengan berbagai pengetahuan dan latihan fisik di camp, dunia di luar sana bisa sangat berbeda dengan medan teori dan latihan. Oleh karenanya untuk mampu survive di medan yang bisa jadi sama sekali berbeda ini, mereka harus mampu berimprovisasi, memodifikasi situasi, beradaptasi dengan kondisi dan mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul sampai akhirnya dapat menguasai medan dan memenangkan peperangan. (Improvise, Modify, Adapt, Overcome|Redstate archive.redstate.com/story/2005/2/27/183947/135 : Feb 27, 2005 -Improvise, Modify, Adapt, Overcome... to those being interviewed by

the Washington Post the Central Intelligence Agency).Diunduh 14 April 2012.

Kadangkala langkah strategi ini terdiri dari hanya tiga langkah saja yaitu IMO (Improvise, Modify, Overcome) tanpa Adapt, atau

Improvice, Adapt, Overcome (IAO).

“Improvise, Modify, Adapt, Overcome”…This is the motto of

the Marines. It comes in several forms; sometimes only three (removing Adapt, I think); sometimes rearranged. I quote it this way from the 2003 movie “The Recruit”. Here, it is applied toward CIA agents. (www.mindspring.com/

~cjamison.) The United States Marine Corps calls it,

“Improvise, Adapt and Overcome.” The Marine Corps has been successful employing this concept mostly because of the creativity of its people and their success-based attitude. “Problem Solving: Improvise, Adapt, Overcome” Posted Tuesday, February 1, 2011

(http://www.peakprosperity.com/blog/improvise-adapt-overcome/52001 Unduh 30 Januari 2014).

(3)

Paparan tentang bagaimana cara memutus lingkaran setan kemiskinan itu seperti halnya yang dilakukan oleh satu diantara sejumlah lembaga swadaya masyarakat, tersebutlah “Pelayanan Sosial GAram dan RAgi Masyarakat” (PS GARAM)” Semarang, sebuah Yayasan yang berpangkalan di Wisma Sanjaya. di daerah Jangli dekat Jatingaleh Semarang.

Melakukan Improvisasi. Waktu itu sore hari sekitar pukul 14.00 WIB, Senin 22 Desember 2008, di Wisma Sanjaya. Kuketuk pintu, dan muncullah seorang frater (calon imam) yang menyambutku dengan senyum dan kusambut jabatan tangannya dengan hati yang sejuk.

“Selamat sore, kepareng badhe sowan Romo? (bolehkah hendak menghadap Romo?) “Kemudian Frater menjawab,” Oh ya, silahkan. Katuran lenggah (dipersilakan duduk)”.

Ditemani seorang dosen UNNES mantan calon biarawan saya bertemu Romo Djoko. Tidak mudah untuk masuk kawasan biara ini. Pertemuan sore itu saya memperoleh data-data tentang aksi-aksi kebijakan PS GARAM untuk masyarakat yang terpinggirkan.

“Romo, perkenankan saya memperoleh informasi tentang PS GARAM, aktifitas dan strategi yang ditempuh serta kebijakan yang dilakukan untuk orang miskin yang terpinggirkan”, permohonan saya kepada Romo.

Romo duduk terdiam dan menengadah menerawang memandang langit-langit ruang tamu. Beberapa saat kemudian terdengar Romo memanggil seseorang “…Frater,.. tolong ambilkan bahan yang saya tulis di ruang itu.” (sambil menunjuk ruang di mana frater saat itu berada). Frater datang menyodorkan beberapa lembar kertas folio. “Bukan itu…. yang sudah saya jepit itu lho“ sahut Romo. Sebentar kemudian frater membawa bendelan kertas seukuran buku tulis. Tanpa kata, bendelan yang ternyata naskah tentang PS GARAM itu diterima Romo dan langsung diberikan kepada saya. “Jawabnya ada di situ”, kata Romo. Kubolak-balik, dan kubaca sekilas. Teman saya berkedip padaku, pertanda kami harus berpamitan, karena kami merasa

(4)

telah menyita waktu Romo terlalu banyak, karena biara itu tengah padat kegiatan mempersiapkan kegiatan akhir tahun.

Dari bahan tertulis yang Romo berikan itu ada tertulis “Sementara dari kami bersyukur atas berlangsungnya pelayanan sosial kami, semakin banyak orang bertanya, “Apa itu kelompok pelayanan sosial GARAM?”. Tersirat bahwa telah ada orang lain yang juga nenanyakan apa yang saya tanyakan tentang pelayanan sosial itu.

Selanjutnya, ”…..Dari pihak kami sendiri, sebenarnya kami tidak ingin berbicara banyak, tapi kemudian kami pandang perlu juga untuk memperkenalkan keberadaan kelompok kami, dan apa kegiatan-kegiatan yang sementara ini bisa kami lalukan.

Ketika kami memulai kegiatan kami, memang bukan upacara peresmian yang kami lakukan, bukan pula upacara penandatanganan perjanjian kerjasama yang kami buat. Pemukulan gong pun tidak sempat kami adakan. Pada waktu itu kami mulai dengan menabur ide sederhana untuk menjadikan hidup beriman kami memasyarakat. Pertemuan dengan banyak teman yang se-ide memungkinkan kami mewujudkan ide itu dalam kegiatankegiatan yang sederhana pula.

Kemudian kami menyadari bahwa pola hidup yang kami pilih itu ternyata cocok dengan pola hidup siapa yang kami ikuti selama ini, yang meneguhkan mereka yang mau bergabung dalam kelompok sahabat-sahabat-Nya dengan kata-kata-Nya. Ia mengatakan, “kamu adalah garam dunia”. Seperti yang tertulis di Injil Matius bab 5 ayat 13.

Semoga perkenalan ini semakin meningkatkan mutu relasi dan mempererat kerjasama kita, supaya Tuhan sendiri semakin dimuliakan dalam kehidupan manusia.”

Seseorang menjadi dewasa, terwujud dalam kemampuannya mengintegrasikan beraneka dimensi dalam hidupnya. Kedewasaan iman seseorangpun menjadi lengkap dalam perwujudan kepekaannya terutama kepada suara yang kecil, lemah, miskin dan tersisih, sebagai

(5)

suatu perwujudan dari “preferential option for the poor”. Pendidikan rohani di Wisma Sanjaya pun memerlukan pintu keluar bagi para frater, untuk bisa masuk terlibat dalam pergulatan kaum miskin itu. Bukan live in yang terutama dipilih, karena hidup sebagai orang miskin bisa dilaksanakan di rumah sendiri, tetapi keterlibatan yang bertahan sepanjang tahun, karena pergulatan kaum miskin bukan pula pergulatan yang sementara sifatnya, tetapi pergulatan sepanjang hidup mereka.

“…Kami menyadari, bahwa gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah. Maka, kerjasama dengan banyak teman sepeziarahan, siapapun yang berkehendak baik, menjadi ungkapan kesadaran kami bahwa kami tidak sendirian tetapi berziarah bersama-sama degan banyak teman yang mem-punyai minat dan peduli yang sama.”

Pada mulanya adalah minat dan peduli yang sama di dalam hati. Minat dan peduli yang sama telah mempersatukan mereka untuk melibatkan diri pada usaha mengurangi kesenjangan sosial yang muncul dewasa ini. Maka jadilah suatu kelompok kerja.

“Sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami meskipun tidak banyak, minat dan peduli terarah pada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersisih, terutama pada anak-anak,” Tambah Frater Nono yang sering mendampingi dan memberikan penjelasan kepada saya ke daerah/komunitas pendampingan.

Tahun 1991 dalam kerangka APP (Aksi Puasa Pembangunan) para frater Wisma Sanjaya mulai mengadakan live in di pemukiman baru di Kalialang, yang diusahakan oleh YSS. Selanjutnya tahun 1992, minat dan peduli, yang hidup terus itu, dalam kerjasama dengan kelompok-kelompok lain menemukan perwujudannya yang nyata. Dengan suster-suster PI Kebon Dalem para frater ikut terlibat pula mendampingi anak-anak sekitar Gang Pinggir. Dan kerjasama dengan beberapa teman awam dan suster-suster OSF minat dan peduli kami terarah pada pemukiman nelayan di Tanggul Sari Mangkang. Kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) kami mulai sesuai dengan kebutuhan mereka, kaum nelayan yang kerap terjerat hutang pada

(6)

rentenir yang meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi. UBSP ini bisa berkembang, sampai mereka bersepakat untuk memberi nama UBSP “Subur Makmur”. Pengenalan kami dengan penduduk setempat mengembangkan pelayanan kami di bidang-bidang lain: pendampingan kelompok belajar anak-anak, dan ibu-ibu yang buta huruf. Dan bagi para ibu dan remaja putri yang berminat diadakan kursus menjahit. Sayang, kemudian muncul keberatan dari berbagai pihak Sehubungan dengan perkembangan situasi dan kondisi wilayah kelurahan Mangun Harjo Kec. Tugu pada waktu itu. Maka, kegiatan di Tanggul Sari tidak bisa dilanjutkan (9 Februari 1993).

Banyak halangan justru menjadi tantangan bagi kami. Minat dan peduli kami hidup terus, dan mencari serta menemukan perwujudannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sementara itu kegiatan kami dalam kerjasama dengan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (KKS) untuk mendampingi kelompok belajar di Mukti Harjo jalan terus, dan berkembang ke wilayah binaan KKS di Delik Sari dan Kalialang, serta wilayah lain seperti Gunung Brintik sampai sekarang.

Memodifikasi Situasi

”...Strategi baru yang kami tempuh, yang penting bagi kami minat dan peduli kami menjadi nyata”, tulis Romo Joko dalam suatu lembar tulisannya. Lewat bakti Insani Suster-suster PI Bongsari dimulailah mendampingi kelompok belajar.

”Dalam pergumulan kami sehari-hari di tengah-tengah masyarakat kami temukan empat kelompok situasi pendidikan anak dalam hubungannya dengan kemampuan orang tua mereka di bidang ekonomi. Kelompok 1: orang tua mampu, anak pandai; kelompok 2: orang tua mampu, anak bodoh; kelompok 3: orang tua tak mampu anaknya pandai; dan kelompok 4: orang tua tak mampu, anaknya bodoh. Kelompok terakhir inilah yang kami utamakan dalam pelayanan kami. Merekalah yang kami rasa sangat membutuhkan pendampingan. Dari pengalaman kami, kami

(7)

menjumpai kenyataan, bahwa mereka sesungguhnya tidak bodoh. Mereka dibuat bodoh oleh karena suatu sistem yang menempatkan mereka pada posisi sulit untuk memperoleh fasilitas hidup, sehingga mereka menjadi anak-anak yang miskin dan terlantar....”, lanjut keterangan dalam lembaran-lembaran tulisan itu.

Sejak tahun 1994, UNIKA Soegijapranata memulai pelayanan pendampingan anak-anak pemulung, yang bermukim di Tandangsari. Kerjasama dengan Mudika Lingkungan Gunung Brintik serta kelompok Kerja Bantuan Hukum (KKBH), para frater dan suster PMY mendampingi anak-anak belajar di tempat-tempat itu.

”Dalam perjalanan waktu, kemudian kami merumuskan beberapa gagasan pokok tentang kelompok kerja kami, yang kemudian disebut dengan Pelayanan Sosial GAram dan RAgi Masyarakat (PS. GARAM)”, lanjut keterangan tertulis dari Romo. Diberi nama demikian untuk menghidupkan kesadaran akan panggilan dan perutusan mereka sebagai warga gereja yang berperan menjadi garam dan ragi dalam masyarakat dewasa ini.

Kehidupan Pelayan Sosial ini berdasar pada penghayatan iman kristiani yang bertumpu pada pewartaan kabar gembira yang ditujukan kepada kaum miskin dan siapa saja yang menderita. Pewartaan kabar gembira menjadi tugas pokok, yang harus selalu dilaksanakan oleh murid-murid Kristus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini.

Gereja menyadari bahwa,kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang yang diperstukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang, maka persekutuan mereka itu

(8)

mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.

Kesadaran baru akan panggilan dan perutusan murid-murid Kristus untuk terlibat membangun dunia baru menurut Konsili Vatikan II diwujudnyatakan dalam keprihatinan bersama dengan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita.

Visi dan misi bersama itulah yang menjadi dasar kehidupan PS. GARAM, sesuai dengan amanat Kristus, ”Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13).

PS GARAM bertujuan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan mutu kehidupan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, dalam segala aspek kehidupannya.

Sarana untuk mencapai tujuan ditentukan dalam kesepakatan bersama sesuai dengan kebutuhan. Mereka dilayani dengan mengutamakan asas musyawarah untuk kepentingan mereka yang miskin dan menderita. Di dalam usaha mewujudkan tujuan di atas, PS GARAM tidak bekerja sendiri melainkan bekerjasama dengan berbagai pihak.

Prinsip kerjasama dalam PS ini tidak didasarkan pada suku, agama dan ras (atau kelompok primordial lain), akan tetapi pada kehendak baik dan hati nurani yang tergerak ”untuk mengusahakan pengudusan dunia dari dalam laksana ragi” (LG 31). Oleh karena itu perlu digalang kerjasama: Diantara para awam dan rokhaniawan-rokhaniawati, yang kerjasamanya mencerminkan persekutuan hidup gereja. Diantara para relawan-relawati sebagai pribadi maupun kelompok menurut kemampuan dan caranya masing-masing. Di antara para pelayan dan yang dilayani, terutama yang miskin dan menderita. Mereka ini bukanlah objek, tetapi subjek, yang menjadi sumber daya bagi perkembangan diri. Anggota PS GARAM adalah orang yang: beriman katholik, aktif dalam usaha menggerakkan swadaya masyarakat, terpanggil secara pribadi, mendalami, menghayati dan

(9)

memperjuangkan visi dan misi PS GARAM, dan secara sukarela melaksanakan kegiatan PS GARAM

Partisipasi dapat diwujudkan mulai dengan memupuk minat dan peduli yang sama terutama pada kaum miskin dan siapa saja yang menderita. Untuk mereka itu kita bisa berbagi hidup. Menurut Yesus lima potong roti dan dua ikan cukup untuk memberi makan banyak orang.

Yang ada pada anda: waktu, tenaga, barang-barang dan uang bisa disatukan untuk meneruskan karya penyelamatan terutama untuk kaum miskin dan siapa saja yang menderita.

Pertemuan bulanan diadakan untuk meneguhkan kelompok kerja PS GARAM sebagai kelompok basis untuk berdoa bersama, sharing pengalaman, evaluasi kegiatan dan pegembangan pelayanan.

Pelayanan sosial ini merupakan sarana untuk bersama-sama mengembangkan Gereja, yang aggotanya banyak dan pelayannya beraneka sebagai persekutuan (communia) dan untuk mengemban perutusan (missio) menghadirkan Kerajaan Allah di dalam masyarakat kita.

Untuk mengupayakan cita-cita itu dikembangkan hidupnya jaringan akar rumput kelompok-kelompok basis ke dalam maupun ke luar. Dan merasa diteguhkan oleh sabda Tuhan sendiri, yang menya-takan ”kamu adalah garam dunia” (Mas 5:13).

Dalam melaksanakan kegiatan ini perlu diperhatikan keseimbangan antara aspek kognitif, afektif dan psiko-motorik. Metode untuk pendampingan yang dirasa paling tepat untuk diterapkan dalam pendampingan belajar ini adalah induktif. Dengan metode ini diharapkan anak mampu menggeneralisasikan sendiri pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman sendiri. Para pendamping berfungsi lebih sebagai teman, menganggap anak sebagai subjek didik, tidak menggurui, tetapi memberi alternatif.

(10)

Melakukan Adaptasi dan Partisipasi Pada Kelompok Dampingan

Tabel 7.1.

Gambaran Umum Program Kerja PS. GARAM

No Jenis Kegiatan

Nama

Kegiatan Tujuan Kelompok Sasaran

1. Ming-guan Pendam-pingan kelompok belajar Menumbuhkan kepribadian yang utuh pada anak yang didampingi sesuai dengan tingkat perkembangan anak dengan prioritas penanaman nilai-nilai melalui proses belajar yang benar, mening-katkan prestasi belajar

Anak-anak miskin dan tidak mampu

Pendam- pingan anak jalanan

Menjadi saudara dalam usaha memberdayakan anak-anak jalanan Anak-anak jalanan Kursus Menjahit

Memberi keterampilan kepa-da ibu-ibu kepa-dan keluarga mis-kin dan tidak mampu

Ibu-ibu yang ada di sekitar Kebon Dalem

2. Bulanan Beasiswa anak

Agar anak yang miskin dan tidak mampu tetap bisa mengenyam pendidikan da-sar

Anak-anak miskin dan tidak mampu

Penyulu-han kese- hatan

Anak-anak tahu cara hidup sehat Anak-anak yang ikut pendamping-an kelompok bela-jar GARAM News-letter

Sarana komunikasi & pengembangan pribadi ke-lompok dan sasaran

Anggota GARAM dan mitra kerja Pertemuan

anggota bulanan

Sharing pengalaman dan pembahasan kegiatan

Anggota GARAM

Pertemuan bulanan PPSM

Sharing pengalaman antar Penggerak Swadaya Masya-rakat

GARAM dan mitra kerja

3.

Tahu-nan

Pesta bocah Tergantung tema dan diambil Anak-anak yang ikut pendamping-an kelompok bela-jar

(11)

Pada tanggal 27 Januari 2009 saya menghadiri Perayaan Ekaristi HUT PS. GARAM KE-16 di Seminari TOR Sanjaya, Jangli. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk melakukan trianggulasi sumber. Wawancara dengan para pendamping dari frater dan non-frater (relawan). Saat itu bertempat di halaman bagian dalam Wisma Sanjaya, Seminari TOR Sanjaya Jalan Jangli Semarang dilaksanakan Perayaan Ekaristi Hari Ulang Tahun ke-16 “Pelayanan Sosial GARAM Semarang.” Dalam perayaan yang dimulai jam 17.00 itu. Setelah selesai Misa Syukur ditampilkan seorang “Penyanyi Idola Cilik” satu di antara hasil kegiatan pendampingan PS GARAM Semarang dari kelompok dampingan Kelurahan Muktiharjo.

Hadir pula para pendamping, suster, dan para relawan yang mengabdi di Gunung Brintik. “…Penyanyi ini kelas 5, ayahnya seorang kuli angkut di daerah pertokoan kain. Ibunya seorang buruh cuci,” bisik mas Danang seorang koordinator relawan pendampingan

Sebut saja namanya Cahya. Pada saat pendampingan ia sering mengerjakan tugas sambil bernyanyi. Pendampingnya sebut saja Mas Kartono. Ia mendekati Cahya yang sedang mengerjakan PR Mate-matika. Umumnya mengerjakan Matematika itu dengan serius dan tenang, dan tidak mengganggu temannya. Mas Kartono malah mendekatinya sambil menyapa, “Kamu suka menyanyi?” “…Suka,” jawab Cahya singkat. Kemudian disepakatilah waktu sore hari untuk berlatih menyanyi diiringi orgel oleh Mas Kartono seminggu sekali.

Cahya mengikuti audisi di Jawa Tengah, dan hasilnya ia termasuk tiga besar yang kemudian dikirim ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan pemilihan Idola Cilik di sebuah televisi swasta di Jakarta.

Pada saat berangkat ke Jakarta Cahya didampingi oleh ayah dan ibunya naik pesawat terbang. Selama mengikuti kegiatan mereka tinggal di hotel. Cahya tereleminasi pada babak akhir sepuluh besar. Ia menempati urutan 11 di antara utusan dari seluruh wilayah Indonesia. Hasil dari suatu pendampingan, sebuah model pendidikan non formal untuk si miskin.

(12)

Overcoming

Sampai pada saat penelitian ini dilaksanakan PS GARAM memiliki 13 lokasi kerja kelompok dampingan dan 5 lokasi kerja bekerjasama dengan kelompok dan komunitas swadaya yang peduli terhadap masyarakat miskin kota, masyarakat marginal, dan pinggiran.

Kompleksitas permasalahan semakin besar, pendam-pingan selanjutnya bekerjasama dengan lembaga pendidikan formal misalnya dengan LKBH UNIKA, dan saling melengkapi kegiatan Yayasan Pangudi Luhur. Kerjasama dengan yayasan-yayasan seperti Yayasan Penyelenggara Illahi (para suster), kerjasama dengan kelompok non formal setempat misalnya Mudika (satu di antara kelompok muda-mudi) di Gunung Brintik Semarang.

Untuk kasus pertama ini Strategy IMAO dilakukan oleh interventor yaitu PS GARAM. Komunitas makam Gunung Brintik berpartisipasi terhadap strategi yang dilakukan PS GARAM itu.

Analisis

Kegiatan-kegiatan pembangunan pada berbagai sektor telah banyak mengakibatkan kerusakan alam yang serius di darat dan di laut, dan pada saat yang sama telah memorak-porandakan sistem-sistem sosial, ekonomi dan budaya masya-rakat, dan menghempaskan mereka ke pinggir jalan, pinggir sungai, bahkan sampai di kuburan, seperti dicontohkan di Wilayah Makam Gunung Brintik Semarang ini.

Di sisi lain, layanan-layanan bagi masyarakat dalam sektor-sektor pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, perhubungan dan energi, baik dari pemerintah terlebih lagi dari swasta, sungguh tidak mudah dijangkau masyarakat. Sebagian besar rakyat, terutama mereka yang tergolong miskin, tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup pokok.

(13)

Kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap overcoming tersebut: Kegiatan utama yang dilaksanakan dan dikembangkan adalah pendampingan kelompok belajar anak-anak miskin dan terlantar. Tujuannya adalah menumbuhkan kepribadian yang utuh pada anak bimbingan sesuai dengan tingkat perkembangan anak dengan prioritas, penanaman nilai-nilai, melalui proses belajar yang benar meningkatkan prestasi anak

Bentuk kegiatan berupa pendampingan belajar dengan memperhatikan dinamika pribadi setiap anak. Melalui kegiatan ini pembimbing berhasil menemani anak untuk keluar dari kesulitan-kesulitan belajar yang bersifat psikologis seperti rasa malu, gampang menyerah, sulit konsentrasi, yang menghambat kemampuan anak untuk mendayagunakan kemampuan berpikirnya secara maksimal. Penanaman nilai dalam konteks kehidupan konkret yang dialami anak dalam kehidupannya sehari-hari. Pembentukan komunitas yang memiliki ikatan batin antara anggotanya

Dapat dicontohkan bahwa orang miskin akan melahirkan orang miskin dapat dipatahkan. Misalnya Mbak Anis, seorang anak mbok

blanjan, dia lulus SMP dan berketrampilan menjahit sekarang bekerja

di garment. Lalu Mas Yadi, anak tukang becak, beliau tidak lagi mengemis di pintu masuk kuburan dan mengamen dari rumah ke rumah atau toko ke toko, tetapi beliau bekerja serabutan sebagai sopir angkutan kota. Sebut juga Mas Anto sebagai Wakil Kepala sebuah SMA Swasta, yang kemudian tidak lagi bertempat tinggal di dalam kuburan itu.

Dari sisi internal, strategi survival seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki seseorang, seperti semangat (daya juang), keyakinan kepada Tuhan (spiritual

capital), keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki

pandangan ke depan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh solidaritas sosial tempat seseorang bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling membantu.

(14)

Dalam teori pembangunan masyarakat seperti yang dikemukakan Ife dan Tesoriero (2012), dalam buku Community

Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi,

pemberdayaan (empowerment) merupakan proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, masyarakat Gunung Brintik yang telah diberdayakan akan mempunyai kemampuan yang memadai. Namun, kemampuan saja tidaklah cukup karenanya harus dibarengi dengan motivasi sehingga mereka berbuat, sementara sumber motivasi adalah karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi (Khan, 2005). Penggalian motivasi

intrinsik dari dalam komunitas maka Gunung Brintik itu menjadi

kekuatan dalam survival strategy komunitasnya

Ringkasan

Improvisasi ini meliputi pengkajian berbagai kemungkinan dari

usaha yang dilihat dari perspektif yang berbeda.

Ada upaya membuka “tembok“ biara, mencari jalan agar para penghuni biara memahami persoalan masyarakat. Ada upaya membangkitkan semangat para penggiat LSM, mengadakan kursus menjahit, koperasi yang memberikan pinjaman modal kepada ibu-ibu yang anaknya ikut pendampingan. Kegiatan tersebut mendapat tentangan masyarakat setempat dengan isu SARA.

Memodifikasi situasi

Pada kegiatan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat ditemukan empat kelompok situasi pendidikan anak dalam hubungannya dengan kemampuan orang tua mereka di bidang ekonomi. Kelompok 1: orang tua mampu, anak pandai; kelompok 2: orang tua mampu, anak bodoh; kelompok 3: orang tua tak mampu

(15)

anaknya pandai; dan kelompok 4: orang tua tak mampu, anaknya bodoh.

Kelompok terakhir itulah yang diutamakan dalam pelayanannya. Merekalah yang dirasa sangat membutuhkan pendam-pingan. Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan pendampingan belajar antara lain setiap hari Kamis sore secara terencana dan terjadwal.

Anggota komunitas membantu menyediakan dan menata tempat di wilayah kuburan di Gunung Brintik, di pinggir jalan, dan di pinggir kali, bahkan di atas kuburan. Pendamping memberikan bantuan makanan tam-bahan untuk anak sekolah (PMTAS) peserta dampingan pada Kamis kedua.

Beradaptasi dengan kondisi

Lembaga Swadaya membuat program kerja dan melaksanakan-nya. Pendampingan belajar untuk anak, membuat kursus menjahit untuk remaja, mengadakan arisan yang hasilnya digunakan menambah modal mbok blanjan yang suaminya tukang becak.

Jumlah peserta pendampingan belajar meningkat setiap ada program PMTAS. Jumlah meraka satu kelompok (sekitar 40 peserta) menjadi dua kelompok sekitar 70 peserta. Pendampingan juga dilakukan kepada anak jalanan, dengan memberikan nasehat dan tatakrama yang dilakukan oleh para pendamping (frater, suster, dan relawan) kepada para pengamen di jalanan.

Mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul

Dilakukan pendampingan, kerjasama dengan lembaga pendidikan formal misalnya dengan UNIKA, dan Yayasan Pangudi Luhur. Kerjasama dengan yayasan-yayasan seperti Yayasan Penyelenggara Illahi (para suster), kerjasama dengan kelompok non

(16)

formal setempat misalnya Mudika (satu di antara kelompok muda-mudi) di Gunung Brintik.

Walau masih ada penduduk miskin di Wilayah Makam Gunung Brintik Semarang, terutama anggota warga RT 10 yang KTP saja tidak punya, namun banyak anak dampingan dapat dientaskan dari kemiskinan melalui program itu. Orang miskin akan melahirkan orang miskin seperti yang diteorikan lingkaran setan kemiskinan itu dapat ditepis, dan putuslah mata rantai lingkaran setan kemiskinan itu, bila memang lingkaran itu benar-benar ada.

Kasus Kedua: Intervensi Negara terhadap Pembangunan

Komunitas

Improvisasi (pengkajian berbagai kemungkinan dari usaha yang

dilihat dari perspektif yang berbeda).

Hasil penelitian pada orang miskin yang dilakukan oleh Sri Suwartiningsih di TPA Jatibarang Semarang, strategi yang digunakan disana dapat disampaikan sebagai berikut:

“… penulis menggunakan model AGIL, dari Parsons sebagai kerangka acuan perbincangan. Menurut Parsons suatu masyrakat dapat bertahan apabila mempunyai empat sub sistem, yaitu: Adaptation (penyesuaian), Goal attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latent/arah panduan. (Suwartiningsih 2010: 323)

Suwartiningsih (2010) berpendapat, negara absen di sana. Absennya negara terhadap pemulung, membuat pemulung merasa tidak perlu ikut ambil bagian dalam proses kebijakan-kebijakan Pemerintah. Bagi mereka yang terpenting adalah memikirkan kelang-sungan hidup mereka.

Secara jasmani mereka membutuhkan makan, jadi hidup ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dari pemikiran seperti itulah, maka para pemulung menjadi warga Negara yang tidak berperan aktif dan tidak berpatisipasi tinggi dalam kancah politik di negeri ini.

(17)

Dalam hal peran Negara inilah yang membedakan ada tidaknya intervensi terhadap sebuah komunitas miskin yang terpinggirkan. Temuan-temuan ini nyata membedakan terhadap temuan-temuan di lokasi yang berbeda yaitu di dalam Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang.

Sebagai satu kasus, ada dua keluarga dalam observasi saya, sebut saja nama “Bu Parto” sebagai kepala keluarga yang single parent. Beliau seorang janda beranak tiga. Ketiga orang anak tersebut adalah seorang remaja pengamen sekaligus sebagai anak jalanan, dan dua orang anak sesusia SD bersekolah di Gunung Brintik.

Pemerintah memberikan bantuan berupa bangunan kepada Komunitas Makam Gunung Brintik, yang diterima oleh YPL. Bangunan itu didirikan di depan SD Gunung Brintik yang dikelola pula oleh YPL. Agak unik bangunan ini, karena seolah menghubungkan lereng gunung Makam Gunung Brintik dengan tembok pembatas sekolah di atas SMP “elite” Dominico Savio, dan jalan masuk ke SD Gunung Brintik mblobos (masuk lorong) dibawahnya.

”Kabarnya untuk bangunan SD itu pemerintah mengucurkan dana sebesar tiga ratus enam puluh juta rupiah. Kami bangun SD itu habis sekitar lima ratus juta rupiah”, ujar salah seorang guru SD YPL. Ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dan dedikasi Yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam komunitas makam itu sangat tinggi. Pada umumnya bila bantuan yang turun sebesar 360 juta yang jadi bangunan sekitar 300 juta (dikurangi pajak dan sebagainya). Untuk kasus ini Partisipasi komunitas sangat tinggi, terbukti bukan mengurangi penggunaan dana bantuan, justru menambah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bantuan tersebut.

Pemerintah Kota Semarang menggratiskan biaya siswa SD. Namun SD Gunung Brintik menolak kebijakan itu. “Pendidikan gratis itu tidak mendidik“, kata Kepala SD Gunung Brintik saat itu. Walaupun kemudian partisipasi Komunitas Tugu Muda, dan ibu-ibu di sekitar Tugu Muda, PT Toyota Indonesia sangat besar dukungannya agar siswa mampu membayar sekolahnya. “Ada bantuan dari

(18)

dermawan yang disalurkan kepada keluarga yang sangat kekurangan, untuk kemudian antara lain membayar sekolah. Tetapi perlu dimaklumi, bantuan itu pernah ada yang tidak digunakan untuk membayar sekolah melainkan digunakan untuk keperluan orang tuanya. Untuk seragam sekolah juga kami tidak gratiskan”, lanjut Bapak Kepala Sekolah dengan wajah serius, namun terlihat menerawang dan menghela nafas cukup panjang sambil bersandar di dinding tembok ruang kelas sembari menyilangkan kaki dan tangan seolah lunglai.

Tersebutlah keluarga kedua, satu keluarga muda sebut saja “Mas Bagus” dan “Mbak Cantik”. Keluarga muda yang dikaruniai seorang bayi mungil dan lucu ini tinggal tidak menetap di kawasan RT 10. Sebuah kawasan wilayah kuburan yang dihuni oleh para pendatang, yang menurut orang-orang sekitar sebagai pendatang illegal. Asal menempati begitu saja. Tidur diatas makam yang beratap, atau membuat gubug atau rumah sederhana di sela-sela kuburan. Mas Bagus dan Mbak Cantik berasal dari kawasan Kali Banjir Kanal Barat. Adanya penertiban dan normalisasi Banjir Kanal Barat membuat keluarga muda itu tergeser, tergusur, terhempas ke dalam kuburan di tengah kota itu. Penderitaan keluarga muda itu bertumpuk-tumpuk ketika ternyata perkawinannya itu tidak direstui orang tua.

“Tetangga saya itu kadang-kadang bayinya di-emong orang, sambil diajak meminta-minta di bangjo, atau ya.. di jalan-jalan itu. Kasihan…”, kata seorang saya teman yang bekerja di Balai Kota Semarang

Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya Mas Bagus mengamen di atas bus atau tempat-tempat pemberhentian bus dan angkutan umum, atau di bangjo (lampu abang ijo, sebutan perempatan atau lampu pengatur lalu-lintas) di Semarang. Walaupun nampak serba sulit, Mas Bagus dan Mbak Cantik kelihatan sehat dan bersih. Ketika Mas Bagus turun dari bus kota di Kalisari, Mas Bagus langsung mendekati penjual gorengan. Sambil nyangking gitar, Mas Bagus mengambil bakwan, lalu minum segelas teh. Seorang wanita menggendong bayi mendekat tanpa kata, juga mengambil bakwan,

(19)

kemudian Mas Bagus membayar semuanya. Mas Bagus kemudian mencium bayi itu dan bergegas lari karena angkutan umum terlihat bergerak untuk melanjutkan perjalanan. Itu sepenggal kisah seorang penghuni Kawasan Gunung BrintikSemarang.

Sulit kita membedakan pengemis yang sesungguhnya dan pengemis yang pura-pura menjadi pangamen. Antara pengemis dan pengamen tak ada perbedaan mendasar. Kalau diperhatikan dengan seksama tidak ada perbedaan mendasar antara kehidupan seorang pengemis dengan orang-orang yang mengamen. Para pengemis dikatakan tidak bekerja, tapi apakah pekerjaan itu? Dalam praktiknya, orang tidak peduli apakah suatu pekerjaan itu berguna atau tidak, produktif atau bersifat parasit; satu-satunya hal yang penting adalah bahwa pekerjaan itu harus menghasilkan, mendatangkan hasil, untuk dapat bertahan hidup.

Memodifikasi situasi

Ketika pembersihan terhadap pengamen dan gepeng (gelandangan dan pengemis) dilakukan terungkap ada di antara pengemis itu adalah pekerja serabutan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Setelah bekerja atau pada saat tidak ada pekerjaan, mereka menggunakan sisa waktu untuk mengemis, atau meminta-minta, atau mengumpulkan derma. Hingga saat ini pengemis/pengamen dan gelandangan masih menjadi masalah serius. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Razia, misalnya, terus-menerus dilakukan.

Beradaptasi dengan kondisi

Pernah ada isu, pemerintah "mengancam" memidanakan pengemis yang membawa bayi sewaan. Hal itu terkategorikan sebagai mengeksplortasi anak, dan melanggar UU Perlindungan Anak.

Ternyata tekanan dan ancaman tidak mempan. Pemerintah terkesan kian kesulitan. Buktinya, jumlah pengemis dan gelandangan

(20)

terus bertambah. Yang menarik justru disampaikan Kapolrestabes Semarang Kombes Elan Subilan pada sebuah acara akhir tahun 2012 lalu, mengatakan, provinsi ini memiliki jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) paling banyak daripada provinsi lain di Indonesia. (Suara Merdeka, Minggu 20 Januari 2013).

Mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul.

Gelandangan dan pengemis tak hanya beroperasi di wilayah sendiri, mereka juga membanjiri Jakarta, Bandung dan sejumlah kota lain. Kalau benar apa yang dikatakan oleh orang nomer satu dalam pengendalian ketertiban masyarakat di Semarang, ini menjadi ironis dengan berbagai prestasi pembangunan yang disandang provinsi ini.

Saya lakukan wawancara Tanggal 4 Januari 2010, dan 15 Mei 2012 kepada mantan Ketua RT 01 yang bertempat tinggal di kaki Gunung Brintik, di bibir Kali Semarang, pada hunian yang telah mapan dan layak huni.

“Dulu ketika Pak Ro jadi Ketua RT di wilayah Gunung Brintik, RT berapa dulu itu pak?”

Beliau menjawab, ”Saya RT 01 RW 03, Kampung Wonosari termasuk meliputi RW 03 itu kawasan Gunung Brintik didalamnya.

“Penduduknya berapa pak?”, lanjut pertanyaan saya.

Jawab Pak Ro,” Kalau penduduk secara umum itu dari RT 01 sampai RT 10 lebih 400 KK jadi cukup padat. Setiap RT rata-rata 40 KK lebih. RT 04 yang cukup padat ada lebih dari 57 KK. Gunung Brintik mulai RT 06 sampai RT 10.”

Saya bertanya minta penjelasan,”…Yang di puncak itu? Mata pencaharian yang paling banyak dilakukan mereka apa Pak?” Pak Ro menjawab sambil menengadah dan menggerak-gerakkan jari telunjuk tangan kanannya, ”….kalau di daerah Gunung Brintik paling banyak secara umum adalah

(21)

serabutan, mulai dari yang paling sederhana pengemis,

kemudian sampai dengan buroh-buroh (…maksudnya tenaga /buruh dengan pekerjaan seadanya) yang secara pasti tidak setiap hari, buruh pembuat bunga tukang becak juga ada. Hanya sangat sedikit yang punya pekerjaan tetap baik swasta maupun PNS bakan di atas pun (…maksudnya kawasan hunian dalam makam di RT yang baru berkembang, RT 10.) tidak ada PNS, jadi semua serba serabutan.

“Kalau yang di sekitar pak Rom saya lihat sangat berhasil dari kegiatan-kegiatan seperti itu, pak rom dulu di situ tahun berapa awalnya?”

“Saya tahun 2000 di tempat RT 01, kebetulan kalau di lingkungan bawah istilah secara umum pendatang lebih banyak dan penduduk asli yang awal membuka lingkungan itu memang di bawah sementara di atas itu berupa relokasi, relokasi dari para….. istilahnya kalau dulu…. itu

gelandangan kemudian orang-orang yang memang

dipindahkan dari tempat lain kemudian dikolala oleh pihak yayasan Sugiyopranoto dan diberikan semacam rumah-rumah sederhana itu awalnya tahun 80-an informasinya dan dari situlah kemudian tempat-tempat lain ditempati oleh para pendatang yang mempunyai pekerjaan serabutan tadi.” “Itu saya lihat kalau siang jaman dulu ada peminta-minta yang kadang-kadang agak kasar memberut kendaraan sekarang kelihatannya tidak ada lagi, itu ada informasi bahwa disitu ada beberapa kepedulian masyarakat sekitar katakanlah yayasan. Di sekitar Pak Rom yayasan apa saja yang diketahui pak Rom “

“Kalau di sekitar saya ada juga yang mengelola anak-anak jalanan istilah itu adalah kerjasama yayasana Sosial Sugiyopranoto dengan LSM dari Jerman kemudian mendirikan rumah singgah kalau ndak salah dulu namanya Pelita Harapan, kebetulan ngontrak rumah lima tahun ini dari situlah anak-anak dari kawasan gunung brintik mendapat pembekalan termasuk etika-etika, kalau masalah pengemis memang sampai sekarang masih ada khususnya pada hari-hari tertentu tetapi kalau perilaku yang bisa dikatakan merugikan dalam pengertian merusak barang dalam hal ini sudah tidak ada, kemudian selain pengemis ada

(22)

anak jalanan tetapi kalau sudah didampingi relatif sedikit dan nampaknya tidak ada perilaku-perilaku yang bersifat merusak. Kemudian kepedulian-kepedulian yang lain itu dari pihak kami selain dari pihak gereja dan ada juga pihak yayasan Islam itu ada beberapa TPQ yang memang membina anak-anak supaya tumbuh menjadi anak-anak yang lebih berguna…. (ada interload dari interviewer: TPQ ….. norma-norma nilai-nilai). Iya betul di sana ada TPQ Nurul Hidayah, ada TPQ Al Huda, kemudian ada SD Istiqomah selain SD Gunung Brintik yang memang didirikan oleh Yayasan Sugiyopranoto, atau oleh Pangudi Luhur atau Yayasan Pendidikan Pangudi Luhur jadi satu Yayasan dengan Dominico hanya memang untuk Gunung Brintik bisa dikatakan diperuntukan untuk Warga Gunung Brintik yang tempatnya memang di puncak

“Kemudian itu Pak Ro saya liat perkembangan yang positif adakah memang menurut Pak Ro karena ada kepedulian sosial penanaman nilai-nilai tadi itu sopan santun dan seterusnya, seperti contohnya Pak Ro yang relatif berhasil dan dari kawasan situ yang sedikit banyaknya memberikan supporting, keliatannya apakah memang benar ada pengaruh dari nilai-nilai sopan santun, tata karma keikutsertaan handarbeni di kawasan itu sehingga banyak orang-orang yang singgah di puncak tadi itu (maksdunya Puncak Gunung Brintik) yang gelandangan, pengemis sekarang ada perubahan tingkah laku sehingga menjadi lebih baik?”. “Kalau di RT 03 memang pengurus lingkungan dalam hal ini RW setiap bulan mengadakan pertemuan kemudian setiap RT mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut selain dihadiri oleh beberapa pihak yang peduli itu sering kali dari pihak keluruhanan, selain babinkamtibmas dan babinsa itu memang hadir kemudian di pihak RT diminta mendata warga-warga yang terlibat kasus dan sebagainya. Mungkin bagi pihak kepolisian untuk pemetaan dan bagi kelurahan untuk pembinaan supaya tidak terjadi permasalahan di kemudian hari. Dan kemudian dari warga-warga dalam tanda kutip agak peduli terhadap kampung seperti saya sebagai pendatang dan istri keturunan orang setempat (tidak jelas …………) penghuni pertama, kemudian keluarga besar dari mbah-mbahnya, pak de, pak lik ada di sana semua bisa dikatakan penguasa asli tempat jadi memang

(23)

ada pengaruh yang cukup untuk mengajak warga sehingga kalau saya bandingkan tahun 2000 terus terang mahuk di jalan masih banyak tetapi kerjasama dengan tokoh dengan kamtibmas boleh dikatakan diatas 2005 tidak dijumpai lagi anak-anak atau pemuda, warga yang mabuk di jalan ini sebagai indikator bagi kita mulai ada perubahan, walaupun kalau sepneuhnya memang blm bisa tapi perbuatan-perbuatan yg merusak saya rasa tdak terjadi lagi sudah aman, gotong royong sudah dan kerjasama sudah relatif bagus apalagi bantuan dari pemerintah dana-dana pembagnunan relatif baik karena daerah tersebut merupakan daerah perhatian tokoh politik sebagai lumbung suara. Tokoh tersebut memanfaatkan untuk memperbaiki fasilitas yg ada disitu.”

“Kalau yang di puncak itu penduduknya keluar masuk atau semua punya KTP ?

“Yang sampai tahun 2008 yang sempat tidak punya KTP adalah RT 10, karena saat itu RT 10 bekas hutan dan sangat nempel dengan daerah makam, tetapi secara pelan tapi pasti itu beberapa tanah dibuat yang namanya membayar pajak yang semula tidak membayar pajak (…tidak jelas) karena syarat di keluarahan membayar pajak maka setelah itu karena RT 10 adalah RT terakhir dan KK nya juga masih sedikit itu akhirnya bisa dikatakan semua mendapat KTP, dan KTP menjadi penduduk setempat dan rata-rata setelah menjadi penduduk disitu dan relatif jarang ada yang pindah (interload alamatnya RT gitu ya bukan jalan apa, nomer berapa karena dimakam) tetap ada nomernya pasti RT dulu dan RW”

“Itu berarti kuburannya di kapling-kapling gitu ya?”

“Betul, jadi makam itu sudah di kapling2 misalnya makam sudah ada istilahnya petugas yang membersihkan ini menguasai misalnya Blok K, misalnya K5, J5, D7 dan sebagai-nya masing-masing sudah ada kapling sendiri dan itu sudah ada petugas sehing ada yang berziarah maka sesuai dengan kapling itu akan memberikan sedikit danalah untuk kebersihan, kemudian kalau sampai bertahun-tahun paling pinggir tidak dibersihkan ahli waris tidak datang akan hilang atau justru ditanami dengan patok baru suatu hari ada orang

(24)

minta itu akan digunakan lagi jadi yang paling tahu mana tanah yang kosong adalah mereka atau para penguasa istilahnya, istilahnya yang membersihkan saja kalau juru kunci artinya lain lagi penguasa seluruhnya tapi kalau itu hanya penguasa wilayah”

“Kalau ada orang membutuhkan makam disitu hubungannya langsung kepada kantor yang didepannya Pak Rom atau?” “Biasanya langsung ke kantor yang ada di Bergota itu tapi kemudian menghubungi petugas yang menguasai karena dia tahu yang lahan yang mana, bisanya kalau penduduk setempat dimakamkan berkumpul, ada lahan yang biasa umumnya untuk orang Gunung Brintik “

“Lewatnya Bergota atau langsung bisa juga lewat SD kalau dari bawah ke atas"

“Kalau dari bawah, ada 2 jalur, satu lewat sebelah SMP Dominico satu lewat Karyadi yang lewat depan Polrestabes naik ke atas, itu bisa sampai atas hanya kalau lewat Polrestabes tembus sampai dengan Mugas kemudian kalau lewat sebelah Dominico Savio tembusnya Kelurahan

“Itu yang di puncak konon ada semacam gaji dari Pemkot apa mereka ini diangkat jadi pegawai negeri atau semacam honor gitu?”

“Ada beberapa memang petugas kata orang yang mendapat gaji, jadi ada yang honorer ada yang PNS, jadi memang penduduk setempat ada yang honorer kemudian ada yang PNS yang sebenarnya mereka ngantornya tidak selalu disitu jadi di dinas kalau tidak salah di pertamanan dan pemakaman, yang sekarang dinas pemakaman tapi kan gabungan dengan dinas pertamanan kalau tidak keliru dan itu sebenarnya statusnya pegawai itu. Cuma kantornya di Bergota jadi kalau bicara tingkat kehadiran ya karena pekerja di lingkungan sendiri ya relatif selalu ada tapi tdk di tempat tidak kantor tapi di rumah dan itu memang beberapa ada yang dapat pension”.

(25)

“Kalau yang di RT 10 tadi itu apa ada dari pihak pemerintah langsung kepada perorangan itu atau lewat RT nya kalau ada kepedulian semacam itu?”

“Lewat RT, termasuk dari pihak gereja atau dari manapun selalu lewat RT dan RW jadi tidak berhubungan dengan masyarakat langsung, jadi boleh dikatakan semua jenis bantuan atau semua jenis informasi yang dibutuhkan mendapat apapun itu pasti semua lewat RT dan RW”

“Kalau yang dari Yayasan Garam itu yang dampingi studi, yang belajar itu setiap hari Kamis, apakah itu sebagai suatu bantuan non formal itu antar teman dibantu untuk belajar juga atau ada kerjasama dengan RT setempat atau lurah?” “Yang jelas untuk setiap bantuan selalu ada kerjasama dengan pihak RT dan RW seijin luarah dan bisaanya sudah dikoordinasikan dalam pertemuan dengan RT dan RW jadi beberapa LSM ataupun pihak-pihak yang terlibat dalam proses katakanlah pembinaan di luar sana memang sebanar-nya sudah menjelaskan di forum RW jd kemudian mereka punya program dan kemudian dari RW, RT akan menyetujui dan kemudian baru umumnya mereka dari pihak luar akan melakukan kegiatan.”

“Yang terakhir Pak Ro yang menarik ini, itu ada kelompok situ bukan yang kelompok tapi individu yang ber-hasil seperti istrinya Pak Ro, ada Dr. Irene sekrarang sekolah di Amerka Serikat kemudian ada Wakil Kepala Loyola yang barusan saja meninggal dari puncak situ malah, ketika mereka sudah berhasil ada yang kemudian bertempat tinggal di tempat lain seperti Pak Jukri bertempat tinggal di dekat Don Bosco tapi yang sangat menarik dari kearifan local itu setelah mereka berhasil justru tetap di situ kemudian ikut berpartisipasi membangun setempat dengan kearifan lokalnya itu, sesungguhnya yang menjadi semangat terutama dari Pak Ro dan keluarga yang berhasil tadi apa yang sesungguhnya menyemangati apakah rasa ikut memiliki wilayah itu dan saudara disitu atau apa yang menjadi motivasi Pak Ro sekeluarga?”

“Nampaknya dari pengamatan saya dan keluarga itu dan beberapa keluarga yang lain memang walaupun mereka

(26)

sudah sekolah tinggi dan secara ekonomi agak mapan secara umum msh bertempat tinggal di Gunung Brintik.karena seperti pak lik saya itu suatu hari sudah di puri anjasmoro itu sudah dikatakan jadi ketua RW tapi suatu hari dia tetap ambil rumah di situ dan kembali lagi, jadi motivasi terbesar kalau menurut pengamatan saya adalah ikatan keluarga dan ketenangan jadi walapun di lingkungan yang secara geografis berat karena memang lereng-lereng (interload: motiviasi spiritual semacam itu) ya semacam ada kebersamaan, ketenangan disamping memang akses untuk keluar dan sebagainya memang praktis karena memang di pusat kota (interload: oh ya akses ekonominya ya) akses ekonomi jadi bisa dikatakan walaupun tadi pekerjaannya serabutan tapi bisa dikatakan mereka juga mendapat semuanya katakanlah tidak pernah ada yang istilahnya kelaparan (interload: mendapatkan semuanya ya) ya jadi di dalam data dulu tahun 2008 ada BLT di RW 03 tidak terlalu banyak yang mendapat karena walaupun tidak punya pekerjaan yang dikatakan sebagai karyawan atau pegawai iya serabutan tapi setiap hari ada pekerjaan, itu yang serabutan bagi yang pekerja tetap mungkin ada suatu penilaian dari saya ketika mempunyai ekonomi yang cukup lumayan dan hidup di kampung dia

merasa menjd orang penting shg merasa persaingan ekonomi

tidak tinggi termasuk saya barangkali merasa lebih tenang ketika lingkungan ekonomi tidak terlalu tinggi saya tidak

kemrungsung, merasa tidak bersaing bahkan saya menjadi

golongan tanda kutip seperti org yang dihargai jadi itu

kenyamanan sosial barangkali, di samping keluarga sebagian

besar umumnya jadi beberapa orang yang sempat punya kedudukan-kedudukan juga masih punya keluarga di situ masih banyak. Bahkan kadang-kadang masih membeli beberapa rumah yang memang dijual dan ini baru ini juga beberapa tahun ini ada juga kelaurga yang sudah puluhan atau bahkan lebih dari 50 tahun di luar kota dan ini anaknya kembali di gang 3 kebetuilan kerja di Jaksaan Tinggi Jateng jadi menantu dan anaknya kembali ke sini walaupun orang tuanya di Bandung dan pakde-pakdenya di Jakarta. Karena itu termasuk salah satu orang yang sangat sukses RT 01”. “Berarti ada semacam penanaman nilai-nilai katakanlah moral, spiritual, sikap, membuat ketenangan”

(27)

“Iya, jadi mungkin ada semacam istilah eman-eman kalau harus meninggalkan kampung …jadi ada nilai spiritual… jadi ada semacam senang, ketenangan, kecocokan, termasuk saya barangkali ada tempat di rumah tapi saya lebih senang bertempat tinggal di situ karena istri saya tidak boleh pindah oleh orang tuanya sepanjang masih bisa membeli rumah disekitar situ.”

“Oh ya, kalau airnya yang di bawah ada sumur atau ledeng itu?”

“Kalau untuk saya untuk mandi itu sumur tapi untuk keper-luan lain ada ledeng dari pam sampai dengan agak tinggi kemudian ada sumur umum yang dibangun oleh Belanda dan disalurkan-salurkan kemudian ada sumur umum yang dibuat warga di puncak di Gunung Brintik disalurkan ke warga untuk semuanya kalau yang bawah karena airnya agak

rembesan dari sungai memang masyarakat tidak

memanfaatkan untuk keperluan memasak tapi di atas airnya sangat jernih karena kedalamannya mendekati 50 sampai 70 meter jadi memang itu disalurkan, jadi ada beberapa sumur umum yang dibangun oleh RW dan disalurkan ke beberapa warga jadi ada pengurus sumur umum jadi setiap bulan bayar berapa, tapi ada warga yang memang membuat sumur kemu-dian disalurkan dan membayar, airnya bagus dan ada tetang-ga saya sumur saya tidak begitu bagus tetapi tetangtetang-ga di rumah pak de saya itu sumur yang dibangun Belanda sangat bagus cuma bedanya air yang dibuat Belanda sangat dalam, yang mencarikan sumur umum semacam orang pintar zaman dulu sehjng tidak boleh ditutup jadi ada beberapa sumur salah satunya di pojok rumah keluarga besar istri saya.” “Kalau yang jualan bunga itu apa ada bantuan modal dari luar atau seratus persen dari warga Pak Ro”

“Secara umum dari modal sendiri. Selama ini memang, awalnya modal sendiri, secara pelan-pelan pada sekitar tahun 2000, bunga agak sempat melonjak. Mereka berkembang. Setelah berkembang baru Bank menawarkan pinjaman. Jadi awalnya bank sulit memang. Sekarang ada selain bank-bank pemerintah juga ada bank-bank kecil yang beraktivitas di sana.”

(28)

“Ada dari koperasi juga kelihatannya ya”

“Sana ada dua kelompok usaha, ada kelompok kios-kios bu-nga dua satu yang dianggap sebagai pedagang kaki lima berarti itu PKL itu mulai gang lima sampai delapan kemudian gang lima sampai gang satu namanya pedagang dan jasa, jadi ada warung-warung mulai gang lima sampai satu sebagian besar dan bertempat tinggal disitu, sementara gang lima sampai delapan tidak bertempat tinggal di kios itu jadi sore tutup. (interload: istilahnya Kopaja) Koperasi Pedagang dan Jasa yang satu koperasi PKL dan mereka ada iuran ada pengurusnya sehingga kalau kelurahan akan berhubungan ya dengan pengurusnya dan mereka beriuran jang untuk jaga keamanan sehingga setiap malam ada hansip yang menjaga di pos hansip gang 5… yang membiayai warga melalaui RT …RT melalui Kopaja serta PKM itu.”

“Bagaimana kepercayaan tentang Mbah Brintik.”

“Kalau di sana itu Mbah Brintik dianggap yang Mbahu Rekso jadi banyak warga yang dianggap diimpeni wujud dari kepercayaan itu setiap warga yang punya gawe itu bisa dikatakan pasti dari Mbah Brintik kalau tidak dianggap warga itu sudah melepaskan diri dari budaya setempat, ketika saya mau mengkhitankan anak oleh warga disarankan untuk sowan ke mbah brintik kemudian oleh juru kuncinya didoa-kan di makam itu dengan harapan semacam restu, tidak hanya orang yang dikatakan tinggal di puncak sampai RT 01 masih melaksanakan itu (interload: RT 01 di dekat Pak Ro) dekat jalan Dr. Sutomo RT 01, RT 03 dekat jalan raya (interload: yang atas yang SD RT 10) RT 10 yang turun ke punggung kearah keluruhan, puncak RT 07, RT 08 turun sebelah kanan, RT 09, 10 ke kanan. “

“Mbah Brintik dari Demak?”

“Kalau ceritanya, itu Nyai kalau suaminya ada di Sayung Demak, cerita rakyatnya Mbah Brintik hidup pada masa kedatangan Pangeran Pandanaran I ketika terjadi perebutan kekuasaan oleh Sunan Kalijaga Made Pandan diminta di Mugas sedangkan Mbah Brintik tetap di Gunung Brintik. Gunung Mugas dan Gunung Brintik hanya dibatasi oleh suatu lembah. Makam-nya Pandaran I ada di Gunung Mugas

(29)

kemudian Nyai Brintik ada di Gunung Brintik (interload: yang selatan gunung apa), ujung dari bukit bergota adalah Gunung Brintik. Gunung Brintik adalah dataran tertinggi yang di pusat kota jadi ujung dari Bukit Bergota adalah Gunung Brintik itu, dan ada lembah ada puncak lagi namanya Bukit Mugas.

Cerita rakyatnya memang dulu menjadi pusat Pandaran I, yang ada di Gunung Brintik hanya petilasan Pandanaran I didatangi orang-orang untuk bertapa. Gunung Brintik dulu adalah pulau, ketika masa-masa itu yg namanya daerah gedung batu masih laut. Gunung brintik ini adalah pulau kecil/dipantai pulau Jawa.”

Analisis: Konsep yang dipakai/teori apa yang dipakai

Modal Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang: Modal Manusia (human capital), Knowledge capital, Social Capital. Modal moral/spiritual (spiritual capital) Modal ekonomi (economic

capital/business capital), modal intelek-tual (intelektual capital), Natural capital, Public institutional capital, modal emosional

(emotional capital), modal keta-bahan (adversity Capital), modal moral,dan modal kesehatan. Akhirnya komunitas itu berhasil dan berkembang dari illegal menjadi legal.

Kondisi-kondisi apa saja yang berpengaruh terhadap

over-coming-nya tersebut.

Ada lima kunci pelajaran untuk memahami masalah kemiskinan.

Pertama, orang miskin menanggung tanggungjawab terlalu banyak aspek dari kehidupan mereka.

Kedua, orang miskin sering tidak dapat kritis terha-dap informasi dan mempercayai apa yang tidak benar. Ketika apa yang mereka percayai ternyata tidak benar, akhirnya mereka justru membuat keputusan-keputusan yang salah (Banerjee,&Duflo 2011:268).

(30)

Ketiga, ada alasan-alasan yang baik bahwa beberapa pasar bukan untuk orang miskin, atau bahwa orang miskin menghadapi harga buruk.

Keempat, negara-negara miskin bukan bernasib gagal karena mereka miskin, atau karena mereka telah memiliki sejarah yang buruk. Namun banyak dari kegagalan ini paling tidak disebabkan oleh karena konspirasi para elit yang me-megang kendali ekonomi dan perancang kebijakan (Banerjee,& Duflo 2011:270-271).

Kelima, akhirnya, harapan-harapan mereka pupus mengharapkan kehadiran mereka di sana; para politisi tak seorangpun tertarik untuk mencoba meningkatkan kehidu-pan rakyat. Menurut Banerjee "mengubah harapan-harapan tidaklah mudah, namun itu bukan berarti tidak mungkin".

Ringkasan

Ada Intervensi Negara ke dalam Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang.

Proses intervensi untuk orang miskin yang terpinggirkan yang dilakukan oleh Negara, teridentifikasi berdampak pada keberhasilan

survival strategy yang dilakukan orang miskin yang terpinggirkan yaitu

Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang.

Bantuan Negara dapat berupa Uang tunai, pangan, papan/bangunan/jalan, bahan/alat usaha, regulasi dan kebijakan.

Kasus Ketiga: Intervensi NGO’s Terhadap Komunitas Miskin

Yang Terpinggirkan

Deskripsi

Melakukan Improvisasi, menata penghuni sekitar sungai, mendampingi penghuni makam, memanfaatkan potensi ekonomi makam sebagai tempat tinggal dan sumber daya ekonomi.

(31)

Upaya peningkatan taraf hidup masyarakat di wilayah Gunung Brintik berbeda dengan langkah-langkah yang ditempuh masyarakat di tempat lain. Pembangunan di tempat ini banyak yang dilakukan secara terbalik atau dari sudut pandang yang berkebalikan dari langkah-langkah membangun di daerah lain.

Pembangunan di tempat lain seperti di Banjir Kanal Barat atau di pinggiran jalan dengan cara pedagang diusir dan digusur, di kawasan Gunung Brintik ini pedagang ditata rapi berderet berjualan bunga, tanaman hias, pupuk, pot bunga, dan usaha karangan bunga.

Bila di tempat lain kuburan adalah tempat orang mati, di Gunung Brintik ini kuburan juga tempat orang hidup. Ada kuburan di dalam rumah, dan ada rumah di dalam kuburan. Bila di tempat lain besar tuntutan untuk sekolah gratis, disini sekolah-sekolah yang berada di kawasan penghuni kuburan ini menolak sekolah gratis. Program pendidikan gratis dinilai oleh para guru dan kepala sekolah di Gunung Brintik ini justru tidak mendidik siswa untuk ber-partisipasi. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Paeno (Kepala SD PL Gunung Brintik),” untuk membayar pakaian seragam sebesar tiga puluh ribu rupiah (Rp 30.000,-) Siswa dibantu sebesar Rp 20.000,-, dan yang Rp 10.000,- siswa harus membayar”.. Ini wujud pendidikan untuk berpartisipasi, yang merupakan unsur penting di dalam modal sosial. “Potongan harga untuk sekolah didapat dari Unit Penjahitan, dan donatur yang tidak mengikat seperti para ibu pensiunan pegawai Pertamina ataupun dari Komunitas Tugu Muda”, lanjut penjelasan bapak kepala sekolah.

Adalah kasus intervensi NGO terhadap aktivitas Komunitas Miskin dan terpinggirkan di Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang:

Serabi diartikan sebagai Sekolah Rakyat Brintik. Di sana para

siswa-siswi umumnya adalah anak-anak jalanan dan sebagian besar dari mereka adalah anak rakyat Brintik. Di sanggar ini, mereka diajari berbagai macam bentuk ke-giatan, seperti ilmu pelajaran sekolah, band atau musik lainnya, dan visualisasi atau pementasan seni drama. Beragam cerita menarik mengenai Sanggar Serabi ini. Salah satu

(32)

sharing kami dapatkkan dari seorang pemuda berusia 22 tahun, sebut saja dia Ari. Mas Ari ini merupakan salah satu pemuda yang berperan dalam terbentuknya Sanggar Serabi. Ketika kami meminta informasi seputar sanggar dan isinya, Mas Ari sungguh antusias dengan kedatangan kami, dan dengan sukacita menceritakan sekilas tentang sanggar mungil ini. Sebelum sanggar ini di berdiri sekitar tahun 1996 ada paguyuban yang namanya PAJS (Paguyuban Anak Jalanan Semarang). PAJS inilah yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di Semarang.

Ternyata sumber daya (resources) yang dimiliki tidak sepenuhnya cocok (match) dengan medan yang dihadapi, maka harus siap me-modify sumber daya tersebut sehingga bisa optimal menopang usaha yang dilakukan.

Keberadaan PAJS tidak senangi oleh beberapa pihak, seperti preman-preman di daerah tersebut termasuk juga pemerintah. Sampai suatu saat base camp PAJS diserang oleh preman-preman yang katanya merupakan suruhan dari pemerintah kota Semarang untuk membubarkan aksi PAJS ini yang rasionalnya di duga telah mengganggu kenyamanan dalam kota. Banyak anak jalanan (PAJS) ini dikejar-kejar.

Menurut penuturan seorang pengamen, saat aksi penyerangan besar, sekitar tahun 2000, anak-anak jalanan yang ketakutan ini akhirnya pergi menyebar, ada yang ber-lindung ke Yogyakarta atau daerah-daerah lain yang lebih aman dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut.

Ada seorang yang dapat dikatakan sebagai orang yang melopori berdirinya sanggar Serabi. Beliau adalah ibu Prapto. Seorang pedagang keliling, yang mempunyai tiga orang anak. Anak beliau dulunya juga pernah menjadi anak jalanan. Mulai tahun 1996 beliau sering menampung anak-anak jalanan di daerah semarang khususnya di daerah Tugu Muda. Di sebuah rumah sederhana bu Prapto menampung anak jalanan yang sedang sakit atau membutuhkan makanan. Jika dilihat keluarga ini juga tidak begitu kaya bahkan bisa dikatakan

(33)

pas-pasan. Di rumahnya yang sederhana pernah di tempati sekittar puluhan anak jalanan yang membutuhkan tempat tidur. Saat ditanyai kenapa beliau tertarik menam-pung anak jalanan beliau menjawab kalau dia merasa kasihan akan kehidupan anak ini, disamping itu juga kebersamaan dan kekerabatan anak ini juga sangat kuat.

Mengadaptasi sumberdaya

Dengan keterbukaan hati Bu Prapto menerima anak jalanan yang datang kerumahnya yang kadang minta dikeroki ada juga yang datang minta makan, selain itu juga banyak anak jalanan yang datang ke rumah beliau hanya ingin curhat dengan beliau. Ibu banyak bercerita mengenai kehidupannya beserta anak jalanan. Jadi bagi anak jalanan yang mengenal bu Prapto mereka menganggap ibu ini sebagai orang tua mereka. Hal mulia ini justru menjadi gunjingan penduduk Brintik, para tetangga Ibu Prapto justru malah membenci dan memusuhi Ibu Prapto karena dianggap telah mencemarkan perkampungan dengan menampung anak-anak jalanan liar yang dianggap sampah pemerintah. Walaupun demikian, Ibu Prapto, dibantu mas Ari dengan keluarganya tidak mundur dari apa yang telah diputuskannya dalam membantu anak-anak jalanan tersebut. Ibu juga menceritakan ulang aksi penyerangan besar oleh preman-preman kota, sekitar tahun 2000 lalu, anak-anak jalanan yang ketakutan waktu itu akhir nya pergi menyebar, dibantu oleh Ibu Prapto, Mas Ari dan anak-anak jalanan ada yang berlindung ke Yogyakarta dan daerah-daerah lain dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Selama mengungsi ternyata Ibu Prapto dan keluarga selalu datang seminggu sekali ke Jogjakarta untuk mengirimkan beras, atau pakaian seadanya, atau bahan pokok lainnya untuk bertahan hidup anak-anak jalanan tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke Semarang dan mempunyai basecamp di sanggar serabi ini.

Setelah inipun masalah demi masalah baru tetap bermunculan; maka harus mampu meng-overcome (mengatasi) setiap masalah yang

(34)

muncul tersebut pada waktunya siap untuk bertahan hidup, survive, bahkan berkembang.

Intervensi yang dilakukan oleh NGO yang bekerja di Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang ini sangat halus, dan tidak semua tahap pelaksanaan strategi untuk survive itu diintervensi. Pelaku atau iterventornyapun bisa tidak berasal dari pengurus atau pengelola organisasi formal. Kadang kala ada suatu kelompok atau organisasi yang tanpa bentuk. Mereka adalah kumpulan individu yang memiliki minat dan perhatian yang sama, berkumpul mencari solusi bersama. Mereka sulit untuk diobservasi dari luar. Bantuan yang tulus dari seorang ibu, katakanlah Bu Prapto, merupakan intervensi yang halus yang mengatasi soal kebutuhan primer (makan, berteduh, bahkan “kerokan” untuk menjaga kesehatannya. Bantuan sebuah “sulak” dari seorang suster untuk tidak sekadar meminta derma kepada para pengguna jalan, tetapi juga memberikan jasa membersihkan kaca pengendara mobil di jalan raya itu.

Analisis

Anggota Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang, mereka itu semua adalah “Anak Semua Bangsa”. Bila saya memperhatikan frasa Anak Semua Bangsa maka teringat saya buku kedua dari Karya tulis Pramoedya Ananta Toer (Tetralogi Pulau Buru). Tetralogi ini merupakan roman empat serial yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. (Toer, 2011).

Roman sejarah bagian pertama Bumi Manusia merupakan periode penyemaian dan kegelisahan. Roman kedua Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Minke (nama samaran penulis atau aktor dalam tetralogi ini), dihadapkan antara kekaguman pada peradaban Eropa dan kenyataan di lingkungan bangsanya yang kerdil. Tetralogi yang ketiga, Jejak Langkah, adalah fase peng-organisasian perlawanan, Didiklah rakyat dengan organisasi, dan

(35)

didiklah penguasa dengan perlawanan (halaman sampul tetralogi Jejak Langkah (Toer, 2011). Roman keempat berjudul Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh dimana-mana untuk merekam apapun yang digiatkan aktivitas pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumah kaca-an

Ada kemiripan antara IMAO dan tetralogi, yang tentunya berbeda setting dan kondisinya. Intervensi sosial sebagai cara atau strategi memberikan bantuan kepada masyarakat (individu, kelompok, komunitas). Intervensi sosial merupakan metode yang digunakan dalam praktik di lapangan pada bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Intervensi sosial adalah upaya perubahan terencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas. Dikatakan 'perubahan terencana' agar upaya bantuan yang diberikan dapat dievaluasi dan diukur keber-hasilannya. Intervensi sosial dapat pula diartikan sebagai suatu upaya untuk memperbaiki keberfungsian sosial dari kelompok sasaran perubahan, dalam hal ini, individu, keluarga, dan kelompok. Keberfungsian sosial menunjuk pada kondisi di mana seseorang dapat berperan sebagaimana seharusnya sesuai dengan harapan lingkungan dan peran yang dimilikinya.

Penggunaan kata ‘intervensi sosial’ daripada ‘intervensi’ bertujuan menggarisbawahi dua pertimbangan Pertama, individu merupakan bagian dari sistem sosial sehingga walaupun metode bantuan utama adalah terapi psikologi yang bersifat individu, lingkungan sosialnya juga perlu diberikan ‘perlakuan’ atau intervensi. Hal ini didasari pandangan bahwa klien akan dikembalikan kepada lingku-ngan asalnya kelak setelah ‘sembuh’ Apabila lingkungan sosialnya tidak dipersiapkan untuk menerima klien kembali, dikhawatirkan kondisi klien kembali seperti semula sebelum mendapat penanganan. Kedua, intervensi sosial menunjuk pada area intervensi dan tujuan. Hal ini kemudian akan memunculkan pertanyaan siapakah yang menentukan tujuan.

(36)

Tujuan utama dari intervensi sosial adalah memperbaiki fungsi sosial kelompok sasaran perubahan. Ketika fungsi sosial seseorang berfungsi dengan baik, diasumsikan bahwa kondisi sejahtera akan semakin mudah dicapai. Kondisi sejahtera dapat terwujud manakala jarak antara harapan dan kenyataan tidak terlalu lebar. Melalui intervensi sosial, hambatan-hambatan sosial yang dihadapi kelompok sasaran perubahan akan diatasi. Dengan kata lain, intervensi sosial berupaya memperkecil jarak antara harapan lingkungan dengan kondisi riil .

Strategi yang digunakan untuk dapat berhasil mengatasi Kemalangan di Gunung Brintik adalah: Partisipasi terhadap masuknya intervensi, Adaptasi/Internalisasi Nilai-Nilai Sosial, Serabutan sebagai mata pencaharian yang dilakukan

Partisipasi sebagai suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.

Bentuk partisipasi yang nyata yaitu:

Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan. Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Partisipasi keteram-pilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang mem-butuhkannya. Partisipasi buah

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada Gambar 1 server dikoneksikan dengan sebuah switch dengan network yang sama. File Server adalah sebuah komputer terpasang ke jaringan yang memiliki tujuan utama

(1.99), hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien sebesar 0.49 artinya jika harga meningkat sebesar 1% maka keputusan pembelian juga meningkat sebesar 1%. 3) Terdapat pengaruh

Skripsi berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mendasari Keputusan Petani dan Strategi Pengembangan Berusahatani Sengon di Desa Karangharjo Kecamatan Silo

ditemui dengan Anemia ringan yaitu hasil pemeriksaan HB sahli di puskesmas pada kunjungan pemeriksaan kehamilan Trimester III dengan hasil 10,0 gr/dl dan telah

Fiijahil musthofal mukhtaar robbi faz'alna minal akhyaar Allah Allahu Allah Allahu,,,,, robbi faz'alna minal akhyaar. Nuusyahib hustamannamwa watadnumin nana'alwaa

Facebook seperti yang sudah umum diketahui oleh banyak merupakan sebuah layanan media sosial yang didalamnya terdapat fasilitas-fasilitas untuk berinteraksi dengan banyak

Transparansi, yaitu keterbukaan dalam manajemen pemerintah, lingkungan, ekonomi dan sosial dimana masyarakat dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan