• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana

A. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf,

Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar

diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim

digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.5

Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya.

6

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.

5

Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo Persada,2002,hal 67

6

Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7

Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.

Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.

Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.

Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.

Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.

Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,

the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut

itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa.

Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya.

Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws

setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must or may do when they are broken. 8

8

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.

Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.9

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.

9 Ibid

sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.10

B. Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu : a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis

Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah 11 1. Perbuatan

2. Yang diarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah :12 1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 3. Diadakan tindakan penghukuman

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak

11

Adami Chazawi,Op.cit,hal 79. 12

terdapat kesan perihak syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana.

Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah :13 1. Kelakuan manusia

2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan perundang-undangan

Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu :

1. Unsur tingkah laku

Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.

2. Unsur sifat melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercela atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan

bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan, adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.

Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan atauhkah tidak dalam rumusan maka dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum, artinya melawan hukum adalah unsut mutlak dari tindak pidana.

Mencatumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajat dan dapat dimengerti pendirian pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana termuat secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibutikan tidak sama bagi setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian, bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah berupa kesacaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut menjadi bersifat melawan hukum, karena slain tercela menurut masyarakat juga tercela menurut undang-undang.

3. Unsur Kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumsuan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsut tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungjawaban dapat

dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah :

a. Kesengajaan

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Didalam memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan mengenai ksengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada umumnya hendaknya hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.

Kesegajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu : 14 1. Kesengajaan sebagai maksud,

Sama artinya dengan menghendaki unuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif), dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materil).

2. Kesenjangan sebagai kepastian,

Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.

3. Kesenjangan sebagai kemugnkinan

14

Adil Matogu,Kajian Hukum Lingkungan Terhadap perusakan Hutan di kawasan Hutan lindung Tormotutung Kisaran Sumatera Utara (skripsi),2007

Ialah kesenjangan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu.

b. Kelalaian

Undang-undang juga tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu. Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.15 Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai kelalaian.16

a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

4. Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif terdapat pada :

Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstritutif pada tindak pidana

15 Ibid

materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan, b. Tindak pidana sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan

unsut pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.

c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang tindak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul.

Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai pembuat pidana atau tindak pidana yang dkualifisert oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain.

5. Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tidak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur

keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa:17

1. Mengenai cara melakukan perbuatan

2. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan 3. Mengenai obyek tindak pidana

4. Mengenai subyek tindak pidana

5. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana 6. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri.

7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana

Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif. Unsur adalah berupa alasan utnuk diperberatnya pidana, dan bukan unsut syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagiamana pada tindak pidana materil.

Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini.

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

Unsur syarat tambahan untuk dapanya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.

2. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb).18

Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan

18

perbuatan pidana.19

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.

Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana.

20

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.

Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.

21

19

Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 20

Prof.Mr.Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75

Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan

Dokumen terkait