PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN SENJATA API SERTA AMUNISI
ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
MUHAMMAD HERU NIM:060200018
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN SENJATA API SERTA AMUNISI
ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
MUHAMMAD HERU NIM:060200018
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujuin Oleh:
Ketua Departem
196107021989031001 Abul Khair,SH.M.Hum
`Pembimbing I Pembimbing II
Muhammad Nuh,SH.M.Hum
19480801198003100 19600317199803100 Alwan,SH.M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilikan dan
Penjualan Senjata Api Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (Studi Putusan
Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn).
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam pembuatan skripsi ini penulis tidak sendirian, ada banyak pihak
yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Prof. Runtung, S.H.M.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Suhaidi, S.H.M.Hum, selaku
Pembangu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak
Syarifuddin, S.H.M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Bapak Muhammad Husni, S.H.M.Hum, selaku
Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta
seluruh dosen pengajar dan staf pegawai, yang mendukung penulis dalam
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Nurmalawaty, S.H.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum pidana,
yang mendukung penulis dalam pemilihan judul dan penulisan skripsi ini
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Muhammad Nuh, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, yang
membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai
penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Alwan, S.H.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang membimbing
dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi
ini.
6. Bapak Sunarto Ady Wibowo, selaku dosen wali penulis yang telah
membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas
HukumUniversitas Sumatera Utara.
7. Segenap Dosen Fakultas Hukum USU yang telah memberikan saya ilmu, para
pegawai fakultas hukum, pengurus perpustakaan judisium fakultas hukum,
kantin bunda, kantin prm, kantin ME, dan Unit Pelayanan Komputer.
8. Sembah sujud anakmu kepada ayah ibu tercinta yang melahirkan saya ke
dunia ini, Ayahanda IPDA Aspan dan Ibunda Nilawati Yatim, yang telah
membesarkan saya sehingga saya sampai pada masa sekarang ini, bakti
anakmu ini kupersembahkan untuk keduanya.
9. Kepada saudara-saudaraku tercinta, abang-abangku tersayang, Asnil Arif dan
10.Organisasi yang telah membesarkan saya dalam berorganisasi: BTM
Alladinsyah, SH, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), PERMAHI, beserta
seluruh anggota dan presidiumnya
11.Senior saya: Ahmad Alamududy Amri, SH, Irma Latifah Sihite, SH, Diki
Elnanda Chaniago, SH, Mayasari, SH, Zulkifli, SH, Anggraini Fajrin, SH
yang banyak member saya tips dan trik untuk berkuliah selama ini.
12.Teman-teman terdekat saya: Anov, Adli, Rudi, Ramos, Radinal, Husnul, Ani,
Jefri, Kukuh, Darwin, Annisa, Archiman, Ahmad Solob, Nanda, Sudirman,
Herman Chandra, Wina, Yusuf, Harianto, Rahmat Arifin Mendrofa, Rizki
Kurnia dan seluruh teman- teman fakultas hukum USU stambuk 2006
13.Adik-adik junior saya: Agmal, Miranda, Teo, Rina, Karin, Ami, Farid,
Ferdiansyah, Ferdinand, Lia, Berliana, Fiqa, Lidya, Ragil, Bin, Adhari, Rozy,
semoga kalian bisa menjadi lebih maju dan hebat dari saya
14.Seluruh personil MCC UII yang bersama-sama berjuang dan bergembira
bersama.
15.Kepada dia yang selalu membuat saya tersenyum, I love u.
16.Warnet Surbakti sebagai tempat berkumpul dan bermain, Rental nasional yang
banyak membantu, dan Warnet Opium yang ramah terhadap user
17.Seluruh dan segenap pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dalam
Terima kasih saya ucapkan untuk kalian semua, karena memberikan saya
ilmu kehidupan, kasih sayang, bekal, cinta, perhatian, kebersamaan, dan
kenangan dalam sejarah hidup saya.
Medan, 01 Mei 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ………...iv
ABSTRAKSI………vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….1
B. Rumusan Masalah ………...3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...4
D. Keaslian Penulisan ……….5
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana ………..5
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana……….. 20
3. Pengertian dan Jenis-Jenis Senjata Api ………...27
F. Metode Penelitian ……….32
G. Sistematika Penulisan ………...35
BAB II PENGATURAN KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI MASYARAKAT SIPIL A. Masyarakat Sipil yang Berhak Memiliki Senjata Api ……40
B. Prosedur Penggunaan Senjata Api Bagi Masyarakat Sipil dan Prosedur Kepemilikan Senjata Api……….42
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL
A. Penyalahgunaan Senjata Api ……….52
B. Hal-Hal yang Menyebabkan Masyarakat Menggunakan Senjata Api Ilegal dan Faktor-Faktornya..……….59
C. Perdagangan senjata Api………62
BAB IV KASUS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN SENJATA API DAN AMUNISI OLEH MASYARAKAT SIPIL A. Kasus 1. Kasus Posisi ……….67
2. Dakwaan ………..68
3. Tuntutan ………..70
4. Putusan ………77
B. Analisa Kasus ………81
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………85
B. Saran ……….86
ABSTRAK
Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana 2
Dosen Pembimbing I 3
Dosen Pembimbing II
Kalau kita membaca di masa media seperti surat kabar, majalah, televisi maka kita dapat melihat bahwa hampir setiap hari memuat berita berbagai kasus kejahatan itu ada yang berhasil diungkapkan dan ada pula yang belum berhasil diungkapkan. Kalau kita perhatikan maka nampak beberapa jenis kejahatan itu cenderung meningkat baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, selanjutnya pada akhir-akhir ini berbagai macam kejahatan itu terjadi dengan mempergunakan alat canggih. Di samping teknik kejahatannya itu sendiri sudah terorganisir dengan baik dan tersusun rapi.
Terjadinya kejahatan yang mengarah ketindakan yang sadis dan brutal mengakibatkan timbulnya ganguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, juga berakibat timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api. Peredaran senjata api di Indonesia belakangan terlihat terjadi adanya peningkatan, hal ini terindikasi dengan banyak muncul kasus – kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat. Peredaran senjata api ilegal hingga sampai kepada masyakat tentu tidak terjadi begitu saja, beberapa sumber penyebab terjadinya yang berkaitan dengan peredaran senjata api yaitu penyeludupan dan pasokan dalam negeri.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, Kapolri No. SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.Hukuman terhadap kepemilikan senjata ap tanpa izin juga cukup berat. Dalam UU Darurat No12.Tahun 1951 disebutkan hukuman masksimal terhadap kepemilikan senjata api tanpa izin adalah maksimal hukuman mati,hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara .
ABSTRAK
Mahasiswa Fakultas Hukum USU Departemen Hukum Pidana 2
Dosen Pembimbing I
Kalau kita membaca di masa media seperti surat kabar, majalah, televisi maka kita dapat melihat bahwa hampir setiap hari memuat berita berbagai kasus kejahatan itu ada yang berhasil diungkapkan dan ada pula yang belum berhasil diungkapkan. Kalau kita perhatikan maka nampak beberapa jenis kejahatan itu cenderung meningkat baik dari segi kwantitas maupun kwalitas, selanjutnya pada akhir-akhir ini berbagai macam kejahatan itu terjadi dengan mempergunakan alat canggih. Di samping teknik kejahatannya itu sendiri sudah terorganisir dengan baik dan tersusun rapi.
Terjadinya kejahatan yang mengarah ketindakan yang sadis dan brutal mengakibatkan timbulnya ganguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, juga berakibat timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Sering terjadi tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata api. Peredaran senjata api di Indonesia belakangan terlihat terjadi adanya peningkatan, hal ini terindikasi dengan banyak muncul kasus – kasus penyalahgunaan senjata api di masyarakat. Peredaran senjata api ilegal hingga sampai kepada masyakat tentu tidak terjadi begitu saja, beberapa sumber penyebab terjadinya yang berkaitan dengan peredaran senjata api yaitu penyeludupan dan pasokan dalam negeri.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, Kapolri No. SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.Hukuman terhadap kepemilikan senjata ap tanpa izin juga cukup berat. Dalam UU Darurat No12.Tahun 1951 disebutkan hukuman masksimal terhadap kepemilikan senjata api tanpa izin adalah maksimal hukuman mati,hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan
yang sangat pesat,tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga
dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat
kejahatan dimana perkembanagn tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran
senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil
tetapi melalu proses yang cukup panjang.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat
menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah
dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang
yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20
Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian,
seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun
2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api
ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen
seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang
memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki
senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk
keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk
kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan
bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi Departemen Kehakiman.
Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun
2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang
dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di
kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah
habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin
kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk
mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan
senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan
mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat
izin kepemilikan senjata. 4
Perkelahihan,pertikaian dan perampokan Semua ini tidak lepas dari masih
adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau
rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan
yang cukup untuk menyerang “musuhnya”, tanpa mereka sadar bahwa
“musuhnya” juga memiliki senjata api yang sama. Sebagai akibatnya beberapa
nyawa melayang dengan sia-sia. Dengan menyadari bahwa kepemilikan senjata
api ilegal bisa mendorong ke arah ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi
kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, antar agama), maka
sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api
mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI. Kepemilikan senjata
api secara tidak sah dapat dikenai sangsi hukum, sedangkan aparat sudah
memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka
yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.
Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang
bermacam-macam.Dalam situasi perang terbuka, motifnya jelas"membunuh atau dibunuh".
Dalam kasusk kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000,hingga pra Deklarasi Malino,
Desember2001, motif ini jelas sangat menonjol.Motif ini juga masih terungkap
dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjatapaska Deklarasi Malino.Dalam situasi
yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.Alasannya
sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat
keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal,karena
tidak ada kepastian keamanan.Mereka tidak ingin menjadi korbankekerasan
bersenjata.Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat
jahatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan
pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang
dikemukakan.Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis
akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat
sipil?
2. .faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kepemilkan senjata api ilegal?
3. bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana pegaturan kepemilkan senjata
api bagi masyarakat sipil. Terutama yang diatur dalam hukum
pidana materil maupun formil.
b. untuk mengetahui faktor-faktor apa saja menyebabkan
terjadinya senjata api secara ilegal,sehingga dapat diantisipasi
peredarannya sekaligus dapat meminalisir dampak dari
kepemilikan senjata api ilegal.
c. untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana
terhadap kepemilikan senjata api ilegal ditinjau dari analisa
putusan nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn .
Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis
penulisan ini bermanfaat bagi:
a. Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai
dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga
masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani
penyebaran senjata api ilegal.
b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk
menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga
ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum
pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh
masyarakat sipil.
Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar
hukum,civitas akademika dan para ilmuwan lainya dalam memberikan
sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata
api ilegal oleh masyarakat sipil.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat
Sipil (Studi Putusan Nomor 3350/Pid.B/2006/PN.Mdn)” ini merupakan penulisan
asli yang belum pernah terdapat dalam literatur manapun.Sepengetahuan penulis
belum ada penulis lain yang mengemukakanya, dan penulis telah
mengkonfirmasikanya kepada Sekretarian Departemen Pidana.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Dan Unsur-unsur Tindak Pidana
A. Pengertian tindak pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu “Straftbaar Feit”, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf,
Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar
diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai
digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.5
Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif
(handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah
termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.
Dalam
hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak
pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya.
6
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi
tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai
pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan
perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang
dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
Perbuatan aktif maksudnya suatu
bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan
adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh
manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau
merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah
suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana
seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak
menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan
membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.
5
Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam
dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.7
7
Adami Chazawi ,op.cit,Hal 26
Sedangkan Van
Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang
dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa
tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik,
melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.
Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan
yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya,
hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan
sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain,
yaitu pertanggungjawaban pidana.
Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana,
yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang
mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak
pidana.
Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan
mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan
dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga
Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan
perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan
pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain,
masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini,
menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana
dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan
pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini
pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam
mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak
pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan
kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana
bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan,
dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai
tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam
hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut.
Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain,
the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut
itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan
tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh
mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman
pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku
bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada
fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa.
Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi
sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika
dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak
hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan
keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang
karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang
menjadi konsekuensinya.
Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan
pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki
kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.
Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep
sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal
tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya “primary laws
setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must
or may do when they are broken. 8
8
Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh
hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur
hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah
dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja.
Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan
atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu
(komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana
merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan
menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang.
Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan
dengan “tindak pidana” adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana.9
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law
lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian,
sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana
merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai
rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan Dapat ditegaskan, sepanjang
berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk
memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian
pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP.
sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama
yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan
antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan
demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap
kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak
diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan
tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil,
larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan
tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.
Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi,
maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang
melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan
dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana
berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan
pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan
undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun
kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari
hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan
bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam
hubungan sosial.10
10
Ibid hal 30
B. Unsur-unsur tindak pidana
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yaitu :
a. Unsur tindak pidana dari sudut teoritis
Menurut Moeljatno, unsur tidak pidana adalah 11
1. Perbuatan
2. Yang diarang (oleh aturan hukum)
3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan
hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti
perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam adalah
pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Tresna menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah :12
1. Perbuatan atau rangkaian perbuatan
2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. Diadakan tindakan penghukuman
Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian
bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan
penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam
pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan dengan demikian dijatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertenttangan dengan
undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak
11
terdapat kesan perihak syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya
untuk dijatuhkannya pidana.
Sedangkan menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah :13
1. Kelakuan manusia
2. Diancam dengan pidana
3. Dalam peraturan perundang-undangan
Dari rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHP itu, maka dapat
diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu :
1. Unsur tingkah laku
Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu
perbuatan tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku unsur
mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur
tingkah laku, misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan adalah suatu
pengecualian dengan alasan tertentu dan tidak berarti tindak pidana itu tidak
terdapat unsur perbuatan, unsur itu telah ada dengan sendirinya didalamnya, dan
wujudnya tetap harus dibuktikan di sidang pengadilan untuk menetapkan telah
terjadinya penganiayaan.
2. Unsur sifat melawan hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercela atau terlarangnya dari suatu
perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang
(melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum
materil). Karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan
bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut
tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan itu terletak pada
kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan,
adalah dilarang baik dalam undang-undang maupun menurut masyarakat.
Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat
melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk)
dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan,
artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam
peraturan perundang-undangan. Berpegang pada pendirian ini, maka setiap
perbuatan yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam
peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah
unsur melawan hukum itu dicantumkan atauhkah tidak dalam rumusan maka
dengan demikian tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum,
artinya melawan hukum adalah unsut mutlak dari tindak pidana.
Mencatumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu
rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana
tercermin dalam keterangan risalah penjelasan Wvs Belanda, ialah adanya
kekhawatiran bagi pembentuk Undang-undang, jika tidak dimuatnya unsur
melawan hukum, akan dapat dipidananya pula perbuatan lain yang sama namun
tidak bersifat melawan hukum. Adalah wajat dan dapat dimengerti pendirian
pembentuk Undang-undang ini, mengingat hukum pidana menganut sifat
melawan hukum formil dalam hal pemidanaan (dalam arti positif) sebagaimana
Sifat terlarang yang bagaimana yang harus dibutikan tidak sama bagi
setiap tindak pidana, dan bergantung pada redaksi rumusan dan paham yang
dianut, contohnya sifat terlarang dalam perbuatan mengambil pada pencurian,
bagi paham sifat melawan hukum obyektif adalah terletak pada tidak ada izin dari
sipemilik benda, dan inilah yang harus dibuktikan. Tetapi bagi paham melawan
hukum subyektif, melihat dari rumusan (maksud untuk memiliki dengan melawan
hukum), yang harus dibuktikan ialah keadaan batin ketika sebelum berbuat, ialah
berupa kesacaran bahwa mengambil barang milik orang lain itu adalah terlarang
atau tercela. Unsur batinlah yang menyebabkan perbuatan mengambil tersebut
menjadi bersifat melawan hukum, karena slain tercela menurut masyarakat juga
tercela menurut undang-undang.
3. Unsur Kesalahan
Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin
orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu
melekat pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan
unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,
bergantung pada redaksi rumsuan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak
pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur
yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum
perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsut
dibebankan pada pelaku. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi
pidana. Adapun yang termasuk kesalahan dalam arti luas adalah :
a. Kesengajaan
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan.
Didalam memori van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan
mengenai ksengajaan, yang menurut Moeljatno menyatakan “Pidana pada
umumnya hendaknya hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang
dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui.
Kesegajaan ada 3 (tiga) bentuk, yaitu : 14
1. Kesengajaan sebagai maksud,
Sama artinya dengan menghendaki unuk mewujudkan suatu
perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak
berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif), dan juga
menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana
materil).
2. Kesenjangan sebagai kepastian,
Adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang
menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya
suatu perbuatan tertentu.
3. Kesenjangan sebagai kemugnkinan
14
Ialah kesenjangan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya
bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak
inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk
mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko
untuk melakukan perbuatan itu.
b. Kelalaian
Undang-undang juga tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu.
Hanya dalam Memori Penjelasan (MvT) menyatakan, bahwa kelalaian terletak
antara sengaja dan kebetulan.15 Meskipun demikian, kelalaian itu dipandang lebih
ringan dibandingkan dengan sengaja. Kelalaian ini merupakan unsur batin, bisa
berupa kehendak, pengetahuan, perasaan dan lain sebagainya yang dapat
menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Apabila kemampuan berpikir,
berperasaan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya maka disebut sebagai
kelalaian.16
a. Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat
selesainya tindak pidana. 4. Unsur akibat konstitutif
Unsur akibat konstitutif terdapat pada :
Dalam tindak pidana materil, timbulnya akibat itu bukan untuk
memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan
pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana.
Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstritutif pada tindak pidana
15 Ibid 16
materil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini
tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi hanyalah percobaan,
b. Tindak pidana sebagai syarat memperberat pidana bukan merupakan
unsut pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak
terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.
c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat
Tanpa timbulnya akibat dari perbuatan yang dirumuskan dalam
undang-undang tindak pidana, baru dapat dipidana apabila akibat
terlarang itu telah timbul.
Tindak pidana materil dimana unsur akibat menjadi syarat selesainya
tindak pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur
akibat sebagai pembuat pidana atau tindak pidana yang dkualifisert
oleh akibatnya. Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materil, jika
akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana itu tersebut tidak terjadi,
yang terjadi adalah percobaan. Tetapi jika akibat tidak timbul pada
tindak pidana dimana akibat sebagai syarat pemberat pidana, maka
tidak terjadi percobaan, tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai
yang lain.
5. Unsur keadaan yang menyertai
Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tidak pidana yang berupa
keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat
berupa:17
1. Mengenai cara melakukan perbuatan
2. Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan
3. Mengenai obyek tindak pidana
4. Mengenai subyek tindak pidana
5. Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana
6. Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana
6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan
adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari
yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah
berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang
disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau
dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negeri.
7. Syarat tambahan untuk memperberat pidana
Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat
konstitutif. Unsur adalah berupa alasan utnuk diperberatnya pidana, dan bukan
unsut syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagiamana
pada tindak pidana materil.
17
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur
pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat
terjadi tanpa adanya unsur ini.
8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
Unsur syarat tambahan untuk dapanya dipidana adalah berupa unsur
keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang
menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan
dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat
melawan hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan
hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada
timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu
adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada
perbuatan.
2. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, dsb).18
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana
adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan
perbuatan pidana.19
Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga
dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana
itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi,
manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan
perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak
tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada
dipidananya si pembuat.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama
tergantung pada dilakukannya tindak pidana.
20
Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah
bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah
siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.
Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu
dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif
terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa.
21
19
Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 20
Prof.Mr.Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75
21
Ibid hal .76
Oleh karena
itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit,
yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan
diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar
daripada dipidannya sipembuat adalah asas”tidak dipidana jika tidak ada
Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi
pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan
perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan
tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat
(liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur
suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor
penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur
mental dalam tindak pidana.22
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai
faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common
law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu
kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat,
pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu
keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk
dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana,
sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut..
Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan
quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan
pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin
mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan
Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno
mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal
dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan
“perbuatan” sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian
dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.23
Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari
batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain,
walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi
kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu
tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.
24
Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana
menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan
sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun
demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu
pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai
bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus Untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan
syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak
pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan
perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan
pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri
penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain,
konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam
putusan pengadilan.
Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya,
sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian.
Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif
menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang
berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang
dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah
ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi
bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu,
apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan.
Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid)
dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan25
. Pompe
mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya
dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si
pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat
dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau
bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia
juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung
pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat
dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh
seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi
objek hukum.
Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang
melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang
sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.26
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu.
Jadi
yang harus diperhatikan adalah :
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat
satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang
merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam
ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan
bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan
perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan
pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau
kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu
26
bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang
disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya
tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,
apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat
dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung
jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.
Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa
atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan
hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang
adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus
dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk
adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah :
a. Melakukan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggung jawab
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf
Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa
dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah
yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ?
Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa :
“Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat
adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak
dipidana. “
Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP,
maka tidak dapat dipidana.
Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah
disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat
berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai
oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung
jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang
diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat.
Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu
bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu : 27
a. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur
dalam pergaulan masyarakat.
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu
faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya
27
tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang
dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan
menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum.
Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas
mana diperbolehkan dan mana yang tidak.
3. Pengertian Dan Jenis-jenis Senjata Api
A. Pengertian senjata api
Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat (2)
memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang
sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari peraturan senjata api 1936
(Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939
(Stb Nmor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senajata “yang nyata”
mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula
sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa
sehingga tidak dapat digunakan.
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang senjata api (L.N. 1937. No. 170
diubah dengan L. N. 1939 No. 278) tentang Undang-undang senjata api
(pemasukan, pengeluaran dan pembongkaran) 1936, yang dimaksud senjata api
adalah :
a. Bagian-bagian senjata api;
b. Meriam-meriam dan penyembur-penymebur api dan
c. Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata tekanan per,
pistol-pistol penyembelih dan pistol-pistol-pistol-pistol pemberi isyarat, dan selanjutnya
senjata-senjata api tiruan seperti pistol tanda bahaya,
pistol-pistol perlombaan, revolver tanda bahaya dan
revolver-revolver perlombaan, pistol-pistol mati suri, dan revolver-revolver-revolver-revolver mati
suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan
untuk mengancam atau mengejutkan, demikian juga bagian-bagian
senjata itu, dengan pengertian, bahwa senjata-senjata tekanan udara,
senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta
bagian-bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila
dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak.
Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok
angkatan bersenjata dibidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi
pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang
penggunannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976,
yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non
pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran
tugasnya.
B. Jenis-jenis senjata api
Senjata api yang beredar jenisnya bermacam-macam, berikut ini adalah
senjata api ditinjau dari type, jenis, negara produsen dan kalibernya. Senjata
No. Type Jenis Kaliber Negara
16. Armalite AR-9 Shotgun Semi-Auto
7.62 mm USA
17. B94 Rifle Semi-Auto 12.7x108mm Russia
18. Baby Nambu Pistol 7 mm Jepang
19. Bacon Arms C.
Pepperbox Revolver
20. Beholla Pistol Pistol 7.65x17 mm Jerman
21. Belgian M1871
Trooper's Revolver
Revolver 11x17.5 mm Belgia
22. Belgian M1883
NCO's Revolver
Revolver 9x23 mm Belgia
23. Benelli B82 Pistol 9x18 mm Italia
24. Beretta Machine Guns
Pistol 5.56 mm Italia
25. Baretta M1915 Pistol 7.65x17mm Italia
26. Baretta 32 Pistol – Taget Model
7.65x21mm Italia
27. Baretta 81B Cheetah
Pistol 7.65x17mm Italia
28. Baretta M80
Rifle tempur 11x17.5 mm Italia
34. Berdan rifle Rifle tempur 9x19 mm Rusia
35. C1 Rifle Rifle Tempur 7.62 mm Kanada
36. C9 – LMG FN Minimi 5.56 mm Belgia
37. CADCO Medusa Revolver 9x23 mm US
38. Calico Liberty Revolver 9x19 mm US
39. Campo-Giro Model 1904
Pistol 7.65x17mm Spanyol
41. CETME Ameli LMG 5.56mm Spanyol
Riffle Gempur 7.62x39mm Cina
45. Chinese Type 80 Machine Pistol 7.62x25mm Cina
46. Christensen Arms Carbon Tactical
Bolt Action Rifle 7.62x25mm USA
47. CIS .50 MG HMG 50 mm Singapura
48. Civil Defence Supply MP5-224
SMG 22 mm Jerman
49. Colt Accurized
Rifle
Rifle Semi-Auto 5.56 mm USA
50. Colt Defender Riffle auto 10 mm USA
51 Colt Mustang Pistol 9x17mm USA
52. Colt M16 Riffle gempur 5.56 mm USA
G. Metode Penelitian
Sudah merupakan ketentuan dalam hal penyusunan serta penulisan karya
ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengerjaannya. Metode
penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang dieprgunakan
untuk mencapai suatu tujuan dan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan, maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil
yang akurat yang diperoleh dari penelitian. Dalam pembahasan skripsi ini,
metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis seperti :
1. Spesfiikasi Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif. Dalam hal ini
penelitian Hukum Normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan
perundang-undangan dan bahan yang berhubungan dengan judul skripsi
penulis yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kepemilika Dan
Penjualan Senjata Api serta Amunisi Ilegal Oleh Masyarakat Sipil (studi
Putusan di Pengadilan Negeri Medan)
2. Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum primer,
sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang
diurut berdasarkan hirarki mulai dari UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku,
pendapat para sarjana dan Putusan pengadilan Negeri Medan register
3550/Pid.B/2006/PN.Mdn.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus huku m dan lain-lain.
3. Lokasi Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil lokasi penelitian di
Pengadilan Negeri Medan yang terletak dalam wilayah pemerintahan
Kotamadya Medan dan juga di Kepolisian Daerah Sumatera Utara.
4. Alat Pengumpul Data
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan atau penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca
buku-buku, literatur-literatur serta peraturan perundang-undangna yang
berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data
yang diperoleh dari bahan pustaka ini dinamakan dengan data sekunder.28
Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya
ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah,
artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan
dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya toritis yang digunakan
sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisa permasalahan yang
dihadapi.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Selain penelitian kepustakaan, penulis juga mengadakan penelitian secara
langsung ke lapangan yaitu dengan mendatangi objek penelitian untuk
mengadakan wawancara terhadap beberapa aparat kepolisian di
lingkungan Polda Sumut, untuk mendapatkan data-data, informasi dan
keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penulisan skripsi.
Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka
(face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang
responden. Penelitian lapangan dalam penulisan skripsi ini bersifat
melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
5. Analisis Data
Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan
dan Biklena analisa data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceritaka kepada orang lain29
29
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi yang diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap Pelaku Kepemilikan Dan Penjualan Senjata Api Ilegal Oleh Masyarakat
Sipil (Studi Putusan Nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn)” .Dibagi dalam kedalam
lima bab yang diperincikan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Terdiri dari tujuh sub bab yang mana memuat hal-hal umum
mengenai latar belakang penulisan yaitu yang menjadi dasar bagi
penulisan skripsi ini,didalamnya juga mengidetifikasi rumusan masalah
yang menjadi sudut pandang atau kajian yang hendak dibahas secara
tersistematis yang diarahkan pada tujuan dan manfaat penulisan. Pada bab
satu juga dibahas mengenai tinjauan kepustakaan yang secara garis besar
menjadi landasan terminologi dan yuridis dalam melakukan penulisan
ini.Dalam bab ini,penulis juga menerangkan tentang keaslian
penulisan,dimana tulisan ini ditulis dan dibuat oleh penulis.Akhirnya bab
ini ditutup dengan sistematika penulisan yang menerangkan bagian-bagian
dari keseluruhan bab ini secara ringkas.
BAB II : PENGATURAN KEPEMILKAN SENJATA API BAGI MASYA-
RAKAT SIPIL.
Pada bagian ini ,penulis akan membahas mengenai masyarakat
sipil yang berhak memiliki senjata api dan prosedur kepemilikan senjata
api.Dalam bab ini juga dibahas prosedur penggunaan senjata api bagi
masyarakat sipil dan juga membahas mengenai tujuan pengaturan
BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL.
Dalam bab ini, penulis membahas tetang penyalahgunaan
senjata api,hal-hal yang menyebabkan masyarakat menggunakan
senjata api ilegal dan perdagangan senjata api ilegal
BAB IV : KASUS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEPEMILIKAN DAN PENJUALAN
SENJATA API SERTA AMUNISI ILEGAL OLEH MASYARAKAT SIPIL.
Pada bab ini, penulis akan membahas mengenai kasus
pertanggungjawaban pidana terhadap kepemilikan dan penjualan
senjata api serta amunisi ilegal oleh masyarakat sipil.Dimana kasus
akan diuraikan dari dakwaan sampai putusan dan akan dianalisa oleh
penulis.
BAB V : PENUTUP
Terdiri dari 2 sub bab yang merupakan kesimpulan atau intisari
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan
yang sangat pesat,tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga
dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat
kejahatan dimana perkembanagn tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran
senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil
tetapi melalu proses yang cukup panjang.
Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat
menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah
dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang
yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20
Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian,
seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun
2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api
ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen
seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang
memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki
senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk
keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk
Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun
2007 Kapolri Sutanto mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang
dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di
kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah
habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin
kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk
mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan
senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan
mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat
izin kepemilikan senjata. 4
Perkelahihan,pertikaian dan perampokan Semua ini tidak lepas dari masih
adanya peredaran senjata api ilegal yang ada di masyarakat, baik standar atau
rakitan. Dengan memiliki senjata api, setiap orang merasa memiliki kekuatan
yang cukup untuk menyerang “musuhnya”, tanpa mereka sadar bahwa
“musuhnya” juga memiliki senjata api yang sama. Sebagai akibatnya beberapa
nyawa melayang dengan sia-sia. Dengan menyadari bahwa kepemilikan senjata
api ilegal bisa mendorong ke arah ke arah terjadinya pertikaian atau lebih jauh lagi
kerusuhan (antar orang, antar penduduk, antar golongan, antar agama), maka
sudah sepantasnya setiap orang, dengan kesadarannya menyerahkan senjata api
mereka kepada aparat, baik kepada polisi atau kepada TNI. Kepemilikan senjata
api secara tidak sah dapat dikenai sangsi hukum, sedangkan aparat sudah
4
memberikan jaminan untuk tidak memberikan tuntutan hukum kepada mereka
yang menyerahkan senjata api mereka secara suka rela.
Motif warga sipil menguasai senjata api secara ilegal memang
bermacam-macam.Dalam situasi perang terbuka, motifnya jelas"membunuh atau dibunuh".
Dalam kasusk kekerasan bersenjata, sejak Mei 2000,hingga pra Deklarasi Malino,
Desember2001, motif ini jelas sangat menonjol.Motif ini juga masih terungkap
dalam sejumlah kasus kekerasan bersenjatapaska Deklarasi Malino.Dalam situasi
yang relatif damai,sebagian warga tetap menguasai senjata api.Alasannya
sederhana, karena sama sekali tidak mempercayai jaminan keamanan dari aparat
keamanan. Mereka menyatakan terpaksa memiliki senjata api secara ilegal,karena
tidak ada kepastian keamanan.Mereka tidak ingin menjadi korbankekerasan
bersenjata.Bagi para penjahat jelas senjata api digunakan untuk memudahkan niat
jahatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan
pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang
dikemukakan.Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis
akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat
sipil?
2. .faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kepemilkan senjata api ilegal?
3. bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana pegaturan kepemilkan senjata
api bagi masyarakat sipil. Terutama yang diatur dalam hukum
pidana materil maupun formil.
b. untuk mengetahui faktor-faktor apa saja menyebabkan
terjadinya senjata api secara ilegal,sehingga dapat diantisipasi
peredarannya sekaligus dapat meminalisir dampak dari
kepemilikan senjata api ilegal.
c. untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana
terhadap kepemilikan senjata api ilegal ditinjau dari analisa
putusan nomor 3550/Pid.B/2006/PN.Mdn .
Penulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis
penulisan ini bermanfaat bagi:
a. Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai
dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga
masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani
penyebaran senjata api ilegal.
b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk
menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga
ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum