• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Kasus Putusan Mahkamah Agung

Kasus ini terjadi antara para karyawan PT. Dirgantara Indonesia Persero (PT. DI) yang telah diberhentikan (eks karyawan PT. DI) dengan PT. DI. Eks karyawan PT. DI menuntut kompensasi pensiun yang menjadi kewajiban PT. DI yang belum dipenuhi oleh PT. DI. Akhirnya eks karyawan PT. DI mengajukan permohonan pailit terhadap PT. DI ke Pengadilan Niaga Jakarta. Sehingga pada kasus ini PT. DI berkedudukan sebagai debitur yang memiliki utang kepada eks karyawan PT. DI. Kreditur lain dalam perkara ini adalah PT. Perusahaan Pengelolaan Aset Persero (PT. PPA) yang berkedudukan sebagai kreditur separatis di bidang lembaga pembiayaan.

1. Duduk Perkara

Pada tahun 2004, eks karyawan PT. DI yaitu Heryono, Nugroho dan Sayudi (selanjutnya disebut Heryono dkk) adalah termasuk dari 6.561 orang karyawan PT. DI yang diputuskan hubungan kerjanya oleh PT. DI. Kemudian Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4P) Nomor 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004 memutuskan PT. DI wajib untuk memberikan kompensasi pensiun berdasarkan besarnya upah karyawan terakhir beserta jaminan hari tua. Namun Heryono dkk belum menerima kompensasi pensiun yang menjadi kewajiban PT. DI tersebut.

Pada tanggal 5 Oktober 2004 Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia telah menegur PT. DI dengan surat No.B.169/DJPPK/IX/2004 untuk membayar dana pensiun dalam waktu paling lambat 30 hari setelah menerima surat tersebut. Dan tanggal 14 Juni 2005 Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah mengeluarkan peringatan dengan penetapan No.079/2005.EKS. Namun PT. DI masih belum memenuhi kewajibannya hingga akhirnya Heryono dkk mengajukan permohonan ke Pengadilan Niaga Jakarta untuk memberikan putusan pailit terhadap PT. DI.

Heryono dkk berpendapat syarat untuk mengajukan pailit terhadap PT. DI telah terpenuhi karena telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu utang kompensasi dana pensiun yang telah diberi peringatan untuk dibayar namun belum dipenuhi oleh PT. DI. Perhitungan kompensasi dana pensiun yang menjadi kewajiban PT.

DI yaitu Heryono sebesar Rp 83.347.862,82, Nugroho sebesar Rp 69.258.079,22 dan Sayudi sebesar Rp 74.040.827,91.

Bukti harus ada syarat dua atau lebih kreditur lain juga telah terpenuhi dengan adanya Heryono dkk sebagai kreditur yang mengajukan permohonan pailit dan para karyawan lainnya yang telah diberhentikan dan juga belum menerima kompensasi dana pensiun yang berjumlah 3.500 orang dengan total piutang lebih kurang Rp 200.000.000.000.

Pada tanggal 4 September 2007, Pengadilan Niaga Jakarta memberikan putusan Nomor : 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst yang isinya berbunyi mengabulkan permohonan Heryono dkk dan menyatakan PT. DI dalam keadaan pailit. Hakim berpendapat bahwa Heryono dkk memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan permohonan pailit atas PT. DI karena PT. DI tidak termasuk dalam kategori sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yaitu adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya dua atau lebih kreditur lainnya juga telah terpenuhi. Adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih ini dibuktikan dengan adanya Putusan P4P yang berisi kewajiban PT. DI untuk membayar kompensasi pensiun eks karyawannya.

Kompensasi pensiun yang belum dibayar adalah bentuk utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Syarat adanya dua atau lebih kreditur lain juga telah terpenuhi. Hal ini dibuktikan dengan adanya Heryono dkk yang jumlahnya lebih dari dua kreditur.

Hakim berpendapat bahwa bukti dari syarat permohonan pailit telah terbukti secara sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara

sederhana bahwa syarat untuk dinyatakan pailit yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU telah terpenuhi. Maka hakim memutuskan mengabulkan permohonan pailit dan menyatakan PT. DI pailit.

2. Dasar Permohonan Upaya Hukum Kasasi

Pada tanggal 11 September 2007, PT. DI dan PT. PPA mengajukan upaya hukum kasasi karena keberatan dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta. Alasan PT. DI bahwa :

a. Hakim telah salah dalam menerapakan hukum dengan menyatakan bahwa Heryono dkk memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap PT.

DI. PT. DI adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU permohonan pailit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh menteri keuangan. Sehingga Heryono dkk tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan permohonan pailit terhadap PT. DI

PT. DI memenuhi ciri-ciri sebagai BUMN yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU, karena :

1. Seluruh modal PT. DI dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham karena bersumber dari satu kas yaitu kas negara walaupun melalui dua cabang kas yaitu Kas Negara Menteri BUMN dan Menteri Keuangan

2. Berdasarkan kronologis perubahan PT. DI yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2002 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Kedalam Modal Saham PT. Dirgantara Indonesia, PT. PAL

Indonesia, PT. PINDAD, PT. Dahana, PT. Krakatau Steel, PT. Barata Indonesia, PT. Boma Bisma Indra, PT. Industri Kereta Api dan PT. Industri Telekomunikasi Indonesia (PP Nomor 52 Tahun 2002) maka negara telah melakukan penyertaan modal ke dalam modal saham PT. DI.193 Penyertaan modal berasal dari pengalihan seluruh saham PT. Bahana Prakarya Industri Strategis.194 Semua kekayaan sisa hasil likuidasi PT. Bahana Prakarya Industri Strategis menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh menteri keuangan195 3. Berdasarkan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003) dinyatakan bahwa yang termasuk keuangan negara adalah kekayaan negara/kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang dan termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain

4. Berdasarkan Pasal 50 huruf d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Nomor 1 Tahun 2004) dijelaskan bahwa pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap benda tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah termasuk kekayaan BUMN dan dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU maka yang memiliki kapasitas

193 Pasal 1 PP Nomor 52 Tahun 2002

194 Pasal 2 PP Nomor 52 Tahun 2002

195 Pasal 6 PP Nomor 52 Tahun 2002

hukum untuk mengajukan permohonan pailit atas BUMN adalah menteri keuangan

b. Hakim telah salah dalam menerapkan hukum dengan menyatakan kompensasi pensiun sebagai utang yang menjadi syarat permohonan pailit yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tentang adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih telah terpenuhi, karena :

1. Putusan P4P yang mewajibkan PT. DI membayar kompensasi pensiun tidak menguraikan secara jelas dan pasti jumlah yang harus dibayar dan cara penghitungannya

2. Penafsiran mengenai kompensasi pensiun masih menjadi perselisihan karena Amar III Putusan P4P menyebutkan bahwa kompensasi pensiun didasarkan pada besarnya upah terakhir dan jaminan hari tua sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. Dengan demikian kompensasi pensiun yang dimaksud adalah dana pensiun. Apabila yang dimaksud adalah dana pensiun maka perintah untuk membayar seharusnya ditujukan kepada badan hukum dana pensiun yang pengesahannya dilakukan oleh menteri keuangan. Komponen jaminan hari tua sebagai dasar perhitungan kompensasi pensiun juga merupakan dana yang telah dikelola oleh subyek hukum tersendiri yaitu PT. Jamsostek. Maka pembayaran kompensasi pensiun dengan dasar jaminan hari tua seharusnya ditujukan kepada PT. Jamsostek

3. PT. DI telah melakukan kegiatan korespondensi dengan pihak kepaniteraan Putusan P4P, Departemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan pihak eks

karyawan sehubungan dengan perbedaan penafsiran mengenai Amar III Putusan P4P. Namun hasil korespondensi belum menemukan kesepakatan mengenai makna dari kompensasi pensiun yang dimaksud.

Istilah kompensasi pensiun tidak diatur dalam aturan hukum. Istilah tersebut adalah istilah yang sengaja dibuat oleh PT. DI pada saat mengajukan proses pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan PT. DI dengan menyatakan bahwa PT. DI akan membayar hak-hak eks karyawan termasuk kompensasi pensiun. Kompensasi pensiun yang dimaksud PT. DI berasal dari selisih iuran manfaat pensiun yang dititipkan pada kas perusahaan dan akan dikembalikan kepada karyawan akibat ditangguhkannya program pensiun tambahan. Pada sisi eks karyawan, kompensasi pensiun didasarkan pada Peraturan Dana Pensiun dan mengganti perhitungan penghasilan dasar pensiun dari gaji pokok terkahir menjadi upah terakhir.

Istilah kompensasi pensiun belum menemui kesepakatan maka PT. DI mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara Tata Usaha Negara atas Amar III Putusan P4P untuk menghilangkan kesimpangsiuran hukum tentang istilah kompensasi pensiun dengan Registrasi Nomor : 35PK/TUN/2006 tanggal 2 Juni 2006. Debitur juga sedang melakukan perlawanan ke pengadilan umum dalam perkara perdata untuk mendapatkan kepastian hukum atas tagihan utang berdasarkan kompensasi pensiun yang tercantum dalam Amar III Putusan P4P dengan Registrasi Nomor : 103/Pdt/G/2006/PN.BDG tanggal 27 Maret 2006.

c. Hakim telah salah menerapkan hukum dengan menyatakan ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU telah terpenuhi karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) telah terbukti secara sederhana dengan adanya utang yang dibuktikan dengan Putusan P4P yang mengatur kewajiban PT. DI membayar kompensasi pensiun. Berdasarkan uraian sebelumnya tentang penafsiran kompensasi pensiun, maka bukti adanya utang belum dapat dibuktikan secara sederhana karena masih terdapat perbedaan penafsiran mengenai kompensasi pensiun yang dimaksud oleh Amar III Putusan P4P dengan kompensasi pensiun yang dimaksud oleh PT. DI dan eks karyawan.

Dan berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU putusan pailit hanya dapat dikabulkan apabila ketentuan Pasal 2 ayat (1) terbukti secara sederhana.

Selanjutnya alasan PT. PPA sebagai kreditur lain dari PT. DI yang juga turut serta mengajukan upaya hukum kasasi menolak kepailitan PT. DI adalah :

a. Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU disebutkan bahwa kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan permohonan pernyataan pailit dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

Dalam hal ini PT. PPA telah memenuhi kapasitas sebagai kreditur lain dalam perkara kepailitan antara Heryono dkk dengan PT. DI, karena PT. PPA juga kreditur dari PT. DI berdasarkan perjanjian pinjaman dengan total outstanding per tanggal 5 September 2007 sebesar US$ 57,196,923.92. PT. DI telah memberikan jaminan berupa gadai saham PT. Nusantara Turbin dan Propulsi berjumlah 238.209 saham serta fidusia atas rekening penampungan dalam mata uang Rupiah dengan saldo

minimal Rp 100.000.000, dalam mata uang Dollar Amerika Serikat dengan saldo minimal US$ 12,000.00 dan persediaan usang dengan nilai US$ 1,500,000.00 b. Tingkat pengembalian utang PT. DI berpotensi akan lebih rendah dibandingkan

apabila PT. DI masih dapat melaksanakan kegiatan usahanya. Sejak tahun 2003, PT.

PPA bersama-sama dengan Kementerian BUMN telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja PT. DI guna menjaga kelangsungan usaha dan menjaga kesinambungan bagi penyediaan lapangan kerja sebagai sasaran pembangunan nasional. Upaya tersebut antara lain upaya restrukturisasi pada struktur permodalan dan organisasi. Pada tanggal 2 Mei 2007 PT. DI juga telah mengajukan permohonan restrukturisasi utang kepada PT. PPA dengan skema dana talangan. Upaya restrukturisasi yang dilakukan PT. PPA terhadap PT. DI menunjukkan bahwa usaha PT. DI masih memiliki kemampuan dan kinerja untuk berkembang dan maju

c. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta sama sekali tidak memperhatikan asas-asas yang mendasari UUKPKPU yaitu :

1. Asas keseimbangan yang bertujuan mencegah penyalahgunaan pranata kepailitan oleh pihak-pihak yang tidak beritikad baik dan dapat merugikan pihak lain. Dalam hal ini Pengadilan Niaga Jakarta tidak mempertimbangkan kepentingan lebih kurang 3.600 karyawan PT. DI yang masih aktif bekerja yang kemungkinan akan mengalami pemutusan hubungan kerja akibat operasional usaha menurun bahkan berhenti karena putusan pailit yang diberikan kepada PT. DI. Selain itu juga kepentingan kreditur lain yaitu PT.

PPA yang memiliki nilai piutang lebih besar daripada nilai piutang Heryono dkk

2. Asas kelangsungan usaha yang mengharuskan penyelesaian masalah kepailitan memperhatikan aspek kelangsungan usaha debitur yang masih prospektif. Dalam hal ini Pengadilan Niaga Jakarta tidak memperhatikan bahwa PT. DI adalah sebuah perusahaan yang sangat prospektif karena bergerak dalam industri strategis penerbangan berskala internasional.

3. Asas keadilan yang mengharuskan penyelesaian masalah kepailitan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Dalam hal ini putusan Pengadilan Niaga Jakarta telah mengakibatkan kesewenang-kesewenangan pihak penagih yaitu Heryono dkk yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing kepada PT. DI dengan tidak memperdulikan kepentingan dan kerugian yang akan dialami kreditur lainnya yaitu PT. PPA

3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung

Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi berpendapat atas alasan-alasan yang telah diberikan oleh PT. DI dan PT. PPA, bahwa :

a. PT. DI adalah BUMN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU.

Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menyebutkan bahwa BUMN berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara

Republik Indonesia atau BUMN berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. PT. DI memiliki modal yang terbagi atas saham yang pemegangnya adalah Menteri BUMN Republik Indonesia dan Menteri Keuangan Republik Indonesia sehingga seluruh modal PT. DI dimiliki oleh Negara Republik Indonesia

b. PT. DI memiliki usaha yang bergerak di bidang kepentingan publik sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No.03/M-IND/PER/4/2005 menyebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital industri yang memiliki kawasan lokasi, bangunan/instalasi dan usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan sumber pendapatan negara yang bersifat strategis c. PT. DI hanya dapat diajukan permohonan pailit oleh menteri keuangan selaku wakil

pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa pihak manapun dilarang untuk melakukan penyitaan terhadap kekayaan milik negara antara lain berupa uang, surat berharga, barang bergerak dan barang tidak bergerak, sehingga terkait kepailitan hanya menteri keuangan yang memiliki kedudukan untuk mengajukan permohonan pailit atas PT.

DI sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi lainnya dari kreditur lain maka pada tanggal 22 Oktober 2007 Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat cukup alasan untuk

mengabulkan permohonan kasasi PT. DI dan PT. PPA serta membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst. Sehingga status pailit PT. DI dibatalkan.

C. Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 331K/Pdt.Sus/2012

Kasus ini bermula dari permohonan pailit yang diajukan oleh Nancy Lucia Rumnevur, Widyawati dan Hj. Gustati (Nancy dkk) terhadap PT. Graha Permata Properindo (PT. GPP). PT. GPP adalah penjual satuan Rumah Susun Graha Setia Budi atau yang dikenal dengan nama Graha Permata Seibu Mansion. Sedangkan Nancy dkk adalah pembeli satuan Rumah Susun Graha Setia Budi. Kreditur lain pada kasus ini adalah PT.

Bank Tabungan Negara (PT. BTN) yang berkedudukan sebagai kreditur separatis yang memiliki usaha di bidang perbankan.

1. Duduk Perkara

Pada bulan Juli 2007, Nancy dkk telah mengadakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hunian Vertikal Graha Setia Budi (PPJB) dengan PT. GPP. Berdasarkan PPJB, pada bulan Desember 2008 PT. GPP harus melakukan penyerahan fisik dari Rumah Susun Graha Setia Budi yang dibeli kepada Nancy dkk. Namun hingga batas waktu yang telah ditentukan dalam PPJB, PT. GPP lalai melaksanakan kewajiban penyerahan fisik rumah susun yang telah dibeli oleh Nancy dkk secara angsuran.

Pada bulan April 2009, Nancy dkk telah mengirimkan surat kepada PT. GPP untuk melaksanakan penyerahan fisik Rumah Susun Graha Setia Budi. Namun PT. GPP tetap

tidak melaksanakan kewajibannya. Sehingga pada bulan Oktober 2009, November 2009 dan Februari 2012 Nancy dkk mengirimkan surat peringatan kepada PT. GPP dengan tujuan agar PT. GPP melaksanakan kewajibannya atau mengembalikan uang angsuran yang telah diterima PT. GPP kepada Nancy dkk. Kemudian Nancy dkk memuat pengumuman di Koran Post Kota pada 16 Februari 2012 terkait peringatan terhadap PT. GPP untuk melaksanakan kewajibannya tersebut.

PT. GPP tidak menanggapi surat peringatan yang telah dikirimkan oleh Nancy dkk.

Sehingga Nancy dkk tidak ingin melanjutkan PPJB. PPJB telah mengatur bahwa PT. GPP harus mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli apabila salah satu pihak tidak melanjutkan atau membatalkan PPJB. Oleh karena itu, Nancy dkk menuntut pengembalian uang angsuran yang telah diterima PT. GPP. Namun PT. GPP juga tidak merespon tuntutan Nancy dkk sehingga tidak mengembalikan uang angsuran yang telah diterima PT. GPP.

Selanjutnya, Nancy dkk mengajukan permohonan pailit terhadap PT. GPP ke Pengadilan Niaga Jakarta karena PT. GPP tidak dapat mengembalikan total uang angsuran yang telah dibayar oleh Nancy dkk. Nancy dkk berpendapat bahwa total uang angsuran yang belum dikembalikan tersebut termasuk kategori utang yang diatur dalam Pasal 1 ayat (6) UUKPKPU. Sehingga syarat adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih telah terpenuhi.

PT. GPP juga memiliki dua atau lebih kreditur lain yaitu kreditur pemohon pailit, dalam hal ini Nancy dkk yang berjumlah tiga kreditur. Nancy dkk berpendapat dengan adanya utang pengembalian uang angsuran yang belum diberikan oleh PT. GPP maka

Nancy dkk berkedudukan sebagai kreditur dari PT. GPP. Selain itu, PT. GPP juga memiliki utang kepada kreditur lain yaitu PT. BTN. Sehingga syarat dapat mengajukan permohonan pailit apabila terdapat dua atau lebih kreditur juga telah terpenuhi.

Pada tanggal 4 April 2012, Pengadilan Niaga Jakarta mengambil putusan mengabulkan permohonan pailit terhadap PT. GPP yang diajukan oleh Nancy dkk. Dengan adanya putusan ini maka PT. GPP berada dalam keadaan pailit.

2. Dasar Permohonan Upaya Hukum Kasasi

Pada tanggal 11 April 2012, PT. GPP dan PT. BTN sebagai kreditur lain dari PT.

GPP mengajukan upaya hukum kasasi karena keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga Jakarta Nomor : 10/pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst yang memutuskan PT. GPP dalam keadaan pailit. PT. GPP berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Jakarta telah salah menerapkan hukum karena telah keliru menerapkan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU yaitu telah terbukti secara sederhana syarat yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU sehingga permohonan pailit Nancy dkk dikabulkan. Alasan-alasan PT. GPP adalah :

a. Adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang menjadi salah satu syarat dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU belum terbukti secara sederhana karena dasar adanya utang yang dituntut Nancy dkk berasal dari pembatalan PPJB akibat wanprestasi yang dilakukan PT. GPP yaitu belum menyerahkan fisik rumah susun yang dibeli Nancy dkk. Wanprestasi yang dimaksudkan Nancy dkk masih harus dibuktikan karena PT. GPP telah selesai membangun Rumah Susun Graha Setia Budi. Namun Nancy dkk belum membayar Pajak Perolehan Hak Atas Tanah/Satuan

Rumah Susun (BPHTB) sehingga PPJB tidak dapat ditindaklanjuti dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Harga jual juga belum dilunasi oleh Nancy dkk karena Nancy dkk telah menunda pelunasan.

Penundaan dilakukan Nancy dkk karena PT. GPP belum menyelesaikan pembangunan Rumah Susun Graha Setiabudi. Sehingga Pembatalan PPJB akibat wanprestasi dari PT. GPP yang melahirkan kewajiban PT. GPP untuk mengembalikan uang angsuran seperti tuntutan Nancy dkk masih harus dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan. Maka syarat adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih belum terbukti secara sederhana

b. Berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata dijelaskan bahwa dalam perjanjian selalu dianggap telah dicantumkan syarat yang dapat membatalkan perjanjian apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dan adanya syarat pembatalan perjanjian bukan berarti perjanjian batal demi hukum tapi harus diajukan permintaan pembatalan perjanjian terlebih dahulu kepada hakim. Maka syarat pembatalan perjanjian yang tercantum dalam PPJB tidak serta merta dapat menyebabkan perjanjian batal demi hukum karena tapi harus dimohonkan terlebih dahulu ke pengadilan. Tuntutan pengembalian uang karena PPJB batal yang dijadikan Nancy dkk sebagai dasar adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih belum terpenuhi karena belum ada keputusan pembatalan PPJB dari pengadilan

PT. BTN selaku kreditur lain dari PT. GPP juga keberatan dengan putusan pailit yang diberikan Pengadilan Niaga Jakarta. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (3)

UUKPKPU maka PT. BTN dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Adapun alasan-alasan PT. BTN adalah :

a. Putusan pailit yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta terhadap PT. GPP atas permohonan Nancy dkk telah merugikan kepentingan PT. BTN sebagai kreditur lain dari PT. GPP karena PT. BTN memiliki hak tagih terhadap PT. GPP atas fasilitas kredit modal kerja konstruksi untuk pembangunan Rumah Susun Graha Setia Budi yang telah diberikan. Dengan adanya putusan pailit maka PT.

GPP akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan pinjaman atas fasilitas kredit

GPP akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan pinjaman atas fasilitas kredit

Dokumen terkait