• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

2. Sumber Data

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa data sekunder yaitu bahan pustaka yang diperoleh melalui studi dokumen65, yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Faillismentsverordening (Stb. 1905 Nomor 217 jo. Stb. 1906 Nomor 384), Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

64 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, (Surakarta : Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, 2005), hal. 6

65 Ibid., hal. 24

Pembayaran Utang serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang melibatkan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian66

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal67

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan serta membaca, mempelajari dan menganalisis bahan kepustakaan yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.68 Sehingga pada penelitian ini tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara telaah pustaka (library research) melalui alat pengumpulan data berupa studi dokumen terhadap peraturan perundang-undangan tentang kepailitan serta Putusan

66 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta : Ghalian Indonesia, 1982), hal.

24

67 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hal. 15

68 Ibid., hal. 39

Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012 yang terkait dengan kedudukan kreditur lain dalam upaya hukum kasasi pada perkara kepailitan.

Sebagai pendukung data dalam penelitian kepustakaan, dilakukan juga penelitian lapangan (field research) melalui alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara kepada Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak yang menjabat sebagai Hakim Utama Muda pada Pengadilan Negeri Medan. Dengan pertimbangan bahwa Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak merupakan hakim pengadilan niaga yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara kepailitan, sehingga dapat memberikan data pendukung berupa studi di lapangan pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan terkait upaya hukum kasasi yang diajukan oleh kreditur lain.

4. Analisis Data

Analisis merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan suatu hipotesa seperti yang disarankan oleh data.69

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan untuk menganalisa bahan-bahan hukum tertulis dengan menafsirkan isi dari bahan-bahan hukum, kemudian mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk

69 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal.106

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Selanjutnya analisis data dilakukan secara kualitatif, maksudnya bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat.

Penarikan kesimpulan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik kesimpulan kepada hal-hal yang khusus, dengan cara menggambarkan secara umum tentang kedudukan kreditur lain dalam perkara kepailitan dan upaya-upaya hukum yang disediakan oleh undang-undang dalam perkara kepailitan, selanjutnya menarik kesimpulan tentang kedudukan kreditur lain dalam membela kepentingannya melalui upaya hukum kasasi pada praktek penyelesaian perkara kepailitan yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 27/KN/1999, Putusan Mahkamah Agung Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Pdt.Sus/2012.

BAB II

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tanggal 22 April 1998 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Perpu tersebut mulai berlaku 120 hari sejak diundangkan yaitu pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya dikenal dengan UUK.70

UUK merupakan penyempurnaan dari peraturan kepailitan yang lama yaitu Faillissement Verordening (FV). Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan menambah dan mengubah aturan kepailitan yang sebelumnya diatur dalam FV. Salah satu perubahan antara UUK dengan FV adalah proses penyelesaian perkara permohonan kepailitan yang cepat dengan menentukan kerangka waktu yang pasti dalam penyelesaian perkara kepailitan.71

UUK juga telah membentuk peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan yaitu pembentukan pengadilan niaga.72 Pembentukan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan semata-mata

70 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 14

71 Elijana, Pengadilan Niaga Pelaksanaan Dan Dampaknya, Jakarta 14 Mei 1998, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Editor Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Benny Ponto, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 13

72 Pasal 280 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa ''Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Bab pertama dan Bab kedua diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum''

bertujuan untuk mendukung kerangka waktu yang telah diatur dalam UUK.73 Pengadilan niaga diharapkan akan mengefisienkan prosedur pemeriksaan perkara kepailitan.

Hukum acara yang berlaku dalam proses pemeriksaan perkara kepailitan di pengadilan niaga adalah hukum acara perdata sebagaimana hukum acara yang berlaku pada pengadilan negeri.74 Penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan niaga juga menyediakan upaya hukum bagi pihak yang keberatan dengan putusan hakim layaknya pada perkara perdata. Upaya hukum yang disediakan dalam perkara kepailitan merupakan bentuk upaya hukum yang diatur dalam perkara perdata, hanya saja upaya hukum pada perkara kepailitan disesuaikan dengan prinsip penyelesaian perkara kepailitan yang cepat, efisien dan adil, sehingga upaya hukum pada perkara kepailitan memiliki kekhususan tersendiri dalam prosesnya.

A. Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata 1. Pengertian Upaya Hukum

Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan kepada seseorang untuk dalam hal tertentu melawan keputusan hakim.75 Seseorang yang merasa keputusan yang diberikan oleh hakim merugikan haknya untuk memperoleh keadilan, perlindungan, dan kepastian

73 J. Djohansjah, Pengadilan Niaga, Jakarta 7 Juli 1998, Dalam Buku Kumpulan Makalah Tentang Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal. 29

74 Pasal 284 UUK menyebutkan bahwa ''kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap pengadilan niaga''

75 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal. 61

hukum dapat melakukan cara-cara upaya hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang.76

Undang-undang memberikan upaya hukum kepada seseorang terhadap keputusan yang diberikan hakim bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan yang telah dilakukan hakim dalam membuat keputusan.77 Pada dasarnya hakim juga merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga berpotensi melakukan kekeliruan dan kekhilafan dalam membuat keputusan atas pekara yang diajukan kehadapannya, maka demi kebenaran dan keadilan terhadap perkara tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum.

2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum

Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.78 Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap keputusan hakim yang bersifat menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara, kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, seperti yang tercantum dalam Pasal 180 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Bentuk upaya hukum biasa terdiri dari verzet, banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa adalah perlawanan terhadap keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat tidak dapat menangguhkan pelaksanaan putusan hakim. Bentuk

76 H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 279

77 Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 208

78 M. Nur Rasaid, Op. Cit., hal. 61-62

upaya hukum luar biasa terdiri dari peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

1. Upaya Hukum Verzet

Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat atau putusan verstek.79 Pada dasarnya verzet disediakan bagi pihak tergugat yang kalah. Oleh karena itu, pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan ini tidak diperkenankan untuk menggunakan upaya hukum verzet. Maka bagi penggugat yang dikalahkan melalui putusan verstek dapat menggunakan upaya hukum lain yaitu upaya hukum banding.80

Dalam praktik peradilan, verzet diajukan kepada pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan verstek dan kedua perkara tersebut yaitu verstek dan verzet dijadikan satu dalam register nomor perkara.81 Oleh karena itu perkara verzet terhadap putusan verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru yang berdiri sendiri.

2. Upaya Hukum Banding

Banding adalah upaya hukum terhadap keputusan hakim pada persidangan tingkat pertama di pengadilan negeri, agar diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi yaitu pengadilan tinggi.82 Pengadilan tinggi yang berwenang adalah pengadilan tinggi yang

79 Pasal 125 ayat (3) dan 129 HIR serta Pasal 149 ayat (3) dan 153 RBg

80 Pasal 200 RBg

81 Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 210

82 H.A. Mukti Arto, Op. Cit., hal. 280

wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum pengadilan negeri yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama.83 Upaya hukum banding adalah salah satu bentuk upaya hukum yang disediakan bagi pihak yang kalah untuk mendapatkan perbaikan terhadap putusan hakim pada persidangan tingkat pertama.84

Secara garis besar isi putusan banding adalah :85 a. Menguatkan putusan pengadilan negeri

b. Memperbaiki putusan pengadilan negeri

c. Membatalkan putusan pengadilan negeri dan mengadili sendiri, termasuk pula putusan-putusan yang :

1) Menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili

2) Memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan

3. Upaya Hukum Kasasi

Kasasi berasal dari kata casser dalam bahasa Perancis yang artinya memecahkan atau membatalkan.86 Upaya hukum kasasi ini asal muasalnya timbul di Perancis. Kemudian setelah Belanda dijajah Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Belanda dan selanjutnya oleh Pemerintah Belanda di bawa dan diterapkan di Indonesia.

Upaya hukum kasasi adalah tindakan yang dapat digunakan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah memeriksa perkara pada tingkat

83 H.M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2003), hal. 109

84 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 199 RBg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

85 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi, (Bandung : Mandar Maju, 2005), hal.

210

86 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. 163

banding dengan cara mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.87 Pada tingkat kasasi ini Mahkamah Agung (judex juris) bertugas menguji dan meneliti kesalahan penerapan hukum yang berlaku terhadap putusan pengadilan dibawahnya (judex factie) dan dapat melakukan pembatalan terhadap putusan tersebut, jika :88

a. Pengadilan yang lebih rendah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya apabila dalam putusan tidak memuat kalimat kepala putusan ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'' b. Pengadilan yang lebih rendah melampaui batas wewenangnya apabila yang

dilanggar wewenang pengadilan secara absolut

c. Pengadilan yang lebih rendah salah menerapkan atau melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dan hal ini yang sering terjadi dalam praktik karena perkembangan hukum terus meningkat sedangkan buku-buku hukum dan yurisprudensi masih jarang diterbitkan

4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordening (R.V) untuk memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan dibuka upaya hukum terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang disebut dengan request civil.89 Kemudian dalam perundang-undangan nasional istilah request civil diganti dengan peninjauan kembali.

Istilah peninjauan kembali dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 77. Namun upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat digunakan hanya karena

87 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 150

88 Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata- Teknis Menangani Perkara Di Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 100

89 A.T. Hamid, Hukum Acara Perdata Serta Susunan Dan Kekuasaan Pengadilan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), hal. 208

ada pihak yang keberatan dengan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ada alasan-alasan tertentu yang harus dipenuhi pemohon upaya hukum peninjauan kembali sehingga dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, yaitu :90

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu

b. Apabila setelah perkara diputus kemudian ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata

Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung juga memberi batasan dalam penggunaan upaya hukum peninjauan kembali sehingga permohonan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pembatasan upaya hukum kasasi hanya satu kali dan alasan-alasan yang telah disebutkan dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung tersebut merupakan batasan-batasan yang diberikan hukum untuk menghormati dan menjamin kepastian hukum dari putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Pada undang-undang kekuasaan kehakiman terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga diatur ketentuan upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal

90 Pasal 67 UU Mahkamah Agung

tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 juga memberi petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk tidak menerima dan tidak mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung terkait upaya hukum peninjauan kembali terhadap perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, kecuali permohonan peninjauan kembali diajukan terhadap suatu objek perkara yang memiliki dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan dan diantaranya ada yang diajukan peninjauan kembali maka SEMA Nomor 10 Tahun 2009 memberi petunjuk agar berkas permohonan peninjauan kembali diterima dan tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Pada tahun 2010, Herry Wijaya yang mewakili PT. Harangganjang memohon ke Mahkamah Konstitusi agar peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena ketentuan tersebut telah menghalangi hak konstitusionalnya untuk dapat mengajukan kembali upaya hukum peninjauan kembali terhadap sengketa hak milik atas tanah yang telah ditolak oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 1PK/Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2004.

Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 menolak permohonan Herry Wijaya dengan pertimbangan ketentuan upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali tidak melanggar UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat

apabila ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang. 91

Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang selaku Direktur CV. Kurnia Abadi juga mengajukan permohonan yang sama ke Mahkamah Konstitusi yaitu memohon agar peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permohonan ini diajukan karena Mahkamah Agung dengan putusan Nomor : 33PK/Pid.Sus/2009 tanggal 2 Juni 2009 telah menolak upaya hukum peninjauan kembalinya atas sengketa merek. Kemudian Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor : 64/PUU-VIII/2010 menolak permohonan Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang dengan pertimbangan bahwa terhadap permohonannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, sehingga pertimbangan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 secara mutatis mutandis berlaku juga kepada permohonan Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang.92

91 Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi

92 Putusan Nomor : 64/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi

Pada tahun 2013, ketentuan upaya hukum peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan sekali saja kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun ketentuan batasan peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi khusus hanya Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Pemohon juga tidak memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar menghilangkan batasan satu kali pada peninjauan kembali melainkan memohon agar ditambahkan ketentuan peninjauan kembali dapat diajukan kembali apabila ditemukan keadaan baru berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi.93

Permohonan tersebut diajukan oleh Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty (isteri dari Antasari Azhar) dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (puteri dari Antasari Azhar). Antasari Azhar merupakan terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta selatan Nomor : 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel atas kasus pembunuhan alm. Nasrudin Zulkarnaen yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010. Putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan putusan Mahkamah Agung Nomor : 1429K/Pid/2010 pada tanggal 21 September 2010. Kemudian Antasari Azhar mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor : 117PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012 yang pada intinya menolak upaya hukum peninjauan kembali.

Berdasarkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Antasari Azhar tidak memiliki upaya hukum lain untuk membersihkan namanya jika suatu saat terdapat bukti baru yang dapat memberikan putusan berbeda dengan putusan hakim sebelumnya.94

93 Putusan Nomor : 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi

94 Ibid., hal. 16

Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan Antasari Azhar dan memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan sekali dimaknai dengan mengecualikan ditemukannya keadaan baru. Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjadi berbunyi ''Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih dari sekali.''95

Pada Tahun 2014 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 sebagai petunjuk bagi Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013. SEMA tersebut mengatur bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum batasan peninjauan kembali yang telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Dan permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang telah diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali.

Pada penyelesaian perkara perdata maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja namun terbuka kemungkinan untuk diajukan lebih dari satu kali apabila permohonan peninjauan kembali terjadi dengan kondisi terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan terhadap suatu objek perkara yang sama dan

95 Ibid., hal. 24

terhadap salah satu putusan peninjauan kembali tersebut diajukan peninjauan kembali. Hal tersebut berlaku sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009.

5. Upaya Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)

Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun jika hak-hak pihak ketiga dirugikan oleh suatu putusan hakim, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut.96 Perlawanan oleh pihak ketiga ini disebut Derden verzet yaitu tindakan perlawanan dari pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam perkara yang diperiksa oleh hakim.97 Biasanya, Derden verzet digunakan sebagai upaya hukum oleh pihak ketiga atas penyitaan benda yang merupakan miliknya.98

Derden verzet ini diajukan kepada hakim yang memutuskan perkara dengan menggugat para pihak yang bersangkutan karena nyata-nyata hak perdatanya telah dirugikan dengan keputusan hakim tersebut.99 Derden verzet yang diajukan atas sita jaminan yang diletakkan pengadilan negeri dalam suatu perkara perdata hanya dapat dilakukan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai kekuatan hukum tetap serta sita jaminan tersebut belum diangkat.100 Apabila perlawanan

96 Pasal 378 R.V

97 Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 158

98 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 299

99 Sophar Maru Hutagalung, Op. Cit., hal. 102

100 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 300

tersebut dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.101

Bentuk-bentuk upaya hukum dalam perkara perdata apabila dibuat dalam suatu alur, maka penyelesaian satu perkara perdata dapat melalui beberapa tahapan seperti berikut :

Gambar 1.

Alur Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata

Alur Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata

Dokumen terkait