• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata benda ( مسإ / noun )

IV EPISTEMOLOGI NAHWU SIBAWAIH

D. KAJIAN BAHASA YUNANI DAN SIBAWAIH

2. Kata benda ( مسإ / noun )

Kata benda didefinisikan oleh Thrax sebagai kata yang dapat diubah­ ubah (tashrif) yang menunjukkan makna konkrit atau abstrak. Makna

72 Aristoteles, Organon, terj. H. 50.

73 Aristotle, The Categories on Interpretation, by. Harold P. Cook (London: William

Heinemmann Ltd, 1960), h. 115

74 Abi Sa’id al­Syairafi, Syarh Kitab Sibawaih, (Damaskus: al-Hay’ah al-Shuriyyah,

1986), Jilid 1, h. 53

yang konkrit diberi contoh “batu”, sedangkan yang abstrak dicontoh kan “pendidikan”. Selain dua jenis itu, Thrax mengklasifikasikan kata benda menjadi dua macam yaitu kata benda yang masih umum (common noun) seperti orang, kuda dan kata benda yang sudah tertentu (proper noun) seperti nama orang76. Istilah ini nampaknya sama dengan istilah ism al-

jins untuk common naouns dan ism al-‘alam untuk proper nouns.Ism al-jins

adalah kata benda yang tidak meunjukkan makna tertentu, seperti rajul

(seorang laki-laki), imra’ah (seorang perempuan), dâr (rumah), kitâb (buku) dan termasuk juga kata ganti (dhamir), ism al-maushul, ism isyârah, ism al- syarath, ism al-istifhâm. Sedangkan ism al-‘alam adalah kata benda yang sudah menunjukkan makna khusus, seperti Khalid, Fatimah, Damaskus, dan Jakarta77. Sibawaih nampaknya belum menggunakan istilah ini.

Namun berdasarkan komentatornya, ada pembahasan mengenai ismal- jins ini, dalam pembahasan mengenai perbedaan kata benda masculine dan feminin78.

Dari pembagian kata oleh Thrax ini, kemudian dibagi menjadi lima kategori, yaitu; gender, spesies, bentuk, bilangan, dan cases (

ْلاَ ْلحَا

). Dari aspek gender ia membagi menjadi tiga kelamin, laki-laki, perempuan dan netral (neuter). Tidak dijelaskan apa maksudnya netral, bisa jadi semacam banci (fifty-fifty) dalam bahasa Indonesia79. Hal ini bisa saja

didasarkan pada pengamatan di tengah masyarakat Alexandria waktu itu. Dalam penjelasan ini selanjutnya hanya menjelaskan mengenai jenis- jenis kata benda dengan berbagai varian dalam dunia empiris. Sementara

gender dalam bahasa Arab sangat berperan dalam membentuk struktur kalimat. Sibawaih menjelaskan mengenai kejadian kata benda mudzakkar

(masculine) dan muannats (feminine) yang terbentuk dari nama asli atau hasil dari perubahan kalimat. Ia juga menjelaskan bagaimana posisi subyek laki-laki namun menggunakan kata benda perempuan berdasarkan bentuk

76 Secara umum diartikan sebagai nama orang, tempat dsb secara partikelir. (the

names of particular individuals, places, etc). lihat Clive Holes, Modern Arabic; Structure, Function, and Varieties,h. 163.

77 Mushthafa al-Ghalayiniy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Beirut: Mansyûrât al-

Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), h. 108-109.

78 Sibawaih, al-Kitab , j. 4, h. 44. 79 Dyonisius Thrax, The Grammar,h. 8.

kata tersebut, karena dalam bahasa Arab dikenal beberapa asal-usul kata benda dari sisi gender, apakah ia asli laki-laki atau perempuan, bisa dilihat dari, 1) hakekat benda tersebut, 2) bentuk tulisan kata tersebut80.

Penjelasan selanjutnya mengenai kata benda, Thrax membagi be- berapa kategori kata benda lagi. Dari tataran species, ia membagi primitive

dan derivative. Kata benda primitive dijelaskan sebagai kata benda yang asli, dalam arti bukan merupakan turunan atau bentukan dari kata lain seperti bumi (earth). Istilah ini tidak ditemukan dalam pembahasan oleh Aristoteles. Ia hanya membahas mengenai adanya jenis kata mengenai species yang membawahi pembagian genus. Sedangkan kata benda

derivative adalah kata benda yang berasal dari turunan kata lainnya, seperti sapu tangan81. Kata ini pada intinya adalah penggabungan kata lain yang

masih berhubungan dengan kata yang digabung, sehingga susunannya menjadi; satu kata pokok dan satu kata turunan, yang letaknya bisa di depan atau di belakang. Sedangkan kata benda derivative dibagi lagi men jadi tujuh kategori, yaitu patronimics, possesive, comparative, diminutive, nominal, superlative dan verbal.

80 Muhammad Pribadi, al-Tadzkîr wa al-Ta’nîts fî Lughat al-‘Arabiyyah wa al-

Indunisiyyah, dalam Jurnal Al-Jâmi’ah, no. 62/ XII/ 1998. H.200. Pembagian gender

perempuan (feminine) dalam bahasa Arab mengenal empat kejadian. 1) al-mu`annats al-lafdzi, yaitu kata benda yang menunjukkan perempuan dilihat dari huruf kata benda tersebut, yaitu kata benda (ism) yang diakhiri dengan huruf ta` marbuthah (

ة),

contohnya adalah ; ةجلط ,ةمطاف, yaitu yang pertama menunjuk kepada nama laki-laki namun secara harfiy atau literal menunjukkan perempuan. 2) al-muannats al-haqiqiy, yaitu kata benda perempuan yang dilihat dari jenis kelamin yang sebenarnya, baik pada manusia atau hewan (yang berkelamin). 3) al-Mu`annats al-majaziy, yaitu kata benda tidak bernyawa yang dianggap perempuan dalam bahasa Arab, contohnya ,سمش ,ينع 4 .راد,لجر) al-Mu`annats al-Ma’nawiy, yaitu kata benda perempuan yang secara makna sudah menunjukkan perempuan, tetapi secara bentuk kata dalam hurufnya tidak menunjukkan perempuan, seperti ديه. Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durus al- ‘Arabiyyah,h. 80. Ada juga yang menambahnya menajdi al-mu`annats al-ta`wiliy dan al- mu`annats al-hukmiy, tetapi kurang populer. Lihat Muhammad Pribadi, al-Tadzkîr wa al-Ta’nîts fî Lughat al-‘Arabiyyah wa al-Indunisiyyah, dalam Jurnal Al-Jâmi’ah, no. 62/ XII/ 1998. H.202-203. Sementara Sibawaih menggunakan istilah-istilah washf, `ayn,dan nafs

untuk menunjukkan kata benda di atas. Lihat Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 237.

81 Ia memberi contoh earth (bumi) untuk imposisi, dan earth-born (bumi-lahir).

Penulis menduga ini adalah ungkapan yang digunakan di Alexandria waktu itu untuk menunjuk sesuatu, sehingga penulis lebih memaknainya sebagai makna kata benda asli dan konotasi.

Patrinimics adalah nama orang yang terbentuk dari nama orang tua biologisnya, baik pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, yaitu penyebutan nama orang tua biologis dari jalur bapak selalu menyertai nama belakang anaknya, atau system matrilineal, menyebut nama ibu di belakang nama asli82. Dalam bahasa Arab, penyebutan nama asal bapak

sudah lazim, bahkan hingga beberapa generasi di atasnya adalah hal yang biasa. Penyebutan ini sebagai symbol kelompok dan kebanggaan bagi orang Arab. Ini sekaligus menjelaskan genealogis biologis seseorang dalam hal suku mana ia termasuk. Namun nampaknya Sibawaih tidak membahas secara khusus mengenai aturan ini.

Sedangkan kata benda possessive adalah kata benda yang menunjuk- kan kepunyaan. Kata ini hanya nampak dalam bahasa inggris (English), karena dalam Bahasa Indonesia tinggal menambah kata ganti atau nama pemilik, seperti “bukunya” atau “buku si Budi”. Dalam bahasa Inggris, untuk menunjukkan kepunyaan, dengan cara menambahkan huruf “s” dibelakang kata benda baru diikuti nama pemilik jika perlu. Sedangkan jika menggunakan kata ganti dengan merubahnya, misalnya untuk you menjadi yours, me menjadi mine dan seterusnya. Dalam pem- bahasan keterangan milik menurut tata bahasa Arab, adalah dengan menggabungkan kata benda dengan melekatkan ke kata benda yang lain, dalam hal ini bisa yang berakal atau yang tidak berakal. Aturan peng gabungan ini dibahas dalam bab mengenai idhâfah. Tetapi dalam pembahasan mengenai idhafah, keterangan makna ini hanyalah salah satu bagian dari metode penggabungan kata. Adapun makna milik adalah asumsi makna dari sebuah huruf yang dihilangkan yaitu 83

ـِل.

Sibawaih tidak secara khusus membahas mengenai idhâfah yang bermakna milik ini. Selanjutnya penjelasan mengenai comparative noun, yaitu kata benda yang digunakan untuk membandingkan. Kata ini tidak dibahas di dalam bahasa Indonesia. Sibawaih menjelaskan hal ini dengan istilah isim tafdhil, yaitu kata benda derivative yang berasal dari masdar dengan menambahkan huruf hamzah di awal kata itu sesuai pola (wazan) af ’ala (

َلَعْفَأ

)84.

82 Dyonisis Thrax, The Grammar, h. 9.

83 Mushthafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, j.3, h. 206 84 Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h. 203.

Grammar Bahasa Indonesia Sibawaih Thrax

Comparative noun Lebih indah َلَمْجَأ More beautiful

Thrax membagi perbandingan kata (comparative noun) menjadi per ban- dingan untuk superlative dan diminutive. Superlative adalah perbandingan untuk menunjukkan makna “lebih” (super) dalam arti positif, sebaliknya

diminutive untuk menunjukkan makna lebih dalam arti negative (bisa ber arti merendahkan). Aristoteles tidak memerinci mengenai hal ini sebagai bagian dari kata benda (nouns). Ia langsung memberikan contoh dan tidak membandingkannya dengan diminutive, sebagaimana Thrax85.

Dalam terminologi nahwu, pola superlative bisa dijelaskan sebagaimana keterangan di atas, namun untuk pola diminutive disamakan dengan pola

tashghir

(ْرْيِغ ْصَتْلا

ُم ْسِإ)

yang secara leksikal bermakna mengecilkan atau menyedikitkan. Sibawaih menjelaskan panjang lebar mengenai pola

tashghir ini dalam 86 halaman pada jilid tiga, dan telah menggunakan istilah ini dalam kitabnya.

Pada permulaan penjelasannya, ia menjelaskan mengenai pola kata

tashghir dalam tiga bentuk:

ٌلْيِعْيَعُف ,ٌلِعْيَعُف ,ٌلِْيَعُف.

Pola ini berdasarkan pada jumlah huruf yang ada dalam kata tersebut. Pola pertama (dari kanan) adalah pola untuk kata yang terdiri dari tiga huruf, yang kedua empat huruf, dan yang ketiga adalah lima huruf86. Makna ini selain ber-

makna mengecilkan secara etimologis, penggunaannya dimaksudkan untuk merendahkan, baik merendahkan diri maupun orang lain87. Pola-

pola yang rumit kemudian dijelaskan satu-persatu sesuai fenomena kata yang eksis dalam bahasa Arab yang mengenal beberapa tingkatan derivasi dari satu kata menjadi kata lain.

Kata benda, sebagaimana penjelasan Thrax yang lain berbentuk

nominal, yaitu kata yang menunjukkan bilangan atau jumlah benda88.

Dalam Bahasa Indonesia, hal ini hanya dengan menunjukkan angka baru disusul dengan nama benda. Sibawaih juga mmebuat aturan-

85 Aristotle, Posterior Analitics, h. 649. 86 Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 415-416. 87 Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 417. 88 Dyonisius Trhax, The Grammar, h. 9.

aturan tersendiri mengenai bilangan dan aturan-aturan yang berhasil diamatinya. Ia membagi klasifikasi dalam 17 bentuk sebagai berikut: a) Antara bilangan tiga sampai angka sepuluh

Aturan ini ditetapkan ketika sebuah bilangan melekat dengan kata benda, yang dalam bahasan ini Sibawaih memasukkannya dalam bab Shifat al-musyabbah bi al-fâ’il, yaitu kata benda yang ketentuan- ketentuannya diserupakan dengan ketentuan fâ’il (subject)89. Aturan

tersebut yaitu ketentuan tentang dibaca rafa’ diakhir kata serta kan dungan perbuatannya (fi’l). Ketentuan bilangan ini menurut Sibawaih yaitu kata benda yang mengikuti bilangan disyaratkan harus berbentuk jamak (plural) untuk bilangan tiga sampai sepuluh90.

Ketentuan yang lain dari bilangan dari dua hingga sepuluh adalah mengenai cara penggabungan berdasarkan gender, yaitu antara bentuk bilangan perempuan dan kata benda laki-laki atau sebaliknya91. Hal-hal tersebut tidak dibahas, baik dalam grammer-nya

Trhax maupun Aritoteles. Antara keduanya hanya menggariskan bahwa untuk bentuk frasa yang terdiri dari bilangan dan kata benda hanyalah menggabungkan bilangan itu dengan kata benda92.

b) Penggabungan bilangan dan kata benda yang tidak pantas

Istilah yang digunakan oleh Sibawaih dalam hal ini adalah dengan kata “tidak pantas”,

ُن ُس ْحَي َلا

, yaitu ketika kata bilangan (‘adad) di-

tanwin kepada kata benda jamak93.

c) Bentuk urutan angka (ordinal)

Sibawaih juga menjelaskan aturan urutan angka dengan penekanan pada bentuk gendernya. Untuk urutan angka ini yang digunakan hanyalah bentuk male (mudzakkar)94.

d) Aturan penulisan harakat‘ain fi’l95 pada kata

َةَر ْشَع

, yaitu huruf 89 Sibawaih, al-Kitab ,j 1, h. 206.

90 Sibawaih, al-Kitab , j.1, h. 206 91 Sibawaih, al-Kitab j 3, h.557

92 Aristoteles, Posterior Analytics ,( London: William Heinemmann Ltd, 1960) h. 207. 93 Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 566.

94 Sibawaih, al-Kitab ,h. 561

95 Dalam susunan huruf sebuah kata dalam bahasa Arab, dikenal pola لعف, yaitu

kedua yang berupa huruf

ش

di sukun.

e) Aturan penambahan huruf

لأ

setelah bilangan

Aturan ini sebagaimana aturan adanya لأ pada kata benda yang lain, seperti bentuk kata benda yang bisa di-tanwin (munsharif)96

f) Cara penulisan angka 11 dan 12.

Kedua angka ini berbeda dalam penulisan karena memiliki pola khusus yang tidak sama dengan pola yang lain. Kalau pada angka satuan penyebutan angka satu dengan kata

دحاو

maka pada angka sebelas dengan awalan دحأ dan ditambah dengan angka puluhan

رشع

. Begitu pula untuk angka 12 maka tidak ditulis

رشع يننثإ

tetapi dengan kata

انثإ

رشع. kedua pola ini digunakan untuk pola gender laki-laki. Untuk perempuan ada aturan tersendiri97.

g) Aturan istilah 98

َع ْضِب

h) Aturan penulisan angka seratus, ratusan dan ribuan i) Aturan penggunaan jenis kelamin (gender) dalam angka

Aturan-aturan ini oleh Sibawaih dijelaskan berdasarkan fenomena pengucapan yang ada di Arab. Tentu saja aturan-aturan ini tidak di- temukan dalam penejelasan grammar oleh Aristoteles maupun Thrax. Bahkan hingga kini, aturan ini nampaknya hanya ditemukan dalam bahasa Inggris. Ciri yang khas dari aturan bahasa Arab ini adalah pem- berlakuan gender dalam bilangan99.

Kategori terakhir dari kata benda derivative menurut Thrax adalah

verbal, yaitu kata yang merupakan turunan dari verb; kata benda100. Nam-

paknya dalam bahasa Arab ini identik dengan isytiqaq, yaitu kata yang berasal dari bentuk lain dalam kata kerjanya. Kata ini kemudian membentuk macam-macam kata sesuai posisinya masing-masing. Dalam bahasa

urutan huruf. Pola ini kemudian diterapkan dalam semua kata yang bisa diderivasikan dari kata kerja tersebut.

96 Sibawaih, al-Kitab , j. 1, h.206. 97 Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 558. 98 Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 561. 99 Lihat Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 561-564.

100 Thrax, The Grammar, h. 13. Lihat juga teori derivative dalam Max Muller, Science

Arab bahkan kata kerja bisa sekaligus membentuk kata benda yang bermacam-macam, seperti bentuk pekerjaan itu sendiri (mashdar), pelaku (fâ’il), kata keterangan tempat (ism –al makan), keterangan waktu (ism al- zaman), dan alat (‘alat). Proses ini dalam bahasa Arab dipelajari dalam ilmu

sharf101. Sibawaih tidak menyebut kata-kata ini, karena diyakini memang pada masa Sibawaih ini belum terbentuk ilmu tersendiri tentang Sharf102. Meskipun tidak disinggung secara khusus dalam satu bab, perubahan- perubahan itu tetap dibahas dengan istilah lainnya. Seperti kata mashdar

(

ردصلما

) yang ia bahas dengan dimulai pada keterangan bentuk kata yang dibagi dalam tiga macam pola, dengan menyebut bentuk kata tersebut. Tiga pola kata tersebut adalah

ُلَعْفَي-َلَعَف ,ُلِعْفَي-َلَعَف ,ُلُعْفَي-َلَعَف

103

.

Dari

ketiga bentuk pola tersebut, kesemuanya adalah pola kata yang terdiri dari tiga huruf pokok (asal). Dari ketiganya, ketika terbentuk menjadi pola pelaku pekerjaan (fâ’il) maka akan menjadi

لاِعاَف(fâ’ilan)

104

.

Aturan mengenai bentuk kata yang lain adalah mengenai frasa, yang dalam istilah Thrax dibagi menjadi tiga, yaitu; simple, compound, dan

super compound. Sebagaimana penjelasan yang lain, ia juga kadang hanya menyebutkan contohnya, tanpa menyebut definisnya. Contoh kata yang

simple adalah Memmon, untuk yang compound adalah Agamemmon, dan untuk super-compound adalah Agamemmonides, philippides105.

101 Dalam terminolgi ilmu bahasa Arab setelah masa Sibawaih, ada dua bahasan

pokok darinya, yaitu; 1) bahasan mengenai kata, 2) bahasan mengenai struktur kalimat. Yang pertama dibahas dalam ilmu sharf dan yang kedua dibahas dalam ilmu nahwu. Ilmu

sharf dengan demikian membahas mengenai asal-usul suatu kata dan perubahannya, di luar perubahan I’rab dan bina`, karena dua perubahan ini dibahas dalam ilmu nahwu.

Dengan demikian yang dibahas dalam ilmu sharf adalah kata-kata yang dapat diturunkan (derivasi) kepada kata yang lain. Istilah-istilah yang muncul dalam ilmu sharf adalah I’lal, idghâm, dan ibdâl. Lihat Mushtafa al-Ghalayini, Jâmi’ al-Durus al-‘Arabiyyah,(Kairo: Dâr al-Hadîts, 2005), h. 8.

102 Lihat kembali bab III.

103 Pola tersebut adalah asal kata yang akan merubah bentuk pola yang lain ketika

berubah dalam beberapa turunan. Perubahan terlhat dari harakat pada huruf ketiga dari fi’l pasangannya.

104 Lihat Sibawaih, al-Kitab, j. 4, h. 5.

105 Dalam setiap contohnya, tidak dijelaskan arti dari bahasa yang digunakan untuk

contoh tersebut. Bisa jadi hal itu memang tidak diketahui oleh penerjemah bahasa Inggris-nya

Penjelasan ini nampaknya sama dengan istilah kata tunggal dan frasa. Frasa adalah gabungan kata yang saling terkait dan berposisi se bagai fungsi tertentu dalam kalimat, atau suatu bentuk yang secara sintaksis sama dengan satu kata tunggal, yang dengan demikian dapat diganti dengan satu kata saja106. Kata tunggal dalam penjelasan Sibawaih sudah

dijelaskan dalam pembagian kata sebagaimana sebelumnya. Sedangkan frasa (al-Murakkab/

تابكرلما

) oleh Sibawaih dibagi menjadi empat, yaitu

al-murakkab al-isnadî, al-murakkab al-idhafî, al-murakkab al-‘adadî, dan

al-murakkab al- mazjî107. Penjelasan-penjelasan yang ada sebagaimana penjelasan yang lain mengenai ketentuan-ketentuan, dalam arti bahwa penjelasan itu tidak mengenai definisi kata melainkan tentang cara peng­ gaungan dan mana dari masing-masing kata. Misalnya ketika sebuah kata benda digabung dengan nama keluarga, negara, suku atau kelompok, maka dalam istilah Sibawaih disebut dengan makna nisbat, yaitu makna sebuah kelompok atau bangsa108. Makna yang kedua bisa juga diartikan

sebagai milik atau komplemen dari sebuah benda.

Untuk penjelasan murakkab isnâdî, Sibawaih tidak secara khusus menyebut susunan kata tersebut sebagai murakkab isnâdî. Ia membahasnya dalam bab mengenai hikâyah atau cerita109. Ia menjelaskan bahwa, jika

ada nama orang yang disandarkan kepada sesuatu maka penulisan itu dalam menyebutkan namanya tetap ditulis sebagaimana penyandaran- nya (isnad). Begitu juga untuk murakkab idhafî, yang ketentuannya sama dengan ketentuan murakkab isnâdî. Dalam menjelaskan murakkab ‘adadî

atau bilangan sebelas ke atas, maka ia menghukuminya sebagaimana

murakkab mazjî110, yaitu dua kata yang dijadikan satu dan dianggap satu kata. Akan tetapi perbedaannya adalah bahwa pada murakkab ‘adady

hukum I’rab-nya berlaku pada kata yang pertama. Kesamaan dengan

murakkab mazjî dengan demikian hanya dalam hal adanya perubahan 106 Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2004), h.33.

107 Sebenarnya istilah ini tidak meuncul dari Sibawaih, dalam al-Kitab, nampaknya

istilah ini dimunculkan oleh komentatornya.

108 Sibawaih, al-Kitab, j. 3, h. 335. Arti murakkab secara literal adalah tersusun. 109 Sibawaih, al-Kitab , j. 3, h. 326.

110 Sibawaih, al-Kitab , j.3, h. 296-297. Murakkab mazjiy memiliki cirri khas sebagai

kata dari masing-masing kata yang digabung tersebut.

Batasan frasa yang dijelaskan oleh Thrax hanyalah penggabungan dua kata atau lebih tanpa menjelaskan fungsi masing-masing dalam posisinya. Begitu pula penjelasan oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa

coumpound noun adalah gabungan dua kata atau lebih111.Hal ini ber beda

dengan penjelasan Sibawaih yang menjelaskan posisi itu, yang masing- masing memiliki makna yang berbeda.

Dalam hal jumlah sebuah benda, nampaknya antara Sibawaih, Aristoteles dan Thrax memiliki kesamaan. Menurut ketiganya, cara pe- nulisan antara satu benda dengan dua dan banyak benda berbeda. Sehingga, berbeda dengan Bahasa Indonesia, dalam tata bahasa ketiga- nya nampaknya tidak ada perbedaan. Lagi-lagi, perbedaan hanya dalam pembedaan gender terhadap sebuah benda. Namun ini sekaligus men - jadi varian perbedaan yang mendasar dalam hal gender antara bahasa Yunani dan bahasa Arab. Thrax menjelaskan bahwa dalam bahasa Yunani ada tiga varian jumlah kata benda yaitu, singular, dual, dan plural112. Ini sama dengan dalam bahasa Arab dengan istilah mufrad, tatsniyah, dan

jama113. Satu hal yang tidak ada dalam definisi jamak (plural) menurut Thrax adalah apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan shighat muntahâ al-Jumu’, yaitu yang berbeda dengan jama’ biasa. Ia sering di- artikan sebagai banyak sekali. Dari semua bentuk number dalam bahasa Arab, aturan-aturan gender masih diberlakukan dengan varian masing- masing. Sementara dalam bahasa Yunani tidak diketahui apakah per­ bedaan gender ini kemudian berpengaruh terhadap bentuk kata kerja dalam predikat nya.

Secara umum, pembagian Thrax mengenai adanya kata benda

primitive dan derivative nampaknya sama dengan fenomena ism jâmid dan

ism musytaq (istyitqâq). Dalam bahasa Arab, hampir semua kata kerja bisa dijadikan kata benda lewat proses derivasi. Bagi Sibawaih, kata kerja (fi’l) berasal dari kata benda (ism)114. Istilah yang ia pakai memang bukan

111 Aristotle, The Categories on Interpretation, h. 123. 112 Thrax, The Grammar, h. 9.

113 Sibawaih, al-Kitab , j.2, h. 48. 114 Sibawaih, al-Kitab ,j. 1, h. 20-21.

isytiqaq, tetapi hanya menjelaskan asal kata kerja tersebut. Kata musytaq

dimunculkan oleh komentatornya. Isytiqaq nampaknya muncul dalam terminologi setelah generasi Sibawaih. Dalam menjelaskan isytiqaq,

Musthafa al-Ghalayini menterjemahkannya sebagai menurunkan kata dari kata yang lain dengan syarat adanya kesesuaian antara kata yang diturunkan dengan turunannya, baik dalam hal susunan huruf maupun maknanya115. Kata turunan atau derivasi dalam pembahasan Aristoteles

cenderung berorientasi pada sebuah kata yang merupakan turunan atas penamaan sebuah benda116.

Pembahasan Thrax selanjutnya adalah mengenai cases yang dalam bahasa Arab identik dengan hâl. Aristoteles juga menjelaskan me- nge nai contoh kata “of Philo” dan “to Philo” yang disebutnya bukan sebagai nouns, tetapi cases of nouns. Sedangkan Sibawaih menjelaskan makna hâl sebagai kata yang mengandung posisi atau keadaan subject ketika melakukan sesuatu yang digambarkan dalam predikat117. Thrax

kemudian membagi cases menjadi lima bentuk; the right, the generic, the dative, the accusative, dan the vocative. The right disebut juga dengan the nominative

atau the direct118. Sementara the generic disebut juga the possessive dan the

partial. Sedangkan the dative disebut juga dengan the injunctive. Dan the accusative berasal dari cause. Sedangkan the vocative disebut juga dengan

allocutive.

Beberapa bagian bisa dijelaskan dalam terminologi nahwu (grama- tika Arab) yang digunakan Sibawaih. Seperti padanan yang dibuat Muhammad ‘Ali Khuli, the right case atau the nominative case adalah sama dengan hâlat al-rafa’119. Sibawaih belum menggunakan istilah hal untuk menjelaskan hal-hal tersebut. Ia langsung menjelaskan mengenai kaidah- kaidah isim yang kelak menyerupai hal tersebut. Ia menjelaskan istilah itu dengan menyebut adanya sebuah kata dalam posisi yang menjelaskan