• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSMISI INTELEKTUAL DALAM ISLAM

II FILSAFAT YUNANI DAN PEMIKIRAN ISLAM

B. TRANSMISI INTELEKTUAL DALAM ISLAM

Transmisi ilmu pengetahuan memainkan peran penitng dalam trans- misi intelektual dalam Islam.Islam yang lahir dan tumbuh keluar Arab mewarisi tradisi transmisi keilmuan orang Arab sebelumnya yang hidup di gurun, yaitu ketrampilan seperti menunggang kuda, menghafal dan membuat syair dan sastra50. Adapun tradisi intelektual di sini adalah

tradisi yang berkembang meliputi penerimaan atas hellenisasi dan pe- ngem bangan ilmu pengetahuan awal-awal Islam di Persia. Ini untuk mem bedakan dengan tradisi hellenisasi yang lebih bernuansa filsafat Yunani, dan dengan demikian tradisi intelektual yang dimaksudkan dalam tulisan ini ingin lebih menarik keluar dari pembahasan mengenai tradisi filsafat Yunani kepada ilmu yang lebih luas. Hal ini mengingat Islam memiliki karakteristik sendiri dalam keilmuannya, yang berbeda dengan tradisi sebelumnya. Sementara Islam telah menjadi lembaga tersendiri dengan hadirnya simbol-simbol yang membedakan dengan tradisi lain; kalau hellenisme, misalnya, memiliki Plato dan Aristoteles, Nasrani memiliki Nabi Isa dengan semangat injil, maka Islam kami letakkan secara ber beda dengan tradisi sebelumnya; di dalamnya ada kajian mengenai politik, dakwah, ilmu pengetahuan, kajian tafsir, hadits dan sebagainya.

Landasan awal dari pemikiran dan tradisi keilmuan dalam Islam, selain adanya dalil naqli (text), baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, juga berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan yang berpikir dan bisa berbicara (hayawan al-nâthiq)51. Kesadaran

akan hal ini memicu keinginan untuk menggali potensi yang ada untuk berpikir, baik dalam skala sempit maupun yang lebih luas. Dalam skala sempit adalah bagaimana bertahan hidup, sedangkan yang lebih luasnya adalah bagaimana membuat kemudahan hidup dan kepuasan lain. Berpikir filsafat dianggap sebagai bagian dari berpikir yang luas ini. Dari

50 Dalam tradisi kehidupan di gurun (desert), ketrampilan “olah vocal” melalui

kepandaian puisi adalah pendidikan pertama yang diterimanya dalam hal intelektual. Lihat Charles Michael Stanton, The Higher Learning in Islam, h. 14.

51 Muhammad Abdurrahman Marhaba, Min al-Falsafat al-Yunaniyyah ila al-Falsafat

pola ini muncul dua bentuk ilmu dalam Islam, yaitu ilmu naqliyah dan ‘aqliyah52.

Sepeninggal Nabi Muhammad, tradisi wahyu dalam Islam dianggap telah selesai dan kemudian dilanjutkan dengan tradisi penyampaian kabar dari Nabi (hadits) secara oral yang disebut tradisi riwayat. Tradisi riwayat ini menempati peran sentral dalam transmisi keilmuan awal dalam Islam dan kemudian berkembang hingga menjadi tren metodo logi pada abad kedua. Abad inilah yang disebut oleh Fazlurrahman sebagai fenomena metodologi keagamaan53. Tradisi ini kemudian terkodifikasi

pada abad ketiga dalam bentuk enam compendium buku hadits yang ter- kenal dengan istilah ashhab al-sittah. Fenomena ini dianggap menarik karena dalam jangka yang begitu lama untuk ukuran berita, hadits bisa di saring menjadi sebuah catatan yang diterima dan disahkan sebagai asli dari Nabi.

Penelusuran mengenai hadits ini diduga tidak terjadi atau muncul pada satu masa pada abad dua saja tetapi sudah muncul sejak perluasan dan penyebaran Islam itu sendiri. Hal ini melihat kompleksitas yang mengitari sebuah hadits, yaitu adanya ketentutan-ketentuan khusus yang mengaturnya sehingga apa yang disampaikan secara berurutan dari orang per orang tersebut kemudian menjadi pegangan banyak orang dan diakui validitasnya. Tradisi penyampaian materi kabar dari Nabi ini me ngan dung dua hal, yaitu materi pokok dari informasi dan siapa yang menjadi jalur periwayatnya (isnad/ transmiter)54.

Transmisi keilmuan dengan cara oral dan tertulis ini menandai per- kembangan awal keilmuan Islam. Pada tradisi oral, dilakukan dengan cara mendengarkan secara langsung ilmu dari seseorang yang memiliki otoritas terhadap hal itu. Otoritas itu di antaranya ditandai dengan ke- mampuan seseorang untuk menguasai satu bidang tertentu dengan basis ingatannya yang kuat. Tradisi mengingat telah menjadi tradisi yang

52 Lihat Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam,( London: Routledge,

2006), h. 39. Lihat juga Siti Maryam, ed. Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik Hingga Modern,( Yogyakarta: LESFI, 2003), h.72.

53 Fazlurrahman, Islam,terj. (Jakarta: Penerbit Pustaka, 1984), h. 51-52. 54 Fazlurrahman, Islam,h. 68-69..

sangat mengakar dalam masyarakat Arab hingga masa Islam. Tradisi oral ini menurut Gregor Schoeler berlangsung hingga abad kedua Hijrah yang disebutnya dengan masa pembentukan teks, Tradisi oral dengan mendengar dari guru secara langsung dianggap merupakan metode ter- baik dalam dunia Islam hingga muncul istilah sanad55.

William C. Chittik mencatat dari para filosof Islam bahwa mereka membedakan pengetahuan antara yang ditransmisikan dan pengetahu- an intelektual. Pengetahuan yang ditransmisikan adalah pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun atau dari orang lain secara lisan, dalam arti tidak bisa diperoleh dengan cara kerja akal sendiri. Ia men- contohkan dengan ilmu-ilmu seperti ilmu bahasa, wahyu, kalam dan fiqih (Islamic Jurisprudence). Sedangkan pengetahuan intelektual adalah sebaliknya, yaitu ilmu yang dapat diperoleh melalui cara kerja akal secara sistemik, seperti matematika dan astronomi, termasuk juga meta- fisika, kosmologi dan psikologi56. Dalam konteks inilah kemudian ia

me nge lompokkan para filosof sebagai komunitas yang memperoleh penge tahuan intelektual; berdasarkan perenungan dan pemikiran yang mendalam terhadap realitas. Namun yang membedakan mereka dengan pemikir Kristen dan Yunani adalah bahwa mereka tetap mendasarkan pada keyakinan tauhid. Konsep tauhid adalah konsep keesaan Tuhan dan pembedaannya atas makhluknya57. Dalam kasus ini Fazlurrahman

menyebut dengan tradisi verbal dan praktis. Tradsisi verbal adalah ke- ingintahuan masyarakat pada awal Islam untuk mengetahui sifat dan tindakan nabi dengan mencari informasi dari orang-orang yang pernah menemani atau sekedar dekat dengan nabi. Sedangkan tradisi praktis

55 Gregor Schoeler, The Oral and The Written In Early Islam, h. 45

56 Dalam penjelasan selanjutnya ia segera menambahkan bahwa dalam Islam,

antara akal dan wahyu terdapat harmoni keselarasan yang tidak bisa dipisahkan secara antagonistic. Lihat tulisan William C. Chittick dalam Ted Peters, Muzaffar Iqbal dan Syed Nomanul Haq (ed), Tuhan, Alam dan Manusia; Perspektif Sains dan Agama,

terj. (Bandung: Mizan, 2006), h. 146-150. Pembedaan ini di barat sebagian dikenal sengan pengetahuan Athena dan Yerussalem.Athena mewakili penggunaan akal dan Yerussalem mewakili penggunaan wahyu. Ini nampaknya menggunakan idiom dalam tradisi Kristen

adalah praktek yang telah berlangsung secara cultural semenjak nabi masih hidup hingga setelah meninggal dan berlangsung secara bersama di beberapa tempat dengan transmisi dari orang yang juga pernah hidup bersama dan melihat langsung perilaku nabi.

Sementara George Makdisi menceritakan metode pengetahuan dalam Islam melalui tradisi hapalan. Sebenarnya penyebutan tradisi hapalan ini hanya untuk menyederhanakan pola tradisi riwayah dan dirayah. Dalam catatannya, ia menjelaskan bagaimana seseorang pada masa awal Islam menghapalkan syair-syair Arab kuno untuk mendukung argumen dan melahirkan ilmu nahwu58. Ini nampaknya menegaskan

pen dapat William C. Chittick di atas dengan penyebutan metode trans- misi dalam pengetahuan.

Sedangkan Al Ghazali (W. 1111 M) mengklasifikasikan pemeroleh­ an ilmu berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu insany dan ilmu rabbany. Ilmu insany adalah ilmu yang diperoleh melalui pembelajaran biasa, yaitu menggunakan media panca indra, tulisan atau transmisi melalui guru. Sedangkan rabbany berarti ilmu yang langsung dari Tuhan, bisa dalam bentuk wahyu yang sudah tertulis maupun dalam bentuk ilham59.

Dari ketiga penulis di atas, meskipun istilah yang digunakan ber- beda, namun nampaknya arah dan maksud dari istilah tersebut adalah sama; yaitu adanya dikotomi antara ilmu yang diperoleh dengan pena- laran akal secara langsung dan melalui wahyu yang sudah tertulis. Hanya al Ghazali nampaknya lebih menekankan bahwa istilah wahyu dan ilham itu sendiri bermakna sebagai ilmu yang bisa diperoleh tanpa me- lalui transmisi dari orang-perorang, melainkan melalui penalaran dan pemikiran yang mendalam yang dihasilkan dari bentuk-bentuk ritual pe- nyucian jiwa; istilah yang bayak dipakai dalam dunia tasawuf.

Dalam konteks penyebaran ilmu pengetahuan dan filsafat dari Yunani ini, tradisi keilmuan jelas diperoleh melalui adanya transmisi dari per orangan ataupun lembaga terutama lewat jalur daerah-daerah yang

58 George Makdisi, Cita Humanisme Islam,terj. ( Jakarta: Serambi, 2005), h. 316. 59 Al Ghazaliy, Risalah Laduniyah dalam Majmu’at Rasail, (Kairo: Maktabah Tawfiqiyah,

tadinya menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, seperti kota­kota di Syria dan Alexandria (Mesir). Ini artinya dunia Arab atau dalam hal ini Persia tidak mengembangkan tradisi pemikiran filsafat sebagaimana Yunani. Dalam arti bahwa apa yang di­ peroleh di dunia Arab adalah hasil dari apa yang diperoleh setelah ilmu dan filsafat menjadi sebuah disiplin ilmu yang telah dikembangkan ter­ lebih dahulu di Yunani.

Pada masa awal kekuasaan Bani Umayah, ilmu pengetahuan tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang baru di- taklukkan seperti; Syria, Jundisyapur, Alexandria, Beirut, Nisibis, Harran dan Antioch. Lembaga yang ada ini ada di bawah sekolah-sekolah Kristen dan Sabian60. Ini juga sekaligus menegaskan bagaimana ilmu penge-

tahuan itu dikirim dan diperoleh. Tetapi pada masa Umayyah buku- buku belum begitu muncul, karena pada masa ini kebutuhan akan hal itu bisa jadi belum begitu mendesak dikarenakan masih dekatnya masa hidup masyarakat dengan kehidupan Nabi. Para sahabat Nabi yang me ne mani atau hidup sezaman dengannya masih begitu banyak dan dengan demikian tradisi terhadap peniruan praktek Nabi masih bisa di- konfirmasi langsung kepada mareka.

Tradisi penulisan awal kemudian muncul dengan hadirnya tulisan mengenai sejarah hidup Nabi atau sirah nabawiyyah yang ditulis oleh Muhammad Ibn Ishaq (w. 767 M).Baru pada masa Abbasiyyah penulisan- penulisan itu marak dalam bentuk yang bermacam-macam dan dianggap matang. Tulisan­tulisan itu didasarkan pada legenda, tradisi, biografi, genealogi, dan narasi tentnag kehidupan masyarakat awal Islam maupun di daerah-daerah taklukan61. Ibn Muqaffa (w, 757 M) menuliskan

banyak materi tentang hal tersebut setalah menerjemahkan karya ber- bahasa Persia dalam bentuk cerita para raja yang pernah berkuasa di- daerah tersebut dengan judul Siyâr Mulk al-‘Ajam. Tradisi penulisan sejarah ini konon mengambil konsep dari tradisi Yahudi­Kristen dengan metode yang diperbarui melalui Islam, yaitu penuturan para saksi dan keterangan

60 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, h. 15. 61 Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 485-487.

yang jelas dalam setiap narasinya. Model ini dianggap bisa menjamin akurasi data hingga hari dan tanggal kejadian, dengan catatan mata rantai cerita itu tersambung secara simultan62.

Namun yang perlu dicatat pula adalah bahwa dalam masa awal perkembangan keilmuan di dunia Islam, selain perbedaan pemerolehan sebagaimana di atas, juga adalah bahwa semangat yang dikembangkan pada awalnya adalah penyebaran agama dan perangkat yang mendukung dari eksistensi agama itu sendiri. Dalam hal ini perangkat tersebut adalah semangat keislaman sendiri, meliputi keyakinan terhadap apa yang dibawa serta ajaran-ajaran Islam. Semangat yang dimaksud adalah apa yang sering disebut sebagai keimanan terhadap ajaran-ajaran dalam Islam, seperti ajaran tentang eksistensi Tuhan (Allah) dan sekaligus ke ya- kinan, baik epistemologis, ontologis maupun aksiologis terhadap semua hal yang ada di sekitarnya. Dalam konteks Islam, inilah yang disebut dengan ajaran Tauhid. Nurcholish Majid menyebut bahwa dasar dari pengembangan keilmuan ini dengan keimanan, sebuah pengakuan ter- hadap eksistensi Tuhan63. Namun lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa

momentum tauhid ini juga mendapat tempat di dalam kajian filsafat se­ belumnya dengan apa yang disebut Neoplatonisme, yaitu ajaran filsafat yang berpangkal dari pemikiran Plotinus (205-270 M) dari Alexandria dan Aristoteles yang mengandung unsur ajaran tauhid64. Hanya kemudian

dalam Islam tauhid yang dimaksud nampaknya adalah ajaran yang ber- asal dari wahyu lewat kitab suci yang diyakini oleh Islam.

Transmisi awal selain dari Persia dan Alexandria adalah dari budaya India via Persia. Pada tahun sekitar 154 H/ 771 M, orang India mem- bawa naskah buku berisi tentang ilmu astronomi ke Baghdad yang ber- judul Siddhanta (Arab: Sindhind). Naskah ini kemudian diterjemahkan oleh Muhamad bin Ibrahim al Fazari (wafat antara 796-806 M). atas

62 Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 487.

63 Nurcholish Majid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet.

Ke-4, h. 130.

64 Nurcholish Majid, Islam; Doktrin dan Peradaban…h. 224. Lihat juga Ian Richard

Netton dalam Edward Craig (ed), Routledge’s Ensiklopedia of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1998), h. 25.

perintah Khalifah al Manshur, Muhamad bin Ibrahim al Fazari ini ke- mudian menjadi astronom pertama dalam Islam65.

Irfan Abdul Hamid menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi karakter penyebaran ilmu dalam dunia islam pasca penaklukan-pe- naklukan daerah baru, yaitu percampuran dengan budaya daerah takluk- an dan penerjemahan langsung dari ahli-ahli ilmu tertentu66, meski pun

bukan berasal dari golongan Islam, untuk mengajari orang-orang Islam yang berminat atau ditugaskan oleh pejabat negara dalam ilmu tersebut.

Percampuran dengan daerah-daerah taklukan ini kemudian me- nimbulkan friksi-friksi dalam hal keyakinan wahyu dalam Islam yang dibawa oleh para pemeluk Islam dengan keyakinan baru di daerah yang diduduki. Friksi ini pada akhirnya membutuhkan jawaban yang harus memuaskan kepada para pengkritik ajaran yang dibawa. Isu-isu seperti kebebasan berkehendak dengan sikap fatalistik adalah sebagai contoh dari perdebatan awal yang berkembang sebagai hasil dari percampuran budaya ini.

Pada masa penerjemahan, Jirar Jahamiy mencatat dua masa, pertama, yaitu masa ketika penerjemahan tidak mengenal adanya pem- batasan (dikotomi) yang jelas terhadap ilmu-ilmu, sehingga sangat me- mungkinkan sekali masuknya ilmu-ilmu dengan bebas hingga mewarnai peradaban selanjutnya. Kedua, adalah masa ketika muncul kesadaran untuk memulai melakukan islamisasi terhadap penerjemahan. Dalam arti bagaimana membahasakan karya-karya yang diterjemahkan untuk menjembatani dengan keyakinan Islam67. Masa ini nampaknya meru-

pakan masa yang sulit, di mana hal ini akan menentukan kompromi Islam dengan ilmu-ilmu asing dalam Islam.

Dari penuturan ini maka ada perkembangan transmisi dalam dunia Islam dari transmisi hapalan kepada transmisi model tulisan. Transmisi model hafalan adalah bawaan tradisi masyarakat Islam semenjak sebelum 65 Philip K. Hitti, History of The Arab, terj.(Jakarta: Serambi, 2006), cet. Ke-2, h. 382. 66 Irfan Abdul Hamid, al Falsafah fi al islam; Dirasah wa al Naqd,(Baghdad: Dar al

Tarbiyah, tt), h. 75-76.

67 Jirar Jahami, al-Isykaliyah al-Lughawiyah fi al-falsafah al-‘Arabiyah,(Beirut: Dar al

pra-Islam dan berkembang dengan baik ketika banyak dari sahabat (companion) Nabi yang memanfaatkannya untuk menghapal hadits dan al-Qur’an. Sedangkan transmisi penulisan berkembang sejak Islam bersentuhan dengan tradisi di luar Arab. Namun demikian tidak berarti bahwa tradisi ini tidak ada sama sekali di Arab, karena pada pada masa awal Islam sudah ada orang-orang yang pandai menulis yang kemudi- an menjadi juru tulis hadits, hanya saja jumlahnya sangat terbatas jika disbanding dengan populasi penduduk Makkah yang telah masuk Islam.

D

alam bab ini akan dibahas mengenai posisi bahasa Arab, motivasi kodifikasi nahwu (gramatika bahasa Arab), akan dibahas pula mengenai pro­kontra originalitas ilmu nahwu dan pengaruh filsafat ter­ hadap masa­masa kodifikasi nahwu. Ini merupakan lanjutan dari kajian di bab dua dalam perjalanan pencapaian keilmuan dalam Islam. Posisi bahasa Arab ditulis untuk mengetahui akar budaya bahasa Arab sehingga bisa dipetakan kajian sosiolinguistiknya. Motifasi kodifikasi nahwu di­ jelaskan melalui latar belakang dikodifikasikannya nahwu, sehingga di­ ketahui jalur transmisi awal nahwu.