• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kausa Yang Halal Di Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Mengenai kausa tersebut dapat mulai dipahami dari ketentuan Pasal

Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Mengenai pemahaman “sebab yang terlarang” tersebut dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh

undang-undang, atau apabila berlawananan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Terhadap ketentuan di dalam kedua pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa suatu perjanjian “dapat diberi sanksi batal demi hukum”170apabila perjanjian tersebut dalam keadaan sebagai berikut :171 Tidak mempunyai kausa; Kausanya palsu; Kausanya bertentangan dengan undang-undang; Kausanya bertentangan dengan kesusilaan; dan Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum.

1. Perjanjian Tanpa Kausa Dan Kausanya Palsu

Mengenai perjanjian tanpa kausa, dalam pemahamannya dapat dilihat dari kata “kausa” yang di dalam ilmu hukum mempunyai makna “perlu adanya dasar yang melandasi hubungan hukum di bidang hukum kekayaan”172, dan kemudian bersandar dari pengertian tersebut, maka perjanjian tanpa kausa dapat diartikan perjanjian yang tak memiliki dasar untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian yakni suatu perjanjian yang tujuan pembentukannya oleh para pihak yang membuatnya tidak mungkin terlaksana.173

Sedangkan untuk perjanjian yang menggunakan kausa palsu adalah perjanjian yang kausa di dalamnya bukanlah kausa yang sebenarnya, sebagaimana terjadi ketika para pihak memperjanjikan tentang jual beli sesuatu benda yang

170

Herlien Budiono,Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 68.

171

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 196.

172

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 114.

173

sebenarnya di dalamnya terdapat kausa tentang hubungan hukum hutang piutang antara para pihak yang membuatnya.174

2. Kausa Terlarang Menurut Undang-Undang

Pada intinya undang-undang melarang tentang tiga aspek dari perbuatan hukum terkait perjanjian yang terbentuk tersebut, yakni larangan yang ditujukan terhadap : Dilakukannya perbuatan hukum yakni perbuatan perjanjiannya; Substansi dari perbuatan hukum yakni tentang prestasi yang wajib dipenuhi para pihak; dan Maksud tujuan dari perbuatan hukum tersebut, yakni motivasi pada satu atau kedua belah pihak yang tampak dari luar.175

Adalah hal terlarang apabila perusahaan manufaktur sebagai end user dari mata rantai perniagaan umum bahan bakar minyak kemudian memperjual belikan minyak solar yang seharusnya hanya dipergunakan bagi keperluannya sendiri. Terhadap perjanjian jual beli yang seperti ini maka dapat dinyatakan batal demi hukum, karena terdapat larangan terhadap perbuatan hukumnya, yakni dibuatnya perjanjian jual beli bahan bakar minyak.

Kemudian dari sudut pandang prestasi yang wajib dipenuhi oleh para pihak, jika merujuk pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 62/1951 tertanggal 29 Agustus 1951, yang di dalam putusannya perjanjian tentang jual beli truk yang

174

Ibid. hlm. 326 – 327.

175Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

diperbuat oleh para pihak dianggap mempunyai kausa yang tak diizinkan dan oleh karenanya dinyatakan mutlak batal (absoluut nietig) oleh sebab sebagai berikut :176

(i) Kepemilikan pihak penjual atas truk tersebut timbul dari proses jual beli dengan pihak lain yang di dalam perjanjian jual belinya disyaratkan bahwa kendaraan tersebut hanya boleh digunakan untuk perusahaan sendiri dan penjualan kembali harus mendapatkan izin dari Prioriteitscommissie Motor Voer TuigenIndonesia (sesuai perundang-undangan yang berlaku saat itu);

(ii) Penjualan kembali dari truk tersebut tidak dilengkapi dengan izin dari Prioriteitscommissie Motor Voer TuigenIndonesia;

Maka jika PT. Prayasa Indomitra Sarana membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan pihak pembeli yang berada di luar wilayah Indonesia, maka terhadap perjanjian tersebut akan dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini dikarenakan terdapat larangan terhadap prestasi di dalam perjanjian yang akan diperbuat oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana, yakni melakukan eksport bahan bakar minyak tanpa mendapatkan izin dan rekomendaasi dari Dirjen Migas dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia.

Lain halnya jika PT. Prayasa Indomitra sarana membuat perjanjian jual beli bahan bakar minyak dengan salah satu perusahaan pelayaran, yang ternyata kemudian oleh pihak pembeli diperjualbelikan kembali kepada pihak ketiga.

Terhadap perjanjian jual beli tersebut belum dapat dinyatakan batal, mengingat kausa perjanjian jual beli antara perusahaan pelayaran dengan pihak ketiga bukan kausa / tujuan bersama dari perjanjian jualbeli yang

dilakukan oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan Herlien Budiono yang menyatakan : “Jika maksud tujuan yang dilarang tidak merupakan maksud tujuan bersama dari para pihak atau jika hanya salah satu pihak yang mempunyai maksud tujuan yang dilarang, perjanjian tersebut dianggap mempunyai kausa yang halal”.177

Perjanjian tersebut baru memiliki kausa yang terlarang jika di dalamnya mempunyai tujuan untuk memasarkan bahan bakar minyak ke perusahaan-perusahaan tertentu melalui perusahaan pelayaran tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ditambahkan mengenai kesepakatan kerja sama untuk memasarkan bahan bakar minyak tersebut perusahaan-perusahaan pelayaran lainnya berikut pembagian keuntungannya. Ketika kedua belah pihak menyepakati hal terakhir ini maka dengan demikian telah tercapai apa yang dimaksudkan sebagai kausa terlarang yang merupakan tujuan bersama para pihak, dan atas perjanjian yang demikian ini akan dapat dinyatakan batal demi hukum.

3. Kausa Terlarang Menurut Kesusilaan dan Ketertiban Umum

Memahami kesusilaan sebagai pedoman bagi halalnya sebuah kausa selalu menemui kesulitan, karena kesusilaan memiliki makna abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda di masing-masing daerah, dan di samping itu penilaian orang mengenai kesusilaan sangatlah dinamis yang selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman.178 Bahkan Hoge Raad sendiri pernah berubah-ubah pendiriannya ketika menafsirkan “kesusilaan” terkait pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut di dalam persoalanopzet contractataukopgeldcontract.179

177

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 117.

178

J. Satrio, Hukum Perjanjian,Op Cit.hlm. 340 179

Oleh karenanya cukup tepat bila penentuan ada atau tidak adanya kesusilaan yang baik dari suatu perjanjian adalah diserahkan kepada hakim yang dalam keadaan yang bagaimanapun juga untuk tiap kasus harus mencari pandangan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan,180dan jika berpatokan pada pengertian kesusilaan sebagai norma-norma yang tidak tertulis,181 maka cukuplah dapat dinyatakan bahwa sepanjang suatu perjanjian dibuat dengan konsisten terhadap kepatuhan pada norma-norma hukum yang khusus maupun yang bersifat umum, maka perjanjian tersebut telah memiliki apa yang disebut sebagai kausa yang halal.

Untuk berikutnya, suatu perjanjian yang memiliki kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah jika substansi dan maksud tujuan ditutupnya perjanjian adalah bertentangan dengan azas-azas pokok dari tatanan masyarakat,182 yang pada umumnya berkaitan dengan masalah kepentingan umum, seperti keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan lain-lain hal yang menyangkut masalah ketatanegaraan.183

Mencermati uraian tersebut di atas, serta setelah mengkaji mengenai obyek dan tujuan bersama para pihak dalam perjanjian, maka dapat diyakini bahwa perjanjian jual beli bahan bakar minyak tersebut telah memenuhi salah satu syarat keabsahan perjanjian yakni memiliki kausa yang tidak bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum.

180

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 120-121.

181

Ibid, hlm. 119. 182

Ibid, hlm. 120-121.

183