• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan Para Pihak.

B. Kesepakatan Dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak.

1. Lahirnya Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Oleh Kesepakatan Para Pihak.

Berdasarkan paparan tersebut di atas pada prinsipnya telah tercapai suatu kesepakatan mengenai perjanjian, baik dari sudut pandang kronologi lahirnya kesepakatan tersebut maupun dari sudut pandang kesepakatan tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Jika kita bersandar pada beberapa teori yang dianut dan norma yang berlaku, penentuan saat lahirnya perjanjian dapat ditelisik dari detail-detail tertentu di dalam proses terwujudnya kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian. Penentuan saat lahirnya perjanjian sangatlah penting untuk kepentingan penentuan resiko,

134

Hasil wawancara dengan Imaldi, Direktur Utama PT. Prayasa Indomitra Sarana, pada tanggal 15 – 16 Juni 2012.

kesempatan penarikan kembali penawaran, untuk menentukan saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa dan menentukan tempat terjadinya perjanjian,135

Terjadinya kesepakatan lahir dari suatu proses saling bertautnya pernyataan kehendak para pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara bertimbal balik, dan ketika para pihak tersebut saling bersepakat maka kemudian perjanjian terbentuk.136 Namun demikian yang menjadi persoalan berikutnya adalah kapan bisa dinyatakan bahwa masing-masing pernyataan kehendak tersebut saling bertemu dalam persesuaian kehendak (wilsovereenstemming), dan untuk bisa menjawabnya adalah dengan menilisik bagaimana kronologi proses bertemunya pernyataan kehendak tersebut hingga melahirkan sebuah kesepakatan dengan bersandarkan pada Teori Penerimaan.137

Di dalam Teori Penerimaan diyakini bahwatoestemingterjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan,138 jika diilustrasikan dengan urutan yang lengkap dari awal hingga akhir, maka lahirnya perjanjian bukan pada saat pihak yang lain menyatakan akseptasinya, dan bukan pula saat pihak yang lain tersebut mengirimkan akseptasinya, namun adalah pada saat

135

J. Satrio, Hukum Perjanjian,Op Cit.hlm. 180 136

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op. Cit. hlm. 93.

137

Teori Penerimaan pada prinsipnya adalah pengembangan dari teori-teori sebelumnya yang memang memiliki beberapa kelemahan terkhusus ketika penerapannya dibenturkan dengan perkembangan tehnologi informasi saat ini. Teori-teori sepertiuitingstheoriedanverzendtheoriepada perkembangannya dikesampingkan, dengan pertimbangan kedua teori tersebut tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan, dan sebaliknya ontvangsttheorie adalah teori yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun tetap memiliki kelemahan.Ibid, hlm. 95-96

138

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2010). hlm. 31.

pernyataan akseptasi tersebut diterima oleh pihak yang memberikan penawaran,139 sehingga dapat dikatakan akan cukup mudah untuk menganalisa kapan sebenarnya sebuah perjanjian lahir jika proses yang mengawalinya terdokumentasi melalui aktivitas korespondensi.

Akan tetapi persoalannya adalah, proses yang mengawali terjadinya wilsovereenstemmingtersebut dilakukan melalui komunikasi secara lisan dan melalui beberapa pertemuan termasuk on site inspection yang tidak tercatat di dalam notulen, atau dengan kata lain tak ada dokumentasi yang tangible, pernyataan kehendak berupa penawaran maupun akseptasi yang terkonstruksi bersifat intangible. Hal ini menimbulkan sebuah keraguan apakah cara-cara mengekspresikan pernyataan kehendak tanpa melalui proses korespondensi yang terdokumentasi dapat dipergunakan untuk menilai apakah telah lahir sebuah perjanjian.

Jika merujuk kepada asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian, maka pada dasarnya timbulnya suatu perjanjian tak pernah disyaratkan tentang formalitas tertentu, sebagaimana dipahami tentang asas konsensualisme yang mengandung makna, bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.140

Pemahaman asas konsensualisme pada kelanjutannya mendapatkan penegasan ketika mencermati pandangan yang disampaikan oleh Subekti sebagaimana berikut :141

139

J. Satrio, Hukum Perjanjian,Op Cit.hlm. 181-183. 140

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op. Cit. hlm. 157.

Artinya asas konsensualitas ialah bahwa pada asasnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya sepakat. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila tercapai sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas.

Pemahaman yang demikian tersebut menggarisbawahi tentang dinafikannya suatu formalitas, dalam pengertian perjanjian telah dapat dianggap tuntas karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata, jadi dalam hal ini yang ditekankan adalah adanyameeting of mindsebagai inti dari hukum perjanjian.142

Maka dengan demikian, pernyataan kehendak yang mengawali proses terbangunnya meeting of mindsecara bertimbal balik, pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu, pernyataan suatu penawaran dan pernyataan penerimaannya dapat disampaikan melalui ragam sarana, sebagaimana yang biasa digunakan dan dimengerti dalam lalu lintas pergaulan masyarakat.143

Cukuplah persesuaian kehendak tersebut telah ada tanpa mempersoalkan bagaimana cara penyampaiannya, sama halnya ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menyampaikan penawarannya dengan menggunakan sarana telepon dan PT. Buma Niaga Perkasa menyampaikan akseptasinya secara lisan di dalam suatu pertemuan dengan pihak yang memberikan penawaran, telah dapat dinyatakan setimbang dengan penawaran dan akseptasi yang disampaikan dengan mempergunakan korespondensi tertulis.

142Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 121-122

143 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum

Kembali kepada pembahasan tentang tahapan proses terwujudnya perjanjian atas dasar pandangan Teori Penerimaan, maka dapat diyakini kesepakatan telah terwujud ketika PT. Prayasa Indomitra Sarana menerima pernyataan akseptasi dari PT. Buma Niaga Perkasa, terlebih lagi pernyataan akseptasi dan penyampaian akseptasi oleh PT. Buma Niaga Perkasa, maupun diterimanya pernyataan akseptasi tersebut oleh PT. Prayasa Indomitra Sarana terjadi dalam satu kerangka momentum yang sama. Sehingga dengan demikian tanpa suatu keraguan dapat disimpulkan bahwa lahirnya perjanjian adalah pada saat kesepakatan antara kedua belah pihak telah tercapai tentang hal ikhwal yang diperjanjikan yakni pada tanggal 18 Juli 2011. 2. Tanggal Mulai Berlakunya Perjanjian Sebagai Momentum Lahirnya

Perjanjian.

Keyakinan tentang lahirnya perjanjian tersebut di atas berlainan dengan apa yang tertulis di dalam perjanjian jual beli, terdapat selisih waktu selama sepuluh hari antara tanggal terjadinya kesepakatan dengan tanggal mulai berlakunya perjanjian menurut perjanjian tertulis tersebut.

Merujuk pada apa yang dicantumkan di dalam Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak tersebut di atas, yakni di dalam Pasal 2 ayat 1 Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak Nomor : 01-01/SP-DIR/PRAYASA-BNP/VIII/2011 dinyatakan bahwa : “Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditandatanganinya perjanjian ini sampai dengan tanggal 28 February 2012 dan dalam jangka waktu tersebut dapat dilakukan peninjauan kembali”, dan sebagaimana yang menjadi mukadimah dari perjanjian disebutkan bahwa perjanjian

ditandatangani pada tanggal 28 Juli 2011, tanggal penandatanganan mana disepakati oleh para pihak sebagai saat lahirnya perjanjian tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka untuk menentukan lahirnya perjanjian cukuplah didasarkan pada ketentuan tertulis di dalam perjanjian. Suatu pandangan yang mempunyai dasar jika mengingat hukum perjanjian sangat bersifat terbuka, segala hal apapun halal untuk diperjanjikan sepanjang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, termasuk tentang kesepakatan tanggal mulai berlakunya perjanjian. Hal tersebut terilustrasikan di Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Terdapat tiga hal pokok di dalam isi pasal tersebut terkait dengan hal tersebut di atas yakni :144

a. Terletak pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” yang menunjukkan asas kebebasan berkontrak, yakni kebebasan untuk menentukan isi yang diperjanjikan termasuk mengenai tanggal mulai berlakunya perjanjian.

b. Terletak pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” yang menunjukkan asas kekuatan yang mengikat atau yang disebut asaspacta sunt servanda, yang dengan demikian terdapat kewajiban untuk tunduk dengan apa yang diperjanjikan.

144

Ahmadi Miru dan Sakka Pati,Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, (Jakarta : Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 78

c. Terletak pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” yang menunjukkan asas personalitas.

Pemaknaan dari Pasal 1338 ayat (1) tersebut di atas memberikan sandaran legalitas kepada keyakinan bahwa Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa lahir dan memang mulai berlaku pada tanggal 28 Juli 2011.

Namun demikian akan menjadi berbeda jika sesaat sebelum penandatanganan perjanjian salah satu pihak menyatakan membatalkan kesepakatan dengan alasan perjanjian belumlah ada dan mengikat, atau atas dasar kepentingan tertentu salah satu pihak tidak mengakui perjanjian tertulis tersebut sebagai perjanjian yang mengikat dirinya secara hukum. Ketika terjadi penyangkalan terhadap kesepakatan tertulis, maka teori, norma dan azas yang melatar belakangi keyakinan tentang “perjanjian telah lahir saat akseptasi telah diterima oleh pihak yang memberikan penawaran” akan menemukan pembenarannya.

Seperti yang menjadi keputusan Hoger Raad 21 Desember 1933, NJ 1934, atas sengketa perdata antara Bosch dengan Maren yang di dalam pertimbangannya menyatakan :145 maka dapatlah dipahami jika kemudian pihak yang dirugikan atas penyangkalan kesepakatan tersebut cukup memiliki alas hak untuk menyatakan

145Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hlm. 169

Bahwa tidak cukup bila pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan kehendak itu saling mencapai pihak lain (de tegenpartij heft bereikt);

bahwa ikatan perjanjian telah ada semenjak tanggal 18 Juli 2011, meskipun untuk itu tetap harus melalui proses pembuktian di muka hakim.

Demikian pula saat salah satu pihak melakukan penyangkalan terhadap perjanjian tertulis yang telah ditandatangani, maka kondisi tersebut dapat mulai dijelaskan dengan mencermati pengertian akta di bawah tangan. Adapun akta di bawah tangan dapat diartikan sebagai tulisan-tulisan tangan yang dianggap akta, akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaran pejabat umum.146

Ketika membaca makna akta di bawah tangan tersebut di atas, dan setelah mencermati bentuk, isi dan bagaimana proses terbentuknya perjanjian jual beli bahan bakar minyak antara kedua belah pihak, maka perjanjian tentang jual beli tersebut dapat digolongkan sebagai akta di bawah tangan, dan sebagaimana diketahui sebagai akta dibawah tangan, perjanjian tersebut berpotensi memiliki kekuatan pembuktian yang lemah.

Hal tersebut disebabkan para pihak terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan atau memungkiri tanda tangannya,147 dan oleh karenanya tanda tangan pada akta di bawah tangan kemungkinannya masih dapat dipungkiri, sehingga akta di bawah tangan itu tidak lagi memiliki kekuatan

146

MU. Sembiring,Tehnik Pembuatan Akta, (Medan : Penerbit Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997), hlm. 8

147

Pasal 2 Stbl 1867 no. 29, Juncto pasal 289 Rbg, Juncto pasal 1876 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

pembuktian lahir, bahkan jika diperluas dalam sudut pandang pembuktian formil dan materiil.148

Terdapat sebuah konswekuensi tertentu jika salah satu pihak melakukan penyangkalan terhadap perjanjian tersebut, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta (= perjanjian jual beli) tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.149

Ketika proses pembuktian tersebut dilakukan maka peristiwa-peristiwa konkrit yang terkait dengan sengketa ataupun yang mengkonstruksi lahirnya perjanjian pasti akan dirangkai dan dikonstatir oleh hakim, dan kemudian untuk menemukan hukum atas peristiwa-peristiwa tersebut hakim akan bersandar kepada perundang-undangan, hukum tak tertulis, putusan desa, yurisprodensi dan ilmu pengetahuan,150 sumber-sumber penemuan hukum mana di dalamnya terkandung tentang teori, norma dan azas yang melatar belakangi keyakinan tentang perjanjian telah lahir saat tercapai kesepakatan.

Pada akhirnya adalah sebuah keniscayaan jika kemudian hakim memutuskan bahwa perjanjian tersebut telah ada dan lahir ketika kesepakatan telah tercapai antara kedua belah pihak, yakni saat akseptasi telah diterima oleh pihak yang memberikan penawaran.

148Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Liberty,

1988), hlm. 126

149Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan, (Bandung : Penerbit PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 121.

Pembahasan tentang lahirnya perjanjian tersebut di atas membawa pada satu konklusi sementara yang menyatakan apabila tak ada suatu penyangkalan dan pengingkaran terhadap perjanjian jual beli tersebut, maka momentum lahirnya perjanjian tak lain adalah pada tanggal mulai berlakunya perjanjian. Akan tetapi konklusi tersebut harus dikaji kembali dengan lebih mendalam, khususnya apabila dikaitkan dengan unsur-unsur di dalam perjanjian.