• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hirarki Tingkat Perkembangan Desa Sekitar TNBTS

Kegiatan ekonomi yang timbul dari kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) juga memberikan dampak terhadap perkembangan wilayah di sekitar kawasan. Kegiatan wisata ini akan menciptakan perkembangan di bidang jasa berupa penyediaan fasilitas dan layanan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan, yang akhirnya akan meningkatkan hirarki atau tingkat pertumbuhan di suatu wilayah. Susunan hirarki perkembangan desa menggambarkan susunan urutan tingkat perkembangan desa-desa serta pusat- pusat kegiatan berdasarkan kelengkapan fasilitas dan layanan yang disediakan.

Tingkat perkembangan desa-desa di sekitar kawasan TNBTS ditentukan dengan metode skalogram dimodifikasi yang dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Wilayah (IPW). Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia. Umumnya semakin semakin tinggi nilai IPW, semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Jenis data yang digunakan dalam analisis ini meliputi data jumlah sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana publik lainnya. Masing-masing peubah tersebut dilakukan pembobotan dan standarisasi. Urutan tingkat hierarki adalah berdasarkan pengakumulatifan dari masing-masing desa/kelurahan. Urutan paling atas merupakan tingkat hierarki yang terbesar, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil.

Hasil dari analisis skalogram ini dapat menggambarkan keadaan wilayah. Wilayah yang mempunyai nilai IPW paling besar dapat dikategorikan ke dalam wilayah dengan tingkat perkembangan maju. Hal ini dapat dicirikan oleh jumlah dan jenis sarana, prasarana, serta infrastruktur yang tersedia sudah memadai. Wilayah-wilayah yang mempunyai indeks perkembangan sedang-lambat atau wilayah terbelakang dicirikan dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana yang sangat terbatas.

Analisis skalogram dilakukan terhadap 72 desa yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan kawasan TNBTS, yang termasuk dalam 17 kecamatan dari 4 kabupaten. Berdasarkan analisis skalogram yang dilakukan terhadap data Podes (2011) diketahui nilai standar deviasi (Stdev) adalah 7,74 dan rataan sebesar 14,64. Hasil yang diperoleh dari analisis skalogram yaitu Hierarki I mempunyai ID lebih dari 30,11, Hierarki II mempunyai ID antara 14,63-30,11 dan Hierarki III mempunyai nilai ID kurang dari 14,63. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa nilai IPW paling tinggi untuk desa yang ada di sekitar kawasan TNBTS sebesar 53,50 dan terendah sebesar 5,71.

Berdasarkan tingkat hirarki atau perkembangan, desa-desa di sekitar kawasan TNBTS yang masuk dalam Hierarki I, Hierarki II dan Hierarki III berturut-turut yaitu 5,5%, 33,3% dan 61,11%. Sebagian besar desa yang ada masih masuk dalam Hirarki III dan merupakan desa dengan perkembangan rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sesungguhnya desa di pinggiran

66

atau yang berbatasan dengan kawasan hutan pada umunya merupakan desa yang miskin dengan tingkat sarana dan prasarana yang minim. Selain itu jarak dan akses yang sulit serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Daerah dengan Hierarki III ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia di wilayah tersebut relatif sangat kurang dan jarak masing-masing wilayah terhadap pusat pemerintahan relatif lebih sulit. Wilayah yang termasuk dalam tingkat Hierarki II merupakan daerah atau wilayah dengan tingkat perkembangan sedang. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia cukup memadai dan jarak ke pusat kota yang lebih dekat dibandingkan dengan wilayah dengan Hierarki III.

Dari 72 desa yang merupakan desa penyangga kawasan TNBTS, desa yang masuk dalam Hierarki I yaitu Desa Pronojiwo, Ranupane dan Ngadisari dan Desa Gucialit. Desa-desa yang masuk dalam Hirarki I ini memiliki beberapa fasilitas penciri yang menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan dan memiliki Indeks Perkembangan Desa yang lebih dari pada desa yang lain. Desa Pronojiwo dan Desa Gucialit merupakan ibukota kecamatan dengan kegiatan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini ditandakan dengan banyaknya toko dan warung yang terdapat di desa tersebut. Kedua desa lainnya yaitu Desa Ranupane dan Desa Ngadisari memiliki faktor penciri di bidang penyediaan fasilitas dan layanan jasa dalam memenuhi kebutuhan wisatawan yang datang. Fasilitas yang disediakan berupa warung/kedai makan, serta hotel atau penginapan. Secara administrasi, Desa Ranupane masuk ke dalam Kabupaten Lumajang dan merupakan desa

enclave yang berada di kaki Gunung Semeru. Desa ini juga merupakan

permukiman terakhir yang ditemukan sebelum pendakian ke Gunung Semeru. Desa Ngadisari merupakan desa dengan fasilitas dan sarana umum yang sudah sangat baik. Desa Ngadisari merupakan desa terdekat dengan kawasan wisata Pegunungan Tengger dengan laut pasir dan Gunung Bromo. Banyak terdapat penginapan atau hotel di desa ini dan beberapa masyarakat bekerja pada bidang jasa dan wisata.

Desa-desa di sekitar kawasan TNBTS memiliki pertumbuhan daerah yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari perubahan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) tiap desa dari tahun 2008-2011. Beberapa desa mengalami kenaikan nilai IPD dan beberapa desa lainnya mengalami penurunan. Kenaikan dan penurunan nilai IPD ini pada akhirnya berpengaruh pada tingkat hierarki perkembangan suatu desa. Desa-desa yang mengalami kenaikan nilai IPD secara umum disebabkan karena adanya peningkatan fasilitas atau unit pelayanan di desa tersebut atau juga mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Begitu juga sebaliknya, turunnya nilai IPD suatu desa dipengaruhi penurunan jumlah unit fasilitas atau pelayanan di desa tersebut atau karena terjadinya kenaikan jumlah penduduk. Perubahan jumlah desa berdasarkan perkembangan desa dari tahun 2008 sampai dengan 2011 dapat dilihat pada Tabel 19.

67

Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS memberikan pengaruh atau dampak terhadap perkembangan wilayah desa di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi desa-desa dengan tingkat hirarki perkembangan tinggi memiliki unit- unit pelayanan jasa bagi wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan TNBTS yang tidak dimiliki oleh desa-desa lainnya. Salah satu desa yang mengalami peningkatan tingkat hirarki perkembangan wilayah adalah Desa Ranupane, yang merupakan salah satu desa yang mengalami peningkatan hirarki perkembangan wilayah, yaitu dari Hirarki III menjadi Hirarki I (Tabel 20). Jumlah pengunjung atau wisatawan yang meningkat setiap tahunnya membawa dampak pada bertambahnya peluang usaha bagi masyarakat, berupa warung makan atau kedai.

Tabel 20 Tingkat Hirarki Perkembangan Wilayah Desa Sekitar TNBTS Kecamatan Desa

IPD Tingkat Hirarki Tahun 2008 Tahun 2011 Tahun 2008 Tahun 2011 Sukapura Ngadisari 35,75 42,36 Hirarki 1 Hirarki 1

Sapikerep 12,83 10,60 Hirarki 3 Hirarki 3 Wonokerto 19,92 14,67 Hirarki 2 Hirarki 2 Ngadirejo 11,31 10,50 Hirarki 3 Hirarki 3 Ngadas 10,80 12,07 Hirarki 3 Hirarki 3 Jetak 23,68 23,45 Hirarki 2 Hirarki 2 Wonotoro 20,28 17,43 Hirarki 2 Hirarki 2 Sumber Ledokombo 9,17 9,78 Hirarki 3 Hirarki 3 Pandansari 12,86 15,35 Hirarki 3 Hirarki 2 Wonokerso 9,63 8,61 Hirarki 3 Hirarki 3 Sumber 24,03 17,17 Hirarki 2 Hirarki 2 Cepoko 11,26 11,08 Hirarki 3 Hirarki 3 Lumbang Sapih 8,25 11,65 Hirarki 3 Hirarki 3 Pronojiwo Sidomulyo 9,64 8,49 Hirarki 3 Hirarki 3 Pronojiwo 53,35 53,50 Hirarki 1 Hirarki 1 Sumberurip 7,53 13,44 Hirarki 3 Hirarki 3 Oro Oro Ombo 6,01 5,71 Hirarki 3 Hirarki 3 Supiturang 9,75 8,79 Hirarki 3 Hirarki 3 Tabel 19 Perbandingan Jumlah Desa berdasarkan Tingkat Hirarki

Perkembangan Wilayah Tahun 2008 dan tahun 2011 Tingkat Hirarki Tahun 2008 Tahun 2011

Jumlah % Jumlah %

Hirarki 1 3 4,17 4 5,56 Hirarki 2 26 36,11 24 33,33 Hirarki 3 43 59,72 44 61,11

68

Tabel 20 (Lanjutan) Kecamatan Desa

IPD Tingkat Hirarki Tahun 2008 Tahun 2011 Tahun 2008 Tahun 2011 Candipuro Sumberwuluh 8,81 9,22 Hirarki 3 Hirarki 3

Sumbermujur 9,57 9,30 Hirarki 3 Hirarki 3 Penanggal 20,77 21,54 Hirarki 2 Hirarki 2 Pasrujambe Pasrujambe 15,24 14,69 Hirarki 2 Hirarki 2 Jambekumbu 10,87 12,54 Hirarki 3 Hirarki 3 Senduro Burno 18,23 13,80 Hirarki 2 Hirarki 3 Kandangtepus 15,72 14,67 Hirarki 2 Hirarki 2 Kandangan 11,75 9,98 Hirarki 3 Hirarki 3 Bedayutalang 16,30 18,04 Hirarki 2 Hirarki 2 Wonocepokoayu 6,88 8,90 Hirarki 3 Hirarki 3 Argosari 6,14 7,85 Hirarki 3 Hirarki 3 Ranupane 12,76 32,57 Hirarki 3 Hirarki 1 Gucialit Pakel 12,90 10,41 Hirarki 3 Hirarki 3 Kenongo 18,10 14,92 Hirarki 2 Hirarki 2 Gucialit 30,71 32,42 Hirarki 1 Hirarki 1 Kertowono 9,98 8,18 Hirarki 3 Hirarki 3 Sombo 12,07 20,96 Hirarki 3 Hirarki 2 Tutur Blarang 8,44 9,04 Hirarki 3 Hirarki 3 Kayu Kebek 8,24 15,04 Hirarki 3 Hirarki 2 Ngadirejo 10,09 7,13 Hirarki 3 Hirarki 3 Andono Sari 25,64 12,26 Hirarki 2 Hirarki 3 Puspo Keduwung 7,85 11,41 Hirarki 3 Hirarki 3 Pusung Malang 5,41 11,27 Hirarki 3 Hirarki 3 Tosari Mororejo 11,78 20,47 Hirarki 3 Hirarki 2 Ngadiwono 14,75 11,09 Hirarki 2 Hirarki 3 Podokoyo 11,32 11,59 Hirarki 3 Hirarki 3 Wonokitri 14,03 9,66 Hirarki 3 Hirarki 3 Sedaeng 7,93 5,79 Hirarki 3 Hirarki 3 Lumbang Wonorejo 13,56 16,95 Hirarki 3 Hirarki 2 Tirto Yudo Tamansatriyan 6,59 7,03 Hirarki 3 Hirarki 3 Ampelgading Sidorenggo 8,10 9,75 Hirarki 3 Hirarki 3 Argoyuwono 9,20 14,12 Hirarki 3 Hirarki 3 Mulyoasri 12,13 11,15 Hirarki 3 Hirarki 3 Tamansari 8,98 18,30 Hirarki 3 Hirarki 2 Poncokusumo Sumberejo 20,63 19,88 Hirarki 2 Hirarki 2 Pandansari 14,93 17,19 Hirarki 2 Hirarki 2 Poncokusumo 21,19 11,58 Hirarki 2 Hirarki 3 Wringinanom 13,52 22,66 Hirarki 3 Hirarki 2 Gubukklakah 22,02 19,16 Hirarki 2 Hirarki 2 Ngadas 18,55 16,12 Hirarki 2 Hirarki 2

69

Berdasarkan hasil dari analisis skalogram yang dilakukan pada desa-desa sekitar kawasan TNBTS, tingkat perkembangan desa sekitar kawasan TNBTS dikelompokkan ke dalam tiga hierarki wilayah, yaitu:

1. Hierarki I, merupakan wilayah desa dengan tingkat perkembangan tinggi. Wilayah ini dicirikan oleh indeks perkembangan wilayah yang paling tinggi dan ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup memadai, terutama sarana pendidikan (bangunan sekolah SD, SMP, SLTP, SLTA), sarana kesehatan, sarana perekonomian dan sarana publik lainnya. Hanya terdapat empat desa atau 5,55% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan kawasan TNBTS. Desa-desa yang masuk dalam hierarki I yaitu Desa Pronojiwo, Gucialit, Ranupane dan Ngadisari dengan nilai IPW berturut-turut adalah 53,35, 32,42, 32,57 dan 42,36. Desa-desa yang termasuk dalam Hierarki I umumnya memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, lebih lengkap dan lebih memadai dari pada desa dengan hierarki yang lebih rendah. Keempat desa tersebut juga memiliki keunggulan tertentu sehingga infrastruktur dan pusat pelayanan banyak terpusat di wilayahnya. Desa Ranupane dan Ngadisari merupakan desa yang maju karena adanya aktivitas atau kegiatan wisata alam yang ada di kawasan TNBTS sehingga dikedua desa tersebut banyak tersedia fasilitas pelayanan dan jasa.

2. Hierarki II, termasuk wilayah dengan tingkat perkembangan sedang. Terdapat 24 desa atau sekitar 33,33% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan kawasan. Pada hierarki II ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia di wilayah tersebutlebih sedikit dari hierarki I dengan jarak masing- masing wilayah terhadap pusat pelayanan yang lebih jauh.

3. Hierarki III termasuk wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Terdapat 44 desa atau sekitar 61,11% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan

Tabel 20 (Lanjutan) Kecamatan Desa

IPD Tingkat Hirarki Tahun 2008 Tahun 2011 Tahun 2008 Tahun 2011 Wajak Sumberputih 16,51 14,21 Hirarki 2 Hirarki 3

Wonoayu 15,31 21,94 Hirarki 2 Hirarki 2 Bambang 9,57 9,59 Hirarki 3 Hirarki 3 Patokpicis 15,74 13,49 Hirarki 2 Hirarki 3 Tumpang Benjor 16,59 15,77 Hirarki 2 Hirarki 2 Duwet 16,91 13,25 Hirarki 2 Hirarki 3 Duwet Krajan 12,10 11,65 Hirarki 3 Hirarki 3 Jabung Ngadirejo 11,24 12,80 Hirarki 3 Hirarki 3 Taji 20,52 14,73 Hirarki 2 Hirarki 2 Pandansari Lor 13,89 15,73 Hirarki 3 Hirarki 2 Sukopuro 14,85 11,63 Hirarki 2 Hirarki 3 Gading Kembar 16,38 11,71 Hirarki 2 Hirarki 3 Argosari 13,81 12,06 Hirarki 3 Hirarki 3

Kemiri 16,52 12,20 Hirarki 2 Hirarki 3

70

kawasan. Pada Hierarki III sarana dan prasarana yang ada sangat minim dengan jarak yang sangat jauh dari pusat pelayanan sehingga sulit untuk mengakses ke pusat-pusat pelayanan yang ada. wilayah yang masuk dalam Hierarki III mempunyai kehidupan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan wilayah yang masuk dalam Hierarki I dan II.

Dilihat dari administrasi wilayah, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang memilliki desa yang berbatasan dengan kawasan TNBTS lebih banyak dibanding dua kabupaten lainnya. Desa dengan Hirarki III juga secara umum banyak terdapat di Kabupaten Lumajang (Tabel 21).

Dilihat dari sebaran tingkat Hirarki Perkembangan Desa di sekitar kawasan TNBTS dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam di kawasan ini telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan di daerah sekitarnya. Desa-desa yanhg terletak berdekatan dan menjadi akses utama menuju lokasi wisata merupakan desa dengan Hirarki I dengan unit fasilitas pelayanan jasa yang tinggi. Unit fasilitas pelayanan jasa bagi wisatawan berupa hotel, penginapan dan rumah Tabel 21 Pusat Perkembangan Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo

Tengger Semeru berdasarkan Kecamatan Kabupaten Kecamatan Tingkat Hirarki Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Jumlah Kabupaten Lumajang Candipuro - 1 2 3 Gucialit 1 2 2 5 Pasrujambe - 1 1 2 Pronojiwo 1 - 4 5 Senduro 1 2 4 7

Kabupaten Malang Ampelgading - 1 3 4

Jabung - 2 5 7 Poncokusumo - 5 1 6 Tirto Yudo - - 1 1 Tumpang - 1 2 3 Wajak - 1 3 4 Kabupaten Pasuruan Lumbang - 1 - 1 Puspo - - 2 2 Tosari - 1 4 5 Tutur - 1 3 4 Kabupaten Probolinggo Sukapura 1 3 3 7 Sumber - 2 3 5 Lumbang - - 1 1 Jumlah 4 24 44 72 Sumber: Podes 2011

71

Gambar 10 Peta Hirarki Perkembangan Desa Sekitar Kawasan TNBTS makan tidak terdapat di desa-desa yang terletak cukup jauh dari lokasi wisata sehingga desa-desa tersebut tidak menjadi pusat pertumbuhan.

Desa-desa di Kabupaten Lumajang juga merupakan desa yang terletak cukup jauh dan akses yang sulit dari lokasi wisata baik Kawasan Pegunungan Tengger dan Kawasan Pendakian Gunung Semeru sehingga mendapatkan dampak dan pengaruh dari kegiatan wisata alam relatif rendah. Sebaran desa berdasarkan hirarki tingkat perkembangan desa dapat dilihat pada Gambar 10.

Akses atau rute menuju lokasi wisata di TNBTS dapat dicapai melalui 4 jalur, yaitu melalui Desa Wonokitri (Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadisari (Kabupaten Probolinggo), dan Desa Ranupani yang dapat dicapai melalui Tumpang (Kabupaten Malang) atau Senduro (Kabupaten Lumajang). Jalur yang paling strategis dan paling mudah ditempuh adalah melalui Desa Ngadisari untuk kekawasan Pegunungan Tengger dan Desa Ranupane melalui Kecamatan Tumpang untuk menuju kawasan Pendakian Gunung Semeru. Jalur ini lebih mudah dilalui dengan kondisi jalan yang relatif baik dan sarana transportasi yang mudah didapat sehingga sebagian besar wisatawan yang datang memilih jalur ini.

Untuk meningkatkan dampak kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS bagi desa-desa di sekitar kawasan dapat dilakukan dengan membuka atau memperbaiki akses menuju kawasan yanng sudah ada sehingga pengunjung memiliki banyak pilihan jalur atau rute menuju lokasi wisata. Dengan demikian wisatawan yang akan berkunjung melalui jalur tersebut akan mampu menciptakan transaksi ekonomi melalui belanja wisatwan dan mendorong tumbuhnya unit-unit penyediaan barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan para wisatawan.

72

Perubahan Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS

Bentuk penggunaan lahan di suatu wilayah terkait dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh penduduk di daerah tersebut, atau juga dikarenakan tekanan dari jumlah penduduk yang semakin meningkat. Lahan merupakan sumber daya alam utama yang bersifat mudah berubah peruntukannya

(mobile factor). Dengan demikian perubahan penggunaan lahan menjadi sangat

dinamis dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan aktivitas pembangunan yang dilakukan masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perubahan penggunaan lahan yang dilakukan di suatu wilayah akan saling berbeda tergantung pada kondisi dan kebijakan pembangunan wilayah tersebut.

Secara umum penutupan lahan di kawasan TNBTS terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder, serta sedikit lahan terbuka dan beberapa bagian berupa hutan tanaman dan lahan pertanian (Tabel 22). Lahan terbuka yang ada dalam kawasan ini berupa lautan pasir Tengger yang masuk dalam kompleks Pegunungan Tengger dan menjadi daerah wisata alam yang terkenal. Lahan pertanian yang ada merupakan lahan pertanian milik penduduk yang terletak di tengah-tengah kawasan dan berstatus enclave, yaitu wilayah yang ada di tengah kawasan konservasi tetapi tidak berstatus sebagai kawasan konservasi. Terdapat dua desa

enclave dari kawasan TNBTS, yaitu Desa Ngadas dan Desa Ranupane.

Sebagian besar masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNBTS adalah petani. Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Keadaan demikian bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan di kawasan TNBTS. Secara umum, sebaran penutupan lahan di kawasan TNBTS dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 22 Tipe Penutupan Lahan di Kawasan TNBTS

Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) %

Hutan Primer 16.404,16 32,57

Hutan Sekunder 24.219,88 48,08 Hutan Tanaman Industri 1.842,67 3,66 Semak Belukar 1.337,17 2,65 Tanah Terbuka 4.159,66 8,26

Savanna 1.233,65 2,45

Danau 15,07 0,03

Pertanian Lahan Kering 1.157,05 2,30

Luas Total 50.369,30 100,00

73

Perubahan Penutupan Lahan di Kawasan TNBTS

Perubahan penggunaan lahan merupakan semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006). Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang pada akhirnya berdampak positif maupun negatif akibat perubahan penggunaan lahan tersebut. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya. Hal ini dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air, serta terjadinya erosi tanah. Perubahan penggunaan lahan pada akhirnya akan berpengaruh pada perubahan penutupan lahan di kawasan tersebut.

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi sangat beragam. Beberapa penyebab deforestasi antara lain akibat pengembalaan, pertanian, penebangan hutan, pertambangan dan lain-lain. Pertambahan jumlah penduduk serta berkembangnya kegiatan perekonomian menyebabkan permintaan terhadap lahan semakin tinggi untuk berbagai keperluan seperti pertanian, perkebunan, pemukim-an, industri, dan sebagainya (Antoko et al. 2008). Perubahan hutan Negara pada periode 1990-2000 dipengaruhi oleh infrastruktur, subsidi, kesempatan kerja dan tekanan penduduk (Vanclay 2005). Secara ekonomi, masyarakat yang ingin mengkonversi hutan ke penggunaan lain akan mempertimbangkan manfaat bersih yang akan diterima relatif terhadap hutan, dimana keputusan tersebut akan dipengaruhi oleh harga input dan output, termasuk potensi biaya yang harus dikeluarkan (Angelsen et al. 1999). Di samping itu, tingkat upah dan resiko dalam pertanian akan menentukan keputusan

Gambar 11 Sebaran Tipe Penutupan Lahan di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tahun 2011

74

tersebut. Menurut Bergeron dan Pender (1999) dalam Dwiprabowo et al. (2012) faktor penentu mikro dari perubahan penggunaan lahan adalah menggunakan faktor masyarakat, rumah tangga dan plot historis. Di samping itu, pertanian ekstensif juga berpengaruh dalam perubahan penutupan lahan. Kebakaran hutan juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan perubahan penutupan lahan. Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh kegiatan manusia yang disengaja, misalnya perladangan dan/atau perluasan kebun. Namun ada juga perubahan penutupan lahan yang diakibatkan oleh kondisi alami. Menurut Paul (1998), degradasi hutan dan deforestasi dapat dipengaruhi oleh konversi yang direncanakan dan yang tidak direncanakan. Konversi hutan yang tidak direncanakan, sepenuhnya disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, tapi konversi hutan yang direncanakan umumnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah.

Secara umum perubahan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNBTS relatif cukup besar (Tabel 23) yaitu sekitar 39,04% dari total luas kawasan. Perubahan penggunaan lahan ini sebagian besar terjadi pada kawasan hutan primer yang mengalami degradasi menjadi hutan sekunder dan pertanian lahan kering. Perubahan kawasan ini terjadi karena perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Perambahan terjadi di bekas lahan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani yang dahulu merupakan hutan produksi, yang kemudian dialihkan menjadi kawasan konservasi. Hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani biasanya diperkenankan untuk dikelola masyarakat dalam bentuk penanaman lahan di bawah tegakan, sehingga sampai saat ini hal tersebut menjadi pola fikir masyarakat yang sulit dirubah. Untuk kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat untuk menunjukkan bahwa sekarang lahan tersebut tidak boleh dikelola lagi karena telah menjadi kawasan konservasi, merupakan hal yang tidak mudah sehingga sampai saat ini perambahan di sekitar wilayah tersebut masih terjadi. Sebagian besar penggunaan lahan berubah menjadi hutan sekunder, lahan pertanian dan hutan tanaman.

Dilihat secara spasial dalam kurun waktu antara tahun 2000 sampai 2011, perubahan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNBTS terjadi dengan luasan cukup luas dan tersebar merata di bagian selatan (Gambar 12). Perubahan penutupan lahan sebagian besar terdapat di sekitaran desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lumajang. Selain itu, tingkat perubahan Tabel 23 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan TNBTS

Tipe Penggunaan Lahan Danau Hutan Tanaman Industri Hutan Primer Hutan Sekunder Pertanian Lahan Kering Savanna Semak Belukar Tanah Terbuka Danau 15,07 - - - -

Hutan Tanaman Industri - 1.842,67 - - - -

Hutan Primer - - 16.404,16 19.629,56 34,32 - - -

Hutan Sekunder - - - 4.590,32 - - - -

Pertanian Lahan Kering - - - - 1.122,73 - - -

Savanna - - - 1.233,65 - -

Semak Belukar - - - 1.337,17 -

Tanah Terbuka - - - 4.159,66

Luas Total 15,07 1.842,67 16.404,16 24.219,88 1.157,05 1.233,65 1.337,17 4.15..66

75 penutupan lahan terbesar berada di sekitar desa dengan wilayah perkembangan desa yang rendah atau masuk dalam tingkat Hirarki III.

Salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan kelestarian kawasan TNBTS adalah melalui kegiatan ekowisata ataupun kegiatan wisata alam dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang terdapat di kawasan TNBTS secara terbatas. Adanya kegiatan wisata akan mampu membantu masyarakat sekitar meningkatkan pendapatannya melalui penyedian lapangan perkerjaan. Dampak wisata alam ataupun tingkat perkembangan wilayah yang tinggi masih belum dirasakan secara merata di seluruh desa yang berbatasan dengan kawasan. Desa- desa sekitar kawasan TNBTS yang berada di wilayah Kabupaten Lumajang merupakan desa yang memperoleh atau merasakan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam paling kecil. Salah satu penyebab kecilnya dampak ekonomi yang dirasakan oleh desa di sekitar kawasan yang ada di Kabupaten Lumajang adalah karena kurangnya akses atau jauhnya letak desa dari lokasi wisata alam yang ada. Dengan kata lain, desa-desa tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kegiatan wisata alam yang ada.

Gambar 12 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tahun 2000-2011

76

7

STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM TAMAN

Dokumen terkait