• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAYU, Phenacoccus manihoti MATILLE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE)

Abstrak

Predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) merupakan serangga musuh alami yang banyak djumpai pada pertanaman ubi kayu yang terserang oleh kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Penelitian yang dilakukan meliputi kapasitas dan preferensi pemangsaan, serta tanggap fungsional. Hasil penelitian menunjukkan larva instar-1 P. ramburi paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (72 ekor), diikuti oleh instar-2 (42 ekor ), instar-3 (11 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89, 92, 20, dan 8 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151 ekor ), dibandingkan instar-1 (142 ekor), instar-3 (71 ekor), dan imago (57 ekor). Seekor larva P. ramburi diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757 ekor kutu putih dari berbagai instar selama hidupnya. Penelitian lanjutan khusus pada larva instar-3 P. ramburi menunjukkan preferensi pemangsaan terhadap kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 dibanding terhadap instar-3 dan imago. Indeks preferensi (Li) bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, dan negatif untuk instar-3 dan imago. Preferensi terhadap nimfa instar-1 dan instar-2 berkaitan dengan masa penanganan yang lebih singkat pada mangsa yang berukuran lebih kecil. Hubungan antara kerapatan mangsa dan tingkat pemangsaan menunjukkan tanggap fungsional tipe-2, dengan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam.

Kata kunci : Pemangsaan , preferensi, tanggap fungsional, Phenacoccus manihoti, Plesiochrysa ramburi

Abstract

Predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) is the most abundant natural enemies on cassava fields infested by cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae). Research activities included study on predation capacity and prey preferences, as well as functional response. Our studies showed that larvae 1st instar of P. ramburi consumed more on 1st instar of P. manihoti (72), followed by 2nd instar (42 ), 3rd instar (11), and only a few adults (1). 2nd instar of predator preyed on 1st, 2nd, 3rd, and adults respectively 89, 92, 20, and 8 individulas. While larvae 3rd instar of P. ramburi consumed more 2nd instar of mealybug (151-tail), as

compared to 1st (142), 3rd instar (71), and adults (57). Each larva of P. ramburi was able consume as many as 757 mealybugs of different instars during its development. Further studies with 3rd instar of P. ramburi showed predation preference on 1st and 2nd instar of P. manihoti, as opposed to 3rd instar and adults. The value of preference index (Li) is positive for 1st and 2nd, and negative for the 3rd instar and adults of cassava mealybugs. Preference toward 1st and 2nd instar of P. manihoti is related to shorter handling time due to smaller size. Predation increased with increasing mealybug density. P. rambury exhibited functional respone type-2, with attack rate (a) and handling time (Th) were 0.24/hour and 0.69 hour, respectively.

Keywords : Predation, prey preference, functional response, Phenacoccus manihoti, Plesiochrysa ramburi

Pendahuluan

Pengendalian biologi merupakan dasar dari pengendalian hama terpadu (PHT). Pada prinsipnya teknik PHT bertujuan meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang dapat menyebabkan terjadinya dampak pada lingkungan yang tidak diinginkan yaitu terjadinya resistensi hama, resurjensi hama, terbunuhnya organisma bukan sasaran, munculnya hama sekunder, adanya residu pada tanaman dan terganggunya kualitas lingkungan sekitar seperti air, tanah dan udara (Metcalf dan Luckmann 1993).

Pengendalian kutu putih P manihoti dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti penggunaan tanaman resisten, dengan bahan kimia organik, secara budidaya dan pengendalian biologi. Pengendalian kutu putih yang pernah dilakukan adalah dengan kombinasi antara tanaman inang resisten dan pengendalian biologi (Porter 1988). Berdasarkan penelitian di Amerika dan Afrika, diketahui bahwa tidak ada satupun varietas ubi kayu yang tahan terhadap P manihoti. Pengendalian hama ini terutama dilakukan dengan konservasi maupun augmentasi musuh alami seperti yang telah dilakukan di Thailand dan Afrika (Napompeth 1989, 1990a, 1990b; Suasa-ard 2000; William dan Granara 1992).

Di Indonesia pada tanaman ubi kayu komponen PHT yang diterapkan antara lain adalah (1) penanaman varietas tahan, (2) pengaturan kultur teknis, (3) pengendalian biologis dan (4) pengendalian kimiawi jika diperlukan (Saleh et al. 2009).

Pengendalian biologi merupakan salah satu teknik pengendalian yang sesuai dengan sifat komoditas ubi kayu yang relatif toleran terhadap serangan hama. Ada beberapa musuh alami berupa predator dan parasitoid yang ditemukan pada pertanaman ubi kayu. Salah satu musuh alami yang banyak ditemukan di pertanaman ubi kayu adalah dari ordo Neuroptera, famili Chrysopidae. Serangga dari famili Chrysopidae dengan ciri umum mempunyai sayap kehijauan, mata berwarna kuning emas atau kemerahan dengan panjang 12-20 mm, telur bertangkai, imago biasanya hidup bebas dengan memakan embun madu dan pollen sedangkan larva mempunyai mandibel yang kokoh berbentuk bulan sabit yang berfungsi untuk merobek mangsa serangga bertubuh lunak seperti kutu daun,

kutu putih dan lain-lain. Dewasa aktif terbang, terutama selama sore dan malam hari (Mendel et al. 2003; Zhang et al. 2006.).

Dewasa memiliki kemampuan penerbangan yang kuat dan dapat terbang selama 3 sampai 4 jam pada dua malam pertama penerbangan dan bertelur pada hari kelima setelah menjadi dewasa. Telur berbentuk oval diletakkan secara tunggal, dengan tangkai seperti sutra panjang, berwarna hijau pucat, berubah abu- abu dalam 2-3 hari. Setelah 6-7 hari telur menetas, larva yang sangat aktif, memiliki tiga instar, berwarna abu-abu atau kecoklatan, kulit mirip buaya dengan tungkai berkembang baik dan mandibel berkembang seperti penjepit besar untuk menyedot cairan tubuh mangsanya. Larva tumbuh dengan ukuran kurang dari 1 mm sampai 6-8 mm. Setelah instar ketiga larva membulat, kemudian berkepompong biasanya di tempat-tempat tersembunyi pada tanaman. Dewasa muncul setelah 8-10 hari setelah berpupa (Zhu et al. 2005). Instar pertama berlangsung 3-4 hari, instar-2 sekitar 3-4 hari, sedangkan instar ke-3, 5-6 hari dan pupa 14-15 hari. Siklus hidup dari telur sampai imago meletakkan telur kembali dapat berlangsung sampai 40 hari (Kligen et al. 1996).

Kefektifan salah satu chrysopid yaitu Chrysoperla carnea dalam mengendalikan serangga aphid pada beberapa tanaman telah dipelajari oleh beberapa peneliti, diketahui bahwa 1 larva chrysopa mampu memangsa 500 kutu daun dalam kehidupannya (Hagely 1989, Michaud 2001). Dan perannya sebagai predator pengendali pada beberapa hama juga sudah dipelajari (Stark dan Whitford 1987).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pemangsaan P. ramburi terhadap kutu putih P. manihoti di laboratorium.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Juli sampai Oktober 2012.

Pembiakan P. ramburi

Larva P. ramburi dikoleksi dari pertanaman ubi kayu di Desa Ngampar, Kecamatan Sukaraja, kemudian dipelihara di dalam cawan petri hingga menjadi pupa. Pupa yang akan menjadi imago dipindahkan ke dalam kurungan kasa berukuran 40 cm x 40 cm x 60 cm yang bertujuan untuk pembiakan. Pemeliharaan imago dilakukan dengan memberikan makanan berupa campuran madu, ragi dan air dengan perbandingan 1:1:1 (Gautam et al. 2009) yang berfungsi sebagai pengganti nektar. Campuran ini dioleskan pada kertas dan ditempelkan pada dinding kurungan. Imago biasanya meletakkan telur pada permukaan dalam kurungan menempel pada kain kasa. Setelah telur diletakkan segera dipindahkan ke cawan petri dan dipelihara sampai menetas. Setelah menetas larva diberi makan kutu putih P. manihoti .

Pembiakan P. manihoti

Larva P. manihoti diperoleh dari pertanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja. Larva kemudian diinfestasikan pada tanaman ubi kayu yang ditumbuhkan pada gelas plastik dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi lebih kurang 10 cm yang lebih kurang 2/3 nya diisi dengan media air, kemudian dipelihara pada kondisi laboratorium pemeliharaan serangga.

Komposisi mangsa menurut instar

Cawan petri yang telah disediakan diisi dengan potongan daun ubi kayu segar. Kemudian kedalam cawan petri diinfestasikan nimfa instar-1, 2, 3 dan imago masing-masing 200 ekor. Setelah itu dilepaskan predator instar-1. Setelah ganti kulit kemudian dihitung jumlah masing-masing instar mangsa yang tersisa. Predator instar selanjutnya diberi makan dengan kutu putih dengan komposisi yang sama. Perlakuan ini juga dilakukan setelah predator memasuki instar-3. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 20 kali. Pada setiap pengamatan dilakukan penambahan daun ubi kayu jika diperlukan.

Untuk mengetahui lama fase pradewasa dilakukan dengan mengambil sampel dari perbanyakan predator sebanyak 20 telur. Pengambilan telur P. ramburi untuk mengetahui lama periode larva instar-1, larva instar-2, dan larva instar-3. Dua puluh cawan petri (diameter +17 cm) masing-masing diisi dengan daun ubi kayu segar beserta mangsa P. manihoti nimfa instar pertama sampai instar-3 lebih kurang 400 mangsa. Ke dalam cawan petri kemudian dimasukkan satu telur yang sudah hampir menetas (berwarna abu-abu). Kemudian dilakukan perhitungan lama instar larva predator setelah telur menetas. Pergantian setiap instar predator ditandai dengan adanya bekas kulit (eksuvia) yang ditinggalkan. Penggantian daun ubi kayu dan penambahan mangsa dilakukan jika daun sudah layu dan mangsa yang tersedia berkurang.

Preferensi pemangsaan P. ramburi

Ke dalam cawan petri (diameter +17 cm) dimasukkan kutu putih instar-1, 2, 3 dan imago masing-masing 50 ekor. Kutu putih diberi makan dengan daun ubu kayu segar. Setelah itu ke dalam cawan petri dimasukkan larva instar-3 P. ramburi yang telah dipuasakan selama 12 jam. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 10 ulangan. Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah masing- masing instar P. manihoti yang tersisa pada 3, 6, 12, dan 24 jam setelah pelepasan predator. Kemudian dihitung derajat pemilihan (indeks preferensi) terhadap mangsa dengan rumus Li = ri – pi, Li indeks pemilihan mangsa, ri = proporsi

mangsa yang dimangsa oleh predator, dan pi = proporsi mangsa yang tersedia.

Preferensi maksimum terjadi bila ri = 1 dan pi = 0, dan penolakan maksimum

terjadi jika ri = 0, dan pi = 1. Jika nila Li positif dan mendekati satu maka

preferensi bernilai maksimum, dan sebaliknya nilai L negatif maka penghindaran (penolakan) terhadap mangsa bernilai maksimum. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS Version 16.0. Lebih lanjut data dianalisis dengan analisis ragam ANOVA.

Untuk mengetahui lama waktu untuk pemangsaan dilakukan percobaan pada cawan petri (diameter +17 cm). Kedalam cawan petri dimasukkan perlakuan mangsa yaitu kutu putih P. manihoti instar-1, 2, 3, dan imago masing- masing berjumlah 200 ekor mangsa. Percobaan dilakukan satu persatu pada

masing-masing perlakuan mangsa dimulai dari instar awal. Ke dalam cawan petri yang telah diisi mangsa dilepaskan predator P. ramburi stadia larva instar-3 yang telah dipuasakan lebih kurang selama 12 jam. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop selama 2 jam, dengan menghitung lama waktu predator sejak menangkap mangsa sampai predator menghisap habis mangsa dan meninggalkannya. Kemudian dihitung jumlah mangsa yang dapat dihabiskan selama dua jam. Perlakuan ini dilakukan dengan 20 kali ulangan.

Kemampuan pemangsaan P. ramburi

Cawan petri yang telah disediakan diisi dengan potongan daun ubi kayu segar. Kemudian kedalam cawan petri diinfestasikan nimfa instar-2 dari P. manihoti sebanyak 450 nimfa mangsa. Setelah itu dilepaskan predator instar-1. Setelah ganti kulit kemudian dihitung jumlah mangsa yang tersisa, dan predator instar selanjutnya diberi makan dengan kutu putih instar-2 sebanyak 450 ekor. Perlakuan ini juga dilakukan setelah predator memasuki instar-3. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 20 kali. Pada setiap pengamatan dilakukan penambahan daun ubi kayu jika diperlukan.

Tanggap fungsional predator P.ramburi terhadap kutu putih P. manihoti Perlakuan ini menggunakan 10 tingkat kepadatan mangsa yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 10, 20, 30, 40, 50, P. manihoti instar-2 yang dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian satu larva instar 3 dari P.ramburi yang telah dipuasakan selama 12 jam dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi mangsa pada setiap tingkat kepadatan. Perlakuan yang sama diulang sebanyak 10 ulangan. Pengamatan dilakukan dengan interval 3 jam selama 24 jam terhadap jumlah mangsa yang dimakan. Penambahan mangsa dilakukan untuk mengganti mangsa yang hilang atau dimakan sesuai dengan tingkat kepadatan semula.

Analisis data yang digunakan untuk mengetahui tipe tanggap fungsional predator menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Juliano (1993) sebagai berikut :

Ne exp (+ P1No + P2No2 + P3No3)

No 1 + exp (P0 + P1No + P2No2 + P3No3)

Berdasarkan persamaan di atas, No merupakan kerapatan mangsa yang tersedia, Ne proporsi mangsa yang dikonsumsi, P0 titik potong, P1 merupakan koefisien

linier, P2 kuadratik dan P3 adalah kubik. Keempat parameter ini diduga dengan

metode kemungkinan maksimum dengan prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1990).

Hasil dan Pembahasan Komposisi mangsa menurut instar

Secara umum semua fase perkembangan kutu putih dapat dijadikan mangsa oleh larva P. ramburi (Gambar 6.1). Namun demikian, terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0.000) antara banyaknya instar kutu putih yang dimangsa.

P. ramburi instar-1 Kutu putih B a n y a k n y a k u tu p u tih y a n g d im a n g s a ( e k o r) 0 20 40 60 80 Imago Nimfa-3 Nimfa-2 Nimfa-1 P. ramburi instar-2 Kutu putih B a n y a k n y a k u tu p u tih y a n g d im a n g s a (e k o r) 0 20 40 60 80 100 Imago Nimfa-3 Nimfa-2 Nimfa-1 P. ramburi instar-3 Kutu putih B an ya kn ya k utu p utih y an g d im an gs a (e ko r) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Imago Nimfa-3 Nimfa-2 Nimfa-1

Gambar 6.1. Kemampuan pemangsaan oleh berbagai larva P. ramburi pada berbagai instar kutu putih

Larva P. ramburi instar-1 paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (71.95± 1.21 ekor), diikuti oleh instar-2 (41.95 ±1.05 ekor ), instar-3 (11.25 ±1.02 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1.00 ±0.73 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89.55 ±1.04, 92.45 ±1.28, 19.80 ±0.87, dan 7.85 ±0.72 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151.05 ±1.15 ), dibandingkan instar-1 (141.75 ±0.65 ekor), instar-3 (71.15 ±0.42), dan imago (57.40 ±0.91). Dari percobaan ini tampak bahwa baik larva P. ramburi instar-1, instar-2, maupun instar-3 lebih banyak memangsa kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2. Dalam percobaan ini, larva instar-3 P. ramburi yang digunakan merupakan kelanjutan dari instar selanjutnya, sehingga dapat diduga banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh seekor larva P. ramburi selama masa kehidupan larva. Masa perkembangan larva P. ramburi berlangsung 8-9 hari, dengan perincian instar-1 (2.90 ±0.14 hari), instar-2 (2.40 ± 0.11 hari), dan instar-3 (3.45±0.18 hari). Berdasarkan percobaan ini seekor larva predator diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757.15 kutu putih dari berbagai instar. Preferensi Pemangsaan P. ramburi

Banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi sangat tergantung pada fase perkembangan kutu putih (F = 408.6; db = 3, 39; P < 0.000). Tampak bahwa dalam waktu 24 jam larva P. ramburi mampu memangsa kutu putih instar-1 dan instar-2 dengan rataan berturut-turut 42.0± 0.9 dan 42.7 ± 1.2 ekor (Gambar 6.2). Banyaknya kutu putih yang dimangsa jauh lebih sedikit pada instar-3 (16.3±0.8 ekor) dan imago (8.7±0.2 ekor). Hal ini mengindikasikan bahwa pada keadaan semua stadia kutu putih tersedia tersedia, larva P, ramburi lebih memilih untuk memangsa kutu nimfa instar-1 dan instar-2 dibandingkan instar-3 dan imago.

Kutu putih B any akn ya kut u put ih y ang d iman gsa 0 10 20 30 40 50 Imago Instar-3 Instar-2 Instar-1

Gambar 6.2. Rataan banyaknya masing-masing instar kutu putih yang dimangsa selama 24 jam oleh larva instar-3 P.ramburi.

Hasil perhitungan indeks preferensi mendapatkan Li yang bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan instar-2, dan sebaliknya bernilai negatif untuk instar-3 dan imago (Tabel 6.1). Mangsa dengan Li bernilai positif menunjukkan disukai, sedangkan yang bernilai negatif berarti dihindari. Lebih dipilihnya kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 karena ukurannya lebih kecil, tubuhnya lembut dan belum banyak ditutupi lilin. Sebaliknya imago dan instar-3 kurang dipilih oleh predator karena ukurannya lebih besar, dengan kulit yang lebih keras dan ditutupi lilin. Karakteristik tubuh mangsa ini diduga dapat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk menangani mangsa tadi.

Tabel 6.1. Nilai indeks preferensi (Li) larva instar-3 predator P. ramburi. Kutu putih

Li pada jam setelah inokulasi

3 6 12 24

Instar-1 0.242 0.166 0.119 0.131

Instar-2 0.031 0.115 0.139 0.137

Instar-3 -0.097 -0.107 -0.098 -0.102

Imago -0.176 -0.173 -0.159 -0.167

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan terdapat hubungan antara masa penanganan mangsa dengan banyaknya kutu putih yang dimangsa (Gambar 6.3). Masa penanganan mangsa paling singkat pada kutu instar-1 yaitu 0.48 ± 0.03 menit dan meningkat menjadi 1.08±0.061 menit pada instar-2. Waktu yang dibutuhkan untuk menangani seekor mangsa lebih tinggi lagi pada instar selanjutnya, yaitu 5.13± 0.43 menit pada instar-3 dan 11.75 ±0.49 menit pada imago. Semakin lama masa penanganan mangsa, semakin berkurang kutu putih yang dapat dimangsa per satuan waktu. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa selama dua jam, seekor predator mampu memangsa kutu putih instar-1 sebanyak 18.70 ±0.76 ekor, dan menurun menjadi 9.02 ±0.39 ekor pada instar-2. Banyaknya kutu putih yang dapat dimangsa oleh larva P. ramburi menurun tajam pada imago kutu putih yaitu 2.30± 0.15 ekor.

Kutu putih 0 5 10 15 20 25

Lama penanganan mangsa (menit) Banyaknya yang dimangsa (ekor)

Imago Instar-3

Instar-2 Instar-1

Gambar 6.3. Masa penanganan mangsa dan banyaknya P manihoti yang dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi selama 2 jam

Kemampuan pemangsaan

Kemampuan memangsa dari masing-masing instar larva P. ramburi pada nimfa instar-2 P. manihoti berbeda sangat nyata (F=65566.7; db=2, 59; P<0.000). Tampak bahwa kemampuan memangsa paling tinggi diperlihatkan oleh instar-3 (439.35± 0.47 ekor), diikuti oleh instar-2 (242.10± 0.69 ekor), dan paling rendah instar-1 (143.35± 0.58 ekor) (Gambar 6.4). Perbedaan banyaknya kutu putih yang dimangsa, selain karena lama stadia yang berbeda seperti disebutkan terdahulu, juga karena ukuran tubuh dan kebutuhan nutrisi yang berbeda. Larva instar-1 P. ramburi berukuran sekitar 1 mm, instar-2 berkisar 3-4 mm, dan instar-3 berkisar 5-6 mm. Lebih banyaknya kutu putih yang dimangsa oleh larva instar-3 predator diduga berkaitan dengan lebih tingginya kebutuhan nutrisi pada periode ini sebelum memasuki masa pupa. Secara keseluruhan seekor larva P. ramburi mampu memangsa sebanyak 824.80 ekor nimfa instar-2 P. manihoti. Chrysoperla sp dilaporkan mampu memangsa 100-600 kutu daun (Tauber et al. 2000; Hagely 1989; Michaud 2001).

Larva Plesiochrysa ramburi R at aa n ba ny ak ny a ku tu p ut ih y an g dima ng sa 0 100 200 300 400 500 Instar-3 Instar-2 Instar-1

Gambar 6.4. Rataan banyaknya P. manihoti instar-2 yang dimangsa oleh larva P. ramburi.

Tanggap Fungsional

Analisis regresi logistik hubungan antara kerapatan kutu putih dengan pemangsaan memperlihatkan tanggap fungsional tipe II. Hal ini ditunjukkan oleh koeefisien linear (P1) yang bernilai negatif dan berbeda nyata dengan nol

(P<0.000), serta kooefisien kuadratik (P2) yang bernilai positif (Tabel 6.2). Model

tipe II ini dapat diperiksa pula dengan cara memetakan hubungan antara kerapatan kutu putih dengan proporsi kutu putih yang dimangsa. Dari Gambar 6.5 tampak bahwa proporsi kutu putih yang dimangsa secara perlahan menurun hingga kerapatan kutu putih 20 ekor, dan kemudian menurun tajam dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Pola ini merupakan gambaran dari tanggap fungsional tipe II. Tabel 6.2. Hasil analisis regresi logistik tanggap fungsional

Parameter Penduga ±SE χ2 P

Titik potong (P0) 25.7167±6.0343 18.16 <0.0001

Linear (P1) -0.9001±0.5105 13.85 0.0002

Kuadratik (P2) 0.0488±0.0140 12.15 0.0005

0. 54 0. 56 0. 58 0. 60 0. 62 0. 64 0. 66 0. 68 0. 70 0. 72 0. 74 0. 76 0. 78 0. 80 0. 82 0. 84 0. 86 0. 88 0. 90 0. 92 0. 94 0. 96 0. 98 1. 00

Banyaknya Kut u yang Ter sedi a

0 10 20 30 40 50

Gambar 6.5. Rataan proporsi mangsa yang dimakan pada beberapa kepadatan mangsa

Hasil perhitungan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) mendapatkan nilai berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam (Tabel 6.3). Parameter a menunjukkan proporsi total area yang berhasil dijelajahi oleh seekor predator per satuan waktu. Nilai a dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah laju pergerakan predator dalam mencari mangsa, laju pergerakan mangsa dalam menghindari predator, laju keberhasilan penangkapan mangsa, dan jarak antara predator dan mangsa (Houck dan Strauss 1985). Parameter a menentukan seberapa cepat kurva tanggap fungsional mencapai asimptot. Masa penanganan (Th) adalah waktu yang dicurahkan oleh seekor predator untuk mencari, mengejar, mematikan, memakan mangsa, dan aktivitas lainnya yang berkaitan dengan pemangsaan (Holling 1965).

Tabel 6.3. Laju pemangsaan dan penanganan mangsa dari P. ramburi

Parameter Penduga±SE Selang kepercayaan 95%

Bawah Atas

a 0.2367379296±0.06187590324 0.11396198714 0.35951387198

Th 0.6950237644±0.04913728179 0.59752416012 0.79252336866

Dengan menggunakan analisis maximum-likelihood, didapatkan tipe tanggap fungsional dari P. ramburi , yang merupakan fungsi dari banyaknya kutu yang dimangsa dengan banyaknya kutu yang tersedia. Hal ini menunjukan bahwa tipe tanggap fungsional pada P. ramburi merupakan tipe II (Gambar 6.6). Menurut Sharov (1996), tipe 1 merupakan tipe tanggap fungsional linier dimana laju pemangsaan meningkat atau menurun sehubungan dengan peningkatan atau penurunan populasi mangsa. Tipe tanggap fungsional II, sering disebut dengan tanggap fungsional hiperbolik dimana laju pemangsaan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Tipe III, disebut juga dengan tipe tanggap

fungsional sigmoid, dimana pada pada awalnya laju pemangsaan berlangsung lambat, kemudian meningkat dengan laju yang lebih cepat, sebelum akhirnya menjadi konstan. Tipe pertama biasanya ditemukan pada predator yang bersifat pasif sperti pada laba-laba. Sedangkan tipe II, umumnya terjadi pada percobaan di laboratorium, dengan mangsa tertentu (van Alpen dan Jervis 1996).

0 10 20 30 40

Banyaknya Kut u yang Ter sedi a

0 10 20 30 40 50

Gambar 6.6. Kurva tipe tanggap fungsional predator P. ramburi

Secara umum dapat dikatakan bahwa predator P. ramburi cukup efektif karena sifat dari kriteria tanggap fungsional tipe II atau tanggap fungsional hiperbolik adalah bila laju pemangsaan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa, mortalitas mangsa maksimal terjadi pada kerapatan mangsa yang rendah. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria untuk menentukan keefektifan suatu predator yang dapat diukur dari kemampuannya untuk menemukan mangsa pada kepadatan mangsa rendah dan mengkonsumsi banyak mangsa pada saat populasi mangsa melimpah (Kharboutli dan Mack 1993).

Kemampuan pemangsaan yang baik di laboratorium perlu untuk dikaji lebih lanjut penerapannya di pertanaman. Hasil kajian pada jenis chrysopid yang lain seperti Chrysoperla carnea menunjukkan bahwa predator ini telah berhasil dibiakan dan dilepas, bahkan di Amerika spesies ini telah diperjual belikan secara komersil. Kendala sering terlambatnya keberadaan predator P. ramburi di lapangan maka kemungkinan pelepasan predator di lapangan akan efektif untuk dilakukan. Pembiakan di laboratorium perlu dilakukan untuk mendapatkan populasi predator yang cukup banyak. Pelepasan predator dapat dilakukan dalam bentuk telur maupun larva, dengan beberapa kelemahan pada masing-masing instar saat di lepas. Stadia telur cukup baik untuk dilepas karena telur tidak aktif dan dapat ditempatkan pada pertanaman yang akan di lepaskan, namun stadia telur lebih rentan pada suhu dan cuaca. Pelepasan yang dilakukan pada fase larva sering dilakukan, fase ini akan lebih sulit karena cenderung berpindah mencari makanannya. Menurut Sarwar (2014) pada pengujian pelepasan stadia larva menunjukkan bahwa instar-1 dan 2 paling efektif dalam mengurangi populasi kutu daun.

Simpulan

Predator P. ramburi merupakan musuh alami yang potensial untuk dikembangkan dan digunakan dalam pengendalian hayati kutu putih P. manihoti. Selama perkembangannya, setiap larva P. ramburi mampu memangsa sebanyak 750 ekor kutu putih. Larva P. ramburi lebih banyak memangsa kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2. Dengan demikian, peningkatan populasi kutu putih dapat

Dokumen terkait