• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero (Hemiptera Pseudococcidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus Manihoti Matile Ferrero (Hemiptera Pseudococcidae), Hama Invasif Baru Di Indonesia"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti

MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE),

HAMA INVASIF BARU DI INDONESIA

NILA WARDANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Invasif Baru di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

NILA WARDANI. Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), Hama Invasif Baru di Indonesia. Dibimbing oleh AUNU RAUF, I WAYAN WINASA dan SUGENG SANTOSO.

Kutu putih Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama asing invasif yang berasal dari Amerika Selatan. Di Indonesia, hama ini pertama kali ditemukan menyerang pertanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja, Bogor pada pertengahan tahun 2010. Kegiatan penelitian meliputi: (a) survei petani, (b) studi ekologi dan perkembangan populasi dan serangan kutu putih di lapangan, (c) studi potensi peningkatan populasi kutu putih pada varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida yang berbeda, dan (d) studi potensi pemangsaan oleh predator utama.

Survei petani dilakukan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu. Perkembangan populasi dan serangan kutu putih dan musuh alami dilakukan pada tiga varietas ubi kayu. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas. Studi neraca hayati P. manihoti dilakukan pada dua varietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida berbeda. Studi pemangsaan predator Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) pada kutu putih P. manihoti dilakukan dalam cawan petri di laboratorium.

(6)

Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau (Mei-Juni). Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul; pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100% gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul (0.94 kg / pohon) daripada varietas Manggu (3,16 kg / pohon), diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst.

Perikehidupan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu. Masa inkubasi telur P. manihoti berlangsung 7.93±0.09 dan 8.33±0.11 hari, masa perkembangan nimfa 12.32±0.13 dan 15.67±0.13 hari, berturut-turut pada varietas UJ-5 dan Adira-1. Rataan keperidian adalah 386.37±5.83 pada UJ-5 dan 318.67±2.81 butir telur pada Adira-1. Laju pertambahan intrinsik (rm) adalah

0.258±0.001 pada UJ-5 dan 0.220±0.001 pada Adira-1. Rataan masa generasi (T) pada UJ-5 dan Adira-1 berturut-turut 22.795±0.050 dan 25.532±0.047 hari. Keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas UJ-5 lebih sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu.

Larva instar-1 P. ramburi paling banyak memangsa kutu putih instar-1 (72 ekor), diikuti oleh instar-2 (42 ekor ), instar-3 (11 ekor), dan hanya sedikit memangsa imago kutu putih (1 ekor). Larva predator instar-2 memangsa kutu putih nimfa instar-1, instar-2, instar-3, dan imago berturut-turut 89, 92, 20, dan 8 ekor. Sementara larva P. ramburi instar-3 paling banyak memangsa kutu putih nimfa instar-2 (151 ekor ), dibandingkan instar-1 (142 ekor), instar-3 (71 ekor), dan imago (57 ekor). Seekor larva P. ramburi diperkirakan mampu memangsa sebanyak 757 ekor kutu putih dari berbagai instar selama hidupnya. Penelitian lanjutan khusus pada larva instar-3 P. ramburi menunjukkan preferensi pemangsaan terhadap kutu putih nimfa instar-1 dan instar-2 dibanding terhadap instar-3 dan imago. Indeks preferensi (Li) bernilai positif untuk nimfa instar-1 dan 2, serta negatif untuk 3 dan imago. Preferensi terhadap nimfa instar-1 dan instar-2 berkaitan dengan masa penanganan yang lebih singkat pada mangsa yang berukuran lebih kecil. Hubungan antara kerapatan mangsa dan tingkat pemangsaan menunjukkan tanggap fungsional tipe-2, dengan laju pemangsaan (a) dan masa penanganan mangsa (Th) berturut-turut 0.24/jam dan 0.69 jam.

(7)

SUMMARY

NILA WARDANI. Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), A Newly Invasive Pest in Indonesia. Supervised by AUNU RAUF, I WAYAN WINASA and SUGENG SANTOSO.

Cassava mealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae), is an invasive alien pest that comes from South America. In Indonesia, the pest was first detected on cassava fields in Bogor in mid 2010. Because P. manihoti is new to Indonesia, not much is known about the life history and its impact on cassava yield. Research activities conducted include: (a) surveys of farmers, (b) study of the ecology and the level of infestation of the cassava mealybugs in the fields, (c) study of the potential of population increase of the mealybugs on cassava varieties having different levels of cyanide, and (d) study of the predation capacity of the main predator.

Farmer surveys were conducted in Subdistrict of Sukaraja-Bogor, by interviewing 60 cassava farmers. Development of the mealybug population and level of infestation, and natural enemies were monitored on three cassava varieties. Observation was done every two weeks on 20 sample plants for each variety. Life table studies of P. manihoti were conducted on two cassava varieties having different level of cyanide. Study of predation capacity of Plesiochrysa ramburi (Schneider) (Neuroptera: Chrysopidae) on cassava mealybugs was done in petri dishes in laboratory.

Results of interviews with farmers revealed as much as 52% of respondents aged over 60 years, with the main occupation is farming. In term of level of education, about 83% of the farmers were graduates of or have been in elementary school. Cassava farmers generally (67%) were not member of the farmer groups. As many as 73% of respondents had no contacts with agricultural extension agents. Land area used for cassava cultivation generally (88%) were less than 0.50 ha. Most of the farmers (87%) were tenants, with over 15 years experiences in cassava farming. Cassava planting do not depend on the season, but can be any time whenever no crops on the lands,. Cassava varieties widely grown by farmers were Roti (90%), followed by Manggu (15%) and Jimbul (5%). The majority (97%) of farmers used goat manure, and the rest (3.3%) chicken manure. Manure was given when the plant 15-30 days old, with a dosage of 11-15 ton/ha. Urea was given twice when the plant aged 3 and 7 months, with a dosage of 200-500 kg/ha. Weeding generally (68%) were conducted twice when the plant 4 and 8 monthsold. Harvest generally (92%) were carried out at 10-13 months old. Farmers generally (87%) considered P. manihoti as the most important pests of cassava. The majority of farmers (82%) mentioned that the mealybug began attacking cassava since 2007. It seems that they equated P. manihoti with the papaya mealybug (Paracoccus marginatus) which also attacked cassava. Nearly half the respondents said that attacks by the cassava mealybug caused yield losses about 40-50%. Nevertheless, farmers generally di not perform any control measure.

(8)

faster on variety Jimbul; at 18 wap all plants had bunchy tops. While on varieties Roti and Manggu, 100% infestation occurred at 30 and 36 wap, respectively. There was a correlation between early infetation with plant height ang yield. Cassava plants infested during early stage were shorter and the yield lower, compared to those infested at further stages. Lower yields of variety Jimbul (0.94 kg/tree) than variety Manggu (3.16 kg/plant), was thought to be related to heavy infestation which occurred during early stage. The most abundant natural enemies in cassava fields infested by P. manihoti was the predatory lacewing P. ramburi. Population of P. ramburi usually increased at the end of dry season, when mealybug population had already reached its peak and cassava plants were severely damaged. Abundance of P. ramburi were higher on variety Jimbul coincided with higher mealybug infestation. Predator density on this plants reached 100 eggs, 80 larvae, and 70 pupae per plant at 24 wap.

Life table studies revealed that P. manihoti performances were highly affected by cassava varieties. Incubation period of eggs of P. manihoti were 7.93±0.09 and 8.33±0.11 days, nymphal development periode 12.32±0.13 and 15.67±0.13 days, respectively on UJ-5 and Adira-1. Fecundity averaged 386.37±5.83 on UJ-5 and 318.67±2.81 eggs on Adira-1. Intrinsic rate of increase (rm) were 0.258±0.001 on UJ-5 and 0.220±0.001 on Adira-1. Mean generation

time (T) on UJ-5 and Adira-1 were 22.795±0.050 and 25.532±0.047 days repectively. Our findings showed that variety UJ-5 was more suitable for development and population growth of the cassava mealybug.

The first instar larvae of P. ramburi consumed more on 1st instar of P. manihoti (72), followed by 2nd instar (42 ), 3rd instar (11), and only a few adults (1). The second instar larvae of predator preyed on 1st, 2nd, 3rd, and adults of mealybugs respectively 89, 92, 20, and 8 individulas. While the third instar larvae P. ramburi consumed more 2nd instar of mealybug (151), as compared to 1st (142), 3rd instar (71), and adults (57). Each larva of P. ramburi was able to consume as many as 757 mealybugs of different instars during its development. Further studies with 3rd instar of P. ramburi showed predation preference on 1st and 2nd instar of P. manihoti, as opposed to 3rd instar and adults. The value of preference index (Li) is positive for 1st and 2nd, and negative for the 3rd instar and adults of cassava mealybugs. Preference toward 1st and 2nd instar of P. manihoti is related to shorter handling time due to smaller size. Predation increased with increasing mealybug density. P. rambury exhibited functional respone type-2, with attack rate (a) and handling time (Th) were 0.24/hour and 0.69 hour, respectively.

(9)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi

KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus manihoti

MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE), HAMA

INVASIF BARU DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Suwarto, MSi 2. Dr Endang Sri Ratna

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “ Kutu Putih Ubi Kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera : Pseudococcidae) Hama Invasif Baru di Indonesia”.

Selama melaksanakan studi, penelitian dan penulisan disertasi penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesemopatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir I Wayan Winasa, MSi dan Dr Ir Sugeng Santoso, M.Agr, selaku anggota komisi pembimbing atas arahan dan bimbingan, kritik dan sarannya yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian hingga penyelesaian disertasi ini.

2. Dr Ir Suwarto, MSi dan Dr Endang Sri Ratna, sebagai penguji pada sidang tertutup, Dr Ir Abdul Basit, MS dan Dr Ir Teguh Santoso, DEA sebagai penguji pada sidang terbuka.

3. Pimpinan Badan Litbang Pertanian beserta jajaran atas segala bantuannya semenjak penulis kuliah sampai menyelesaikan studi di Program Pascasarjana IPB.

4. Pimpinan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung beserta jajarannya atas segala bantuan dan dukungannya.

5. Pimpinan dan seluruh staf Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Ekologi Serangga atas segala bantuan fasilitas untuk penelitian penulis. Khusus kepada Bapak Wawan Yuwandi yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian, penulis ucapkan terima kasih banyak, begitu juga kepada Bapak Oha, Oman dan petani ubi kayu di Sukaraja yang telah memberikan izin untuk menggunakan lahan tanaman ubi kayu untuk penelitian penulis.

6. Teman-teman di Forum Komunikasi Petugas Belajar Badan Litbang Pertanian-IPB atas dukungannya, serta teman-teman di Laboratorium Ekologi Serangga atas dorongan dan semangatnya.

7. Ayahanda Herman (Alm) dan Ibunda Zawirna, dan seluruh keluarga atas segala do’a, dorongan dan semangat yang diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan studi di pasca sarjana IPB ini.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis baik selama kuliah maupun dalam penelitian dan penyelesaian disertasi penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu diucapkan terima kasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini memberikan manfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahun.

Bogor, Februari 2015

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xvii

I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Pendekatan Masalah 3

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Daftar Pustaka 6

II TINJAUAN PUSTAKA 8

Tanaman Ubi Kayu 8

Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu 10

Bioekologi Kutu Putih, Phenacoccus manihoti 11 Kerusakan yang Disebabkan oleh Kutu Putih P. manihoti 13

Musuh Alami Kutu Putih dan Peranannya 13

Pengendalian Kutu Putih P. manihoti 14

Daftar Pustaka 15

III SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI PETANI TERHADAP HAMA KUTU PUTIH DI

KECAMATAN SUKARAJA-BOGOR 19

Abstrak 19

Abstract 19

Pendahuluan 20

Metode Penelitian 21

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 31

Daftar Pustaka 32

IV DINAMIKA SERANGAN Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA PERTANAMAN

UBI KAYU DI BOGOR 34

Abstrak 34

Abstract 34

Pendahuluan 35

Metode Penelitian 36

Hasil dan Pembahasan 37

Simpulan 46

(18)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

V PARAMETER NERACA HAYATI DAN PERTUMBUHAN POPULASI KUTU PUTIH Phenacoccus manihoti MATILE-FERRERO

(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA DUA VARIETAS UBI

KAYU 50

Abstrak 50

Abstract 50

Pendahuluan 51

Metode Penelitian 52

Hasil dan Pembahasan 53

Simpulan 58

Daftar Pustaka 58

VI PEMANGSAAN Plesiochrysa ramburi (SCHNEIDER) (NEUROPTERA: CHRYSOPIDAE) PADA KUTU PUTIH UBI KAYU, Phenacoccus

manihoti MATILLE-FERRERO (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) 60

Abstrak 60

Abstract 60

Pendahuluan 61

Metode Penelitian 62

Hasil dan Pembahasan 64

Simpulan 72

Daftar Pustaka 72

VII PEMBAHASAN UMUM 74

VIII SIMPULAN DAN SARAN 79

IX DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 90

(19)

DAFTAR TABEL

2.1 Karakteristik sepuluh varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh

Kementerian Pertanian 9

2.2 Hama tanaman ubi kayu dan musuh alaminya 13 3.1 Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,

Kabupaten Bogor 23

3.2 Karakteristik lahan dan penanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,

Kabupaten Bogor 25

3.3 Karakteristik perawatan tanaman ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,

Kabupaten Bogor 27

3.4 Karakteristik pemanenan dan penjualan hasil panen ubikayu di

Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor 28 3.5 Persepsi petani ubi kayu terhadap hama kutu putih di

Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor 30

5.1 Rataan masa perkembangan pradewasa kutu P. manihoti pada dua

varietas ubi kayu 53

5.2 Rataan masa hidup imago, keperidian, penetasan telur kutu

P. manihoti pada dua varietas ubi kayu 55

5.3 Parameter pertumbuhan populasi P. manihoti pada dua varietas

ubi kayu 57

(20)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Bagan alir penelitian 5

2.1 Siklus perkembangan Phenacoccus manihoti (Nwanze 1977) 12 4.1 Perkembangan serangan P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu 38 4.2 Curah hujan di sekitar lokasi penelitian (BMKG 2013) 38 4.3 Hubungan antara waktu terjadinya serangan dengan

pertumbuhan tanaman (A) dan bobot umbi (B) 42 4.4 Hubungan antara tinggi tanaman pada saat panen dengan

bobot umbi yang dihasilkan 43

4.5 Perkembangan kelimpahan populasi predator P. ramburi pada tiga

varietas ubi kayu 45

5.1 Keperidian harian (mx) dan sintasan (lx) kutu putih P. manihoti pada

varietas UJ-5 (atas) dan Adira-1 (bawah) 56 6.1 Kemampuan pemangsaan oleh berbagai larva P. ramburi

pada berbagai instar kutu putih 65 6.2 Rataan banyaknya masing-masing instar kutu putih yang dimangsa

selama 24 jam oleh larva instar-3 P.ramburi. 66 6.3 Masa penanganan mangsa dan banyaknya P manihoti yang

dimangsa oleh larva instar-3 P. ramburi selama 2 jam 68 6.4 Rataan banyaknya P. manihoti instar-2 yang dimangsa oleh

larva P. ramburi 69

6.5 Rataan proporsi mangsa yang dimakan pada beberapa kepadatan

mangsa 70

6.6 Kurva tipe tanggap fungsional predator P. ramburi 71

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pertanyaan kuisioner wawancara kepada petani ubi kayu 91 2 Gejala serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu 94 3 Laporan pengujian laboratorium pada kadar HCN 3 varietas ubi kayu

lokal 95

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu Manihot esculenta Crantz, merupakan tanaman pangan yang banyak dibudidayakan baik di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia, pada umumnya petani masih menggunakan teknologi tradisional dalam membudidayakan ubi kayu. Ubi kayu merupakan tanaman dengan keunggulan agronomis yang dapat memberikan hasil tinggi walaupun ditanam pada lahan yang kurang subur (marginal) atau lahan dengan curah hujan yang rendah (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999).

Beberapa keunggulan lain dari ubi kayu adalah a) sudah dibudidayakan secara luas oleh masyarakat pedesaan sebagai bahan makanan pokok dan sebagai bahan pangan cadangan pada musim paceklik, b) nilai kandungan gizi yang cukup tinggi dan c) mudah beradaptasi dengan lingkungan atau lahan yang marginal dan beriklim kering. Ubi kayu juga merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang menghasilkan devisa negara melalui kegiatan ekspor gaplek/chips dan tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di Indonesia adalah sebagai bahan pangan (58%), bahan baku industri (28%), ekspor dalam bentuk gaplek (8%), pakan (2%), dan limbah pertanian (4%) (Vademikum 2008).

Di Asia, Indonesia merupakan salah satu produsen ubi kayu terbesar setelah Thailand. Produk olahan primer dan sekunder selain untuk kebutuhan domestik, juga diekspor dalam bentuk produk antara dan setengah jadi. Produk industri pengolahan primer ubi segar yang diekspor oleh Indonesia adalah gaplek/chips, tepung kasava, dan tapioka. Ekspor pada tahun 2013 dalam bentuk gaplek/chips mencapai 129 024 ton, dan tapioka sebesar 65 185 ton (Maman 2014). Ketiga produk tersebut mampu bersaing di pasar internasional, namun tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku berupa ubi kayu segar. Oleh sebab itu volume ekspor produk tersebut terus menurun. Thailand menduduki urutan pertama sebagai pengekspor produk olahan ubi kayu (chips, tepung kasava dan tapioka). Indonesia menduduki urutan kelima untuk chips, ketiga untuk tepung ubikayu, dan urutan keempat untuk tapioka (Heriyanto et al. 2009).

Saat ini ubi kayu semakin banyak dibudidayakan karena semakin banyak perusahaan yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku, seperti industri tapioka, bioetanol dan lainnya. Dengan semakin berkembangnya industri olahan ubikayu, diperlukan introduksi teknologi budidaya ubi kayu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ubi kayu.

(22)

Ubi kayu sebenarnya merupakan tanaman tropis, namun dapat juga ditanam di daerah subtropis. Wilayah pengembangan ubi kayu berada pada 30 o LU dan 30 o LS. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman ubi kayu adalah antara 18-35oC. Pada suhu di bawah 10 oC pertumbuhan tanaman ubi kayu akan terhambat. Kelembaban udara yang dibutuhkan ubi kayu adalah 65% (Suharno et al. 1999). Tanaman dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubi kayu berkisar antara 760-1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya serangan jamur dan bakteri pada batang dan daun, serta umbi apabila drainase kurang baik (Semangun 1991; Suharno et al. 1999). Ubi kayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi tinggi pada tanah yang kurang baik bagi padi dan jagung. Sebagian besar pertanaman ubi kayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tingkat kemasaman tanah (pH) untuk tanaman ubi kayu minimum 5. Tanaman ubi kayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk organik (Wargiono 1979).

Organisme pengganggu tanaman (OPT) yang berasosiasi dengan tanaman ubi kayu relatif sedikit. OPT utama yang sering ditemukan pada tanaman ubi kayu adalah tungau merah, terutama pada musim kemarau. Penyakit yang biasa menyerang tanaman adalah yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas manihotis dan cendawan bercak daun (Cercospora henningsii) (Sundari 2010). Beberapa jenis kutu putih dilaporkan dapat menyerang ubi kayu seperti Phenacoccus manihoti, P. madeirensis, Ferrisia virgata, P. solenopsis, Pseudococcus jackbeardsleyi, P. hereni. Di Columbia, P. manihoti dan P. hereni dilaporkan dapat menyebabkan penurunan produksi 68-88%, sedangkan di Afrika dapat mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991).

(23)

Pendekatan Masalah

Ubi kayu merupakan tanaman pangan sekaligus industri. Di Indonesia, ubi kayu mempunyai peran sangat penting sebagai penyangga pangan karena bisa ditanam di banyak daerah, bahkan daerah yang tidak bisa ditanami tanaman pangan lain seperti padi dan jagung. Selain sebagai sumber pangan, hasil olahan ubi kayu juga dipakai sebagai pakan ternak dan juga sebagai komoditas ekspor. Akhir-akhir ini ubi kayu juga banyak digunakan sebagai campuran bahan bakar premiun (biofuel).

Budidaya ubi kayu relatif mudah karena mempunyai keunggulan sifat mampu tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999). Pada umumnya petani membudidayakan ubi kayu secara sederhana dan tanpa menggunakan pestisida. Hal ini karena organisme pengganggu tanaman (OPT) pada ubi kayu selama ini dianggap tidak menjadi masalah. Namun pada tiga tahun terakhir ini, pertanaman ubikayu di Indonesia terancam oleh hama P. manihoti yang merupakan hama invasif yang diperkirakan masuk dari luar negeri.

P. manihoti merupakan hama yang berasal dari Amerika Selatan, hidup pada pucuk tanaman, di bawah permukaan daun dan pada batang. Tubuh serangga ini berwarna pink yang ditutupi oleh lapisan lilin berwarna putih, berbentuk oval, mempunyai filamen tubuh yang pendek (James et al. 2000). Reproduksi hama ini bersifat partenogenetik telitoki yaitu semua keturunan yang dihasilkan adalah betina, sehingga hama ini bisa berkembang dengan cepat . Di luar negeri, hama ini merupakan hama utama pada daerah-daerah penghasil ubi kayu, dan mampu menurunkan hasil ubi kayu sampai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991).

Berdasarkan penelitian di Amerika dan Afrika, sampai saat ini belum diketahui varietas ubi kayu yang tahan terhadap P. manihoti. Pengendalian hama ini terutama dilakukan dengan cara konservasi maupun augmentasi musuh alami (Napompeth 1989, 1990a, 1990b; Suasa-ard 2000; William dan Granara 1992). Di Indonesia, P. manihoti merupakan hama baru pada tanaman ubi kayu, sehingga belum banyak informasi terkait hama ini. Oleh karena itu, berbagai penelitian perlu dilakukan untuk memberikan informasi dasar menganai hama ini, antara lain 1) pengetahuan-sikap-persepsi petani, 2) penyebaran, 3) tingkat serangan dan kerusakan, 4) musuh alami dan 5) teknik Pengendalian Hama Terpadu.

Rumusan Masalah

Dengan makin meningkatnya peranan ubi kayu di Indonesia baik sebagai bahan pangan, pakan, biofuel maupun bahan ekspor, maka untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu tersebut perlu dilakukan peningkatan produksi ubi kayu. Banyak faktor yang mempengaruhi produksi ubi kayu di lapangan, salah satunya adalah karena produktivitas yang rendah (Suyamto dan Wargiono 2009). Rendahnya produktivitas ubi kayu dapat disebabkan oleh faktor budidaya yang masih sederhana dan adanya serangan hama dan penyakit.

(24)

hama ini merupakan hama utama yang dapat menurunkan produksi sampai 90%. Tingginya potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan menyebabkan hama ini merupakan ancaman bagi produksi ubi kayu di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai kajian perlu dilakukan untuk memberikan landasan dalam pengelolaan hama ini di lapangan. Kajian yang dilakukan meliputi aspek sosial ekonomi petani ubikayu, serta aspek hama dan musuh alaminya.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan pengetahuan dasar yang terkait dengan latar belakang sosial ekonomi petani ubi kayu, praktik budidaya, ekologi dan dinamika serangan hama kutu putih P. manihoti dalam kaitannya dengan vaietas dan musuh alami, serta potensi dari musuh alami utama yang ditemukan di lapangan.

Tujuan Khusus

Secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menyediakan informasi tentang latar belakang sosial ekonomi petani ubi kayu, praktik budidaya, dan persepsi petani terhadap kutu putih P. manihoti.

2. Mengkaji ekologi dan dinamika serangan kutu putih P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu yang banyak ditanam oleh petani.

3. Mempelajari perkembangan populasi predator Plesiochrysa ramburi dalam kaitannya dengan perkembangan serangan kutu putih.

4. Menentukan potensi peningkatan populasi kutu putih P. manihoti pada dua varietas yang memiliki kandungan sianida berbeda.

5. Mengevaluasi potensi pemangsaan predator Plesiochrysa ramburi terhadap berbagai instar kutu putih P. manihoti.

Manfaat Penelitian

(25)

Gambar 1.1. Bagan alir penelitian KUTU PUTIH

UBI KAYU P. manihoti

Rumusan Strategi PHT Kutu Putih Ubi Kayu

Studi Lapangan:

 Survei petani ubi kayu

Studi Lapangan:

 Ekologi P.manihoti

Studi Laboratorium:

 Neraca hayati

Studi Laboratorium:

 Potensi predator P. ramburi

 Karakteristik petani

 Praktik budidaya

 Persepsi petani

 Dinamika serangan

 Kehilangan hasil

 Musuh alami

 Potensi perkembangan populasi P. manihoti pada dua varietas ubi kayu

(26)

Daftar Pustaka

Charernsom K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand. 144 p. (In Thai).

Guitierrez AP, Neuenschwansed P, Schulthess F, Herren HR, Baumgaertners JU, Wermelinger B, Lor B, Ellis C.K. 1988. Analysis of Biological Control of Cassava Pests in Africa. II. Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti. J Appl Ecol. 25(3): 921-940.

Herren HR, Neuenschwander P. 1991. Biological control of cassava pest in Africa. Annu Rev Entomol. 36: 257-283.

Heriyanto, Krisdiana R, Anindita R. 2009. Prospek produk olahan ubikayu di pasar internasional dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.

James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36 p.

Maman S. 2014. Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu di Indonesia. Seminar dan Pelepasan Terbatas Parasitoid. Bogor. September 2014.

Napompeth B. 1989. Biological control of insect pests and weeds in Thailand. In Pest Ecology and Pest Management. BIOTROP Special Publication. No. 32. BIOTROP, Bogor, Indonesia. p.51-68.

Napompeth B. 1990a. Biological control of weeds in Thailand-A country report. Proceedings of the Symposium on Weed Management. Auld, B.A., R.C. Umaly and S.S. Tjitrosomo (eds.). BIOTROP, Bogor, Indonesia. p. 23-36. Napompeth B. 1990b. Use of natural enemies to control agricultural pests in

Thailand. FFTC Extension Bulletin No. 303. 22 p. Paper presented at the VI ISSCT Sugarcane Entomology Workshop, Cairns, Australia. May 14-20, 2006.

Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. 2(4): 369-383.

Rozi F, Heriyanto. 2009. Ubikayu sebagai komoditas ekonomi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.

Schultess F. 1987. The interactions between casava mealybug (Phenacoccus manihoti Mat-Ferr) populations as influenced by weather. Phd thesis. Swiss Federal Institute of Technology, Zurich.

Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 449 hlm

Suasa-ard W. 2000. Utilization of natural enemies for controlling insect pests and weeds in Thailand. Paper presented at the International Seminar on Non-Pesticide methods for Controlling Diseases and Insect pests. Asian Productivity. Organization, Tokyo, Japan. April 10-17, 2000.

(27)

Suharno, Djasmin, Rubiyo, Dasiran. 1999. Budi Daya Ubi Kayu. Kendari: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Suyamto, Wargiono J. 2009. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Ubi Kayu dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.

Vademikum Ubikayu. 2008. Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 26 h

Wargiono. 1979. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. LP3. Bogor

Wargiono J, Kartika, Solihin. 2009. Areal pertanaman dan sistem produksi dalam Ubikayu Inovasi Teknologi dan Kebijakan Pengembangan. Badan Litbang Pertanian. Pusat Peneltian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 363 h.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Ubi Kayu

Menurut Allem (2002), berdasarkan asalnya tanaman ubi kayu dapat dibedakan menjadi tiga hal yaitu asal botani, asal geografis dan asal budi daya. Secara botani ubi kayu pertama kali ditemukan sebagai suatu spesies liar dari jenis tumbuhan Manihot flabelifolia. Berdasarkan geografis ubi kayu pertama kali dibudidayakan penduduk Brasil Tengah (Allem 2002), sedangkan negara bagian Golas merupakan pusat keragaman spesies manihot di Brasil. Secara budi daya ubi kayu merupakan spesies tanaman purba yang diperkirakan mulai di budidayakan pada 5000-7000 tahun sebelum Masehi (Lathrap 1970).

Perkembangan sejarah ubi kayu di Indonesia diketahui bahwa tahun 1838 penduduk Indonesia belum mengenal ubi kayu sebagai bahan makanan walaupun tumbuhan itu sudah ada di Indonesia. Upaya penanaman ubi kayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980).

Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae dan dalam famili Euphorbiaceae. Beberapa anggota famili Euphorbiaceae yang mempunyai nilai komersial diantaranya adalah karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), Manihot spp. dan tanaman hias (Euphorbia spp.).

Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain M. utilissima dan M. alpi. Semua genus Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brazilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubi kayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering (Carlos 1983).

Di Indonesia ubi kayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup penting, baik sebagai makanan pokok, industri maupun sumber pakan untuk ternak. Hal ini disebabkan tanaman ubi kayu mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman pangan lain, diantaranya dapat tumbuh di lahan kering dan kurang subur, daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, masa panennya yang tidak diburu waktu sehingga dapat dijadikan lumbung hidup. Selain itu, daun dan umbi ubi kayu dapat diolah menjadi aneka makanan, baik makanan utama maupun selingan.

Nilai utama ubi kayu adalah karena nilai kalorinya yang tinggi. Ubi kayu segar mengandung 35–40% bahan kering dan 90% dari padanya adalah karbohidrat. Ubi kayu merupakan sumber utama karbohidrat. Bardasarkan bobot segar, ubi kayu dapat menghasilkan 150 kkal/100 gr bobot segar, dan berdasarkan hasil persatuan luas, ubi kayu dapat bersaing dengan tanaman bijian dalam hal kalori dan efisiensi tenaga kerja, ubi kayu juga merupakan sumber vitamin C yang baik, mengandung 30 – 35 mg/100 gr bobot segar dan biasanya rendah kandungan serat (1,4%) dan lemaknya (0,3%). Di samping varietas, umur panen, lingkungan agronomi juga dapat mempengaruhi komposisi kimia umbi ubi kayu (Sundari 2010).

(29)

Tabel 2.1. Karaketeristik sepuluh varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian.

Varietas Umur (bulan)

Kadar HCN (mg/kg)

Kadar pati (% bb)

Hasil (ton/ha)

Ketahanan pada hama/penyakit Adira-1 7-10 27.5 45 25 - Agak tahan tungau merah

(Tetranychus bimaculatus)

- Tahan bakteri hawar daun, penyakit layu

Pseudomonas Solana- cearum dan

Xanthomonas manihotis Adira 2 8-12 124.0 41 22 - Cukup tahan tungau

merah

- Tahan penyakit layu

P. solanacearum Adira-4 10 68.0 20-22 35 - Cukup tahan tungau

merah

- Tahan terhadap P. Solanacearum dan

X. manihotis

Malang-1 9-10 < 40 32-36 36.5 - Toleran tungau merah - Toleran bercak daun (Cercospora sp.)

Malang 2 8-10 < 40 32-36 31.5 - Agak peka tungau merah - Toleran penyakit bercak daun (Cercospora sp.) Malang-4 9 > 100 25-32 39.7 - Agak tahan tungau merah Malang-6 9 > 100 25-32 36.4 - Agak tahan tungau merah

UJ-3 8-10 > 100 20-27 20-35 - Agak tahan bakteri hawar daun(cassava bacterial blight)

UJ-5 9 – 10 > 100 19-30 25-38 Agak tahan cassava bacterial blight

Darul Hidayah

8-12 < 40 25-31 102.1 - Agak peka tungau merah - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.)

Sumber : Sundari (2010).

Ubi kayu yang baik harus memiliki beberapa kriteria seperti umur panen kurang dari 8 bulan, tahan hama dan penyakit, produksi per ha tinggi, memiliki kadar pati antara 35–40% (bb), menghasilkan rendemen tepung yang tinggi (Wargiono 1979).

Berdasarkan kandungan HCN ubi kayu dibedakan menjadi ubi kayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubi kayu

(30)

dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar.

Dari sepuluh karakteristik varietas yang telah dilepas oleh Kementerian Pertanian, terlihat bahwa ketahanan varietas ubi kayu terhadap serangan hama masih terbatas pada tungau merah, karena selama ini di Indonesia hanya tungau merah yang menjadi kendala utama pada ubi kayu.

Kutu Putih pada Tanaman Ubi Kayu

Kutu putih juga dikenal dengan nama mealybug, merupakan serangga dari Ordo Hemiptera, famili Pseudococcidae. Kutu ini banyak menyerang tanaman, bersifat sedenter, dan tubuh ditutupi oleh lapisan lilin yang berwarna putih. Banyak tanaman pertanian yang berasosiasi dengan kutu putih ini.

Beberapa spesies Pseudococcidae ditemukan pada tanaman ubi kayu dan pada tanaman sekerabat lainnya (Cox dan Williams 1981). Williams dan Granara (1992) melaporkan bahwa ada 19 spesies dari Sub Ordo Sternorrhyncha, famili Pseudococcidae yaitu Ferrisia meridionalis Williams, Ferrisia terani Williams dan Granara de Willink, Ferrisia virgata (Cockerell), Hypogeococcus spinosus Ferris, Nipaecoccus nipae (Maskell), Paracoccus herreni Williams dan Granara de Willink, Paracoccus marginatus Williams dan Granara de Willink, Phenacoccus gregosus Williams dan Granara de Willink, Phenacoccus helianthi (Cockerell), Phenacoccus herreni Cox dan Williams, Phenacoccus madeirensis Green, Phenacoccus manihoti Cox dan Williams, Planococcus citri (Risso), Planococcus minor (Maskell), Pseudococcus affinis (Maskell), Pseudococcus elisae, Pseudococcus mandio Williams, Pseudococcus maritimus, Puto barberi (Cockerell). Perhatian utama ditujukan pada dua spesies yang dominan ditemukan dan meyebabkan serangan berat adalah Phenacoccus manihoti dan Phenacoccus herreni (Cox dan Williams 1981). Dari sejumlah kutu putih yang menyerang tanaman ubi kayu hanya Phenacoccus herreni dan Phenacoccus manihoti, yang penting secara ekonomi.

Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke Afrika pada tahun 1970 an. Hama ini pertama kali memasuki kawasan Asia Tenggara yaitu Thailand pada tahun 2009, yang menyebabkan serangan berat pada pertanaman ubi kayu, kemungkinan telah menyebar ke Laos dan Kamboja. Di Indonesia pertama kali ditemukan di daerah Jawa Barat pada tahun 2010 (Muniappan et al. 2011; Rauf 2011).

(31)

Perbedaan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap P. manihoti telah dipelajari oleh Tertuliano et al.(1993). Dilaporkan bahwa ketahanan ubi kayu terhadap P. manihoti disebabkan adanya perbedaan kadar kandungan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa asam sianida merupakan senyawa sekunder yang terdapat di dalam floem tanaman ubi kayu. Floem merupakan jaringan tempat kutu putih P. manihoti menghisap cairan untuk dikonsumsi sebagai nutrisi. Adanya senyawa ini akan mempengaruhi perkembangan dan reproduksi P. manihoti, dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingkat ketahanan tanaman ubi kayu terhadap P. manihoti. (Catalayud et al. 1994; Fraenkel 1969). Semakin tinggi kadar asam sianida pada ubi kayu maka semakin rentan varietas tersebut terhadap kutu P. manihoti.

Bioekologi Kutu Putih, Phenacoccus manihoti

Phenacoccus manihoti merupakan hama yang hidup pada pucuk tanaman, di bawah permukaan daun atau batang dari tanaman ubi kayu. Tubuh berwarna pink yang ditutupi oleh lapisan lilin, berbentuk oval, mempunyai filamin tubuh yang pendek (James et al. 2000). Secara rinci Matile-Ferrero (1978) menyebutkan bahwa spesies P. manihoti mempunyai telur berbentuk oval, dengan warna kuning keemasan dan ditutupi oleh kantung telur (ovisac) yang terdapat pada ujung posterior dari betina dewasa. Panjang dan lebar telur berkisar antara 0.30-0.75 mm dan 0.15–0.30 mm. Tubuh nimfa terdiri dari 6 ruas pada instar pertama dan 9 ruas pada instar selanjutnya. Panjang dan lebar tubuh nimfa berturut-turut untuk instar pertama 0.40–0.75 dan 0.20–0.30 mm. Instar kedua 1.00–1.10 dan 0.50–0.65 mm. Instar ketiga 1.10–1.50 dan 0.50–0.60 mm, imago 1.10–2.60 dan 0.50–1.40 mm. Betina dewasa berbentuk oval, berwarna merah muda (pink) dan ditutupi tepung putih berlilin, mata relatif berkembang, tungkai berkembang baik dengan ukuran yang sama.

(32)

Gambar 2.1. Siklus perkembangan Phenacoccus manihoti (Nwanze 1977) Curah hujan merupakan faktor penentu dalam dinamika populasi kutu P. manihoti di lapangan (Herren dan Hennessey 1983). Hujan dapat menyebabkan kutu hanyut secara mekanis. Perubahan populasi P.manihoti sangat dipengaruhi oleh adanya stress pada tanaman karena kekeringan atau kekurangan air. Kekeringan akan meningkatkan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa ini berperan sebagai fagostimulan bagi P. manihoti, sehingga dapat meningkatkan populasinya pada tanaman. Sebaliknya pemberian pupuk organik, mulsa dan NPK dapat menurunkan serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu (Neuenschwander 1994).

Di Afrika dan Amerika Selatan populasi P. manihoti meningkat pada musim kemarau (Le Ru dan Catalayud 1994), jumlah kutu berlipat dalam waktu 7-10 minggu dari jumlah populasi kurang dari 10 individu/tanaman menjadi lebih dari 100 individu/tanaman. P. manihoti menyebabkan distorsi pada tunas terminal, daun menguning dan keriting, ruas memendek, batang menjadi stunting, dan melemah. Dengan tidak adanya musuh alami dan tindakan pengendalian lainnya, kerusakan ini dapat mengurangi hasil lebih dari 80 % (Nwanze KF 1977). Tidak ada kultivar ubi kayu yang diketahui sepenuhnya tahan terhadap P. manihoti (Calatayud dan Le Rü 2006). Hasil eksplorasi musuh alami asli P. manihoti telah ditemukan empat hymenoptera parasit, dua belas predator dan satu jamur entomopatogen (Lohr et al. 1990; Yaseen 1982).

4 hari 5 hari

Parthenogenetik Telitoki

8 hari 4 hari

(33)

Kerusakan yang Disebabkan oleh Kutu Putih P. manihoti

Kutu putih pada ubi kayu menghisap cairan daun dan pucuk tanaman. Serangan hama dapat mengurangi panjang internode dan menyebabkan daun menjadi mengkerut dan pucuk mengerdil atau disebut bunchy tops . Serangan berat dapat menyebabkan defoliasi pada tanaman, namun hal ini jarang terjadi karena ubi kayu merupakan tanaman cepat untuk bertunas kembali. Kutu putih ini juga dapat menyebabkan distorsi pada batang. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan musim basah (James et al. 2000).

Selama proses makan kutu putih menghisap cairan floem dan mengambil kalsium dari daun ubi kayu. Hal ini terbukti ketika daun ubi kayu dianalisis kandungan Ca, P, dan K, pada daun yang tidak terserang ditemukan kandungan Ca 32% lebih banyak dari daun yang terserang, dan tidak berbeda nyata untuk kandungan N, P, dan K. Reduksi Ca menyebabkan lemahnya daun, dinding sel sedikit mengkerut, dan daun menjadi melengkung (CIAT 1988). Pada tanaman yang terserang kutu putih juga terjadi pengurangan laju fotosintesa, pengurangan efisiensi transpirasi dan mesofil daun, dan dalam waktu yang bersamaan juga terjadi defisit air, CO2 internal dan juga pengurangan temperatur daun (CIAT

1992).

Musuh Alami Kutu Putih dan Peranannya

[image:33.595.113.525.447.739.2]

Menurut Charernsom and Suasa-ard (1994; 2010), beberapa parasitoid dan predator diketahui berasosiasi dengan ubi kayu (Tabel 2.2).

Tabel 2.2. Hama tanaman ubi kayu dan musuh alaminya

__________________________________________________________________ Hama tanaman ubi kayu Serangga musuh alami

__________________________________________________________________ Ferrisia virgata - Acerophagus sp. (Hymenoptera:

Encyrtidae)

P. madeirensis - Allotropa sp. (Hymenoptera: Encyrtidae) P. manihoti - Anagyrus sp. (Hymenoptera: Encyrtidae) P. solenopsis

Pseudococcus jackbeardsleyi Serangga predator:

(Homoptera: Pseudococcidae) - Plesiochrysa ramburi (Neuroptera: Chrysopidae)

- Mallada basalis (Neuroptera: Chrysopidae - Spalgis epius (Lepidoptera: Lycaenidae) - Brumoides sp. (Coleoptera:

Coccinellidae)

- Chilomenes sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) - Micraspis discolor (Coleoptera: Coccinellidae)

- Nephus sp. (Coleoptera: Coccinellidae)

(34)

Interaksi antara musuh alami dengan hama telah banyak dilaporkan, di antaranya oleh Nadel dan van Alphen (1987) dan Souissi et al. (1997) yaitu respon dari parasitoid betina pada zat kimia volatil yang dikeluarkan oleh tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Telah diteliti model interaksi antara P. manihoti dan Apoanagyrus lopezi, dan P. herreni dengan Apoanagyrus diversicornis Howard, Aenasius vexans Kerrich, Acerophagus coccois Smith (Hymenoptera: Encyrtidae). Contoh lain adalah spesies endoparasitoid untuk mengendalikan P. herreni di Amerika Selatan (Bertschy et al. 1997; 2001).

Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman berperan penting dalam interaksi antara musuh alami dan tanaman. Senyawa kimia yang dikeluarkan oleh tanaman bisa digunakan oleh musuh alami untuk mendeteksi inang atau mangsa. Hal ini secara intensif diteliti pada serangga parasitoid maupun predator tungau (Vet dan Dicke 1992, Dicke dan Vet 1999; Cortesero et al. 2000). Namun baru sedikit informasi tentang interaksi antara serangga predator seperti coccinellids dengan hama tanaman.

Coccinellidae merupakan predator yang banyak digunakan untuk mengendalikan kutu putih (Obata 1986; Zhu et al. 1999). Penelitian pada Coccinellidae, salah satunya telah dilakukan oleh Le Ru and Makayamakosso (2001), diketahui bahwa adanya respon dari betina predator generalis ladybird Epidinocarsis flaviventris pada bau yang dikeluarkan dari interaksi ubi kayu dan kutu putih. Tanaman ubi kayu sendiri dikatakan tidak atraktif dalam menarik musuh alami, tetapi dengan percobaan infestasi kutu putih pada tanaman ubi kayu, maka tanaman ubi kayu mengeluarkan senyawa volatil yang menarik betina dari coccinellids pada mikrohabitatnya.

Pengendalian Kutu Putih P. manihoti

Pengendalian Biologi.

Introduksi Epidinocarsis lopezi untuk mengendalikan P. manihoti sukses dilakukan di Afrika. Ini merupakan contoh pengendalian biologi klasik yang berhasil pada kutu putih (Neuenschwander 1994). Epidinocarsis diversicornis mempunyai preferensi makan pada nimfa instar-3 dan A. coccois memparasit pada kokon jantan dan betina, serta nimfa instar-2 P. manihoti. Persentase oviposisi oleh E. diversicornis menyebabkan kematian 13 % pada nimfa instar-1 (van Driesche et al. 1990). Aenasius vexans mempunyai preferensi makan pada nimfa instar- 2 dan ke- 3, serta dewasa P. manihoti (CIAT 1990).

Penggunaan Tanaman Resisten

(35)

memperlambat perkembangan serangga fitofag, dengan demikian proses terpaparnya hama pada predator maupun parasitoid akan lebih lama (Panda 1979), sehingga akan terjadi sinergi antara pengendalian dengan menggunakan varietas tahan dan pengendalian biologi.

Pengendalian dengan Bahan Kimia Organik

Perendaman stek ubi kayu dengan ekstrak cair dari ubi kayu selama 60 menit diketahui secara signifikan mengurangi kutu (Razafindrakoto et al. 1999). Pada percobaan Mourier (1997) ditemukan bahwa daun ubi kayu yang diperlakukan dengan ekstrak nimba 1% dapat menolak invasi instar pertama kutu putih dibandingkan daun tidak diperlakukan, dan kutu putih yang telah mengonsumsi ekstrak ini akan mati pada stadia instar kedua. Perlakuan setiap tiga mingguan akan melindungi ubi kayu terhadap nimfa instar awal, namun diketahui pada beberapa kasus ekstrak ini juga bersifat fitotoksisitas.

Pengendalian Secara Budi daya

Penggunaan pupuk kandang atau lainnya dapat mengakibatkan penurunan populasi kutu putih karena hasil peningkatan unsur hara tanaman. Tanaman yang sehat juga akan berpengaruh pada musuh alami, karena akan meningkatkan reproduksi parasitoid dengan tingkat kesuburan tinggi (Schulthess et al. 1997). Penggunaan mulsa dan pupuk kandang juga akan meningkatkan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap serangan kutu putih (Tertuliano et al. 1999).

Daftar Pustaka

Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16.

Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 1997. Chemically-mediated attraction of three parasitoid species to mealybug-infested cassava leaves. Flo Entomol. 80: 383-395.

Bertschy C, Turlings TCJ, Bellotti AC, Dorn S. 2001. The role of mealybug-induced cassava plant volatiles in the attraction of the Encyrtid parasitoids Aenasius vexans and Apoanagyrus diversicornis. J Insect Behav. 14: 363-371.

Boussienguet J. 1984. Bio-ecologie de la cochenille du manioc, Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. et de ses ennemis naturels au Gabon. These Universite de Paris Jussieu, Paris, France, 100 p. inPaul-André and Bruno. 2006. Cassava–Mealybug Interactions. Instutute de Recerche Pour Le Developpement. Paris. 112 p.

Carlos ED. 1983. Morphology of the cassava plant. Study Guide. CIAT. Cali. Colombia.

Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E, Tertuliano M, Le RÜ B. 1994. Infhence of secondary compounds in the floem sap of cassava on expression of antibiosis towards the mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol exp appl. 72: 47-57.

(36)

Charernsom K, Suasa-ard W. 1994. A host list of natural enemies of insect pests in Thailand. Special Publication No 6. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council of Thailand. 144 pp. (In Thai)

Charernsom K, Suasa-ard W. 2010. Insects of Thailand: Host and preys of Natural enemies. Special Publication No 9. National Biological Control Research Center Kasetsart University/National Research Council. 714 pp. (In Thai).

CIAT 1988. Annual Report Cassava Program. CIAT Calt. Colombia CIAT 1990. Annual Report Cassava Program 1989, CIAT Calt. Colombia CIAT 1992. Annual Report Cassava Program 1987-1991, CIAT Calt.

Colombia.

Cortesero AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Cont. 17: 35-49.

Cox JM, Williams DJ. 1981. An account of cassava mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) with a description of a new species. Bull Entomol Res. 71: 247-258.

Darjanto, Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: yayasan Dewi Sri.

Dicke M, Vet LEM. 1999. Plant-carnivore interactions: evolutionary and ecological consequences for plant, herbivore and carnivore. In: Herbivores: between plants and predators, H. Olff, V. K. Brown & R. H. Drent (eds), Blackwell Science, Oxford, UK, p. 483-520.

Fraenkel, G., 1969. Evaluation of our thoughts on secondary plant substances. Entomol exp appl. 12: 473-486.

Herren HR, Hennessey RN. 1983. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Nigeria: IITA. 154 p.

Iheagwam EU. 1981. The influence of temperature on increase rates of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr.(Homoptera; Pseudococcidae). Rev Zool Afr 95: 959–967.

Iheagwam EU, Eluwa MC. 1983. The effects of temperature on the development of the immature stages of the Cassava Mealybug, Phenacoccus manihoti Mat-Ferr.(Homoptera, Pseudococcidae). Deut Entomol Z 30: 17– 22.

James B, Yaninek J, Neuenschwander P, Cudjoe A, Modder W, Echendu N, Toko M. 2000. Pest Control in Cassava Farms. International Institute of Tropical Agriculture. 36p.

Lathrap DW. 1970. The upper Amazon. Thames and Hudson. London.

Lema KM, Herren HR. 1985. The influence of constant temperature on population growth rates of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl 38: 165–169.

Le Ru B, Makayamakasso JP. 2001. Prey habitat location by the cassava mealybug predator Exochomus flaviventris: Olfactory responses to odor of plant, mealybug, plantmealybug complex, and plant-mealybug-natural enemy complex. J Insect Behav. 14: 557-572.

(37)

Löhr B, Varela AM, Santos B. 1990. Exploration for natural enemies of the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Homoptera: Pseudococcidae), in South America for the biological control of this introduced pest in Africa. Bull Entomol Res 80: 417–425.

Matile-Ferrero D, 1978. Cassava mealybug in the People's Republic of Congo. In: Nwanze KF, Leuschner K, ed. Proceedings of the International Workshop on the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat.-Ferr. (Pseudococcidae) held at INERA-M'vuazi, Bas-Zaire, Zaire, June 26-29, 1977. International Institute of Tropical Agriculture. Ibadania Niger, 29-46.

Mourier M, 1997. Effects of neem (Azadirachta indica) kernel water extracts on cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae). J Appl Entomol. 121(4): 231-236; 17 ref.

Muniappan R, Shepard BM, Watson W, Carner GR, Rauf A, Sartiami D, Hidayat P, Afun JVK, Goergen G, Ziaur Rahman AKM. 2011. New Records of Invasive Insects (Hemiptera:Sternorrhyncha) in Southeast Asia and West Africa. J Agric Urban Entomol. 26(4):167-174.

Nadel H, van Alphen JJM. 1987. The role of host- and host-plant odours in the attraction of a parasitoid, Epidinocarsis lopezi, to the habitat of its host, the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 45: 181-186.

Neuenschwander P, Schulthess F, Madojemu E. 1986. Experimental evaluation of the efficiency of Epidinocarsis lopezi, a parasitoid introduced into Africa against the cassava mealybug Phenacoccus manihoti. Entomol Exp Appl. 42: 133-138.

Neuenschwander P. 1994. Control of cassava mealybugs in Africa:lessons from a biological control project. African Crops Sci J. l2(4): 369-383.

Nwanze KF. 1977. Biology of the cassava mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republic of Zaire. Proceedings of the International Workshop on Cassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr.

(Pseudococcidae). INERA, M’Vuazi-Zaire, June 26-29, IITA Press, Ibadan, Nigeria, p. 20-28.

Obata S. 1986. Mechanisms of prey finding in the aphidophagous ladybird beetle, Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae). Entomophaga. 31: 303-311.

Panda 1979. Principles of Host-Plant Resistance to Insect Pests. Allanheld Universe, New York.

Porter RI. 1988. Evaluation of Germplasm of Cassava (Manihot esculenta Crantz) for Resistance to the Mealybug (Phenacoccus herreni Cx & Williams). Thesis Disertation. Cornel University, Ithaca, NY.

Rauf A. 2011. Invasive pests. IPM CRSP Annual Report 2010-2011.

(38)

Schulthess F, Neuenschwander P, Gounou S, 1997. Multi-trophic interactions in cassava, Manihot esculenta, cropping systems in the subhumid tropics of West Africa. Agriculture, Ecosystems & Environment 66(3):211-222. Souissi R, Nenon JP, Le Ru B. 1997. Behavioural responses of the

endoparasitoid Apoanagyrus lopezi to odours of the host and host’s cassava plants. Entomol Exp Appl. 90: 215-220.

Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik Budidaya Ubi kayu. Balai Penelitian Kacang Kacangan dan Umbi Umbian, Malang. 16 h.

Tertuliano M, Dossou-Gbete S, Le Ru B. 1993. Antixenotic and antibiotic components of resistance to the cassava mealybug, Phenacoccus manihoti (Hom., Pseudococcidae), in various host-plants. Insect Sci Appl. 5-6: 657-665.

Tertuliano M, Calatayud PA, Le Rü B. 1999. Seasonal changes of secondary compounds in the phloem sap of cassava in relation to fertilization and to infestation by the cassava mealybug. Insect Sci Appl. 19(1): 91-98.

Van Driesche RG, Bellotti AC, Castillo JA, Herrera CJ. 1990. Estimating total losses from parasitoids for a field population of a countinously breeding insect, cassava mealybug, Phenacoccus herreni (Homoptera : Pseudococcidae) in Colombia, S.A. Florida Entomologist. 73: 133-143. Vet LEM, Dicke M. 1992. The ecology of infochemical use by natural enemies

of herbivores in a tritrophic context. Annu Rev Entomol. 37: 141-172. Wargiono. 1979. Ubikayu dan cara bercocok tanamnya. LP3. Bogor

Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South America. CAB International. Wallingford.Oxon, UK, 635 p.

Yaseen M. 1982. Exploration for natural enemies of Phenacoccus manihoti and Mononychellus tanajoa: the challenge, the achievements. In: Herren HR, Hennessey RN, editors. Biological control and host plant resistance to control the cassava mealybug and green mite in Africa: Proceedings of an international workshop. Ibadan, Niger: IITA. pp 81–102

(39)

BAB III

SURVEI PRAKTIK BUDIDAYA UBI KAYU DAN PERSEPSI

PETANI TERHADAP HAMA KUTU PUTIH DI

KECAMATAN SUKARAJA-BOGOR

Abstrak

Survei berlangsung selama bulan September hingga November 2012, dengan mewawancarai 60 petani ubi kayu yang tersebar di tiga desa. Hasil survei menunjukkan sebanyak 52% responden berumur lebih dari 60 tahun, dengan pekerjaan utama adalah bertani. Tingkat pendidikan petani umumnya (83%) tamatan atau pernah sekolah SD, dan lulusan SLTP dan SLTA masing-masing 8%. Petani ubi kayu umumnya (67%) tidak tergabung dalam kelompok tani. Sebanyak 73% responden menyatakan tidak pernah berhubungan dengan tenaga penyuluh pertanian. Luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman ubi kayu umumnya (88%) kurang dari 0.50 ha. Petani di lokasi penelitian umumnya (87%) berstatus sebagai penggarap, dengan pengalaman bertanam ubi kayu lebih dari 15 tahun. Penanaman ubi kayu tidak tergantung pada musim, tetapi dilakukan kapan saja saat lahan kosong. Varietas ubi kayu yang paling banyak ditanam oleh petani yaitu Roti (90%), disusul oleh Manggu (15%) dan Jimbul (5%), dengan stek bibit berasal dari kebun sendiri. Sebagian besar petani (97%) menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk kandang, dan sisanya (3.3%) menggunakan kotoran ayam. Pupuk kandang diberikan sebanyak satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 15-30 hari dengan dosis 11-15 ton/ha. Pupuk urea diberikan sebanyak dua kali, pada saat tanaman berumur 3 dan 7 bulan, dengan dosis 200-500 kg/ ha. Penyiangan gulma umumnya (68%) dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat ubi kayu berumur 4 dan 8 bulan. Panen umumnya (92%) dilakukan pada saat ubikayu berumur 10-13 bulan. Petani ubi kayu umumnya (87%) menyebutkan kutu putih P. manihoti merupakan hama yang paling penting pada pertanaman ubi kayu. Sebagian besar petani (82%) mengemukakan bahwa hama kutu putih mulai menyerang tanaman ubi kayu sejak tahun 2007. Tampaknya mereka menyamakan kutu putih P. manihoti dengan kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus) yang juga menyerang ubi kayu. Hampir separuh responden menyatakan bahwa serangan kutu putih menyebabkan kehilangan hasil berkisar 40-50%. Walaupun demikian, umumnya petani tidak melakukan tindakan pengendalian.

Kata kunci : Survei petani, ubi kayu, kutu putih, Phenacoccus manihoti

Abstract

(40)

area used for cassava cultivation generally (88%) were less than 0.50 ha. Most of the farmers (87%) were tenants, with over 15 years experiences in cassava farming. Cassava planting do not depend on the season, but can be any time whenever no crops on the lands,. Cassava varieties widely grown by farmers were Roti (90%), followed by Manggu (15%) and Jimbul (5%), with cuttings derived from their own previous cassava stands. The majority (97%) of farmers used goat manure, and the rest (3.3%) chicken manure. Manure was given when the plant 15-30 days old, with a dosage of 11-15 ton/ha. Urea was given twice when the plant aged 3 and 7 months, with a dosage of 200-500 kg/ha. Weeding generally (68%) were conducted twice when the plant 4 and 8 monthsold. Harvest generally (92%) were carried out at 10-13 months old. Farmers generally (87%) considered P. manihoti as the most important pests of cassava. The majority of farmers (82%) mentioned that the mealybug began attacking cassava since 2007. It seems that they equated P. manihoti with the papaya mealybug (Paracoccus marginatus) which also attacked cassava. Nearly half the respondents said that attacks by the cassava mealybug caused yield losses about 40-50%. Nevertheless, farmers generally di not perform control measures.

Keywords : Farmer survey, cassava, mealybug, Phenacoccus manihoti

Pendahuluan

Di Indonesia umumnya petani membudidayakan tanaman ubi kayu masih secara tradisional, tanpa teknologi khusus, baik cara tanam, pemupukan dan pemeliharaan serta panen. Keadaan ini lebih disebabkan ubi kayu merupakan tanaman yang mempunyai keunggulan agronomis dimana dapat memberikan hasil yang tinggi walaupun tumbuhnya pada lahan yang kurang subur (marginal) ataupun lahan dengan curah hujan yang rendah (Wargiono et al. 2009; Suharno et al. 1999).

Seiring perubahan waktu, permintaan ubi kayu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan laju 3.63% per tahun dan serapannya mencapai 62-78% dari produksi nasional (Suyamto dan Wargiono 2009). Ubi kayu digunakan baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun industri. Peran ubi kayu dalam bidang industri akan terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya program pemerintah untuk menggunakan sumber energi alternatif yang berasal dari hasil pertanian (liquid biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol serta diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Untuk dapat mendukung program pemerintah tersebut, maka produksi ubi kayu harus ditingkatkan. Peningkatan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui peningkatan luas panen dan penerapan teknik budidaya yang tepat (Sundari 2010).

(41)

yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua (Sundari 2010). Namun dengan masuknya hama baru P. manihoti, dapat menjadi ancaman karena menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu mencapai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991). Kutu tersebut menghisap cairan daun dan pucuk tanaman. Serangan hama dapat mengurangi panjang internode dan menyebabkan daun menjadi mengkerut dan mengerdil bunchy tops. Gejala lanjut akan menyebabkan daun mengering dan rontok, jika serangan berat dapat menyebabkan defoliasi pada tanaman. Hama juga akan meninggalkan bekas serangan berupa distorsi pada batang. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan musim basah (James et al. 2000).

Dengan adanya informasi akibat yang ditimbulkan oleh hama kutu putih ini petani akan menyadari bahwa hama ini perlu untuk diperhatikan dan dikendalikan. Namun hal ini memerlukan proses karena pertani sudah terbiasa dengan teknik budidaya sederhana yang dilakukan selama ini.

Secara umum pengambilan keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) permasalahan hama yang menyangkut tingkat serangan dan kehilangan hasil yang ditimbulkannya, (2) pilihan pengendalian yang tersedia bagi petani, (3) persepsi petani terhadap permasalahan hama dan (4) motivasi berusaha tani (Untung 1996).

Program pengendalian hama berhasil jika tindakan atau keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani tepat. Dan program pengendalian ini diharapkan sesuai dengan kaidah dan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Ketepatan pengendalian hama tersebut sangat dipengaruhi oleh cara petani mempersepsi hama tersebut, sikap dan keyakinanya, serta tindakan pengendalian yang dilakukan. Informasi tersebut merupakan salah satu komponen penting yang perlu digali dalam rangka pengembangan PHT (Rauf 1996). Menurut Soekartawi (1998) tindakan penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor lingkungan. Faktor dalam diri petani antara lain umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil risiko, fatalisme, aspirasi dan dogmatis. Faktor lingkungan meliputi jarak dari sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadan prasarana dan sarana, serta proses memperoleh sarana produksi.

Hama kutu putih P. manihoti merupakan hama baru di Indonesia karena itu untuk mengembangkan teknik pengendalian hama kutu putih P. manihot pada tanaman ubi kayu yang sesuai dengan prinsip PHT maka dilakukan survei praktek budidaya dan persepsi petani ubi kayu terhadap kutu putih P. manihoti.

Metode Penelitian

(42)

Penelitian dilakukan dengan metode survei, yaitu dengan mewawancarai petani ubi kayu menggunakan kuisioner terstruktur dengan sebagian pertanyaan bersifat terbuka (Lampiran 1). Selain itu, survei juga menggunakan alat peraga berupa spesimen kutu putih P. manihoti dan tanaman ubi kayu yang terserang kutu putih. Wawancara dilaksanakan pada saat petani berada di kebun ubi kayu atau dengan cara mendatangi petani di rumahnya. .Untuk maksud tersebut, di setiap desa penelitian dipilih 20 orang petani ubi kayu, sehingga keseluruhan responden yang diwawancarai berjumlah 60 orang.

Kuesioner yang digunakan terdiri atas tiga komponen informasi utama, yaitu (1) karakteristik petani ubi kayu, (2) karakteristik budidaya tanaman ubikayu, dan (3) persepsi petani terhadap hama dan penyakit, khususnya terhadap hama kutu putih. Data yang terkumpul ditabulasi, dan kemudian dilakukan analisis frekuensi.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Petani Ubi Kayu

(43)
[image:43.595.111.509.166.489.2]

hanya orang tua mereka. Hal ini juga tampak dari hasil survei, semua petani ubi kayu yang menjadi responden tidak ada yang umurnya kurang dari 30 tahun. Tabel 3.1. Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,

Kabupaten Bogor

Karakteristik Frekuensi %

Umur (tahun)

≤ 30 0 0

31-40 3 5.0

41-50 15 25.0

51-60 11 18.3

 60 31 51.7

Pendidikan Tertinggi

Tidak sekolah/tidak tamat SD 27 45.0

SD 23 38.3

SLTP 5 8.3

SLTA 5 8.3

PT 0 0

Tanggungan keluarga

≤ 2 20 33.3

3-5 32 53.3

≥ 6 8 13.3

Kelompok Tani

Anggota 20 33.3

Bukan anggota 40 66.7

Kontak dengan PPL

Ya 16 26.7

Tida

Gambar

Gambar 1.1.   Bagan alir penelitian
Tabel 2.1. Karaketeristik sepuluh varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas oleh       Kementerian Pertanian
Tabel 2.2.  Hama tanaman ubi kayu dan musuh alaminya __________________________________________________________________
Tabel 3.1.  Karakteristik petani ubi kayu di Kecamatan Sukaraja,                    Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Besar PanjangJiwo dan Okina Randi Hananto yang telah banyak memberikan bantuan moral, spiritual dan material dalam menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Fakultas

Setidaknya ada sepuluh (10) kelebihan buku BSE PAI SD Kelas 4 ini adalah 1) judul bab disertai dengan tema utama yang mencakup isi materi dalam satu bab, 2) tujuan pembelajaran

Persamaan ini menunjukan bahwa hubungan penguasaan kosakata dan berpikir kritis dengan dengan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV SD Negeri Banjarsari 5

Emosi, individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi akan.. lebih mudah mengendalikan dirinya di dalam suatu keadaan

Kode Barang Jenis Barang /Nama Barang Nomor Register Merk/ Type Ukuran/ CC Bahan Tahun Pem- belian Nomor Jumlah. Barang Kondisi Asal

Persamaan penelitian terdahulu dan penelitian ini sama-sama menggunakan kualitas laba (kualitas akrual) Dechow-Dichev (2002) sebagai variable dependen, dan

Setelah init mengambil alih tugas booting sistem dari LILO atau GRUB, init akan menjalankan sistem sesuai dengan default run level yang digunakan..

Sedangkan data khususnya terdiri dari perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan jus semangka pada setiap responden dengan menggunakan sphygmanometer