• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kutu putih P. manihoti merupakan hama invasif baru yang menyerang pertanaman ubi kayu di Indonesia. Hama ini diperkirakan memasuki wilayah Indonesia pada tahun 2010 (Muniappan et al. 2011, Rauf 2011). Saat ini diketahui kutu putih P. manihoti telah menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia yang merupakan sentra pertanaman ubi kayu seperti Provinsi Lampung dan Jawa Timur. Kemungkinan hama ini telah menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia karena diketahui bahwa penyebaran hama ini cukup cepat yaitu mencapai 150 km/tahun (Winotai et al. 2010). Di Amerika dan Afrika kutu putih P. manihoti merupakan hama utama tanaman ubi kayu, dan kehilangan hasil akibat hama ini bisa mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991).

Dari hasil pengamatan di lapangan, khususnya di Desa Ngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, tingkat serangan dalam satu pertanaman mendekati 100%. Namun sampai saat ini petani belum melakukan tindakan pengendalian untuk mengendalikan hama, dikarenakan tanaman ubi kayu masih dianggap tanaman sampingan dan kurangnya informasi tentang hama ini. Untuk itu adanya pengkajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi serangan hama dan teknik pengendalian yang mungkin diterapkan perlu dilakukan untuk mendapatkan alternatif teknik pengendalian yang sesuai untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis.

Seperti diketahui bahwa ubi kayu merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung dan kedelai. Oleh karena itu masalah hama dan penyakit sering tidak menjadi prioritas untuk dikendalikan, namun bila dilihat dari kehilangan hasil yang tinggi yang dapat disebabkan oleh kutu P. manihoti, maka perlu dicari teknik pengendalian yang sesuai dengan sifat dari komoditi ini. Adanya kajian untuk mengetahui teknik pengendalian hama ini semakin diperlukan karena pada saat ini nilai ekonomi tanaman ubi kayu makin meningkat dengan banyaknya industri-industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku seperti industri bioetanol.

Untuk melakukan pengendalian terhadap suatu hama perlu diketahui faktor-faktor yang mempangaruhi baik tentang hamanya maupun petani sebagai pengambil keputusan tindakan pengendalian. Dari faktor hama perlu diketahui sifat-sifat hama dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hama tersebut. Sedangkan dari petani sendiri, pengambilan keputusan pengendalian dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakterisitik petani, budidaya dan persepsi petani mengenai hama tersebut (Rukka 2003).

Survei pengetahuan, sikap, dan persepsi petani dilakukan untuk mengetahui karakter petani, budi daya, dan persepsi petani ubi kayu yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan pengendalia hama. Hasil survei menunjukkan bahwa petani di tiga desa merupakan petani yang telah berumur lanjut, dengan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Soekartawi (1988) adanya sumberdaya petani yang masih aktif atau produktif dan pendidikan yang

memadai akan menunjang dalam adopsi inovasi suatu pengetahuan dan teknologi. Keterbatasan sumberdaya petani di daerah ini dapat di atasi salah satunya dengan penyuluhan yang lebih intensif dari petugas lapangan.

Faktor pembatas lain adalah dari segi kepemilikan lahan dan lahan garapan. Umumnya petani ubi kayu mempunyai lahan garapan yang relatif sempit yaitu di bawah 0.5 ha (+ 90%) dan rata-rata antara 0.25-0.5 ha (53.33%). Kecilnya lahan yang digunakan untuk tanaman ubi kayu, disebabkan karena pada lahan yang lain petani menanam tanaman yang dapat dipanen cepat seperti sayuran atau menanam tanaman yang lebih menguntungkan seperti pepaya. Menurut Pasaribu (2009), dengan luas lahan untuk usahatani ubi kayu subsisten 0,5 ha/KK, maka kebutuhan pangannya tercukupi namun tidak tersedia dana untuk pengadaan sarana produksi dan upah tenaga kerja. Karena itu, saran perbaikan budidaya atau pengendalian disesuaikan yaitu dengan budidaya atau pengendalian hama yang mudah dan murah untuk diterapkan oleh petani. Petani memerlukan saran teknik pengendalian kutu P. manihoti karena penurunan produksi akibat adanya kutu P. manihoti yang diperkirakan oleh petani rata-rata adalah 41-60% dari produksi normal. Dan hampir 100% petani menyatakan bahwa kutu ini merupakan hama utama yang menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi hama di lapangan antara lain : iklim atau musim, cara budidaya dan varietas yang ditanam serta musuh alaminya. Di lapangan terlihat bahwa peningkatan populasi dan serangan kutu P. manihoti terjadi pada musim kemarau (Juni-Oktober), dengan curah hujan terendah (37-374 mm/bilan) dan terendah pada bulan Nopember- Februari yang terjadi pada musim penghujan (curah hujan rata-rata 429-636 mm/bulan). Pada musim kemarau, tanaman akan mengalami tekanan karena adanya kekeringan atau kekurangan air. Kekeringan akan meningkatkan senyawa sekunder pada tanaman ubi kayu. Senyawa ini berperan sebagai fagostimulan pada P. manihoti, sehingga dapat meningkatkan populasinya pada tanaman (Neuenschwander 1994). Pada musim hujan populasi P .manihoti mengalami penurunan karena banyak kutu yang mati dan terbawa secara mekanik oleh air hujan. Curah hujan merupakan faktor penentu dalam dinamika populasi kutu P. manihoti di lapangan (Herren dan Hennessey 1983).

Mekanisme matinya kutu tanaman dengan adanya air hujan dapat dijadikan ide untuk mengendalikan kutu putih dengan menggunakan air seperti jatuhnya air hujan dengan menggunakan springkler. Prinsip yang digunakan sistem ini adalah memberi tekanan pada air dalam pipa dan memancarkan ke udara sehingga menyerupai hujan selanjutnya jatuh pada permukaan tanah atau tanaman. Untuk ubi kayu pemberian pengairan belum banyak dilakukan, namun dengan semakin tingginya nilai ekonomi ubi kayu, maka pemberian pengairan baik dengan irigasi tetes maupun springkler mungkin akan berkembang, dan pemberian irigasi dengan menggunkan springkler merupakan alternatif yang dapat digunakan. Karena selain dapat memberikan pengairan pada tanaman namun juga dapat berfungsi secara mekanis menurunkan pupolasi kutu putih. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air dalam waktu yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengelolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam

tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit (Kurnia, 2004).

Cara budi daya sehat dengan menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan dapat menurunkan populasi P. manihoti. Penggunaan pupuk kandang atau lainnya dapat mengakibatkan penurunan populasi kutu putih karena hasil peningkatan gizi tanaman dan juga akan meningkatkan reproduksi parasitoid dengan tingkat kesuburan tinggi (Schulthess et al. 1997). Diketahui juga bahwa penggunaan mulsa dan pupuk kandang meningkatkan ketahanan tanaman ubi kayu terhadap serangan kutu putih (Tertuliano et al. 1999). Di lokasi penelitian sistem budi daya petani dengan penggunaan pupuk kandang 11-15 ton per ha, merupakan faktor pendukung sebagai salah satu teknik budidaya yang dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil ubi kayu akibat serangan kutu P. manihoti.

Cara budi daya dengan tanpa menggunakan pestisida juga dapat mempengaruhi populasi kutu di lapangan karena tanpa pestisida kimia memungkinkan musuh alami yang ada di lapangan dapat berkembang. Petani di lokasi penelitian (100%) mengatakan tidak menggunakan pestisida. Cara budidaya ini membuka peluang untuk menggunakan musuh alami sebagai agen pengendali hayati pada kutu putih P. manihoti. Musuh alami dapat digunakan dengan konservasi atau dengan introduksi. Tanpa pestisida kimia memungkinkan bagi musuh alami untuk menekan populasi kutu putih lebih efektif karena musuh alami dapat bekerja tanpa efek samping dari pestisida kimia seperti kematian musuh alami. Menurut Metcalf dan Luckman (1993) penggunaan bahan-bahan kimia sintetis di pertanaman dapat menyebabkan terjadinya dampak pada lingkungan yang tidak diinginkan yaitu terjadinya resistensi hama, resurjensi hama, terbunuhnya organisma bukan sasaran, munculnya hama sekunder, adanya residu pada tanaman dan terganggunya kualitas lingkungan sekitar seperti air, tanah dan udara.

Teknik budi daya dengan perbedaan waktu tanam juga berpengaruh pada kelimpahan populasi kutu P. manihoti di lapangan. Hal ini terlihat pada tiga varietas yang diamati. Varietas Jimbul yang ditanam pada saat mendekati kemarau mengalami serangan paling berat, karena tanaman terserang pada saat umur muda yaitu 2-12 MST. Sedangkan pada manggu yang ditanam pada saat awal musim hujan lebih terhindar dari serangan berat. Waktu awal terjadinya serangan kutu sangat berpengaruh pada hasil ubi kayu. Tanaman yang mendapat serangan awal hama P. manihoti saat umur 2–12 mst, umbi yang dihasilkan jauh berkurang (+ 70 %) dari rata-rata produksi normal. Penurunan produksi yang tajam terjadi karena serangan awal terjadi pada fase kritis dari tanaman ubi kayu (4-12 mst) (Wargiono et al. 2009). Pada fase ini tanaman mengalami fase awal pertumbuhan daun dan formasi sistem perakaran, sebagian fotosintat yang tidak digunakan untuk pertumbuhan disimpan pada umbi. Dengan demikian, gangguan pada daun akan menyebabkan penurunan yang signifikan pada hasil fotosintat. Serangan P. manihoti yang terjadi pada fase ini menyebabkan pertumbuhan tanaman ubi kayu terganggu sehingga tanaman menjadi lebih pendek dibandingkan dengan tanaman normal. Serangan kutu ini juga menyebabkan kerusakan daun (bunchy top) dan batang (distorsi), yang akan mempengaruhi produksi umbi yang dihasilkan. Oleh karena itu pengaturan waktu tanam dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil ubi kayu. Penanaman ubi kayu

pada saat awal musim hujan akan mengurangi kehilangan hasil karena tanaman akan relatif lebih terlindungi saat berumur muda. Ini perlu disarankan kepada petani karena pada umumnya petani di lokasi survei menanam ubi kayu tidak menentu dan penanaman dilakukan kapan saja saat lahan telah kosong.

Varietas ubi kayu yang digunakan juga berperan dalam mempengaruhi tinggi dan rendahnya populasi kutu P. manihoti. Diketahui bahwa ketahanan suatu varietas ubi kayu dipengaruhi oleh kandungan asam sianida (HCN) pada tanaman. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa ketiga varietas yang di amati tidak terlalu berbeda pada kandungan HCN nya yaitu kurang dari 50 ppm. Hasil uji respon biologi kutu P. manihoti terhadap dua varietas ubi kayu yang berbeda kadar HCN di laboratorium menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara varietas yang mempunyai kadar HCN tinggi dan rendah. Varietas dengan kadar HCN tinggi UJ-5 (kadar HCN > 100 ppm) lebih sesuai untuk perkembangan dan reproduksi dari P. manihoti dari pada varietas dengan kandungan HCN rendah Adira-1 (kadar HCN 27.5). Semua parameter perkembangan dan reproduksi P manihoti pada UJ-5 lebih mendukung untuk kehidupan hama (Penelitian 3). Pada umumnya budi daya ubi kayu di masyarakat, petani yang menanam ubi kayu untuk konsumsi pabrik atau industri umumnya menggunakan varietas dengan kadar HCN tinggi karena ubi kayu ini mempunyai produksi yang lebih tinggi. Begitu juga dengan industri bio etanol, umumnya menggunakan ubi kayu dengan kadar HCN tinggi. Untuk itu pemilihan varietas toleran dengan produksi tinggi perlu dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil, terutama pada pertanaman ubi kayu untuk memenuhi kebutuhan industri. Pemilihan varietas toleran ini juga perlu disarankan untuk daerah- daerah yang bahan makanan utamanya adalah ubi kayu seperti daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Varietas ubi kayu toleran pernah di laporkan di Thailand adalah Kasetsart 50 (Soysouvanh dan Siri 2013), varietas ini juga pernah masuk ke beberapa wilayah di Indonesia, yang dikenal dengan ubi kayu Thailand.

Faktor yang mempengaruhi populasi kutu P. manihoti lainnya adalah musuh alami. Dari hasil survei di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, diketahui bahwa musuh alami dominan yang cukup potensial yaitu Plesiachrysa ramburi. Populasinya mengikuti perkembangan tingkat serangan di lapangan, pada puncak populasi hama, jumlah telur, larva dan pupa per tanaman berturut- turut mencapai 100, 60 dan 50 individu. Uji kemampuan pemangsaan di laboratorium diketahui predator ini mampu memangsa lebih dari 700 ekor mangsa sepanjang fase larva. Penggunaan musuh alami ini sesuai untuk diterapkan pada budi daya ubi kayu yang bukan komoditas ekonomi, dimana teknik budi daya yang diterapkan tanpa penggunaan pestisida. Karakter musuh alami yang dapat menurunkan populasi hama namun tidak mengeliminasi, sesuai dengan sifat tanaman ubi kayu yang cukup toleran terhadap serangan hama. Di lapangan kedatangan predator P. ramburi, tampaknya sering agak terlambat, sehingga perlu dikaji kemungkinan untuk pembiakan di laboratorium dan pelepasannya di lapangan. Hasil kajian pada jenis chrysopid yang lain seperti Chrysoperla carnea menunjukkan bahwa predator ini telah berhasil dibiakan dan dilepas, bahkan di Amerika spesies ini telah diperjual belikan secara komersil. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mengkombinasikannya dengan musuh alami lain seperti parasitoid untuk dapat secara kompatibel dalam menekan populasi kutu putih P. manihoti. Hasil survei di pertanaman ubi kayu di lokasi kajian belum ditemukan

parasitoid yang berasosiasi dengan kutu putih P. manihoti. Namun sukses pengendalian biologi dengan menggunakan parasitoid telah dilakukan di Afrika yaitu introduksi parasitoid Epidinocarsis lopezi untuk mengendalikan P. manihoti merupakan contoh pengendalian biologi klasik yang berhasil pada kutu putih (Neuenschwander 1994). Introduksi parasitoid ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif teknik pengendalian yang dapat dilakukan.

Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa kombinasi teknik pengendalian dengan cara budidaya, varietas tahan dan musuh alami, merupakan kombinasi pengendalian yang sesuai untuk kondisi pertanaman ubi kayu di Indonesia.

BAB VIII

Dokumen terkait