• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Serangan berat P. manihoti menyebabkan gejala bunchy top, buku pendek dan bengkok, daun gugur, dan pertumbuhan tanaman terhambat. Gejala bunchy top mulai terlihat sejak tanaman berumur 8 mst dan meningkat dengan cepat mulai 16 mst, bersamaan dengan datangnya musim kemarau (Mei-Juni). Perkembangan tingkat serangan lebih cepat terjadi pada varietas Jimbul, pada 18 mst seluruh tanaman telah meperlihatkan gejala bunchy top. Sementara pada varietas Roti dan Manggu, 100% gejala bunchy top berturut-turut terjadi pada 30 dan 36 mst. Terdapat pola hubungan antara saat awal terjadi serangan dengan tinggi tanaman dan bobot umbi yang dihasilkan. Tanaman ubi kayu yang terserang sejak muda berukuran lebih pendek dan menghasilkan bobot umbi yang lebih rendah, dibandingkan bila serangan terjadi setelah tanaman berumur lebih lanjut. Lebih rendahnya hasil panen pada varietas Jimbul (0.94 kg / pohon) daripada varietas Manggu (3,16 kg / pohon), diduga karena pada varietas yang disebut pertama serangan kutu putih terjadi lebih awal dan lebih berat. Musuh alami yang paling banyak dijumpai di pertanaman ubi kayu yang terserang kutu putih adalah predator P. ramburi. Predator ini biasanya meningkat populasinya di akhir musim kemarau, pada saat populasi kutu putih sudah mencapai puncaknya dan tanaman ubi kayu sudah terserang berat. Kelimpahan P. ramburi lebih tinggi pada varietas Jimbul yang memiliki tingkat serangan kutu putih yang lebih berat. Banyaknya predator yang ditemukan mencapai 100 butir telur, 80 ekor larva, dan 70 ekor pupa per pohon yang terjadi pada 24 mst.

Kata kunci : Ubi kayu, kutu putih, tingkat serangan, Phenacoccus manihoti. Abstract

Heavy damage by the cassava mealybug, Phenacoccua manihoti Matile- Ferrero (Hempiptera: Pseudococcidae) caused symptoms of bunchy top, shortened and distorted nodes, leaf drops, and inhibition of plant growth. Field observations indicated that symptoms of bunchy top appeared as early as 8 weeks after planting (wap) and rose quickly started 16 wap, at the same time with the advent of the dry season (May-June). Level of infestation developed faster on variety Jimbul; at 18 wap all plants had bunchy tops. While on varieties Roti and Manggu, 100% infestation occurred at 30 and 36 wap, respectively. There was a correlation between early infetation with plant height ang yield. Cassava plants infested during early stage were shorter and the yield lower, compared to those infested at further stages. Lower yields of variety Jimbul (0.94 kg/tree) than variety Manggu (3.16 kg/plant), was thought to be related to heavy infestation which occurred during early stage. The most abundant natural enemies in cassava fields infested

by P. manihoti was the predatory lacewing P. ramburi. Population of P. ramburi usually increased at the end of dry season, when mealybug population had already reached its peak and cassava plants were severely damaged. Abundance of P. ramburi were higher on variety Jimbul coincided with higher mealybug infestation. Predator density on this plants reached 100 eggs, 80 larvae, and 70 pupae per plant at 24 wap.

Key words: Cassava, mealybug, level of infestation, Phenacoccus manihoti.

Pendahuluan

Kutu tanaman dari famili Pseudococcidae sering disebut dengan mealybug atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama kutu putih. Kerusakan tanaman oleh hama ini karena hisapan stilet pada daun dapat menyebabkan daun berkerut, beberapa jenis dapat berperan sebagai vektor virus tanaman atau menimbulkan klorosis karena adanya saliva (air liur) yang bersifat toksik (Williams dan Willink 1992; Ben-Dov dan Hodgson 1997).

Kutu tanaman sering menginvasi daerah-daerah yang sebelumnya belum terinfestasi melalui pengiriman bahan tanaman dari suatu daerah ke daerah lain. Ledakan populasi sering terjadi apabila terbawanya kutu tidak disertai dengan musuh alaminya atau tidak terdapat musuh alaminya di daerah baru. Populasi kutu akan tetap stabil pada daerah baru karena adanya kontrol dari musuh alami baik predator maupun parasitoid (Williams dan Willink 1992). Peranan penting dari musuh alami kutu putih ini telah banyak dilaporkan di benua Amerika dan Afrika (van Driesche et al. 1990; CIAT 1990; Neuenschwander 2004).

Salah satu hama kutu putih yang menyerang tanaman ubi kayu di Indonesia adalah P. manihoti. Kutu putih P. manihoti berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke Afrika pada tahun 1980- an. Hama ini pertama kali memasuki kawasan Asia Tenggara yaitu di Thailand pada tahun 2009, yang menyebabkan serangan berat, kemungkinan telah menyebar ke Laos dan Kamboja. Di Indonesia pertama kali ditemukan di daerah Jawa Barat pada akhir tahun 2010 (Muniappan et al. 2011; Rauf 2011).

P. manihoti dewasa berbentuk oval, berwarna merah jambu (pink) yang ditutupi oleh tepung putih berlilin, ukuran tubuh lebih kurang panjang (1.10–2.6 mm) dan lebar (0.50–1.40 mm) (Matile-Ferrero 1978). Sering dijumpai pada pucuk tanaman yang mengakibatkan pucuk menjadi berkerut dan mengerdil bunchy tops. Serangan lebih berat terjadi pada musim kering dibandingkan dari musim basah (James et al. 2000). Di Kolumbia P. manihoti dan P. hereni dapat menyebabkan penurunan produksi 68-88% dan di Afrika dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991) .

Telah diketahui bahwa di Asia, Indonesia merupakan salah satu produsen ubi kayu terbesar setelah Thailand (Heriyanto et al. 2009). Disamping itu di dalam negeri ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Pada saat ini selain untuk pangan dan pakan, ubi kayu dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif (biofuel). Dengan memanfaatkan bioetanol sebagai campuran premium (Premium mix E 10) untuk transportasi.

Bioetanol bersumber dari tanaman berpati dan bergula potensial seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Biaya produksi untuk tiap liter ethanol dari ubi kayu lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya sehingga pengembangan industri berbasis ubi kayu cukup prospektif (Rozi dan Heriyanto 2009).

Meskipun di Indonesia tingkat kerusakan dan serangan berat belum pernah dilaporkan, namun hama ini berpotensi menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu jika tidak dilakukan pengendalian. Untuk itu kajian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti, kehilangan hasil ubi kayu akibat hama ini, dan perkembangan musuh alami dominan P. ramburi.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan milik petani di Desa Ngampar, Cikeas dan Sukaraja, Kecamatan Sukaraja. Penelitian berlangsung mulai bulan Februari 2012 sampai Februari 2013.

Untuk mengetahui tingkat serangan diambil sampel berupa 10 petak pertanaman ubi kayu diambil secara purposive sampling di setiap Desa (Ngampar, Cikeas, dan Sukaraja). Dari setiap petak pertanaman ubi kayu diamati 20 tanaman contoh, dengan teknik pengambilan contoh secara diagonal. Kemudian diamati tanaman yang terserang P. manihoti, dan yang tidak terserang.

Pengamatan tingkat serangan dilakukan di kebun petani ubi kayu di Desa Ngampar yang telah terserang oleh hama P. manihoti. Luas kebun petani yang dijadikan petak pengamatan berkisar antara 1000–2000 m2. Pengamatan dilakukan pada tiga jenis varietas ubi kayu lokal yaitu varietas Roti, Manggu dan Jimbul. Populasi masing-masing varietas ubi kayu yang dijadikan contoh terpilih adalah varietas Roti total populasi 1504 tanaman, varietas Manggu 472 tanaman, dan varietas Jimbul 629 tanaman. Teknik budi daya yang diterapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh petani yaitu budi daya monokultur dengan jarak tanam 1 m x 1 m, pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk urea. Pertanaman yang diamati tidak diaplikasi dengan pestisida.

Pengamatan untuk mengetahui perkembangan serangan P. manihoti pada tanaman ubi kayu (musim hujan dan musim kemarau) dilakukan pada semua populasi tanaman dengan interval pengamatan setiap dua minggu. Pengaruh awal serangan kutu putih terhadap produksi dan pengamatan musuh alami dilakukan pada 40 tanaman contoh untuk setiap varietas yang diamati, dengan interval pengamatan sekali dalam dua minggu. Pengamatan terhadap musuh alami dilakukan dengan menghitung jumlah telur, larva dan pupa predator P. ramburi yang ditemukan pada masing-masing tanaman contoh.

Hasil pengamatan ditabulasi dan dibandingkan kecenderungannya antara tiga varietas yang diamati.

Hasil dan Pembahasan Survei Tingkat Serangan P. manihoti

Tingkat serangan P. manihoti pada tiga lokasi di Kecamatan Sukaraja sangat tinggi. Tingkat serangan tertinggi terjadi di Desa Sukaraja, yaitu 99.5% dan Desa Ngampar (99.4%), tingkat serangan terendah pada Desa Cikeas (73.5%). Walaupun berbeda, namun tingkat serangan di kecamatan ini relatif sama dengan rata-rata serangan hampir mencapai seratus persen.

Perbedaan tingkat serangan P. manihoti dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti pada umumnya serangga hama, dinamika populasi kutu putih dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik yang akan membentuk sifat-sifat populasi hama, seperti kepadatan, laju kalahiran, laju kematian, pola sebaran, potensi biotik, dan perilaku (Tarumingkeng 1994). Salah satu faktor abiotik yang mempengaruhi populasi kutu putih adalah keadaan lingkungan seperti iklim terutama curah hujan, suhu dan kelembaban. Populasi kutu putih sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim sehingga kelimpahan populasi lebih tinggi di daerah kering dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan yang tinggi (basah) (James et al. 2000; Herrera et al. 1989 ). Keadaan suhu yang lebih panas dengan kelembaban rendah, merupakan tempat yang lebih sesuai untuk perkembangan dari P. manihoti. Tingginya tingkat serangan dari kutu putih ini terlihat dengan adanya gejala banchy top dan distorsi batang.

Perkembangan Serangan P. manihoti

Pengamatan perkembangan serangan kutu putih dimulai pada saat tanaman berumur 6 minggu setelah tanam (mst) sampai tanaman dipanen. Di lapangan semua varietas terlihat menunjukkan gejala terserang, namun berbeda pada berat dan ringannya gejala serangan (Gambar 4.1). Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan ketahanan pada ketiga varietas ubi kayu yang diamati, seperti juga hasil kajian ketahanan 4 varietas ubi kayu di Thailand, antara varietas Kasetsart 50, Huaybong 60, Rayong 9 and Rayong 72, semua varietas terserang oleh P. manihoti, perbedaan terjadi pada tingkat serangan hama (Soysouvanh dan Siri 2013).

Perkembangan kutu putih P. manihoti, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama curah hujan. Gambar 4.2 menyajikan curah hujan yang berlangsung selama penelitian. Serangan meningkat cepat mulai bulan Juni, atau setelah tanaman berimur 15 mst, dan mencapai puncaknya pada bulan September/Oktober. Keadaan suhu yang relatif panas dan curah hujan yang rendah selama periode itu menyebabkan populasi kutu berkembang lebih cepat khususnya pada Pseudococcidae (Boavida dan Neuenschwander 1995; Walton et al. 2004).

Umur tanaman (mst) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 % t a n a ma n d e n g a n g e ja la b u n c h y t o p 0 20 40 60 80 100 Roti Jimbul Manggu

Gambar 4.1. Perkembangan serangan P. manihoti pada tiga varietas ubi kayu

Bulan JanuariFebruariMaret April Mei Juni JuliAgustus

September Ok tober

NovemberDesember

Cu rah hu jan ( mm) 0 100 200 300 400 500 600 700

Gambar 4.2. Curah hujan di sekitar lokasi penelitian (BMKG 2013)

Serangan kutu putih dimulai dengan gejala serangan awal, dimana pucuk tanaman ubi kayu mulai berkerut, gejala awal biasanya terjadi sekitar 7-10 hari, kemudian dengan meningkatnya populasi kutu, maka gejala serangan dengan cepat menjadi bunchy top yaitu pucuk berkerut dan mengumpul. Gejala ini berlangsung relatif lama (20-30 hari). Bila kutu mencapai populasi yang tinggi (lebih kurang dalam satu pucuk terdapat 200–1000 individu), maka pucuk tanaman akan kehilangan daun (gugur daun). Pucuk akan tetap tidak berdaun sampai turun hujan. Jika hujan turun maka akan terjadi pertunasan kembali pada

pucuk tanaman, akibat serangan kutu akan meninggalkan bekas batang dengan internode yang pendek atau seperti berkerut, bahkan adakalanya batang menjadi bengkok dan berkelok, gejala ini dikenal dengan distorsi pada batang (Lampiran 2). Adanya distorsi ini dapat dilihat di sepanjang batang tanaman ubi kayu dan dapat menandakan berapa kali terjadi serangan pada satu pohon ubi kayu selama masa pertumbuhannya.

Tingkat serangan terendah terjadi sekitar bulan Nopember sampai Februari, pada saat ini terlihat bahwa intensitas curah hujan yang terjadi cukup tinggi yaitu 429-636 mm/bulan (BMKG 2013). Adanya hujan yang turun hampir tiap hari pada bulan-bulan ini menyebabkan kutu pada tanaman terbawa secara mekanik oleh air hujan dan mati, sehingga populasinya menjadi menurun. Dengan adanya hujan, pucuk tanaman ubi kayu yang daunnya telah gugur bertunas kembali.

Mekanisme matinya kutu tanaman dengan adanya air hujan dapat dijadikan ide untuk mengendalikan kutu putih dengan menggunakan air seperti jatuhnya air hujan dengan menggunakan springkler. Prinsip yang digunakan sistem ini adalah memberi tekanan pada air dalam pipa dan memancarkan ke udara sehingga menyerupai hujan selanjutnya jatuh pada permukaan tanah atau tanaman.

Untuk ubi kayu pemberian pengairan belum banyak dilakukan, namun dengan semakin tingginya nilai ekonomi ubi kayu, maka pemberian pengairan baik dengan irigasi tetes maupun springkler mungkin akan berkembang, dan pemberian irigasi dengan menggunkan springkler merupakan alternatif yang dapat digunakan. Karena selain dapat memberikan pengairan pada tanaman namun juga dapat berfungsi secara mekanis menurunkan pupolasi kutu putih. Dalam hal ini penelitian mengenai debit, tekanan air yang di perlukan untuk dapat mengurangi populasi kutu dengan irigasi springkler masih harus dilakukan. Pengairan bertujuan untuk memberikan tambahan air pada air hujan dalam waktu yang cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna untuk mempermudah pengelolahan tanah, mengatur suhu tanah dan iklim mikro, membersihkan atau mencuci tanah dari garam-garam yang larut atau asam-asam tinggi, membersihkan kotoran atau sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit (Kurnia, 2004).

Ketiga varietas yang diamati merupakan varietas lokal, namun hanya varietas Manggu yang mempunyai asal usul yang jelas. Kedua varietas lain belum jelas asalnya, tapi bisa didekati ciri-cirinya dengan varietas yang sudah di lepas oleh Kementerian Pertanian. Varietas Roti lebih cenderung sama dengan Adira-4, dan Jimbul lebih mendekati pada vareiats Malang-2 (deskripsi terlampir). Varietas manggu dihasilkan oleh perkembunan ubi kayu di Lido, Cijeruk, Bogor, yang mampu menghasilkan produksi 80-120 ton/ha, dengan usia panen 11 bulan, serta kadar pati 32%.

Pada ketiga varietas yang diamati, perbedaan tingkat serangan terjadi terutama disebabkan oleh perbedaan awal terjadinya serangan, dan kecepatan perkembangan serangan, sampai semua tanaman terserang 100% (Gambar 4.1). Rata-rata awal terjadinya serangan kutu putih pada varietas Roti dan Jimbul adalah pada umur 8 mst, sedangkan varietas Manggu pada umur 12 mst, tingkat serangan bertambah dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Dari Gambar

4.1 dan 4.2 juga telihat bahwa puncak serangan kutu putih pada varietas Roti terjadi sekitar bulan September, varietas Jimbul pada bulan Juni sampai Juli, dan varietas Manggu pada bulan Oktober. Terlihat bahwa pada varietas Jimbul yang relatif rentan pada keadaan kering karena curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman terserang berat. Pada varietas Roti dan Manggu pada puncak kemarau lebih bisa bertahan sehingga tanaman baru terserang seratus persen pada saat musim hujan mulai datang.

Laju peningkatan serangan berbeda dari ketiga varietas. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa untuk varietas Roti dan Manggu laju perkembangan serangan relatif konstan, tetapi pada varietas Jimbul terjadi lonjakan peningkatan perkembangan serangan saat umur tanaman 14–16 mst. Pada varietas Roti dan Manggu, seluruh populasi tanaman terserang saat tanaman berumur lebih dari 34 mst, sedangkan pada varietas Jimbul pada umur 18-20 mst seluruh populasi tanaman sudah terserang oleh P. manihoti. Dari gejala fisik di lapangan juga terlihat bahwa varietas Jimbul memperlihatkan gejala serangan yang lebih berat dibandingkan dua varietas lainnya. Serangan berat (bunchy top) pada varietas Jimbul terjadi pada umur tanaman 18 mst, pada varietas Roti dan Manggu lebih lambat yaitu berturut-turut pada umur 28 dan 38 mst. Pada Gambar 4.1 juga tampak bahwa varietas Manggu mengalami serangan awal lebih lambat dibandingkan dengan dua varietas lainnya, yaitu terjadi pada 16 mst, dimana saat yang bersamaan kedua varietas lainnya terjadi peningkatan perkembangan serangan.

Dari segi struktur fisik, ketiga varietas tanaman tidak jauh berbeda, begitu juga dengan kandungan asam sianida (HCN) pada tanaman. Hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Badan Litbang Pertanian diketahui kadar HCN masing-masing varietas di bawah 50 ppm, yaitu pada Manggu (31.20 mg/kg), Jimbul (32.06 mg/kg), dan Roti (44.85 mg/kg). Senyawa asam sianida merupakan senyawa sekunder yang terdapat di dalam floem dari tanaman ubi kayu, sebagaimana diketahui bahwa floem merupakan jaringan tempat kutu putih P. manihoti menghisap cairan untuk dikonsumsi sebagai nutrisi. Senyawa asam sianida mempengaruhi perkembangan dan reproduksi dari P. manihoti, sehingga dengan perbedaan laju perkembangan dan reproduksi dari kutu ini pada masing-masing varietas ubi kayu akan mempengaruhi tingkat ketahanan suatu varietas ubi kayu terhadap P. manihoti. Pada hama ini senyawa sekunder asam sianida berperan sebagai stimulan bagi pertumbuhan dan perkembangannya (Catalayud et al. 1994; Fraenkel 1969). Varietas ubi kayu dengan kadar HCN yang lebih tinggi lebih disukai oleh P. manihoti untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kadar HCN ubi kayu yang tinggi menyebabkan P.manihoti berkembang lebih baik sehingga menyebabkan tanaman mengalami kerusakan yang lebih berat karena adanya populasi kutu yang lebih tinggi. Berdasarkan perbedaan kandungan senyawa asam sianida dari ketiga varietas yang diamati, varietas Manggu dengan kandungan HCN yang lebih rendah terlihat lebih mampu untuk bertahan, dan varietas Jimbul dan Roti merupakan vareitas yang lebih rentan terhadap serangan P. manihoti .

Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu serangga baik faktor fisik maupun kimia. Faktor fisik diantaranya struktur dari tanaman inang, suhu dan kelembaban, faktor kimia diantaranya adalah kandungan nutrisi dan senyawa sekunder yang ada pada tanaman (Bernays and Chapman

1994). Faktor fisik, seperti struktur permukaan daun tidak berperan penting dalam pemilihan atau preferensi P. manihoti pada tanaman ubi kayu. Ada atau tidak adanya rambut pada permukaan daun tidak berhubungan dengan kesukaannya terhadap tanaman inang ubi kayu (Renard 1999 dalam Catalayud dan Le Ru 2006). Kolonisasi tanaman ubi kayu oleh P. manihoti lebih dipengaruhi oleh kandungan asam sianida yang terdapat pada daun, batang dan akar (Arihantana dan Buckle 1986; Ezeala dan Okoro 1986; Pancoro dan Hughes 1992).

Serangan kutu menyebabkan kerusakan pada daun, sehingga akan mempengaruhi umbi yang dihasilkan karena reduksi permukaan daun dan bahkan habisnya daun menyebabkan berkurangnya reaksi fotosintat yang diperlukan untuk pembentukan umbi (Tonglum et al. 2001), akibatnya dapat menyebabkan kehilangan hasil ubi kayu mencapai 90% (Schultess 1987; Herren dan Neuenschwander 1991).

Secara keseluruhan terlihat bahwa varietas Manggu menunjukkan daya tahan lebih baik dibandingkan dengan dua varietas lainnya sehingga menghasilkan umbi yang lebih tinggi. Varietas Jimbul yang mengalami gejala serangan paling berat menghasilkan umbi yang lebih sedikit. Beratnya kerusakan yang terjadi pada varietas Jimbul, disamping kadar HCN yang lebih tinggi, juga karena penanaman yang relatif lambat dari dua varietas yang lain. Penanaman varietas Jimbul dilakukan mendekati musim kemarau (curah hujan rendah) sehingga saat serangan berat terjadi (bulan Juni), tanaman masih berumur lebih muda.

Adanya perbedaan tingkat dan pola serangan, mengakibatkan perbedaan pada hasil produksi per pohon maupun total hasil per hektar. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa dari ketiga pertanaman ubi kayu yang telah terserang oleh kutu putih, produksi umbi varietas Manggu paling tinggi rata-rata 3.16 kg/pohon (31.6 ton/ha) dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Jimbul dengan rata-rata 0.94 kg/pohon (9.4 ton/ha).

Pengaruh Waktu Serangan Terhadap Tinggi Tanaman dan Bobot Umbi Rataan tinggi tanaman pada saat panen dan bobot umbi yang dihasilkan per pohon berkaitan dengan saat terjadinya serangan (Gambar 4.3). Serangan berat mengakibatkan tanaman mengalami gangguan pada pertumbuhannya. Pada ketiga varietas tanaman terlihat kecenderungan yang sama yaitu tanaman ubikayu yang terserang lebih awal menunjukkan pertumbuhan yang lebih terhambat dibandingkan dengan tanaman yang terserang pada umur yang lebih lanjut. Terhambatnya pertumbuhan menyebabkan produksi per pohon juga berbeda. Tanaman yang mendapat serangan awal hama P. manihoti saat umur 2–12 mst, umbi yang dihasilkan jauh berkurang rata-rata 1.5 kg (+ 70%) dari rata-rata produksi normal tanpa adanya hama (mencapai 5 kg/pohon). Pengurangan ini berlanjut, hingga serangan awal oleh hama terjadi pada umur tanaman 24 mst , yaitu manghasilkan rata-rata 2.9 kg/pohon (+ 42%). Pengurangan produksi umbi relatif lebih rendah bila serangan terjadi setelah tanaman berumur 24 mst dengan rata-rata 3.27 kg/pohon (+ 30%).

A) Umur tanaman saat mulai terserang (mst) 0 10 20 30 40 50 60 Tin g g i ta n a ma n p a d a sa a t p a n e n ( cm) 0 100 200 300 400 500 Roti Jimbul Manggu

B) Umur tanaman saat mulai terserang (mst)

0 10 20 30 40 50 60 Bo b o t u mb i (kg / b a ta n g ) 0 1 2 3 4 5 6 7 Roti Jimbul Manggu

Gambar 4.3. Hubungan antara waktu terjadinya serangan dengan pertumbuhan tanaman (A) dan bobot umbi (B)

Bobot umbi per batang antara tanaman yang awal serangan pada umur muda berbeda nyata dengan bobot umbi jika tanaman terkena serangan pada umur yang lebih lanjut. Penurunan produksi yang tajam pada tanaman yang terserang pada awal pertumbuhan terjadi karena serangan awal terjadi pada fase kritis dari

tanaman ubi kayu (4-12 mst) (Wargiono et al. 2009). Pada fase, ini tanaman mengalami fase awal pertumbuhan daun dan formasi sistem perakaran, dan sebagian fotosintat yang tidak digunakan untuk pertumbuhan disimpan pada umbi. Dengan demikian, gangguan pada daun akan menyebabkan penurunan yang signifikan pada hasil fotosintat. Serangan pada awal pertumbuhan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih pendek dibandingkan dengan tanaman normal. Umur 12-24 mst merupakan fase pertumbuhan batang dan daun, pada saat ini terjadi laju pertumbuhan maksimum daun dan batang, umbi terus berkembang, dan pertumbuhan vegetatif yang paling aktif terjadi selama periode ini (Wargiono et al. 2009). Serangan P. manihoti pada fase ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produksi umbi yang dihasilkan. Terdapat hubungan antara tinggi tanaman pada saat panen dari tanaman yang terserang kutu putih dengan hasil panen (Gambar 4.4). Tanaman yang berukuran pendek akibat terserang kutu putih pada saat masih

Dokumen terkait