• Tidak ada hasil yang ditemukan

20

Analisis dalam penelitian ini berangkat dari data-data teks berupa berita tertulis, artikel, ataupun literatur. Kemudian dari data teks tersebut akan dicari konteks dari makna yang ada dalam sebuah informasi (fakta) atau ungkapan dari seeorang. Makna tersebut lalu akan dikontekstualisasikan dengan apa yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini.

dilakukan dengan membandingkan antara dua atau lebih sumber untuk menentukan masalah atau bukti-bukti yang kontradiktif21.

21

Dalam hal ini sumber data perlu dikoroborasikan (secara harfiah: bukti penguat) dengan melakukan konfirmasi dengan fakta sejarah atau ilmiah lainnya. Caranya adalah dengan membandingkan antara data penelitian dengan literatur-literatur pustaka lainnya, baik yang mendukung maupun yang berlawanan sehingga di dapat keabsahan data

BAB II

MILTIKULTURALISME DAN NILAI-NILAI BUDAYA AMERIKA DALAM PROSES PEMILIHAN UMUM

Budaya politik yang terdapat di sebuah negara tentunya dibentuk oleh budaya yang ada dalam masyarakat di negara tersebut. Dalam negara multikultur seperti Amerika, pergulatan berbagai macam budaya dari tiap bangsa yang ada di sana tentunya - mau atau tidak mau - akan mengalami sebuah proses asimilasi yang kemudian akan melahirkan sebuah budaya baru yang akan disebut sebagai budaya Amerika. Olson dan Degler (dalam Suparlan, 1991:6) mengatakan bahwa kebudayaan Amerika itu bercorak heterogen dan majemuk. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan Amerika dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang muncul akibat pecampuradukan dari keanekaragaman kebudayaan asal etnik yang beradaptasi dengan lingkungan Amerika. Degler (dalam Suparlan, 1991:6) menganalogikan corak kebudayaan Amerika sebagai salad bowl atau sepiring asinan, seperti kutipan berikut:

“....some habits of all country were not discarded;. .. .the children of immigrants even into the third and fourth generations restrained their differences. In view of such failure to melt and to fuse, the metaphor of melting pot is unfortunate and misleading. A more accurate analogy would be salad bowl. Though salad is entity, the lecture can still be distinguished from chichory, the tomato from cabbage. “

(Beberapa kebiasaan dari semua negara tidak dilewatkan begitu saja; ... anak- anak imigran sampai pada generasi ketiga atau keempat terus bertahan dengan perbedaan-perbedaan yang melekat di diri mereka. Berangkat dari kegagalan untuk larut dan melebur, akan berupa sepiring asinan melting pot tidak lagi menguntungkan dan tidak lagi tepat digunakan. Asinan adalan entitas, penasihat dapat tetap membedakan dari chichory, tomat dan kubis.)

Dari kutipan tersebut, dilihat bahwa pecampuradukan budaya mutlak terjadi. Namun demikian, pecampuradukan tersebut seharusnya tidak semata-mata membuat sebuah nilai-nilai budaya dari kelompok minoritas menghilang dan melebur jadi satu dengan

nilai-nilai budaya dari kelompok mayoritas, melainkan harus menjadi sebuah pergulatan nilai dari budaya-budaya yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, pergulatan nilai dari budaya-budaya yang terlihat sebagai sebuah salad bowl (sepiring asinan) dan mencerminkan sifat paradoks akan menghidupkan kebersamaan sekaligus keberagaman dalam kesetaraan. Sifat paradoks tersebut tentunya akan dijalani oleh tiga buah unsur yang ada di Amerika, yaitu individu, masyarakat dan negara. Ketiga hal tersebut hidup dalam kaitan dan dukungan budaya-budaya yang sakral. Meskipun masing-masing berdiri sendiri, namun unsur individu, mayarakat dan negara selalu berkaitan dan saling mempengaruhi. Suparlan (1991:8) mengatakan bahwa individu, masyarakat dan negara berada dalam susunan hirarki sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai serta kepentingannya. Dalam susunan hirarkis tersebut, individu berada dalam satuan terkecil dalam susunan hiirarkis; sementara masyarakat mewakili keberagaman masyarakat Amerika dalam kerangka multikulturalisme; sedangkan negara berada dalam satuan yang lebih luas yang di dalamnya termasuk individu dan masyarakat.

Nilai-nilai budaya Amerika, pada realitasnya melebur dalam tiap aspek kehidupan masyarakat Amerika, baik kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Dalam kehidupan politik, nilai-nilai budaya Amerika begitu sangat terlihat, misalnya nilai two fold judgement (penilaian dua sisi). Two fold judgement adalah nilai yang berasal dari pandangan masyarakat Amerika dalam tataran yang normatif, yaitu berbicara tentang benar-salah, bermoral-tidak bermoral, religius-sekuler ataupun legal-ilegal (Spradley, James dan Rynkiewich, 1975:367). Dengan demikian, twofold judgement tidak lepas dari konsepbifor mity (dua bentukan). Kammen (dalam Ahdiati, 2007:74) mengatakan bahwabifor mity adalah “the conjuction of two organism

without loss of identity, a pair of correlative things, a paradoxical coupling of opposites.” (penghubung dari dua organisme tanpa kehilangan identitas, pasangan dari dua hal yang berkorelasi, pasangan yang masing-masing bertolak belakang secara paradoks.) Selanjutnya Triana Ahdiati (2007) menjelaskan bahwa bi for mity digunakan sebagai titik ekuilibrium dari berbagai perspektif yang pantas bagi peradaban bangsa Amerika. Artinya, bi for mity merupakan penyeimbang dari pertentangan pandangan masyarakat Amerika terhadap suatu hal. Pertentangan pandangan ini tidak lepas dari semangat yang dimiliki oleh masyarakat Amerika dalam menghargai kebebasan tiap-tiap individu ataupun kelompok. Namun kebebasan tersebut tidak lepas dari nilai-nilai budaya ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat Amerika, yang diyakini sebagai the way of life dalam kehidupan masyarakat Amerika. Di sinilah letak dari pantas atau tidaknya pandangan yang muncul dalam peradaban bangsa Amerika.

Twofold judgement, misalnya, terlihat dalam sebuah proses politik di mana kaum perempuan dan kaum Amerika-Afrika muncul dalam sebuah pemilihan umum. Kemunculan dua kelompok minoritas dengan sejarah diskriminasi yang hampir sama tersebut tentunya mengundang dua pandangan yang berbeda dari masyarakat Amerika. Namun, demikian, perbedaan pandangan yang terjadi dalam konteks tersebut, pada dasarnya tidak bisa bertentangan dengan nilai-nilai equality (kesetaraan) yang menjadi landasan utama berdirinya Amerika. Nilai equality bisa jadi merupakan sebuah jalan tengah untuk menengahi keberagaman yang ada dalam masyarakat Amerika, sebab dalam pengertian multikulturalisme pun terhadap prinsip- prinsip mengenai kesetaraan dalam perbedaan. Untuk itulah, nilai-nilai equality

melebur ke dalam motto dalam tujuan seluruh rakyat Amerika yang melekat pada Konstitusi Amerika, yaitu life, liberty, and the pursuit of happiness.

Untuk mewujudkan life, liberty and the pursuit of happiness, masyarakat Amerika dituntut untuk bekerja keras secara mandiri sesuai dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Semangat kemandirian ini merupakan esensi dari kebebasan individu yang dimiliki oleh tiap warga negara di Amerika. Spradley dan Rynkiewich (1975:384-385) menjelaskan :

“Self-reliance is, as it has always been, the key of individual freedom, and the only real security comes from the ability and the determination to work hard, to plan and to save the present and the future.”

(Kemandirian, seperti yang sudah selalu demikian adanya, adalah kunci dari kebebasan individu, dan satu-satunya keamanan yang sesungguhnya adalah berasal dari kemampuan dan determinasi untuk bekerja keras, untuk merencanakan dan menyelamatkan masa kini dan masa depan.)

Nilai-nilai kemandirian ini pun terlihat dari mekanisme pemilihan umum, misalnya dalam Primary Election. Dalam Primary Election, tiap calon kandidat yang ingin mengajukan diri sebagai kandidat calon presiden diharuskan membuat tim kampanyenya sendiri, membuat perencanaan serta pencarian dana kampanye secara mandiri tanpa ada intervensi dari partai politik yang bersangkutan. Proses ini menunjukan kemandirian dalam masyarakat Amerika. Kemandirian inipun memunculkan sebuah semangat berusaha dan jiwa yang optimistik. Tanpa semangat untuk berusaha dan berjiwa optimistik, maka kemandirianpun tidak akan terwujud. Spradley dan Rynkiewich (1975:373) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap kemajuan dan sebuah pandangan konstan terhadap masa depan merupakan asumsi- asumsi dasar munculnya semangat berusaha dan jiwa yang optimistik. Dengan demikian, semangat berusaha dan rasa jiwa yang optimitik ini sangat kental dan menjadi ciri utama dari generasi muda Amerika, terutama usia 17 sampai 40 tahun.

Dalam kelompok usia produktif ini, generasi muda selalu berpikiran mengenai masa depan yang lebih baik dan upaya untuk mewujudkannya, termasuk dalam konteks politik, demikian juga generasi muda Amerika. Oleh karena itu, peran generasi muda untuk melakukan sebuah perubahan dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik menjadi sangat sentral, terutama dalam sebuah proses politik seperti pemilihan umum. Dengan orientasi masa depan yang lebih baik, generasi muda Amerika atau yang sekarang disebut dengan millenium generation turut mempengaruhi proses pemilihan umum, lewat hak pilihnya ataupun keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik seperti kampanye.