• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengacu pada karya-karya Malinowski (dalam Suparlan, 2004:4) mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan pola-pola kebudayaan, dan mengacu pada karya Kluckhohn (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat kebudayaan sebagai blueprint, bagi kehidupan manusia, serta Geerts (dalam Suparlan, 2004:4) yang melihat kebudayaan sebagai sistem-sistem makna, maka kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat yang secara bersama dimiliki oleh raga sebuah masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sebuah pedoman menyeluruh bagi sebuah masyarakat dan warganya. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok individu yang secara langsung maupun tidak langsung saling berhubungan sehingga merupakan sebuah satuan kehidupan yang mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat lain. (Suparlan, 2004:4)

Ada beberapa pendekatan dalam memahami sebuah kebudayaan. Salah satunya adalah pendekatan struktural-fungsional. Melalui pendekatan struktural- fungsional, Parsudi Suparlan (1991:4) melihat kebudayaan sebagai sebuah sistem yang terdiri atas unsur-unsur, dimana unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan menghidupi satu sama lainnya secara keseluruhan. Dengan memusatkan perhatian pada sebuah nilai budaya mendasar yang ada dalam sebuah kebudayaan, yaitu yang

sakral, maka keseluruhan kaitan hubungan dalam saling menghidupi nilai-nilai budaya yang ada dalam kebudayaan tersebut akan terungkap dan corak kebudayaan tersebut akan dipahami.

2.2.1. Nilai-Nilai Budaya Amerika

Amerika Serikat merupakan bangsa besar yang terdiri dari, bukan lagi beragam suku bangsa, akan tetapi beragam bangsa-bangsa. Keragaman bangsa yang ada dalam masyarakat Amerika tidak terlepas dari sejarah terbentuknya bangsa Amerika. Sejarah kedatangan bangsa-bangsa di Amerika bermula dari migrasi bangsa Asia melalui selat Bering yang membeku pada 28000 SM menuju Amerika Utara. Kemudian dilanjutkan dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa, seperti mendaratnya kapal Spanyol yang dipimpin Crhistopher Colombus pada tahun 1492, atau kedatangan bangsa lain seperti Perancis, Portugal, Inggris, Irlandia, dan Jerman. Kedatangan bangsa-bangsa tersebut di Amerika tentunya membawa berbagai macam nilai budaya dari kebudayaan daerah asalnya. Berbagai macam nilai-nilai tersebut kemudian berakulturasi dan membentuk suatu nilai budaya baru.

Di antara nilai-nilai budaya yang ada di Amerika, ada satu nilai yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya nilai budaya Amerika. Nilai tersebut berasal dari ajaran yang dibawa oleh kaum migran dari Inggris, yaitu puritanisme. Nilai-nilai dari ajaran puritan tersebut adalah: 1) percaya bahwa manusia pasti berbuat dosa. Untuk itulah, penganut puritanisme senantiasa beribadah untuk menghapus dosa mereka; 2) percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir dari seluruh laki-laki dan perempuan. Kepercayaan inilah yang membuat penganut puritanisme yakin dan percaya diri bahwa mereka bisa membuat keadaan mereka menjadi lebih baik; 3) percaya bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kehidupan moral mereka. Untuk itulah, penganut

puritanisme yakin akan adanya kemurahan Tuhan dan Tuhan memanggil mereka untuk senantiasa bekerja keras serta memasang mata dengan tajam atas segala bentuk dosa; dan (4) percaya pada Bible yang merujuk kepada perkataan Tuhan. Untuk mengerti Bible, penganut puritanisme mengharuskan diri mereka untuk belajar membaca sehingga menurut mereka pendidikan itu sangat penting.

Ajaran puritan tersebut kemudian tercermin dalam kehidupan bangsa Amerika dan melahirkan nilai-nilai dasar budaya Amerika. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: 1) kebebasan individu dan kemandirian. Artinya, masyarakat Amerika mengakui adanya kebebasan individu untuk melakukan sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum yang telah disepakati bersama. Berawal dari kebebasan inidividu kemudian memunculkan suatu kemandirian dari individu-individu masyarakat Amerika. Kemandirian itu tidak hanya berada individu, tetapi juga menjadikan Amerika sebagai negara yang mandiri; 2) persamaan untuk memperoleh kesempatan dan kompetisi. Nilai ini berkaitan dengan kebebasan individu, setiap inidividu dalam masyarakat Amerika mempunyai jaminan atas kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya ekonomi, keamanan, dan politik. Adanya jaminan atas kesetaraan dalam memperoleh kesempatan itulah kemudian muncul kompetisi. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dari setiap individu Amerika menuntut mereka untuk berkompetisi agar kebutuhannya tercapai; dan 3) kemakmuran dan kerja keras. Tuntutan akan kemakmuran bagi masyarakat Amerika juga mendasari adanya semangat kerja keras bagi masyarakat Amerika, karena percuma saja mereka mendapat kesempatan akan tetapi tidak mempergunakannya dengan maksimal. Prinsip ini juga yang mendasari pemikiran ‘time is money’. Masyarakat Amerika beranggapan bahwa waktu harus secara maksimal untuk mendapatkan hasil yang

maksimal pula. Untuk itulah, diperlukan usaha yang keras. Selain itu, kerja keras dan penghargaan terhadap waktu juga melahirkan prinsip lain, yaitu ‘learning by doing’s. Artinya, bangsa Amerika tidak ingin membuang waktu terlalu banyak untuk mempelajari sesuatu dalam kehidupannya. Nilai ini turut dipengaruhi oleh pragmatisme. Hollinger dan Capper (1993) mengatakan:

“It is clear that pragmatism in this sense of trial becomes the idea of having efforts to seek for the meaning of something; something crucial that can influence the life of individuals as human beings. One of the crucial things is truth in which it defines many aspects of human lives.“

(Sudah jelas bahwa pragamtisme dalam arti coba-coba menjadi pemikiran untuk memiliki usaha dalam rangka pencarian terhadap makna suatu hal; sesuatu yang krusial yang dapat mempengaruhi kehidupan para individu sebagai manusia. Salah satu yang menjadi hal krusial adalah kebenaran yang menentukan banyak dari aspek kehidupan manusia.)

Dalam menghadapi permasalahan di kehidupannya, bangsa Amerika juga dipengaruhi oleh konsep biformity (dua bentukan). Konsep biformity dalam istilah lain disebut dengan paradoks. Kammen (dalam Suparlan, 1991:6) memperlihatkan bahwa kebudayaan Amerika itu penuh paradoks. Terjadi pertentangan antara satu unsur nilai budaya dengan unsur atau nilai budaya lainnya terhadap suatu permasalahan yang sama Paradoks bangsa Amerika sangat terlihat dalam pengambilan sebuah keputusan ( two fold judgement ). Contohnya dalam kasus invansi Irak yang merupakan kebijakan Presiden George W. Bush, di satu sisi mayoritas masyarakat Amerika menentang invasi tersebut karena bertentangan dengan demokrasi, tetapi di sisi lain mereka ingin membuktikan apakah dugaan terhadap kepemilikian Irak atas senjata biologi yang ditakutkan oleh pemerintah Amerika benar adanya. Inilah salah satu contoh dari paradoks Amerika. Di satu sisi, Pemerintah Amerika harus membuktikan kebenaran akan adanya senjata biologi milik Irak. Sementara di sisi lain, Pemerintah Amerika harus menghadapi konflik dalam negeri sendiri. Dalam konteks

membuktikan kebenaran itu, terdapat prinsip ‘seeing is believing’. Artinya, untuk mempercayai suatu kebenaran mereka harus melihat sendiri kebenaran tersebut, atau dengan kata lain bangsa Amerika berpegang pada prinsip rasionalitas. Nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan bangsa Amerika tersebut secara turun-temurun tertanam dengan baik oleh setiap individu dalam masyarakat Amerika. Sampai sekarang pun, nilai-nilai tersebut masih menjadi inspirasi bagi Amerika untuk menjadi bangsa yang besar.

2.2.2. Pluralisme Bangsa Amerika

Luedtke (dalam Suparlan, 1991:5) memperlihatkan bahwa keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Amerika terwujud karena adanya tiga faktor, yaitu: 1) berkumpulnya secara terus-menerus dan tetap berbagai macam ras dan bangsa yang saling berbeda satu sama lainnya, yang datang dari berbagai penjuru dunia dan menetap di Amerika karena alasan-alasan kepentingan ekonomi, politik, dan agama. Oleh karena itu, selalu ada unsur-unsur segar yang mendorong lestarinya keanekaragaman tersebut; 2) kewarganegaraan Amerika tidak ditentukan oleh faktor keturunan, hubungan darah, ataupun kebudayaan yang dipunyai oleh seseorang, tetapi oleh pilihan bebas yang dilakukan seseorang untuk menjadi warganegara Amerika atau bukan warga negara Amerika; 3) komitmen secara politik dan ideologi yang harus dipunyai oleh seorang warga negara terhadap Amerika, yaitu mendukung kesatuan nasional yang didasari oleh nilai-nilai yang mendasar, yaitu justice, equality, the inalieneble rights of the individual, dan government by and for the people.

Apa yang diungkapkan oleh Luedke sebenarnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat Amerika terdapat suatu keseragaman komitmen secara politik dan ideologi. Namun dalam keseragaman tersebut, terdapat kebebasan-kebebasan secara

individual berkenaan dengan cara-cara hidup dan kebiasaan sehari-hari yang dijalani dengan kebudayaan yang dijadikan pedoman hidup warga Amerika. Dari situ, kita dapat melihat bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat pluralisme Amerika. Tiga hal tersebut adalah: individu, masyarakat dan negara. Suparlan (2004:10) mengatakan bahwa tiga hal tersebut merupakan simbol-simbol yang sakral dalam kebudayaan Amerika. Bahkan ketiga simbol sakral tersebut merupakan simbol-simbol yang terakhir dan mutlak. Simbol-simbol tersebut akan berkaitan dengan nilai-nilai sakral yang ada di Amerika, seperti persamaan hak, kebebasan, dan kompetisi. Selain itu, terdapat juga konformiti atau penyesuaian diri secara lahiriah untuk kesamaan kedudukan, gerak, dan pertentangan, keteraturan, dan ketertiban, serta hirarki sebagai lawan dari keadaan setaraf.