• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4. Isu-isu Yang Terjadi Dalam kampanye

3.4.1. Perbedaan Ras dan Gender

Bagi konstituen Partai Demokrat, menentukan siapa kandidat calon presiden untuk mewakili Partai Demokrat dalam pemilihan presiden Amerika tahun 2008 adalah sebuah pilihan yang sulit. Munculnya Hillary dan Obama sebagai calon-calon terkuat merupakan penyebab utama dari dilema yang ada pada konstituen Partai Demokrat. Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya, permasalahan ras dan gender adalah sebuah permasalahan yang pernah menjadi issue sentral dalam kehidupan demokrasi di Amerika. Dalam sebuah wawancara, Hillary Clinton (www.abcnews.com) mengatakan:

“… You know issues of race and gender in America have been complicated throughout our history and they are complicated in this primary campaign. There have been detours and pitfalls along the way but we should remember that this is a historic moment for the Democratic Party and for our country. We will be nominating the first African American or woman to the presidency of the United States.”

(… Anda tahu bahwa isu tentang gender dan ras di Amerika telah menjadi rumit sepanjang sejarah dan masih saja rumit dalam kampanye pendahuluan ini. Ada banyak persimpangan dan jurang dalam perjalanannya, tapi kita harus mengingat bahwa ini adalah momen yang bersejarah bagi Partai Demokrat, dan bagi negara kita. Kita akan segera menominasikan seorang Amerika-Afrika atau perempuan pertama sebagai Presiden Amerika Serikat.)

Sependapat dengan Hillary, Lisa Chedekel dan Regine Laboissiere dalam artikelnya yang berjudul “The Dilemma of Gender And Race: Voters Weigh Implications Of Unprecedented Choice” menjelaskan32

32

www.courant.com dalam artikelnya yang berjudul “The Dilemma of Gender And Race: Voters Weigh Implications Of Unprecedented Choice”.

:

”The two Democratic front-runners are closely aligned on issues, so the politics of identity has ballooned in importance, prompting new theories on the power of cultural allegiances and sparking "who's-got-it-tougher?" dinner- table debates.”

(Dua orang kandidat terdepan dari Partai Demokrat sangat melekat pada isu- isu, jadi politik identitas telah melambungkan kepentingan, mendorong teori baru atas kekuasaan dari kesetiaan kultural dan mengilaukan “siapa yang lebih tabah?” debat dalam jamuan makan malam.)

Dari pendapat yang diutarakan Lisa Chedekel dan Regine Laboissiere tentang kandidasi antara Hillary dan Obama, bisa dilihat bahwa perbedaan identitas antara Hillary dan Obama bisa menjadi sebuah kelebihan jika dikemas dalam sebuah strategi politik yang elegan. Hal ini terbukti pada kampanye yang dilakukan oleh Hillary dan Obama di South Carolina yang merupakan negara bagian di Amerika dengan populasi kaum Amerika-Afrika yang tinggi, yaitu sekitar 28,7%. Keduanya menggunakan issue gender dan ras sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan popularitas. Namun, issue ras dan gender tersebut bukan digunakan untuk menyerang satu sama lain, tetapi justru untuk meraih dukungan dari konstituen dari kelompok lain, selain kaum perempuan ataupun kaum Amerika- Afrika.

Dalam berita yang berjudul “As Clinton Makes Gender-Based Appeal, Obama Makes Race as Issue” (Jika Clinton Menciptakan Daya Tarik Berbasis Gender, maka Obama Membuat Ras Menjadi Sebuah Isu), terdapat sebuah kutipan dari Obama yang mengatakan33:

“Now I've heard that some folks aren't sure America is ready for an African- American president. So let me be clear, I never would have begun this campaign if I weren't confident I could win. But you see, I am not asking anyone to take a chance on me. I am asking you to take a chance on your own aspirations.“

(Sekarang saya mendengar bahwa beberapa warga tidak yakin bahwa Amerika siap menerima presiden dari ras Amerika-Afrika. Jadi biar saya jelaskan, saya tidak akan pernah memulai kampanye ini jika saya tidak percaya diri bahwa saya akan menang. lihatlah, saya tidak sedang meminta pada siapapun untuk mengambil resiko memilih saya. Saya meminta anda untuk mengambil resiko atas aspirasi anda sendiri.)

33

Dari penjelasan Obama tersebut, kita bisa diihat bahwa Obama mencoba menarik simpati masyarakat dengan memberi pemahaman tentang keberadaan dirinya. Dengan memilih Obama, maka konstituen telah memberi kesempatatan bagi dirinya dan berdasarkan aspirasi konstituen itu sendiri. Namun, apakah sebenarnya faktor ras merupakan hal yang sangat ditakutkan oleh Obama? Perkataan dari Obama tersebut juga merupakan sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat Amerika pada umumnya tentang apakah rasialisme masih ada di Amerika? Hal tersebut dapat terjawab jika melihat pernyataan Obama yang mengatakan bahwa: “Is race still a factor in our society? Yes. I don't think anybody would deny that.” (Apakah ras masih menjadi salah satu faktor dalam masyarakat kita? Iya. Saya pikir tidak ada yang akan menyangkalnya.) Kutipan tersebut mencerminkan bahwa ras ternyata menjadi salah satu kekhawatiran Obama. Namun di sisi lain, Obama mengatakan “If I lose, it won't be because of race. It will be because ... I made mistakes on the campaign trail, I wasn't communicating effectively my plans in terms of helping them in their everyday lives.” (Jika saya kalah, bukan karena ras. Hal itu karena... membuat kesalahan dalam perjalanan kampanye, saya tidak mengomunikasikan rencana-rencana saya secara efektif terkait dengan rencana menolong mereka dalam kehidupan sehari-hari.) Pernyataan ini bisa jadi menunjukan bahwa Obama sudah siap dengan kekalahan. Namun, memang akan sangat disayangkan jika kekalahan Obama adalah karena dia berkulit hitam. Jika benar demikian, berarti sebuah indikasi logis tentang sentimen terhadap Amerika-Afrika masih ada dan konstituen Partai Demokrat masih ingin menegakkan supremasi kulit putih.

Persoalan ras serta konsep White Anglo-Saxon Protestant (WASP) masih menjadi faktor yang menentukan dalam kehidupan politik Amerika. Oleh karena itu,

konstituen Partai Demokrat dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat sulit dalam proses pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2008. Pilihan sulit tersebut adalah berusaha untuk dapat memenangkan kandidat dari Partai Demokrat yang memiliki kans besar untuk bisa terpilih menjadi Presiden Amerika atau terpaksa menerima kekalahan untuk kembali dipimpin oleh Presiden Amerika yang merupakan kandidat dari Partai Republik. Untuk itulah, konstituen Partai Demokrat harus benar-benar jeli dalam memilih dua calon terkuat yang sedang bersaing, yaitu Hillary dan Obama.

Dari hasil pemungutan suara dalam Democratic Primary Election 2008, dapat dilihat bahwa ternyata ras memang menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi perilaku Pemilih dari konstituen Partai Demokrat. Namun kenyataannya, sentimen anti Obama sebagai kaum Amerika-Afrika tidak mempengaruhi hasil pemilihan kandidat presiden dari Partai Demokrat tahun 2008. Bahkan di negara-negara bagian yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat kulit putih, dan hanya sedikit sekali penduduknya yang berasal dari kaum Amerika-Afrika, Obama justru menang telak atas Hillary. Sedikitnya jumlah penduduk yang berasal dari kaum Amerika-Afrika di negara-negara bagian penyelenggara Primary Election, bisa dilihat dari data-data berikut ini: Maine = 1%, Idaho = 0,9%, Wyoming = 1,2%, Montana = 0,6%, Oregon = 2%, North Dakota = 1%, dan Vermont = 0,8%. Kemenangan Obama atas Hillary di negara- negara bagian dengan jumlah penduduk dari kaum Amerika-Afrika di bawah atau sama dengan 2% tersebut merupakan indikator logis bahwa rasialisme sudah mulai luntur, khususnya pada konstituen Partai Demokrat, terlepas dari ideologi liberal yang dianut oleh Partai Demokrat. Hal ini menjelaskan bahwa sebenarnya Obama justru diuntungkan dengan warna kulit yang dimilikinya. Dengan kata lain, warna kulit hitam yang melekat pada identitas Obama

menjadi sebuah nilai lebih untuk menarik simpati dari konstituen Partai Demokrat. Hal ini memang disebabkan oleh perubahan pola pikir masyarakat Amerika secara umum, khususnya pasca-tragedi penyerangan dua buah pesawat yang dibajak oleh teroris kemudian ditabrakan ke menara kembar dari gedung World Trade Center pada tanggal 11 September tahun 2000.Penyerangan tersebut dianggap tidak rasional oleh masyarakat Amerika yang memegang prinsip “seeing is believing”. Mengapa demikian.? Penyerangan sekelompok orang terhadap menara kembar gedung WTC dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan sulit dipercaya oleh masyarakat Amerika jika saja mereka tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dari situ, masyarakat Amerika mencoba belajar untuk mulai berpikir tentang sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka sebelumnya. Artinya, sesuatu yang diangap tidak mungkin justru sangat mungkin untuk terjadi, bahkan berpengaruh secara signifikan terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat Amerika. Misalnya saja, pencalonan Obama sebagai kandidat calon presiden Amerika. Hal ini tampaknya belum pernah terfikirkan oleh masyarakat Amerika selama ini, di mana seorang kandidat yang berasal dari kaum Amerika-Afrika maju dalam pemilihan kandidat calon presiden Amerika Serikat dan memiliki kans yang cukup besar untuk bisa meraih satu tiket menuju gedung putih. Untuk itulah, dalam lingkup konstituen Partai Demokrat terdapat sebuah tuntutan untuk berpikir keras mengenai segala dampak yang akan ditimbulkan jika Obama sebagai kandidat dari Partai Demokrat memenangkan kursi kepresidenan, atau sebaliknya, jika kandidat dari Partai Republiklah yang akan kembali menguasi eksekutif.

Kemenangan Obama di negara-negara bagian dengan jumlah penduduk yang berasal dari kaum Amerika-Afrika di bawah atau sama dengan 2% merupakan sebuah

pukulan telak bagi Hillary. Mengapa Hillary yang nota bene memenuhi semua kategorisasi White Anglo-Saxon Protestant (WASP) justru kalah di negara-negara bagian tersebut? Hal itu tentunya menjadi sebuah pertanyaan yang menggelikan. Geraldine Ferraro yang pada tahun 1980an mencalonkan diri sebagai wakil presiden mengatakan (www.FOXnews.com) “If Obama was a white man, he would not be in this position.” (Jika Obama adalah seorang kulit putih, dia tidak akan berada dalam posisi seperti ini.) Pernyataan ini seakan-akan menjelaskan bahwa Obama diuntungkan dengan warna kulit yang dimilikinya. Bila Obama berkulit putih, maka Obama tidak akan terlalu menarik perhatian dari konstituen Partai Demokrat khususnya ataupun masyarakat Amerika pada umumnya. Untuk itulah, sekali lagi, konstituen Partai Demokrat melihat bahwa Amerika butuh perubahan. Perubahan tersebut harus dilakukan secara fundamental dan dimulai dengan mengubah mindset masyarakat Amerika terhadap mainstream politik yang secara tersirat mensyaratkan bahwa Presiden Amerika haruslah berkulit putih. Ini bisa dilihat dari keterkaitan antara warna kulit yang dimiliki oleh Obama dengan slogan kampanyenya. Dalam slogan kampanye Obama, terdapat sebuah harapan besar untuk melakukan sebuah perubahan. Perubahan yang dilakukan tidak hanya sekedar perubahan pada pemerintahan, namun lebih dari itu, Obama juga mencoba untuk mengubah mainstream politik Amerika, yang mensyaratkan secara tersirat bahwa seorang presiden harus berkulit putih, sekaligus mengubah pandangan masyarakat Amerika terhadap rasialisme. Hasilnya, slogan “Change We Can Believe In” berhasil memasarkan Obama untuk meraih pendukung sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya, tidak hanya kaum Amerika-Afrika yang menjadi pendukungnya, tetapi juga masyarakat kulit putih yang merupakan konstituen Partai Demokrat juga memberi dukungan kepadanya. Ini menunjukkan adanya sebuah pandangan dari konstituen

Partai Demokrat bahwa perubahan harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu dimulai dengan mencoba keluar darimainstream yang mensyaratkan bahwa Presiden Amerika Serikat haruslah berkulit putih.

Dalam pernyataannya, Geraldine Ferraro selanjutnya menambahkan“… And if he was a woman (of any color) he would not be in this position. He happens to be very lucky to be who he is. And the country is caught up in the concept.” (... Dan jika dia seorang perempuan (yang berasal dari warna kulit apapun) dia tidak akan berada di posisi ini. Dia sangat beruntung menjadi seperti dia dengan keberadaannya saat ini. Dan negara terjebak terpengaruh dalam konsep itu.) Ini sekaligus menjelaskan bahwa kekalahan Hillary atas Obama adalah karena jenis kelaminnya yang perempuan, meskipun Hillary mencoba membantah anggapan Ferraro dengan mengatakan bahwa yang membedakan dirinya dengan Obama adalah program yang mereka tawarkan serta pengalaman yang mereka miliki.

Signifikasi dari faktor gender dalam mempengaruhi perilaku pemilih dari konstituen Partai Demokrat adalah pada titik yang menunjukkan bahwa Hillary merupakan seorang perempuan yang memiliki suami. Secara kebetulan, suami Hillary adalah Bill Clinton yang merupakan mantan Presiden Amerika pada masa sebelum dua periode kepemimpinan George W. Bush. Hal itu memunculkan ketakutan di kalangan para pemilih terhadap dominasi Bill Clinton di gedung putih apabila Hillary berhasil menjadi presiden. Jika kita melihat masa lalu, tepatnya pada masa kepemimpinan Bill Clinton, tentunya masih teringat dengan jelas tentang kritik yang sering diberikan kepada Presiden Bill Clinton karena dominannya Hillary dalam pemerintahannya. Dominasi Hillary atas pemerintahan Bill Clinton tersebut akhirnya memunculkan sindiran yang mengatakan bahwa Hillary sebagai “co-president”,

atau“Billary ” yang merujuk pada satu kekuatan atas duet Bill Clinton dan Hillary Clinton. Ketakutan dari konstituen tersebut berawal dari dominasi Bill Clinton dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh Hillary. Bahkan seringkali kritik pedas yang dilemparkan kepada lawan politiknya justru keluar dari mulut Bill Clinton, bukan dari Hillary yang merupakan kandidat calon presiden yang sesungguhnya.

Ketakutan akan dominasi Bill Clinton jika Hilllary berhasil menjadi presiden bukan sekedar ketakutan terhadap seorang Bill Clinton sebagai mantan presiden Amerika, akan tetapi adanya kecenderungan pada ketakutan akan adanya status quo dalam pemerintahan. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi tersebut, banyak konstituen Partai Demokrat terutama generasi mudanya lebih berkecenderungan memilih Obama ketimbang Hillary. Ini berarti bahwa faktor pengalaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan seluruh konstituen Partai Demokrat dalam memberikan suaranya. Hal ini terjadi karena pengalaman bukanlah satu-satunya faktor yang memperlihatkan kapabilitas seseorang di bidang politik, tetapi juga dipertimbangkan bagaimana calon tersebut dapat memperlihatkan kelebihannya sebagai suatau kebutuhan dari konstituen.