Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik, lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat.
Untuk menggambarkan keadaan lingkungan, akan disajikan indikatorindikator seperti; persentase rumah tangga terhadap akses air minum, persentase rumah tangga menurut sumber air minum, persentase rumah tangga dengan sumber air minum dari pompa/sumur/mata air menurut jarak ke tempat penampungan akhir kotoran/tinja, dan persentase rumah tangga menurut kepemilikan fasilitas buang air besar.
1. Akses Terhadap Air Minum
Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS mengkategorikan sumber air minum yang digunakan rumah tangga menjadi 2 kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa, mata air terlindung, sumur
Sumber: BPS, Statistik Kesra Tahun 2007
terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai, dan lainnya.
Data yang terdapat pada Statistik Kesra BPS Tahun 2007 menyebutkan bahwa persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum terlindung sebesar 81,48%, sedangkan persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum tak terlindung sebesar 18,51%. Provinsi dengan persentase terbesar untuk rumah tangga yang memiliki sumber air minum terlindung adalah DKI Jakarta, yaitu 98,94%, diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 92,10% dan Bali sebesar 90,96%. Persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum terlindung yang paling rendah berada di Provinsi Bengkulu, yaitu sebesar 45,93%, diikuti oleh Papua (51,67%) dan Kalimantan Tengah (54,23%).
Pada kelompok sumber air minum terlindung, sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki sumur terlindung dengan persentase 30,07%. Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber air minum pompa menempati urutan ke2 yaitu 17,62%, kemudian ledeng (12,36%), mata air terlindung (7,86%), air kemasan (7,18%) dan air hujan (2,57%). Sedangkan pada kelompok air minum tak terlindung, rumah tangga di Indonesia sebagian besar memanfaatkan sumur tak terlindung dengan persentase 10,32%, diikuti oleh mata air tak terlindung sebesar 4,77%, air sungai sebesar 3,02% dan lainnya sebesar 0,40%. Persentase rumah tangga menurut sumber air minum, provinsi dan wilayah secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 2.12, 2.12.a, dan Lampiran 2.12.b.
GAMBAR 2.6
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT SUMBER AIR MINUM TAHUN 2007
2. Jarak Sumber Air Minum dengan Tempat Penampungan Akhir Kotoran/Tinja
Sumber air minum sering menjadi sumber pencemar pada penyakit water borne disease. Oleh karena itu sumber air minum harus memenuhi syarat lokalisasi dan konstruksi. Syarat lokalisasi menginginkan agar sumber air minum terhindar dari pengotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus)
Sumber: BPS, Statistik Kesra Tahun 2007
lubang galian sampah, lubang galian untuk air limbah dan sumbersumber pengotor lainnya. Jarak tersebut tergantung pada keadaan tanah dan kemiringannya. Pada umumnya jarak sumber air minum dengan beberapa sumber pengotor termasuk tempat penampungan akhir (TPA) kotoran/tinja tidak kurang dari 10 meter dan diusahakan agar letaknya tidak berada di bawah sumbersumber tersebut.
Statistik Kesra BPS 2007 juga menampilkan persentase rumah tangga dengan sumber air minum dari pompa/sumur/mata air menurut jarak ke tempat penampungan akhir kotoran/tinja terdekat dan provinsi. Data tersebut menyebutkan bahwa secara nasional sebanyak 52,72% rumah tangga memiliki jarak sumber air minum dari pompa/sumur/mata air terhadap tempat penampungan kotoran akhir/tinja sebesar > 10 meter. Sedangkan sebanyak 25,55 % memiliki jarak < 10 meter dan sisanya sebanyak 21,74% tidak tahu.
Pada rumah tangga yang memiliki jarak > 10 meter pada sumber air minumnya, persentase terbesar adalah DI Yogyakarta sebesar 69,21%, diikuti oleh Kalimantan Selatan sebesar 68,39% dan Lampung 67,26%. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua Barat sebesar 34,86% diikuti oleh Banten sebesar 34,98% dan Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 39,38%. Persentase rumah tangga dengan sumber air minum dari pompa/sumur/mata air menurut tipe daerah, jarak ke tempat penampungan akhir kotoran/tinja/ terdekat dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.13.
GAMBAR 2.7
PERSENTASE RUMAH TANGGA DENGAN JARAK SUMBER AIR MINUM KE TPA KOTORAN/TINJA >10 METER TAHUN 2007
Sumber: BPS, Statistik Kesra Tahun 2007
3. Fasilitas Tempat Buang Air Besar
Statistik Kesra Tahun 2007 membagi rumah tangga berdasarkan kepemilikan fasilitas tempat buang air besar yang terdiri atas: milik sendiri, milik bersama, umum, dan tidak ada. Secara nasional, persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar sebesar 59,86%, rumah tangga yang memiliki bersama 12,95%, umum sebesar 4,33% dan tidak ada sebesar 22,85%.
Persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar di perkotaan dan perdesaan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Persentase di perkotaan sebesar 72,08%, sedangkan di perdesaan sebesar 50,57%. Provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar tertinggi adalah Riau sebesar 80,37% diikuti oleh Kepulauan Riau sebesar 77,74% dan Kalimantan Timur sebesar 75,81%. Sedangkan persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar terendah terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 29,61% diikuti oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 35,60% dan Maluku Utara sebesar 39,93%. Persentase rumah tangga menurut fasilitas tempat buang air besar, tipe daerah dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.14.
GAMBAR 2.8
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT KEPEMILIKAN FASILITAS TEMPAT BUANG AIR BESAR
TAHUN 2007
Rumah tangga yang menggunakan jamban leher angsa sebesar 71,50%, cemplung/cubluk sebesar 15,57%, dan yang tidak pakai kloset sebesar 3,88%.
Penggunaan jenis kloset leher angsa di perkotaan lebih besar dibanding di perdesaan.
Sementara penggunaan jenis kloset cemplung/cubluk di perdesaan 5 kali lipat lebih banyak dibanding di perkotaan. Persentase rumah tangga menurut jenis kloset dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.15, 2.15.a dan Lampiran 2.15.b.
Sumber : BPS, Statistik Kesra Tahun 2007
Berdasarkan tempat akhir pembuangan tinja, terlihat bahwa tangki septik (49,13%) merupakan tempat penampungan akhir tinja yang paling banyak digunakan rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang mencapai 71,06% sedangkan di daerah perdesaan sebesar 32,47%. Namun di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Lampung sebagian besar penduduknya memilih lubang tanah sebagai tempat penampungan akhir tinja (48,20% dan 46,39%). Persentase rumah tangga menurut jenis kloset dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.16. , 2.16.a dan Lampiran 2.16.b.
4. Luas Lantai
Pertambahan penduduk baik di perkotaan maupun perdesaan berdampak negatif terhadap terhadap perbandingan antara jumlah luas lantai hunian terhadap penghuni dan berkurangnya ruang terbuka pada area pemukiman. Hal ini tentu saja memiliki implikasi terhadap status kesehatan masyarakat penduduk. Jumlah penduduk sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni kuman. Kuman yang pada umumnya adalah penyebab penyakit menular saluran napas semakin banyak bila jumlah penghuni semakin banyak.
Ukuran rumah yang relatif kecil dan berdesakdesakan diketahui juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang mental atau jiwa anakanak. Anakanak memerlukan lingkungan bebas, tempat bermain luas yang mampu mendukung daya kreatifitasnya.
Dengan kata lain, rumah bila terlampau padat di samping merupakan media yang cocok untuk terjadinya penularan penyakit khususnya penyakit saluran napas juga dapat mempengaruhi perkembangan anak.
Statisik Kesra tahun 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga memiliki luas lantai 5099 m 2 , sebesar 44,89%, diikuti oleh rumah tangga dengan luas lantai 2049 m 2 , sebesar 35,62% dan rumah tangga dengan luas lantai 100149 m 2 sebesar 10,05%. Persentase rumah tangga menurut luas lantai tempat tinggal (m 2 ), tipe daerah, dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.17.
5. Jenis Lantai
Apabila dilihat berdasarkan jenis lantai terluas yang ditempati, sebagian besar rumah tangga menempati rumah yang berlantai bukan tanah. Persentase penggunaan lantai “bukan tanah” di seluruh Indonesia sudah mencapai di atas 80%, dimana DKI Jakarta merupakan provinsi yang tertinggi dan Nusa Tenggara Timur merupakan yang terendah dengan persentase masingmasing 97,76% dan 56,81%. Bila dibandingkan menurut daerah tempat tinggal, rumah tangga di perkotaan yang lantai rumahnya bukan dari tanah lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga di perdesaan (94,04%
berbanding 80,26%. Persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas, tipe daerah, dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.18.
6. Jenis Dinding
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat menurut penggunaan jenis dinding, yaitu berupa tembok, kayu, bambu atau lainnya. Secara nasional sebanyak 63,74% rumah tangga menggunakan dinding tembok, dengan
persentase tertinggi di Bali (92,41%) dan terendah di Kalimantan Tengah (12,17%).
Persentase rumah tangga menurut jenis lantai terluas, tipe daerah, dan provinsi tahun 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.19.