UPAYA KESEHATAN
B. PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN
2. Pelayanan Kesehatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM)
Tujuan umum PJKMM adalah terselenggaranya jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin secara berhasil guna dan berdaya guna. Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan khusus yang meliputi: (i) terlaksananya registrasi masyarakat miskin yang tepat sasaran sebagai peserta program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin;
(ii) terlaksananya pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif dalam meningkatkan pemanfaatan dan taraf kesehatan masyarakat miskin; (iii) terlaksananya pengelolaan keuangan yang akuntabel dan efisien dalam program jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Salah satu program yang memberi andil besar dalam peningkatan kesehatan masyarakat adalah program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (JPKMM).
Program ini menjadi vital mengingat sebagian penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Mereka yang termasuk kelompok keluarga miskin (gakin) sering kali direpotkan masalah biaya saat berhadapan dengan problem kesehatan. Melalui program ini, gakin bisa terbebas dari beban biaya kesehatan. Sebab, dalam JPKMM pemerintah menanggung biaya pelayanan kesehatan untuk gakin. Realisasi program JPKMM tahun 2005
2007 dapat dilihat pada Gambar 4.21 berikut.
GAMBAR 4.21
REALISASI PROGRAM JPKMM TAHUN 2005 2007
Sumber: Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Depkes RI
Pelayanan yang dicakup meliputi rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama di puskesmas dan di rumah sakit (RS) kelas III. Tercatat, sejak diluncurkan pada 2005 lalu, program yang memberikan layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin ini telah menjangkau jutaan rakyat kurang mampu. Pada 2005, jumlah kunjungan rawat jalan yang menggunakan fasilitas JPKMM mencapai 1.453.000. Jumlah itu meningkat menjadi 6.921.000 kunjungan pada 2006 dan untuk periode 2007 terdapat 5.961.712 kunjungan.
Demikian juga untuk jumlah kunjungan rawat inap, pada 2005 terdapat 526 ribu kunjungan, pada 2006 tercatat 1.580.000 kunjungan, dan pada periode 2007 terdapat 1.916.198 kunjungan.
Dalam program JPKMM, masyarakat tidak hanya mendapat pelayanan kesehatan umum/dasar. Berbagai layanan terapi untuk penyakitpenyakit berat juga bisa diperoleh.
Misalnya, hemodialisis, operasi jantung, cesar, dan kanker. Layanan itu telah menyelamatkan nyawa puluhan ribu penduduk miskin.
3. Penanganan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya)
Penyalahgunaan napza merupakan permasalahan yang kompleks baik faktor penyebab maupun dampaknya. Penanggulangannya memerlukan pendekatan komprehensif multidisiplin, serta keterpaduan lintas sektor pemerintahan, komitmen kuat semua pihak, serta peran serta seluruh masyarakat. Indonesia saat ini tidak hanya sebagai daerah transit dalam masalah penyalahgunaan NAPZA tetapi sudah sebagai daerah sasaran dan produsen.
Wabah penyalahgunaan napza menimbulkan ancaman terhadap masa depan dan kelangsungan hidup bangsa, karena pada umumnya merasuki generasi muda.
Sekarang, masalah penyalahgunaan napza tidak mengenal strata baik dari sisi ekonomi, usia, pendidikan, desa atau kota. Penyalahgunaan napza menimbulkan dampak buruk yang sangat luas dan mendalam terhadap para pelakunya, keluarganya, masyarakat dan bangsa. Bagi para pelakunya, penyalahgunaan dan ketergantungan napza menimbulkan : gangguan kesehatan fisik, termasuk gangguan fungsi otak, jantung, hati, ginjal, paruparu, serta organ reproduksi organ vital, beban sosial dan ekonomi bagi keluarganya serta
biaya sosial dan ekonomi yang sangat tinggi, serta menguras sumbersumber negara, yang bila digunakan untuk belanja pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan pengangguran, akan sudah banyak yang dapat dicapai.
Penanganan penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit di Indonesia terdiri dari kegiatan kuratif, rehabilitatif dan aftercare dengan jenis NAPZA yang dipergunakan adalah Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Tahun 2006 kegiatan kuratif (pengobatan) penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit berjumlah 119 dengan rincian 45 jenis Narkotika, 42 Psikotropika dan 32 zat adiktif lainnya. Kegiatan rehabilitatif berjumlah 25 terdiri dari 10 Narkotika dan 15 Psikotropika. Sedangkan kegiatan aftercare berjumlah 11 dari Psikotropika.
Kegiatan penanganan penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 4.22. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.20.
GAMBAR 4.22
KEGIATAN PENANGANAN PENYALAHGUNAAN NAPZA DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2006
Sumber : Ditjen Bina Yanmedik, Depkes, 2007
C. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT
Indonesia menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya beberapa penyakit menular sementara penyakit tidak menular atau degeneratif mulai meningkat. Di samping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru. Program pencegahan dan pemberantasan penyakit bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular dan mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit sehingga tidak menjadi masalah kesehatan.
Upaya pemberantasan penyakit menular lebih ditekankan pada pelaksanaan surveilans epidemiologi dengan upaya penemuan penderita secara dini yang ditindaklanjuti dengan penanganan secara cepat melalui pengobatan penderita. Di samping itu pelayanan lain yang diberikan adalah upaya pencegahan dengan pemberian imunisasi, upaya pengurangan faktor risiko melalui kegiatan untuk peningkatan kualitas lingkungan serta peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan penyakit menular yang dilaksanakan melalui berbagai kegiatan. Uraian singkat berbagai upaya tersebut seperti berikut ini.
1. Pengendalian Penyakit Polio
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit Polio telah dilakukan melalui gerakan imunisasi polio. Upaya ini juga ditindaklanjuti dengan kegiatan surveilans epidemiologi secara aktif terhadap kasuskasus Acute Flaccid Paralysis (AFP) kelompok umur <15 tahun hingga dalam kurun waktu tertentu, untuk mencari kemungkinan adanya virus polio liar yang berkembang di masyarakat dengan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dijumpai. Berdasarkan kegiatan surveilans AFP pada penduduk <15 tahun selama tahun 2003 – 2007, secara nasional diperoleh gambaran sebagaimana terlihat pada Gambar 4.23 berikut. Data selengkapnya per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 4.21.
GAMBAR 4.23
PERSENTASE HASIL PENGIRIMAN SPESIMEN ADEKUAT DAN NON POLIO AFP RATE TAHUN 2003 – 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Setiap kasus AFP yang ditemukan dalam kegiatan intensifikasi surveilans, akan dilakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk mengetahui ada tidaknya virus polio liar yang menyerang masyarakat. Dari gambar di atas menunjukan bahwa persentase spesimen adekuat yang dikirim untuk pemeriksaan virus Polio menjadi semakin meningkat, dengan demikian hasil pemeriksaan yang dilakukan menjadi semakin mewakili kondisi di lapangan. Dari hasil pemeriksaan selama tahun 1998 – 2004 tidak ditemukan adanya infeksi virus Polio liar pada kasus AFP yang ditemukan. Besaran Non Polio AFP Rate selama tahun 1998 – 2004 relatif stabil.
Tahun 2005, Sistem Surveilans AFP di Indonesia berhasil mendeteksi kasus virus polio liar impor dari Negara di Timur Tengah. Berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Biofarma tanggal 21 April 2005 bahwa telah ditemukan kasus AFP yang pertama kali dari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi yang mengandung virus polio liar. Distribusi virus polio liar pada kasus AFP tahun 20052007 disajikan pada Tabel 4.2 berikut:
TABEL 4.2
DISTRIBUSI VIRUS POLIO LIAR PADA KASUS AFP MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2007
No. Provinsi AFP Virus
Polio Liar (+)
Kontak (+)
Meninggal
1. Nanggroe Aceh Darussalam 36 6 0
2. Riau 35 3 0
3. DKI Jakarta 71 4 1 0
4. Sumatera Selatan 50 5 0
5. Jawa Timur 274 11 0
6. Sumatera Utara 54 10 0
7. Jawa Tengah 202 20 5 0
8. Lampung 79 26 0
9. Jawa Barat 317 59 35 0
10. Banten 233 161 8
T o t a l 1351 305 41 8
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Bulan Februari 2007 dilaksanakan Crash Program dan catch up campaign fase 4 terintegrasi dengan imunisasi polio tambahan (Sub PIN). Hasil ditampilkan pada Gambar 4.24, Bulan Agustus 2007 dilaksanakan Crash Program dan catch up campaign fase 5 terintegrasi dengan imunisasi polio tambahan (Sub PIN) hasil ditampilkan pada Gambar 4.25 berikut.
GAMBAR 4.24
HASIL SUB PIN POLIO BULAN FEBRUARI 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
GAMBAR 4.25
HASIL SUB PIN POLIO BULAN AGUSTUS 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
2. Pengendalian TBParu
Upaya pencegahan dan pemberantasan TBParu dilakukan dengan pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcource Chemotherapy) atau pengobatan TBParu dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan. Dari upaya penemuan penderita TB selama tahun 20032007 ditemukan gambaran kasus sebagaimana terlihat pada Gambar 4.26 berikut.
GAMBAR 4.26
JUMLAH PENDERITA TB BTA+ DAN TB LAIN TAHUN 2003 – 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Dalam penanganan program, semua penderita TB yang ditemukan ditindaklanjuti dengan paketpaket pengobatan intensif. Melalui paket pengobatan yang diminum secara teratur dan lengkap, diharapkan penderita akan dapat disembuhkan dari penyakit TB yang dideritanya. Namun demikian dalam proses selanjutnya tidak tertutup kemungkinan terjadinya kegagalan pengobatan akibat dari paket pengobatan yang tidak terselesaikan atau
drop out (DO), terjadinya resistensi obat atau kegagalan dalam penegakan diagnosa di akhir pengobatan.
Selain dengan angka insiden, keberhasilan program pengendalian TB dapat dengan melihat beberapa indikator program pengendalian TB yang antara lain angka penemuan kasus (Case Detection Rate) dan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate). Data tahun 2003
2007 dapat dilihat pada Gambar 4.27 berikut.
GAMBAR 4.27
PENEMUAN KASUS BARU DAN KEBERHASILAN PENGOBATAN TAHUN 2003 – 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Tingkat kesembuhan dari penderita pasca pengobatan biasanya sangat sulit ditegakkan oleh karena kendala dari penderita dalam mengeluarkan dahak yang memenuhi persyaratan, sehingga dalam pemantauan hasil akhir lebih diarahkan pada tingkat kelengkapan pengobatan atau succes rate (SR). Angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB BTA positif yang tercatat, sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 telah mencapai target global sebesar 85%. Tahun 2006, 27 provinsi yang telah mencapai target angka keberhasilan pengobatan, 5 (lima) provinsi yang belum mencapai target adalah DIY (84,33%), Maluku Utara (79,96%), Kalimantan Timur (76.61%), Papua (69,95%) dan Kepulauan Riau (65,25%) sedangkan provinsi tidak ada data adalah Papua Barat, dapat dilihat pada Gambar 4.28 berikut.
GAMBAR 4.28
ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN PENDERITA BARU TB BTA POSITIF (SUCCESS RATE) MENURUT PROVINSI
TAHUN 2006
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI 3. Pengendalian Penyakit ISPA
Upaya Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2 ISPA) lebih difokuskan pada upaya penemuan secara dini dan tata laksana kasus yang cepat dan tepat terhadap penderita Pneumonia balita yang ditemukan. Upaya ini dikembangkan melalui suatu manajemen terpadu dalam penanganan balita sakit yang datang ke unit pelayanan kesehatan atau lebih dikenal dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Dengan pendekatan MTBS semua penderita ISPA langsung ditangani di unit yang menemukan, namun bila kondisi balita sudah berada dalam Pneumonia berat sedangkan peralatan tidak mencukupi maka penderita langsung dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap. Target penemuan penderita pneumonia balita tahun 20052009 dapat dilihat pada Gambar 4.29 berikut.
GAMBAR 4.29
TARGET PENEMUAN PENDERITA PNEUMONIA BALITA TAHUN 2005 – 2009
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Program pengendalian ISPA menetapkan bahwa semua kasus yang ditemukan harus ditatalaksanakan sesuai standar, dengan demikian angka penemuan kasus ISPA juga menggambarkan penatalaksanaan kasus ISPA. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir hasil penemuan penderita pneumonia pada balita dapat dilihat pada Gambar 4.30, yang mana terlihat bahwa cakupan penemuan penderita dari target (perkiraan penderita) masih relatif rendah.
GAMBAR 4.30
PERSENTASE PENEMUAN PENDERITA PNEUMONIA PADA BALITA TAHUN 2003 – 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Sedangkan gambaran cakupan penemuan balita penderita pneumonia tahun 2007 dibandingkan dengan angka nasional dapat dilihat dalam Gambar 4.31 berikut.
GAMBAR 4.31
CAKUPAN PENEMUAN BALITA PENDERITA PNEUMONIA MENURUT PROVINSI TAHUN 2007
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Pada gambar di atas data cakupan per provinsi belum ada yang mencapai target nasional (66%). Tetapi ada beberapa provinsi yang mendekati target nasional seperti NTB (61,38%), Babel (56,10%) dan Kalsel (55,47%). Rincian data cakupan penemuan penderita menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 4.23.
Hambatan yang ditemui dalam meningkatkan cakupan penemuan Pneumonia Balita di Puskesmas:
· Tenaga terlatih MTBS/Tatalaksana Standar ISPA tidak melaksanakan di Puskesmas
· Pembiayaan (logistik & operasional) terbatas
· Pembinaan (bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi) secara berjenjang masih sangat kurang
· ISPA merupakan pandemi yang dilupakan/tidak prioritas sedangkan masalah ISPA merupakan masalah multisektoral
· Gejala Pneumonia sukar dikenali oleh orang awam maupun tenaga kesehatan yang tidak terlatih
4. Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan PMS
Upaya pelayanan kesehatan dalam rangka penanggulangan penyakit HIV/AIDS, di samping ditujukan pada penanganan penderita yang ditemukan juga diarahkan pada upaya pencegahan melalui penemuan penderita secara dini yang dilanjutkan dengan kegiatan konseling.
Upaya penemuan penderita dilakukan melalui skrining HIV/AIDS terhadap darah donor, pemantauan pada kelompok berisiko penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti Wanita Penjaja Seks (WPS), penyalahguna obat dengan suntikan (IDUs), penghuni Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) atau sesekali dilakukan penelitian pada kelompok berisiko rendah seperti ibu rumah tangga dan sebagainya. Hasil pelaksanaan surveilans HIV/AIDS selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.3 berikut.
TABEL 4.3
PENEMUAN PENDERITA HIV/AIDS TAHUN 2003 – 2007
Pengidap HIV Penderita AIDS Penderita AIDS Meninggal Tahun
Per tahun Kumulatif Per tahun Kumulatif Per tahun Kumulatif
2003 168 2.720 316 1.487 261 479
2004 649 3.369 1.195 2.682 361 740
2005 875 4.244 2.638 5.321 592 1.332
2006 986 5.230 2.873 8.194 539 1.871
2007 836 6.066 2.947 11.141 2.369
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Desember 2007 adalah 4,91 per 100.000 penduduk. Rate kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua (72,71), DKI Jakarta (33,45), Kepulauan Riau (19,86). Dalam perjalanan penyakit dari HIV positif menjadi AIDS dikenal istilah ”windows periods” yang tidak diketahui dengan pasti periodisasinya sehingga kelompok ini menjadi sangat potensial dalam menularkan penyakit.
Pada kelompok ini di samping dilakukan pengobatan yang lebih utama adalah dilakukan konseling untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam ikut aktif mencegah terjadinya
5. Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai KLB dan menimbulkan kepanikan di masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian. Penyebab DBD adalah virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang hidup digenangan air bersih sekitar rumah.
Di Indonesia saat ini dikenal 4 serotipe virus dengue yaitu Den1, Den2, Den3, Den4. Dari 4 serotipe tersebut yang paling banyak bersirkulasi adalah serotipe Den3. Kasus umumnya mulai meningkat pada saat musim hujan yaitu antara bulan Oktober – Mei.
Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu 1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, 2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, 3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD. Upaya tersebut dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M plus (Menguras, Menutup dan Mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air serta kegiatan
kegiatan lainnya yang dapat mencegah/memberantas nyamuk Aedes berkembang biak., Juru Pemantauan Jentik (Jumantik) untuk memantau Angka Bebas Jentik (ABJ), serta pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga. Angka Bebas Jentik (ABJ) sebagai tolok ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Oleh karena itu pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan baru.
Pola perkembangan DBD pada tahun 2006 kasus cenderung menurun setiap bulannya sampai dengan bulan Oktober namun terjadi sedikit peningkatan pada bulan November dan Desember. Tahun 2007 kasus mulai januari terus meningkat dengan puncaknya pada bulan februari dan terus menurun sampai dengan bulan septemberoktober. Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2007 sebanyak 158.115 kasus dengan jumlah kematian 1.570 orang (CFR=1,01%, dan IR=71,78 per 100.000 penduduk). Sampai akhir 2007 jumlah Kab/Kota terjangkit DBD adalah 354 Kab/Kota dari 465 kab/kota yang ada (76,1%).
TABEL 4.4
INDIKATOR PROGRAM P2DBD DAN PENCAPAIAN TARGET TAHUN 2005 – 2007
2005 2006 2007
NO INDIKATOR
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi 1 Desa Endemis DBD me
laksanakan PSN DBD (%) 65 60
2 Rumah Yang Bebas Jentik
di Daerah Endemis (%) > 95 75,88 > 95 81,5 > 95 84 3 Kejadian DBD ditangani
sesuai Standard (%) 60 50
4 Angka Kesakitan DBD (per
100.000 pddk) < 34 43,35 < 30 52,48 < 25 71,18 5 Angka Kematian DBD (%) < 1 1,4 < 1 1,04 < 1 1
Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Pada Tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa indikator program P2DBD belum mencapai target yang diinginkan. Adapun permasalahan dalam pengendalian DBD:
1. Belum ada obat anti virus dan vaksin untuk mencegah DBD, maka untuk memutus rantai penularan, pengendalian vektor dianggap yang paling memadai saat ini.
2. Vektor DBD khususnya Aedes aegypti sebenarnya mudah dikendalikan, karena sarang
sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor tersebar luas, maka untuk keberhasilan pengendaliannya diperlukan total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tidak berkembang biak lagi. Untuk itu sangat memerlukan partisipasi seluruh lapisan masyarakat khususnya dalam PSN DBD.
3. Partisipasi masyarakat dalam PSN DBD masih rendah, meskipun pada umumnya pengetahuan tentang DBD dan caracara pencegahannya sudah cukup tinggi.
4. Dengan kondisi keuangan negara saat ini, semakin mempersulit pembiayaan program pengendalian DBD yang sangat mahal di Indonesia.
5. Banyak faktor yang berhubungan dengan peningkatan kejadian DBD dan KLB yang sulit atau tidak dapat dikendalikan seperti, kepadatan penduduk, mobilitas, lancarnya transportasi (darat, laut dan udara), pergantian musim dan perubahan iklim dunia, kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat, serta jenis dan keganasan virusnya.
6. Belum optimalnya peran PERS dalam mendukung keberhasilan program pengendalian DBD di Indonesia.
Selain dukungan dana dari APBN, beberapa kegiatan pengendalian DBD mendapat sumber dana dari bantuan luar negeri yaitu WHO. Beberapa kegiatan tahun 2007 yang didanai oleh WHO antara lain:
1. Pengembangan metode COMBI di beberapa kota yaitu: Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Padang, dan Yogyakarta.
2. Kegiatan surveilans yaitu dalam rangka antisipasi KLB DBD di Jawa dan Bali.
3. Workshop dalam rangka update buku Pedoman Tatalaksana Kasus DBD.
4. Kegiatan training of trainer dalam tatalaksana kasus DBD di regional Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
5. Pembuatan buku modul bagi Pengelola Program DBD
6. Pengendalian Penyakit Malaria
Malaria sebagai salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, berdampak kepada penurunan kualitas sumber daya manusia yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan berpengaruh kepada keamanan dan pertahanan nasional. Penegakan diagnosa penderita secara cepat dan pengobatan yang tepat merupakan salah satu upaya penting dalam rangka pemberantasan penyakit Malaria di samping pengendalian vektor potensial.
Terdapat dua model pendekatan dalam upaya penegakan diagnosa penderita, yaitu wilayah Jawa Bali dilakukan secara aktif (Active Case Detection) oleh Juru Malaria Desa dengan mendatangi warga yang mengeluh gejala klinis Malaria, sedangkan untuk wilayah luar Jawa Bali dilakukan secara pasif dengan menunggu pasien datang berobat ke pelayanan kesehatan. Upaya pengobatan tidak hanya diberikan kepada penderita klinis atau penderita
dengan konfirmasi laboratorium namun juga diberikan pada kelompok tertentu untuk tujuan profilaksis.
Penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita tersangka malaria dan atau positif malaria yang datang ke sarana kesehatan, diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun. Pada tahun 2003 – 2007 persentase pengobatan malaria mencapai angka 100% sesuai dengan target yang diinginkan.
Dalam tahun 2007 terjadi peningkatan kasus maupun KLB malaria dibeberapa daerah.
Upaya penanggulangan baik dengan pengobatan massal, survei demam, penyemprotan rumah, penyelidikan vektor penyakit dan tindakan lain misalnya pengeringan tempat perindukan telah dilakukan dengan baik. Sampai tahun 2007 masih terjadi KLB dan peningkatan kasus malaria di beberapa tempat yaitu di 8 Provinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan jumlah penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian (CFR KLB =5,9%).
7. Pengendalian Penyakit Kusta
Upaya pelayanan terhadap penderita penyakit Kusta antara lain adalah melakukan penemuan penderita melalui berbagai survei anak sekolah, survei kontak dan pemeriksaan intensif penderita yang datang ke pelayanan kesehatan dengan keluhan atau kontak dengan penderita penyakit Kusta.
Semua penderita yang ditemukan langsung diberikan pengobatan paket MDT yang terdiri atas Rifampicin, Lampren, dan DDS selama kurun waktu tertentu. Sedangkan untuk penderita yang ditemukan sudah dalam kondisi parah akan dilakukan rehabilitasi melalui institusi pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas pelayanan lebih lengkap. Hasil dari berbagai kegiatan penemuan kasus baru penderita Kusta yang dilakukan selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut.
TABEL 4.5
PEMERIKSAAN PENDUDUK, PENEMUAN KASUS BARU (CDR) DAN PENDERITA CACAT TAHUN 2003 2007
Suspek Positif Tahun
PB MB CDR Penderita
Cacat (%)
2003 3.594 11.956 7,3 8,0
2004 3.615 12.957 7,8 8,6
2005 4.056 15.639 8,9 8,7
2006 3.506 14.415 8.2 8.7
2007 3.339 20.313 7.84 8.8
Catatan : MB = Multi Basiller, PB = Pausi Basiller, CDR = CaseDetection Rate Sumber: Ditjen PPPL, Depkes RI
Untuk menilai kinerja petugas dalam penemuan kasus, digunakan angka proporsi cacat tingkat II (cacat akibat kerusakan syaraf dan cacat terlihat). Tingginya proporsi cacat tingkat II menunjukan keterlambatan dalam penemuan kasus atau dengan kata lain kinerja petugas yang rendah dalam menemukan kasus serta pengetahuan masyarakat yang rendah.
Sementara untuk mengetahui apakah penularan masih terjadi di masyarakat, perhitungan yang digunakan adalah proporsi anak di antara kasus baru.
Penderita cacat tingkat II relatif stabil tiap tahunnya, tahun 2007 (8,8%). Proporsi cacat tingkat II dan proporsi anak di antara kasus baru penyakit Kusta masih di atas indikator program (5%), proporsi masih relatif stabil. Hal ini berarti penularan masih terjadi di masyarakat dan kasus ditemukan terlambat sehingga pada saat penemuan penderita sudah mengalami cacat tingkat II.
8. Pengendalian Penyakit Filaria
Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun lakilaki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit kaki gajah tersebar luas hampir di seluruh Provinsi.
Program eliminasi filariasis dilaksanakan atas dasar kesepakatan global WHO tahun 2000 yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem the year 2020”yang merupakan realisasi dari resolusi WHA (World Health Assembly) pada tahun 1997.
Program Eliminasi ini dilaksanakan melalui dua pilar kegiatan yaitu :
a. Pengobatan massal kepada semua penduduk di kabupaten endemis filariasis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg BB dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg sekali setahun selama 5 tahun, guna memutuskan rantai penularan.
b. Tatalaksana kasus klinis filariasis guna mencegah dan mengurangi kecacatan.
Implementation Unit (IU) yang digunakan dalam program eliminasi filariasis sejak tahun 2005 adalah kabupaten/kota. Artinya satuan wilayah terkecil dalam program ini adalah kabupaten/kota, baik untuk penentuan endemisitas maupun pengobatan massal. Bila sebuah kabupaten/kota sudah endemis filariasis, maka sasaran pengobatan massal adalah semua penduduk di kabupaten/kota tersebut. Semua penduduk harus minum obat, tetapi pengobatan untuk sementara ditunda bagi : anak berumur < 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita dengan marasmus/kwashiorkor. Target dan pencapaian pengobatan massal filariasis tahun 20032007 dapat dilihat pada Gambar 4.32 berikut.
GAMBAR 4.32
TARGET DAN PENCAPAIAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS TAHUN 20032007
Sumber : Ditjen PPPL, Depkes, 2005
Dari 304 Kabupaten/Kota endemis filariasis pada tahun 2007, baru 77 Kabupaten/Kota yang tersebar di 21 Provinsi melaksanakan pengobatan massal. Itupun sasarannya belum semua seluas Kabupaten/Kota, baru 35 Kabupaten/Kota yang sasaran pengobatan massalnya seluas kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kabupaten yang dapat menurunkan mikrofilaria rate <1% adalah 5,6%. Namun sejak tahun 2005 terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan MDA setiap tahunnya (Gambar 4.33).
GAMBAR 4.33
KABUPATEN/KOTA ENDEMIS FILARIASIS YANG MELAKSANAKAN CAKUPAN PENGOBATAN (MDA) TAHUN 20052007
Sumber : Ditjen PPPL, Depkes
Belum semua Kabupaten/Kota yang dapat melakukan pengobatan massal dengan sasaran seluruh penduduknya, disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena mahalnya biaya operasional yang harus disediakan oleh Kabupaten/Kota. Padahal biaya operasional menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu perlu diupayakan adanya bantuan luar negeri untuk membantu daerah dalam penyediaan biaya operasional pengobatan massal.