4.1. Sejarah Taman Nasional Baluran
Kawasan Baluran diusulkan sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1928 oleh A.H. Loedeboer yang menguasai daerah tersebut, dan pada tahun 1937 melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor: 9 tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937) ditetapkan sebagai suaka margasatwa dengan tujuan untuk melindungi berbagai jenis satwa langka dari kepunahan. Pada tahun 1982 Suaka Margasatwa Baluran dideklarasikan sebagai Taman Nasional (Departemen Kehutanan, 1997) melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI No. 327/Kpts/Um/7/1972. Pada tahun 1997, surat keputusan Menteri Kehutanan No. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 25 Mei 1997 menyatakan bahwa luas kawasan Taman Nasional Baluran sebesar 25.000 ha meliputi 23.713 ha wilayah daratan dan 1.287 ha perairan, yang dikelola dengan sistem zonasi sesuai Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PKA). Kemudian terjadi revisi dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 187/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999, yang menyatakan bahwa luas Taman Nasional Baluran terdiri dari 23.937 ha wilayah daratan dan 1.063 ha wilayah perairan (Dono dan Mardana, 2003).
Kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki ekosistem yang lengkap yang terdiri dari hutan mangrove dan rawa asin, hutan pantai, hutan payau, hutan savana (datar dan bergelombang), hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah) dan curah (stoney streambeds) (Departemen Kehutanan, 1995). Taman nasional ini merupakan satu-satunya taman nasional di Jawa yang memiliki padang savana alamiah dengan luas sekitar 10.000 ha atau sekitar 40% dari luas kawasan. Sebagian besar dari populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal savana ini untuk merumput. Ciri-ciri yang tampak di savana adalah 1) pergantian musim hujan dan kemarau; 2) struktur rumput dan pohon yang ditentukan oleh kompetisi pemanfaatan kelembaban tanah; dan 3) perubahan yang mendasar karena api, herbivora dan hara tanah (Huston, 1995).
Savana-savana tropis (padang rumput dengan pohon-pohon yang tersebar atau rumpun-rumpun pohon) ditemukan di daerah-daerah kering dengan curah
35
hujan 1000-1525 mm tetapi dengan musim kering yang berkepanjangan sehingga kebakaran merupakan bagian penting dari lingkungannya (Odum, 1993). Kebakaran penting untuk mempertahankan populasi sejumlah spesies, meningkatkan keanekaragaman spesies dan mempersiapkan bentuk landscape secara umum (Huston, 1995). Tipe habitat savana di Taman Nasional Baluran merupakan tipe klimaks kebakaran yang mempunyai jenis-jenis vegetasi yang sangat dipengaruhi api (fire-climax vegetation). Keanekaragaman spesies yang tinggi dapat ditemukan dalam vegetasi padang rumput yang terbakar secara rutin, terutama rumput-rumputan, semak dan perdu.
Tipe habitat savana di Taman Nasional Baluran dapat dibedakan menjadi dua sub tipe, yaitu flat savanna (padang rumput alami datar) dan undulating savanna (padang rumput alami bergelombang). Flat savanna tumbuh pada tanah aluvial berbatu-batu, dan ini terdapat pada bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol dengan luasan sekitar 1500-2000 ha. Sedangkan undulating savanna tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu dan membujur dari sebelah utara hingga timur laut dengan luas kurang lebih 8000 ha (Dono dan Mardana, 2003).
Pada sub tipe flat savanna terdapat beberapa jenis rumput dominan, yaitu Dichantium caricosum, Heteropogon concotyus, dan Shorgum nitidus. Selain itu terdapat beberapa pohon, yaitu Acacia leucophloea dan Schleichera oleosa. Sebagian besar populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk merumput (Departemen Kehutanan, 1995).
Savana di Taman Nasional Baluran mempunyai peranan yang sangat penting karena:
1. Mempunyai bentuk ekosistem khas dengan luas mencapai 40% dari seluruh taman nasional dan di seluruh Pulau Jawa hanya terdapat di Taman nasional Baluran
2. Merupakan pusat kehidupan berbagai jenis satwa liar, terutama untuk jenis-jenis mamalia besar, serta berbagai jenis satwa liar yang dilindungi
3. Mempunyai panorama alam yang sangat unik dan indah, sesuai dengan tujuan pengembangan Taman Nasional untuk menarik minat pengunjung
4. Merupakan obyek yang sangat penting bagi kegiatan penelitian dan pendidikan
36
Kondisi komposisi vegetasi, topografi, dan adanya sumber-sumber air tawar dalam satu kesatuan seperti di savana Bekol sangat ideal bagi kehidupan jenis satwa herbivora (Alikodra, 1986).
4.2. Letak dan Luas
Taman Nasional Baluran termasuk dalam wilayah Kecamatan Banyuputih, kurang lebih 32 km di sebelah utara Banyuwangi Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Secara geografis Taman Nasional Baluran terletak antara 70 29’55”-7055’55” Lintang Selatan dan 114029’10”-114039’10” Bujur Timur. Taman Nasional Baluran berbatasan dengan Selat Bali di sebelah timur; di sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Bajulmati, Desa Wonorejo dan Desa Pandean; sebelah barat dibatasi oleh Sungai Kelokoran, Desa Karangtekok dan Desa Sumberanyar; dan disebelah utara dibatasi oleh Selat Madura (Balai Taman Nasional,1995).
Sumber: Citra Landsat 2002 Departemen Kehutanan, 2004
Gambar 4. Peta Kawasan Taman Nasional Baluran
Tutupan Lahan
Lokasi Penelitian
Sumber: Citra Landsat, 2002
Insert
Secara administratif Taman Nasional Baluran berada dalam tiga wilayah kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan SK menteri Kehutanan no. 096/kpts-II/1984, Taman Nasional Baluran merupakan unit pelaksana teknis
37
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Dalam mengatur wilayah kerja masing-masing taman nasional berpedoman pada AK Direktorat Jenderal PHPA no. 46/kptsVI-Sek/1984 (Departemen Kehutanan, 1995).
Pada tanggal 31 Maret 1997, Taman Nasional Baluran ditetapkan menjadi Balai Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo menjadi Balai Taman Nasional Alas Purwo yang masing-masing berdiri sendiri melalui Keputusan Menteri Kehutanan no. 185/kpts-II/1997 (Departemen Kehutanan, 2004).
4.3. Iklim
Iklim di kawasan Taman Nasional Baluran bertipe monsoon (musim) dengan musim kering yang panjang. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Taman Nasional Baluran bagian utara termasuk ke dalam tipe klasifikasi iklim C (agak kering) dengan suhu rata-rata tahunan 26,200C. Curah hujan per tahun 900-1600 mm, dengan rata-rata bulan kering 4-9 bulan per tahun. Bulan terkering terjadi antara bulan Agustus dan September, sedangkan musim hujan hanya terjadi pada bulan Desember sampai dengan April (Balai Taman Nasional,1995).
Pada bagian selatan Taman Nasional Baluran mempunyai tipe iklim E. Dalam kawasan ini, curah hujan maksimum rata-rata pada bulan Februari yaitu sebesar 240 mm dengan jumlah hari hujan maksimum pada bulan Januari sebanyak 15,48 hari. Curah hujan minimum rata-rata berada pada bulan September, yaitu sebesar 5 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata minimum 0,32 hari. Curah hujan per tahunnya rata-rata adalah 1220 mm dengan jumlah hari hujan tahunan sebanyak 75,5 hari (Balai Taman Nasional,1995).
38
4. 4. Topografi
Keadaan topografi di kawasan Taman Nasional Baluran bervariasi dari 0-1247 m di atas permukaan laut dengan bentuk topografi datar sampai bergelombang. Topografi tertinggi terdapat pada puncak Gunung Baluran. Daerah di sekitarnya memiliki topografi berbukit sampai bergunung. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai, di sebelah timur dan utara kawasan. Bentuk topografi berombak di bagian selatan dan barat kawasan taman nasional (Balai Taman Nasional,1995).
4. 5 Hidrologi
Di Taman Nasional Baluran terdapat dua buah sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran. Kedua sungai ini membentuk batas Taman Nasional Baluran di sebelah selatan dan barat kemudian bermuara pada pantai utara dan timur Pulau Jawa (Balai Taman Nasional,1995).
Mata air yang berasal dari resapan air yang masuk ke dalam tanah dan membentuk aliran air bawah tanah muncul di beberapa tempat yang memiliki permukaan tanah lebih rendah. Diantaranya di Talpat (kaki bukit), Kelor, Popongan, Bama, Mesigit (daerah pantai), Teluk Air Tawar (ujung pantai) dan Tanjung Sedano (daerah laut) (Balai Taman Nasional,1995).
4.6. Geologi dan Tanah
Kawasan Taman Nasional Baluran didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik tua hampir mendominir seluruh kawasan, sedangkan batuan alluvium terletak di sepanjang pantai yang meliputi daerah Pandean, Tanjung Sedano, Tanjung Sumber Batok dan Tanjung Lumut (Balai Taman Nasional,1995).
Jenis tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran diantaranya Mediteran Merah Kuning dan Grumusol (51,25%), Alluvuium (23%), Latosol (20,23%) serta Andosol (5,52%). Tanah-tanah ini merupakan tanah yang kaya akan mineral, tetapi miskin bahan organik sehingga kondisi tanah mempunyai kesuburan kimiawi yang relatif tinggi dengan kesuburan fisik yang rendah. Hal ini
39
karena sebagian besar berpori-pori dan tidak bisa menyimpan air dengan baik (Balai Taman Nasional,1995).
Setiap jenis tanah memiliki wilayah penyebaran tersendiri. Daerah perbukitan didominasi jenis tanah Andosol dan Latosol. Daerah yang lebih rendah jenis tanahnya terdiri dari Mediteran Merah Kuning dan Grumusol. Sedangkan daerah yang paling rendah (cekung) didominasi jenis tanah alluvium (Balai Taman Nasional,1995).
Tanah alluvium yang menyelimuti setengah dataran rendah (antara lain Bekol), ditumbuhi rumput yang sangat subur sehingga banyak didatangi satwa herbivora. Namun jenis tanah tersebut mempunyai ciri khas berupa mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim penghujan. Sedangkan pada musim penghujan permukaan tanah akan pecah-pecah dengan patahan sedalam ± 80 cm dan lebar ± 10 cm (Balai Taman Nasional,1995).