• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

METODE PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Desa Bojonggedang adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Batas-batas Desa Bojonggedang yaitu Sebelah Utara dengan Desa Cisontrol, Sebelah Barat dengan Desa Karangpari, sebelah selatan dengan Desa Girimukti, sebelah timur dengan Desa Tambaksari, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Desa Bojonggedang mempunyai luas 973.415 hektar dengan jumlah penduduk 3740 orang. Desa Bojonggedang terdiri dari delapan dusun, yaitu: 1) Dusun Desa, 2) Dusun Pangbuangirang, 3) Dusun Kadujungkung, 4) Dusun Bojonggedang, 5) Dusun Mulyasari, 6) Dusun Panyemprongan, 7) Dusun Sidamulya, dan 8) Dusun Cikuda (Monografi Desa Bojonggedang 2011).

Gambar 2 Peta Desa Bojonggedang.

Desa Bojonggedang memiliki visi misi yang diadopsi berdasarkan visi misi Kecamatan Rancah, visi misi tersebut adalah:

VISI :

“Dengan Iman dan Taqwa Rancah Terdepan di Bidang Agribisnis dan Hutan Produksi di Sub Wilayah Ciamis Utara Tahun 2014”

MISI :

1. Meningkatkan Kualitas Iman dan Taqwa serta sumberdaya manusia yang mencakup pendidikan, kesehatan, ekonomi yang berjiwa wirausaha.

2. Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan penuntasan Program

Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 12 Tahun.

3. Meningkatkan Kinerja Pemerintahan Kecamatan, sebagai fasilitator di bidang Pemerintahan, Pembangunan, dan Pemberdayaan Masyarakat.

4. Mewujudkan kondisi keamanan, ketertiban, dan ketentraman di Wilayah Kecamatan Rancah yang Kondusif agar dapat terlaksananya seluruh program pembangunan.

Petani pada Desa Bojonggedang telah memanfaatkan lahan miliknya mayoritas untuk hutan rakyat, sebagian lainnya digunakan untuk lahan sawah. Hutan rakyat yang dikelola petani pada umumnya tidak terletak pada satu hamparan melainkan terpisah dan tersebar, hal ini karena pembelian yang dilakukan bertahap dan kepemilikan lahan tersebut berdasarkan warisan dari orang tua. Komposisi jenis tanaman yang dikembangkan masing-masing petani di Desa Bojongedang cukup beragam karena faktor pengalaman petani, penyuluhan dari penyuluh kehutanan dan terinspirasi oleh keberhasilan petani lain. Jenis pohon yang dominan ditanam petani Desa Bojonggedang adalah sengon dan mahoni. Herawati (2001) menyebutkan bahwa hutan rakyat di Ciamis didominasi oleh pohon sengon, mahoni, dan jati. Jenis pohon tersebut biasanya ditumpangsarikan dengan berbagai jenis tanaman perkebunan (kelapa, kopi, coklat), tanaman buah (durian, mangga, rambutan, petai, jengkol), tanaman obat (kapulaga dan kunyit), dan tanaman pangan (singkong). Kondisi di Desa Bojonggedang, tanaman perkebunan yang ditanam mayoritas adalah kelapa dan coklat, tanaman buah umumnya adalah manggis dan pisang, sedangkan tanaman bawahnya antara lain kapulaga dan singkong. Secara keseluruhan, tanaman yang dimanfaatkan kayunya, yang ditanam di lahan milik petani relatif lebih banyak

jumlahnya dibandingkan tanaman non kayu, sehingga dapat disebut sebagai hutan rakyat.

4.2 Kondisi petani hutan rakyat di Desa Bojonggedang

Petani pengelola hutan rakyat yang menjadi responden merupakan petani yang memiliki lahan garapan milik pribadi atau yang lebih dikenal dengan istilah kebun, dan merupakan petani yang menentukan sendiri jenis pohon yang ditanam di lahan kebun miliknya. Petani yang diteliti berumur antara 30 sampai 78 tahun dengan rata-rata umur 56,8 tahun. 43,33% petani hutan rakyat memiliki pekerjaan utama murni sebagai petani, artinya petani tersebut tidak memiliki penghasilan lain selain dari hasil kebun dan sawah miliknya, selebihnya merupakan perangkat desa, pedagang, peternak, guru, dan pensiunan. Pendidikan petani masih tergolong rendah, 60% merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD) dan sederajat, sedangkan lulusan perguruan tinggi hanya 13% (Gambar 3). Luasan lahan hutan rakyat sebagian besar petani (60%) tidak mencapai satu hektar yaitu antara 0,1 sampai 0,9 hektar saja, namun ada pula petani dengan luasan lahan lebih dari dua hektar, yaitu sebesar 13% (Gambar 4). Status kepemilikan lahan seluruh petani masih berupa girik.

Gambar 3 Grafik pendidikan terakhir.

4.3 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian sub sistem, termasuk pada pengelolaan hutan rakyat. Tiga sub sistem tersebut terdiri atas sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil, dan sub sistem pemasaran (Lembaga Penelitian IPB 1990). Sub sistem produksi meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Proses pemanenan seluruhnya diserahkan kepada pembeli sehingga petani hanya tinggal mendapatkan uang hasil panen. Sub sistem pengolahan hasil merupakan rangkaian proses yang dilakukan petani hutan rakyat dalam membentuk produk akhir dari hasil hutan rakyat yang kemudian dijual ataupun dipakai sendiri secara langsung. Kenyataannya, petani di Desa Bojonggedang tidak melakukan proses pengolahan hasil untuk dijual. Sub sistem pemasaran merupakan kegiatan penjualan hasil hutan rakyat dari petani hutan rakyat dalam perannya sebagai produsen kepada pembeli (konsumen) baik secara langsung maupun melalui perantara (tengkulak).

4.3.1 Sub sistem produksi

Para petani hutan rakyat di Desa Bojonggedang umumnya menyebut lahan hutan rakyat yang dimilikinya dengan istilah kebun. Sub sistem produksi pengelolaan hutan merupakan tahapan awal sekaligus inti dalam suatu pengelolaan hutan, karena pada tahap inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya pengelolaan hutan rakyat. Kegiatan yang dilakukan dalam sub sistem produksi ini meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, dan pemeliharaan, tanpa ada kegiatan pemanenan oleh petani. Seluruh petani di lokasi penelitian tidak melaksanakan semua tahapan sub sistem produksi, melainkan hanya melaksanakan dua tahapan pokok saja yaitu penanaman dan pemeliharaan, sedangkan tahapan pemanenan dilakukan oleh tengkulak karena alasan kemudahan. Kegiatan pemanenan kayu dilakukan langsung oleh para tengkulak atau umumnya disebut bandar atau pengobeng dengan sistem borongan per jumlah pohon.

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani, tidak ditemukan aturan maupun kebiasaan adat khusus daerah sekitar yang diterapkan oleh petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Sebagian petani hutan rakyat dalam mengelola lahan

miliknya, melakukannya secara pribadi tanpa bantuan dan sebagian lagi dengan bantuan buruh tani. Luas lahan yang dimiliki petani beragam, begitu pula dengan jarak lahan hutan rakyat dengan tempat tinggal sehingga penyebaran lokasi hutan rakyat di lokasi penelitian tidak merata. Lahan yang luas dan lokasi yang relatif jauh dari tempat tinggal menjadikan beberapa petani memilih menggunakan jasa orang lain dalam mengelola lahan miliknya.

Anggota keluarga yang mengelola lahan umumnya hanya sebatas orang tua saja, sedangkan anak-anak jarang sekali dilibatkan dalam pengelolaan hutan rakyat, salah satu penyebabnya adalah minimnya kemampuan teknis terkait pengelolaan hutan rakyat yang diturunkan atau diajarkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Generasi muda umumnya lebih memilih untuk bekerja sebagai pekerja pabrik maupun membuka bengkel dengan modal keterampilan selama mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam rangkaian proses pengelolaan hutan adalah persiapan lahan, pada kegiatan persiapan lahan, petani melakukan pembersihan lahan yang akan ditanami dan pembuatan lubang tanam. Pembersihan lahan yang dilakukan petani adalah pembersihan atau penyiangan atas gulma yang tumbuh di lahan yang akan ditanami. Dalam proses pembersihan lahan ini, beberapa petani menyewa orang lain untuk melakukan pembersihan lahan namun ada pula yang langsung melakukannya sendiri jika jarak kebun dan rumahnya tidak terlalu jauh dan lahan yang harus dibersihkan tidak terlalu luas. Persiapan lahan ini umumnya diakhiri dengan pembuatan lubang tanam. Jarak lubang tanam bervariasi antar petani, namun ada pula petani yang tidak menentukan jarak tanam sehingga penanamannya hanya berdasarkan posisi lahan kosong yang ada di kebunnya saja. Dari petani yang diteliti, 6,67% petani tidak menentukan berapa jarak antar lubang tanam, sedangkan selebihnya bervariasi dalam menentukan jarak tanam mulai dari 1 m x 1 m sampai 5 m x 5 m, jarak tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah 3 m x 3 m.

Ketersediaan bibit maupun akses petani dalam mendapatkan bibit merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Pengadaan bibit yang dilakukan petani umumnya dengan cara membeli dari pedagang keliling. Dari petani yang diteliti, 83% memperoleh bibit dengan cara

membeli (Gambar 5), menurut petani cara ini lebih mudah dilakukan karena petani tidak perlu mempersiapkan persemaian melainkan hanya tinggal membayar bibit yang harganya berkisar antara Rp 1.000,- sampai Rp 1.500,- per bibit sengon (Paraserianthes falcataria) tergantung kondisi dan tinggi bibit. Diantara petani ada pula yang memiliki persemaian pribadi dengan skala kecil, bibit di persemaian tersebut diperoleh dari mengumpulkan bibit yang tumbuh alami di kebun. Petani dengan luasan lahan yang relatif kecil mengandalkan bibit yang tumbuh alami di kebunnya untuk dirawat hingga mencapai masa siap tebang, atau dengan cara memindahkan bibit yang masih kecil ke tempat yang lahannya masih terbuka. Petani hutan rakyat di Desa Bojonggedang dapat dengan mudah memperoleh bibit untuk kebutuhan penanaman di lahan yang dimilikinya, khususnya bibit sengon. Petani yang ingin membeli bibit dapat membeli dari pedagang yang setiap pekan berkeliling dengan kendaraan bak terbuka menjual bibit sengon. Artinya akses petani dalam memperoleh bibit sengon di Desa Bojonggedang sangat tinggi, penjual bibit tersebut bahkan menjangkau daerah- daerah dalam selama masih memungkinkan dilewati oleh mobil.

Gambar 5 Grafik sumber pengadaan bibit oleh petani.

Berdasarkan petani yang diteliti, pola tanam yang diterapkan adalah pola tanam monokultur dan agroforestri. Seperti yang dipaparkan oleh Lembaga Penelitian IPB (1990) bahwa hutan rakyat monokultur adalah hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu, dan hutan rakyat agroforestri adalah hutan rakyat yang memiliki bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya. Mayoritas petani menanam satu jenis pohon kayu yaitu sengon dengan diselingi bermacam-macam tanaman non kayu seperti terlihat pada

Gambar 6. Beberapa petani memiliki pohon mahoni (Swietenia macrophylla) di kebun mereka, tegakan mahoni yang ada di kebun mereka umumnya tidak sengaja ditanam melainkan adalah pohon yang tumbuh alami sejak bertahun-tahun silam sehingga tegakan mahoni yang ada di kebun petani sebagian telah berumur lebih dari sepuluh tahun. Sebagian petani yang menanam mahoni bertujuan menggunakan tegakan mahoni sebagai penanda batas kebun petani yang satu dengan kebun petani yang lain, contohnya dapat dilihat pada Gambar 7. Kondisi pola tanam monokuktur yang diterapkan petani, memiliki kelemahan yang cukup mengkhawatirkan. Kelemahan tegakan kayu yang hanya satu jenis diantaranya adalah sangat mudah rusak karena terserang hama dan penyakit, seperti kondisi di Desa Bojonggedang dimana tegakan sengon sebagian rusak karena diserang hama dan penyakit sengon. Penyebaran hama dan penyakit tersebut relatif cepat dimana hanya dalam tempo beberapa bulan, seluruh tegakan sengon dalam suatu kebun dapat terjangkit hama dan penyakit yang sama. Untuk pola tanam agroforestri, tanaman lain selain tanaman kayu yang ditanam petani dalam satu lahan kebunnya antara lain kelapa, coklat, pisang, kapulaga, dan tanaman sayur sayuran, diantaranya dapat dilihat pada Gambar 8. Tanaman tersebut dapat memberikan penghasilan tambahan kepada petani dalam periode bulanan, serta dapat menjadi tambahan lauk untuk dimakan sehari hari.

Gambar 7 Tegakan mahoni sebagai pembatas kebun.

Gambar 8 Contoh tanaman pertanian pada hutan rakyat, kakao dan kapulaga (kiri) dan kelapa (kanan).

Petani melakukan upaya pemeliharaan tanamannya berdasarkan anjuran dari penyuluh kehutanan. Metode pemeliharaan yang dilakukan masing-masing petani bervariasi dan pengetahuan tersebut diperoleh dari penyuluh kehutanan maupun diskusi dengan sesama petani hutan rakyat di desa. Kegiatan yang

dilakukan adalah pemupukan, penyiangan, pendangiran, penyulaman,

pemangkasan cabang, penjarangan, serta pemberantasan hama dan penyakit. Beberapa kegiatan pemeliharaan tersebut umumnya dilakukan hanya pada saat bibit pohon masih berumur relatif muda dan tidak terlalu tinggi, tidak ada umur pasti sampai kapan kegiatan pemeliharaan masih dilakukan. Ketika pohon sudah tumbuh besar beberapa kegiatan pemeliharaan sudah tidak lagi dilakukan dan pohon dibiarkan tumbuh sendiri.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan saat bibit masih kecil adalah pemupukan, pendangiran, dan penyiangan. Ketiga kegiatan pemeliharaan tersebut sudah tidak dilakukan lagi ketika bibit sudah tumbuh relatif besar. Pupuk yang digunakan oleh petani mayoritas adalah pupuk kandang yang mudah diperoleh karena beberapa petani memiliki hewan ternak seperti kambing dan ayam sehingga tidak perlu membeli pupuk. Pupuk kandang berupa kotoran ternak ini juga mudah diperoleh bagi petani yang tidak memiliki ternak karena dapat membeli dari peternak kambing maupun ayam dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan harga pupuk kimia. Sebagian petani juga menggunakan campuran pupuk kandang dan pupuk kimia yaitu NPK, namun penggunaan pupuk kandang yang komposisinya lebih banyak, hal ini dikarenakan faktor dana yang memang tidak banyak dialokasikan untuk membeli pupuk oleh sebagian besar petani. Sebagian besar petani menyewa tenaga kerja untuk melakukan proses penyiangan dan pendangiran ini, dalam satu hari upah yang dibayarkan untuk setiap Hari Orang Kerja (HOK) sebesar Rp 20.000,- dengan tambahan makan siang. Sedangkan jika tanpa makan siang upah yang dibayarkan sebesar Rp 25.000,-. Hitungan HOK yang digunakan adalah lima jam per HOK. Namun petani menyewa tenaga kerja hanya saat tertentu saja ketika petani berhalangan, hal ini terkait dengan keterbatasan dana yang mereka miliki. Kegiatan pendangiran dan penyiangan hanya dilakukan petani sesekali saja bergantung pada kondisi tanah di sekitar bibit dan gulma yang tumbuh. Ketika gulma yang tumbuh tidak disiangi, maka pertumbuhan bibit akan terhambat karena akan ada persaingan penyerapan hara dalam tanah antara bibit dengan gulma.

Pemangkasan cabang dilakukan oleh mayoritas petani yaitu sebanyak 76,67% dari total petani yang diteliti. Kegiatan pemangkasan cabang ini diperlukan demi memperoleh kualitas kayu yang baik, karena pohon dengan sedikit percabangan akan menyebabkan pohon tersebut tumbuh lurus dengan sedikit mata kayu sehingga tinggi bebas cabang pohon akan semakin optimal dan kualitas kayu yang dihasilkan pun semakin tinggi. Semakin lurus pohon dan semakin minim mata kayunya, maka kualitas kayu yang dihasilkan akan semakin baik. Namun ada beberapa pendapat yang berkembang diantara petani hutan rakyat bahwa semakin banyak cabang pada pohon, maka pohon tersebut akan

tumbuh semakin besar, sehingga pemangkasan cabang justru sengaja tidak dilakukan dengan anggapan agar batang pohon yang ditanam semakin besar.

Bibit-bibit pohon yang ditanam tidak seluruhnya berhasil tumbuh dengan baik, peneliti tidak memperoleh informasi terkait data kuantitatif persentase hidup bibit yang ditanam oleh petani karena tidak pernah ada petani yang melakukan pendataan secara pasti terkait bibit yang tumbuh dan bibit yang mati. Namun berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar petani mengaku banyak bibit yang ditanam mengalami kematian meskipun jumlah bibit yang mati tidak melebihi setengah dari jumlah bibit yang ditanam. Dengan kata lain persentase hidup bibit yang ditanam petani umumya lebih dari 50%. Petani tetap melakukan penyulaman pada tempat dimana bibit sebelumnya mati atau pada lahan yang masih kosong, dikarenakan tidak seluruh bibit yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Dengan melakukan penyulaman, maka petani telah mengoptimalkan lahan yang ada untuk tempat tumbuh pohon sehingga produktivitas lahan tersebut menjadi tinggi. Sebagian besar petani tidak melakukan penyimpanan bibit khusus untuk bibit yang akan digunakan untuk penyulaman, karena ketika butuh bibit untuk penyulaman maka petani akan langsung membeli dari penjual bibit keliling. Petani yang memilih tidak melakukan penyulaman dikarenakan mereka mengandalkan bibit alami yang telah ada di kebun yang dirasa sudah cukup banyak untuk tetap tumbuh dan menggantikan bibit yang mati.

Petani yang melakukan penjarangan sebanyak 50% dari total petani. Kegiatan penjarangan merupakan upaya seleksi terhadap pohon yang pertumbuhannya bagus (sehat) dengan tetap mempertahankannya dan menebang pohon-pohon yang pertumbuhannya kurang bagus (terhambat) atau terkena hama dan penyakit. Tujuan dari dilakukannya penjarangan antara lain memacu pertumbuhan tegakan, meningkatkan kualitas tegakan, dan meningkatkan ketahanan terhadap stres lingkungan. Namun demikian, kegiatan penjarangan yang dilakukan petani tidaklah sepenuhnya untuk tujuan seperti itu. beberapa petani melakukan penjarangan karena didesak kebutuhan ekonomi yang mengharuskan mereka menjual pohon di kebun yang dirasa bagus pertumbuhannya dan sudah siap tebang, sehingga memberikan ruang bagi bibit- bibit yang baru tumbuh. Sebagian petani memilih tidak melakukan penjarangan

pada kebunnya walaupun beberapa kondisi pohon pertumbuhannya buruk. Persepsi ini berhubungan dengan sistem penjualan kayu yang dilakukan petani, yaitu penjualan dilakukan berdasarkan banyaknya jumlah pohon (sistem borongan) sehingga bagi petani semakin banyak jumlah pohon maka penghasilan saat panen akan semakin besar. Dalam hal ini persepsi dan pemahaman petani dalam kegiatan penjarangan masih beragam khususnya terkait tujuan dari dilakukannya penjarangan.

Berdasarkan wawancara dengan penyuluh kehutanan di lokasi penelitian, hama yang umum ditemukan pada tegakan sengon di lokasi penelitian adalah ulat kantung dan hama busuk akar (uret). Petani menggunakan obat furadan untuk mengendalikan hama tersebut meskipun tidak seluruh petani menggunakannya karena terkendala faktor dana. Pestisida untuk mengendalikan hama ulat dapat dibeli di toko penjual alat pertanian, hal ini memudahkan petani dalam mengendalikan hama yang menyerang sengon miliknya. Penyakit yang menyerang sengon dan belum diketahui obatnya oleh petani adalah karat puru, seperti terlihat pada Gambar 9. Penyakit ini menyerang tanaman sengon berapapun umurnya, sengon yang terkena penyakit ini batang atau cabangnya muncul benjolan-benjolan yang akhirnya membusuk dan mematikan sengon tersebut. Pengendalian penyakit tersebut dengan cara memangkas cabang yang muncul benjolan agar tidak meluas ke bagian lain maupun menular ke pohon lain, sedangkan benjolan yang muncul di batang utama pohon, petani tidak punya pilihan lain selain menebang pohon tersebut.

Gambar 9 Penyakit karat puru pada sengon.

Petani di Desa Bojonggedang tidak melakukan penebangan langsung, seluruh petani menyerahkan proses pemanenan sampai pengangkutan kepada

tengkulak atau pihak pabrik penggergajian. Lokasi penggergajian kayu, relatif dekat dengan tempat tinggal petani, kayu hasil tebangan dikumpulkan di lokasi tersebut seperti dapat dilihat pada Gambar 10, untuk selanjutnya dilakukan proses penggergajian. Sistem yang digunakan adalah sistem borongan, yaitu penjualan kayu berdasarkan jumlah tegakan dan taksiran besar pohon berdiri, bukan berdasarkan kubikasi, namun tetap ada beberapa petani yang menjual kayu miliknya dengan sistem kubikasi. Posisi pohon yang ditebang dipilih secara acak dengan mempertimbangkan besar kecil pohon, sehingga tidak ada petak tebang khusus yang direncanakan akan ditebang pohonnya. Metode yang dilakukan dalam proses penjualan kayu berbeda-beda, sebagian petani melakukan transaksi dengan tengkulak hanya menyebutkan berapa uang yang dibutuhkan dan tengkulak yang akan menentukan jumlah pohon yang ditebang. Hal ini terkait dengan desakan kebutuhan ekonomi, masyarakat di lokasi penelitian mengibaratkan bahwa memiliki tegakan sengon sama dengan memiliki emas dimana ketika ada kebutuhan mendesak sengon tersebut dapat langsung dijual dan masyarakat dapat langsung memperoleh uangnya. Artinya akses masyarakat terhadap pasar sangat tinggi dan hal ini membantu berkembangnya aktivitas pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian.

Gambar 10 Kondisi log di lokasi penggergajian kayu Desa Bojonggedang. Motivasi utama petani dalam menjual kayu adalah konsumtif untuk kebutuhan hidup yang mendesak, dalam kondisi dimana petani membutuhkan kayu untuk membangun rumah, maka pohon miliknya akan ditebang sendiri dengan menyewa chain saw milik pabrik penggergajian kayu atau tengkulak.

4.3.2 Sub sistem pengolahan hasil

Petani yang melakukan pengolahan hasil kayu dari pohon sengon yang telah ditebang, memanfaatkan kayu tersebut untuk keperluan pembangunan rumah ataupun kandang ternak serta keperluan lain yang memerlukan bahan baku kayu sehingga petani tidak perlu membeli kayu dari luar. Petani melakukan kegiatan pengolahan hasil dengan tujuan menggunakan hasil tersebut untuk kepentingan penggunaan pribadi dan tidak dijual. Hasil kebun yang dijual dan diuangkan oleh petani tidak dalam bentuk kayu olahan, melainkan langsung dari tegakan di kebun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Kayu untuk dijual, pemanenannya diserahkan kepada pembeli langsung sehingga tidak ada kegiatan pengolahan hasil oleh petani sebelum dijual, begitu pula untuk hasil kebun selain kayu. Akses masyarakat ke pasar penjualan kayu dalam bentuk log jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan akses ke pasar kayu olahan, hal ini menyebabkan petani lebih memilih kemudahan dalam memasarkan hasil kebunnya tanpa perlu melakukan pengolahan terlebih dahulu.

4.3.3 Sub sistem pemasaran hasil

Hasil kayu dari hutan rakyat di lokasi penelitian dipasarkan langsung dalam bentuk tegakan saat masih berada di kebun. Dengan kemudahan akses mereka terhadap pasar penjualan kayu, petani tidak ingin direpotkan dengan mengurusi penebangan pohon yang akan menambah biaya dan tenaga, serta melakukan pengukuran kubikasi pohon. Petani tidak perlu lagi melakukan tahapan kegiatan pemanenan dikarenakan oleh kemudahan proses penjualan yang ditawarkan tengkulak atau pembeli kayu. Proses pemasaran atau penjualan kayu oleh petani, tidak melalui tahapan yang panjang seperti penebangan, pembagian batang, pengangkutan kayu, sampai penjualan ke pabrik gergajian. Seluruh proses pemanenan dan pengeluaran kayu dari kebun menuju pasar dilakukan oleh pembeli. Dengan kata lain, proses pemasaran yang dilakukan petani hanya sebatas tawar menawar harga dengan calon pembeli sampai terjadi kesepakatan penjualan kayu dari tegakan yang masih ada di kebun. Harga kayu sengon jika dijual dalam

Dokumen terkait