• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Keanekaragaman Jenis

Konsep keanekaragaman merupakan perbedaan populasi serta penyebaran populasinya seluruh individu dalam satu areal. Dalam populasi tersebut keanekaragaman jenis ditentukan berdasarkan kerapatan, frekuensi dan dominansi. Penyebaran pada tempat yang baru ini akan membentuk populasi yang nantinya akan kembali menempati, beradaptasi, dan membentuk keseimbangan baru. Karena penyebaran yang berskala besar maka akan terjadi keterbatasan daya dukung lingkungan, termasuk didalamnya berupa keterbatasan ketersediaan sumberdaya makanan, ruang, dan lain-lain sehingga menyebabkan setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya. Data kerapatan Relatif (%) spesies palmae dan bambu berdasarkan jumlah jenis di 2 ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kerapatan Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat No. Nama Ilmiah

(Scientific Name) Ketinggian tempat (mdpl) 1300 1400 Jlh Spesies KR (%) Jlh Spesies KR (%)

1. Arenga Pinnata Merr. 54 8,12 48 42,85

2. Dendrocalamus asper Backer 42 6,31 22 19,64

3. Bambusa vulgaris Schrad. 6 0,90 0 0

4. Khortalasia echinometra Becc. 90 13,53 27 24,10

5. Calamus javensis Blume 3 0,45 3 2,67

6. Calamus scipionum Loureiro 230 34,58 8 7,142

7. Calamus ornatus Blume 42 6,31 0 0

8. Calamus manan Miquel 165 24,8 4 3,57

9. Salacca zalacca Gaertn. 33 4,96 0 0

Total 665 100 112 100

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kerapatan relatif (KR) tertinggi adalah hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) yaitu 34,58 ditemui pada 59 plot pada ketinggian 1300 mdpl dan bagot (Arenga pinnata Merr.) yaitu 42,85 ditemui pada 29 plot pada ketinggian 1400 mdpl.

Total keseluruhan jumlah palmae dan bambu sebesar 665 individu/ha pada ketinggian 1300 mdpl dan 112 individu/ha pada ketinggian 1400 mdpl. Total keseluruhan jenis palmae dan bambu paling melimpah terdapat pada ketinggian 1300 mdpl. Menurut Witono et al., (2000), sebagian besar kelompok palmae tumbuh subur terutama di atas ketinggian 1200 mdpl, tumbuh baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan tanah datar, tanah berbukit, dan berlereng terjal. Sementara menurut Sutiyono et al., (1992) bambu tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi 100 - 2200 mdpl. Walaupun demikian, tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik di tempat yang tinggi. Hal ini dibuktikan pada ketinggian 1400 mdpl tidak ditemukan jenis

Bambusa vulgaris Schrad. Pada tempat-tempat yang lembab dan memiliki kondisi curah hujan yang tinggi dapat mencapai pertumbuhan terbaik untuk tanaman bambu, seperti di tepi sungai, di tebing-tebing yang curam.

Calamus manan banyak ditemukan di areal perbukitan, tingkat semai ditemukan melimpah di hutan perbukitan. Namun ada beberapa spesies yang memang mempunyai habitat tertentu misalnya Salacca, jenis ini hanya hanya dijumpai pada daerah yang datar yang terdapat pada areal lembab. Menurut Witono et al., (2000), palmae dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit, dan tanah berlereng terjal.

Calamus ornatus Blume dan Salacca zalacca Gaertn. juga tidak ditemukan pada ketinggian 1400 mdpl. Hal ini sesuai pernyataan Jasni et al.,

(2012) yang menyatakan bahwa Calamus ornatus BIume tidak dijumpai di tanah puncak bukit yang tidak subur dan biasanya ditemukan soliter secara alam dihutan sekunder tua atau primer sampai 1000 m. Tempat tumbuh rotan pada umumnya di daerah tanah berawa, tanah kering, hingga tanah pegunungan. Tingkat ketinggian tempat untuk tanaman rotan dapat mencapai 2900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Semakin tinggi tempat tumbuh semakin jarang dijumpai jenis rotan. Rotan juga semakin sedikit di daerah yang berbatu kapur.Sementara untuk Salacca zalacca Gaertn. menurut BPP Iptek (2010) dikatakan bahwa tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 mdpl dan untuk pertumbuhannya membutuhkan kelembaban tinggi.

Rendahnya jumlah spesies palmae ini diduga faktor lingkungan seperti tanah, topografi, dan unsur lainnya sebagai habitat, pola sebaran dan bentuk hidupnya. Hal ini diyakini karena posisi petak cuplikan pada ketinggian 1400 mdpl adalah petak yang terletak di lereng yang terjal, tipe tanah podsolik dengan lapisan atas (top soil) cukup tebal sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan perakaran dan pertumbuhan spesies palmae.

Data Frekuensi Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat No. Nama Ilmiah (Scientific Name) Frekuensi Relatif (%) Ketinggian tempat (mdpl) 1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 13,26 49,14

2. Dendrocalamus asper Backer 11,22 18,63

3. Bambusa vulgaris Schrad. 1,52 0

4. Khortalasia echinometra Becc. 11,22 13,55

5. Calamus javensis Blume 1,01 3,38

6. Calamus scipionum Loureiro 30,100 10,16

7. Calamus ornatus Blume 6,12 0

8. Calamus manan Miquel 18,36 5,07

9. Salacca zalacca Gaertn. 7,13 0

Frekuensi relatif (FR) berdasarkan Tabel 6 diperoleh yang tertinggi juga ditempati oleh Calamus scipionum Loureiro pada ketinggian 1300 mdpl sebanyak 30,10 dan Arenga Pinnata Merr. pada ketinggian 1400 mdpl sebanyak 49,14 dimana tingkat penyebaran kedua jenis ini lebih luas dibandingkan jenis yang lain. Frekuensi relatif terendah ditemukan pada jenis Calamus javensis Blume dimana jumlah individu dan tingkat penyebarannya lebih rendah dibandingkan jenis lainnya.

Data Indeks Nilai Penting (%) masing-masing spesies palmae di 2 ketinggian tempat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks Nilai Penting (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat

No.

Nama Ilmiah (Scientific Name)

Indeks Nilai Penting Ketinggian tempat (mdpl)

1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 21,38 92,00

2. Dendrocalamus asper Backer 17,53 38,27

3. Bambusa vulgaris Schrad. 2,42 0

4. Khortalasia echinometra Becc. 24,75 37,66

5. Calamus javensis Blume 1,46 6,06

6. Calamus scipionum Loureiro 64,68 17,30

7. Calamus ornatus Blume 12,43 0

8. Calamus manan Miquel 43,17 8,64

9. Salacca zalacca Gaertn. 12,09 0

Total 200 200

Indeks nilai penting terbesar berdasarkan Tabel 7 dimiliki oleh jenis

Calamus scipionum Loureiro dengan nilai sebesar 64,68 pada ketinggian 1300 mdpl dan Arenga Pinnata Merr. sebesar 92,00 pada ketinggian 1400 mdpl. Sedangkan nilai yang terendah dimiliki oleh jenis Calamus javensis Blume pada ketinggian 1300 mdpl dan 1400 mdpl dengan nilai 1,46 dan 6,06. Tingginya nilai penting pada jenis ini dipengaruhi oleh rendahnya keberadaan jenis-jenis palmae dan bambu lainnya dan tingginya kerapatan relatif jenis ini dilokasi penelitian, sehingga Calamus scipionum Loureiro menjadi jenis yang dominan dan

mempunyai peranan yang penting dalam komunitas. Variasi tersebut menunjukkan bahwa setiap spesies memiliki kelimpahan yang bervariasi. Indeks nilai penting diperoleh dari Kerapatan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR).

Data Indeks Keanekaragaman (H') spesies palmae di 2 ketinggian tempat di Kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Indeks Keanekaragaman (H') spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat No. Nama Ilmiah (Scientific Name) Indeks Keanekaragaman (H') Ketinggian tempat (mdpl) 1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 0,23 0,35

2. Dendrocalamus asper Backer 0,21 0,31

3. Bambusa vulgaris Schrad. 0,05 0

4. Khortalasia echinometra Becc. 0,25 0,31

5. Calamus javensis Blume 0,03 0,10

6. Calamus scipionum Loureiro 0,36 0,21

7. Calamus ornatus Blume 0,17 0

8. Calamus manan Miquel 0,33 0,13

9. Salacca zalacca Gaertn. 0,16 0

Total 1,83 1,44

Indeks keanekaragaman spesies (H') palmae pada ketinggian 1300-1400 mdpl secara keseluruhan hanya mencapai 1,83 % pada ketinggian 1300 mdpl dan 1,44 % pada ketinggian 1400 mdpl. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 8 tersebut diketahui bahwa palmae pada ketinggian ini memiliki tingkat keanekaragaman sedang. Kriteria indeks keragaman spesies menurut Mason (1980) jika H'<1 keanekaragaman tergolong rendah, H' 1-3 keanekaragaman tergolong sedang, H'>3 keanekaragaman tergolong tinggi. Berdasarkan kisaran nilai tersebut maka nilai indeks keanekaragaman pada ketinggian 1300-1400 mdpl tergolong sedang.

Odum (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragamannya, sebaliknya bila nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis. Keanekaragaman jenis juga dipengaruhi oleh pembagian penyebaran individu dalam tiap jenisnya, tetapi bila penyebaran individu tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Menurut Smith (1992) dalam Yahman (2009) keanekaragaman jenis di dalam dan di antara berbagai komunitas melibatkan tiga komponen yaitu ruang, waktu dan makanan.

Dokumen terkait