• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV Tobasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV Tobasa"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN POTENSI HASIL HUTAN NON KAYU KELOMPOK

PALMAE DAN BAMBU BERBASIS SISTEM INFORMASI

GEOGRAFIS (SIG) DI KECAMATAN LUMBAN JULU

KPHL MODEL UNIT XIV TOBASA

SKRIPSI

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA 111201083 / MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PEMETAAN POTENSI HASIL HUTAN NON KAYU KELOMPOK

PALMAE DAN BAMBU BERBASIS SISTEM INFORMASI

GEOGRAFIS (SIG) DI KECAMATAN LUMBAN JULU

KPHL MODEL UNIT XIV TOBASA

SKRIPSI

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA 111101083 / MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Peneletian : Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV Tobasa

Nama : Tarida Olivia A Hutapea

NIM : 111201083

Program Studi : Kehutanan

Minat : Manajemen Hutan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D Irawati Azhar, S.Hut, M.Si. Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA: Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV Tobasa. Dibawah bimbingan RAHMAWATY dan IRAWATI.

Palmae tergolong famili Arecaceae pada umumnya berupa pohon atau semak. Sementara bambu merupakan famili Poaceae jenis rumput-rumputan yang tumbuh berumpun dan beruas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan sebaran HHNK kelompok palmae dan bambu beserta potensi tegakannya dalam pemanfaatan HHNK oleh masyarakat. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2015. Metode yang digunakan adalah systematic sampling with ramdom start dengan intensitas sampling 0,5% kemudian menggunakan software ArcView GIS 3.3. Hasil eksplorasi dan identifikasi spesies-spesies palmae dengan luas plot contoh 19 ha atau 475 plot terdapat 777 batang palmae dan bambu yang terdiri dari 4 sub famili dengan 6. Dijumpai sebanyak 9 spesies palmae berdasarkan nama lokal, 8 spesies tumbuh berumpun dan 1 spesies tumbuh tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies yang paling dominan persebarannya adalah hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) pada ketinggian 1300 mdpl dan bagot (Arenga pinnata) pada ketinggian 1400 mdpl dengan INP = 64,68 %; dan INP = 92 %. Nilai indeks keanekaragaman spesies tertinggi dan terendah terdapat pada ketinggian 1300 mdpl (0,3672) dengan 230 jumlah individu dan nilai terendah (0,0243) dengan 3 jumlah individu.

(5)

ABSTRACT

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA: Mapping Potential of Non Timber Forest Products Group Palmae and Bamboo Based System Information Geographic (SIG) in the KPHL Model Unit XIV, Lumban Julu District, Tobasa. Supervised By

RAHMAWATY and IRAWATI AZHAR.

Belonging to the family Arecaceae generally Palmae is in the form of trees or shrubs. While bamboo is a family Poaceae types of grasses that grow clump and segmented. The purpose of this study was to identify and map the distribution of HHNK group palmae and bamboo along with its standing in the utilization of the potential of HHNK by the community. This study was conducted from March to May 2015. The method used is systematic sampling with ramdom start with 0.5% of sampling intensity then using software ArcView GIS 3.3. Exploration results and the identification of palmae spesies from 19 Ha of sample plots or 475 plots contained 777 palmae rod and bamboo consisting of 4 sub-families and 9 species. Based on vernacular name, 8 clumped species was found and 1 solitaire was found. The results showed that the most dominant species spreading is Hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) at an altitude of 1300 mdpl and Bagot (Arenga pinnata) at 1400 mdpl with INP = 64.68%; and INP = 92%. The highest species diversity index value and the lowest at an altitude of 1300 mdpl (0.3672) to 230 the number of individuals and the lowest value is (0.0243) with 3 number of with individuals.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 15 Mei 1993 dari Ayah Tori Banggas Hutapea (Alm) dan Ibu Idayati Lubis. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri 173551 Laguboti, Sumatera Utara pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Balige, Sumatera Utara pada tahun 2008, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Balige, Sumatera Utara pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua penulis ibu Idayati Lubis beserta abang dan kakak terkasih Pangeran Andrew Hutapea, Christ PM Hutapea, dan Purnama Rimelda Hutapea yang telah memberi dukungan, semangat, dana, beserta doa.

2. Ibu Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D dan ibu Irawati Azhar, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan membimbing penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D selaku Ketua Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara beserta para dosen pengajar. 4. Bapak Harry Panjaitan selaku Kepala Tata Usaha KPHL Model Unit XIV

Tobasa, Bapak Pangaribuan dan Bapak Siregar selaku Polisi Kehutanan dan pembimbing lapangan selama melakukan penelitian.

(8)

6. Evan Kharogi S, Monalia Hutauruk, Ceriati M Simanjuntak, serta rekan-rekan Kehutanan 2011 atas semangat dan bantuannya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Juni 2015

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) ... 5

Palmae ... 7

Morfologi Famili Arecaceae ...11

Bambu ... 7

Morfologi Famili Poaceae ...11

Masyarakat Sekitar Hutan ...13

Sistem Informasi Geografis ...13

Pemantauan Potensi HHBK ...15

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ...16

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...16

Alat dan Bahan ...17

Prosedur Penelitian ...18

Teknik pengumpulan data ...18

Penentuan sampel responden ...19

Teknik pengumpulan sampel ...19

Identifikasi jenis ...21

Analisis data ...21

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Jenis Palmae dan Bambu ...26

Pemetaan Sebaran ...45

Keanekaragaman Jenis ...50

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...57

Saran ...57

DAFTAR PUSTAKA ...58

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Tobasa ... 16

2. Petak Contoh Transek ... 20

3. Bagan Alir Pemetaan Sebaran Vegetasi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu ... 24

4. Persentase Jumlah Jenis Palmae dan Bambu di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Toba Samosir ... 27

5. Aren (Arenga Pinnata Merr.): (a) Perawakan, (b) Buah ... 28

6. Bulu Bolon (Dendrocalamus asper Backer): (a) Batang, (b) Daun ... 30

7. Perawakan Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad.) ... 32

8. Hotang Mallo (Khortalasia echinometra Becc.): (a) Batang, (b) Daun ... 33

9. Rotan Cacing (Calamus javensis Blume): (a) Batang, (b) Daun ... 34

14. Peta Titik Sebaran Palmae dan Bambu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir ... 46

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Spesies Palmae dan Bambu di Kecamatan Lumban Julu Pada

Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa ...26 2. Nama Lokal yang Digunakan Masyarakat di Sekitar Kecamatan

Lumban Julu pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa ...42 3. Jenis Palmae dan Bambu dalam Penggunaan dan Pemanfaatan Oleh

Masyarakat di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa ...43 4. Data Penyebaran Palmae dan Bambu di KPHL Model Unit XIV

Kecamatan Lumban Julu Toba Samosir ...45

5. Kerapatan Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat ...51

6. Frekuensi Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat ...53 7. Indeks Nilai Penting (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian

tempat ...54 8. Indeks Keanekaragaman (H') spesies palmae dan bambu di 2

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Titik Koordinat Palmae di KPHL Model Unit XIV Kecamatan

Lumban Julu Toba Samosir ... 63 2. Kuisioner Penelitian Pemanfaatan Jenis Palmae (Arecaceae) dan

Bambu (Poaceace) di Kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa ... 72 3. Karakteristik Interview Guide di Kawasan KPHL Model Unit XIV,

(14)

ABSTRAK

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA: Pemetaan Potensi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kecamatan Lumban Julu KPHL Model Unit XIV Tobasa. Dibawah bimbingan RAHMAWATY dan IRAWATI.

Palmae tergolong famili Arecaceae pada umumnya berupa pohon atau semak. Sementara bambu merupakan famili Poaceae jenis rumput-rumputan yang tumbuh berumpun dan beruas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memetakan sebaran HHNK kelompok palmae dan bambu beserta potensi tegakannya dalam pemanfaatan HHNK oleh masyarakat. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2015. Metode yang digunakan adalah systematic sampling with ramdom start dengan intensitas sampling 0,5% kemudian menggunakan software ArcView GIS 3.3. Hasil eksplorasi dan identifikasi spesies-spesies palmae dengan luas plot contoh 19 ha atau 475 plot terdapat 777 batang palmae dan bambu yang terdiri dari 4 sub famili dengan 6. Dijumpai sebanyak 9 spesies palmae berdasarkan nama lokal, 8 spesies tumbuh berumpun dan 1 spesies tumbuh tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies yang paling dominan persebarannya adalah hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) pada ketinggian 1300 mdpl dan bagot (Arenga pinnata) pada ketinggian 1400 mdpl dengan INP = 64,68 %; dan INP = 92 %. Nilai indeks keanekaragaman spesies tertinggi dan terendah terdapat pada ketinggian 1300 mdpl (0,3672) dengan 230 jumlah individu dan nilai terendah (0,0243) dengan 3 jumlah individu.

(15)

ABSTRACT

TARIDA OLIVIA A HUTAPEA: Mapping Potential of Non Timber Forest Products Group Palmae and Bamboo Based System Information Geographic (SIG) in the KPHL Model Unit XIV, Lumban Julu District, Tobasa. Supervised By

RAHMAWATY and IRAWATI AZHAR.

Belonging to the family Arecaceae generally Palmae is in the form of trees or shrubs. While bamboo is a family Poaceae types of grasses that grow clump and segmented. The purpose of this study was to identify and map the distribution of HHNK group palmae and bamboo along with its standing in the utilization of the potential of HHNK by the community. This study was conducted from March to May 2015. The method used is systematic sampling with ramdom start with 0.5% of sampling intensity then using software ArcView GIS 3.3. Exploration results and the identification of palmae spesies from 19 Ha of sample plots or 475 plots contained 777 palmae rod and bamboo consisting of 4 sub-families and 9 species. Based on vernacular name, 8 clumped species was found and 1 solitaire was found. The results showed that the most dominant species spreading is Hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) at an altitude of 1300 mdpl and Bagot (Arenga pinnata) at 1400 mdpl with INP = 64.68%; and INP = 92%. The highest species diversity index value and the lowest at an altitude of 1300 mdpl (0.3672) to 230 the number of individuals and the lowest value is (0.0243) with 3 number of with individuals.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) merupakan salah satu hasil hutan yang memiliki keunggulan dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Secara ekonomis HHNK memiliki nilai tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Kementerian Kehutanan (2013) menyebutkan bahwa HHNK yang diproduksi di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2011 terdiri dari getah pinus, getah karet, rotan dll. Diketahui bahwa total produksi HHNK pada tahun 2011 adalah 47.374.250,21 kg dan 185.015 batang. Potensi HHNK di Provinsi Sumatera Utara cukup tinggi antara lain berupa kulit kayu, minyak atsiri, arang, getah-getahan maupun kelompok palmae yang dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya (Sasmuko, 2003).

Pengembangan usaha dan pemanfaatannya HHNK saat ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Baplan dalam

(17)

Jenis-jenis Palmae di Indonesia secara umum dikenal dengan nama palem. Palmae sudah tidak asing lagi bagi masyarakat karena tumbuhan ini mempunyai potensi ekonomi yang tinggi antara lain sebagai sumber makanan, buah-buahan, bahan baku minyak, bahan baku perabot rumah tangga, sumber serat untuk tekstil serta obat-obatan. Namun potensi kelompok palmae belum diketahui manfaatnya secara keseluruhan bagi masyarakat sekitar hutan (Siregar, 2005).

Penelitian ini dilakukan di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Unit XIV Tobasa, Sumatera Utara. KPHL ini terbentuk sejak tahun 2013. Disekitar wilayah KPHL Tobasa terdapat 95 desa dan masyarakat disekitarnya kemungkinan memanfaatkan HHNK di kawasan hutan. Interaksi dengan HHNK di kawasan hutan KPHL Tobasa telah lama dilakukan oleh masyarakat yang berada disekitar wilayah tersebut sebagai pemenuhan kebutuhan keseharian, namun data-data informasi tentang jenis-jenis HHNK yang dimanfaatkan oleh masyarakat belum tersedia.

(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengidentifikasi jenis-jenis HHNK kelompok palmae dan bambu di kawasan hutan Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada KPHL Model Unit XIV, Tobasa.

2. Memetakan sebaran HHNK kelompok palmae dan bambu beserta potensi tegakannya dalam pemanfaatan HHNK oleh masyarakat yang terdapat di kawasan hutan Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada KPHL Model Unit XIV, Tobasa.

Manfaat Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hasil Hutan Non Kayu (HHNK)

Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan juga menghasilkan aneka ragam benda hayati lainnya berupa HHNK antara lain bambu, rotan, buah-buahan, rumput-rumputan, jamur-jamuran, tumbuhan obat, getah-getahan, madu, satwa liar, satwa, serta sumber plasma nuftah. Selain itu hutan juga menghasilkan jasa lingkungan berupa pengatur hidrologis, pembersih udara, jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan serta jasa perburuan (Supriadi 2003).

Secara ekologis HHNK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHNK merupakan bagian dari pohon. Menurut UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, disebutkan bahwa HHNK adalah hasil hutan hayati maupun non-hayati. Menurut FAO (2000) adalah barang (goods) yang dihasilkan benda hayati selain kayu yang berasal dari hutan atau lahan sejenis. HHNK yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi HHBK nabati dan HHBK hewani dan masing-masing kelompok dibagi lagi, seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Hasil hutan non kayu (HHNK) nabati, yaitu meliputi semua hasil non kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman dan yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain:

a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, pinus, kapur barus. b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga.

(20)

d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca.

e. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan.

f. Kelompok palmae dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tohit, dll. g. Kelompok alkaloid antara lain kina.

h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun

2. Hasil hutan non kayu (HHNK) hewani, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari hewan dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:

a. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya). b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat

sutera, lebah madu).

Pemanfaatan HHNK adalah pemanfaatan melalui pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHNK adalah teknologi sederhana sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatan HHNK tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan (Dephut, 2009).

(21)

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dimana pada Pasal 28 menyebutkan tentang pemanfaatan HHNK pada hutan produksi. Selain itu pada PP Nomor 6 Tahun 2007, Pasal 28 tentang upaya optimalisasi HHNK yang didalamnya menyebutkan mengenai Pemungutan HHNK pada Hutan Lindung, Pasal 43 Pemanfaatan HHNK dalam hutan tanaman pada hutan produksi. Serta pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang jenis-jenis HHNK yang menjadi urusan Departemen Kehutanan yang didalamnya terdapat 9 kelompok HHNK serta sedang disusunnya grand strategy pengembangan HHNK tahun 2009 - 2014 (Suharisno, 2008).

Palmae

Tumbuhan Palmae terdiri dari 200 marga dan sekitar 4000 jenis. Famili ini mempunyai penyebaran yang luas yaitu meliputi daerah tropik Asia, Malesia, Australia, Afrika, dan Amerika serta daerah subtropik dan daerah beriklim sedang baik belahan bumi utara maupun belahan bumi selatan. Di kawasan Malesia sendiri, tumbuhan Palmae diperkirakan terdiri dari 52 marga dan lebih dari 900 jenis (Rustiami, 2002).

Palmae merupakan tumbuhan monokotil (berkeping satu) yang berbatang tunggal maupun berumpun. Tinggi batangnya sangat bervariasi dan ada yang mencapai 10 meter. Berdasarkan tinggi batang, kelompok palmae dapat digolongkan sebagai palem yang berupa pohon tinggi lebih dari 100 meter, pohon sedang 2-10 meter maupun semak kerang dari 2 meter. Batang dari jenis palmae ada yang tumbuh tegak ada pula yang merambat pada pohon lain. Familia

(22)

kedalam familia Arecaceae yang tumbuh di Indonesia ini diketahui namanya. Hal ini disebabkan banyak jenis tumbuhan ini tumbuh tersebar di hutan-hutan Indonesia. Berikut ini Sistematika Botani Arecaceae :

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta (Angiospermae) Classis : Liliopsida (Monocotyledoneae) Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

(Van Stenis, 2005).

Aren

Aren (Arenga pinata) adalah salah satu keluarga palmae yang memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi dan dapat tumbuh subur di Indonesia. Tanaman aren dapat tumbuh di segala jenis tanah di Indonesia, dan akan tumbuh subur terutama yang berada di atas ketinggian 1200 mdpl, dengan suhu rata–rata 250 C. Diluar itu, pohon aren masih dapat tumbuh namun kurang optimal dalam berproduksi (Bank Indonesia, 2009). Menurut Burhanuddin (2005) setiap pohon aren berpotensi bisa menghasilkan 10–15 liter air nira tiap harinya, dan proses penampungan ini dapat dilakukan setiap harinya selama tiga bulan, pada pagi dan sore hari. Air nira hasil sadapan ini setelah dikurangi kadar airnya dan menjadi padat inilah yang menjadi gula aren.

Rotan

(23)

bermukim di sekitar hutan. Oleh karena itu, selain menjadi sumber devisa negara, HHNK seperti rotan, daging binatang, madu, damar, gaharu, getah, berbagai macam minyak tumbuhan, bahan obat-obatan, dan lain sebagainya merupakan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Taksiran potensi produksi rotan yang dihasilkan di Provinsi Sumatera Utara mencapai 672.620 ton per tahun. Diantaranya Kabupaten Samosir, Tapanuli Tengah, Langkat dan Mandailing Natal. Luas yang ditumbuhi rotan diperkirakan seluas 482.000 hektar (Dishut Provinsi Sumatera Utara, 2008).

Pengelompokan jenis-jenis rotan lazimnya didasarkan atas persamaan ciri-ciri karakteristik morfologi organ tanaman, yaitu: akar, batang, daun, bunga, buah, dan alat-alat tambahan. Penentuan jenis rotan dapat dilakukan dengan mengamati jumlah batang pada setiap rumpun, sistem perakaran, bentuk dan jenis alat pemanjat, serta bentuk dan perkembangan daun, bunga dan buah (Dransfield, 1974).

Salak

Salak termasuk famili palmae, serumpun dengan kelapa, kelapa sawit, aren (enau), palem, pakis yang bercabang rendah dan tegak. Batangnya hampir tidak kelihatan karena tertutup pelepah daun yang tersusun rapat dan berduri. Dari batang yang berduri itu tumbuh tunas baru yang dapat menjadi anakan atau tunas bunga buah salak dalam jumlah yang banyak (Moch, 2001).

(24)

faktor-faktor yang diinginkannya ini tidak mendukung. Oleh karena itu, usaha untuk medapatkan kebutuhan khususnya ini sulit dalam lingkungan yang tidak sesuai, maka akan terjadi beberapa perubahan morfologi dan fisiologi pada tanaman salak walaupun dalam jenis yang sama dalam lingkungan yang berbeda penampilan salak dapat berbeda pula (TKTM, 2010).

Morfologi Famili Arecaceae

Akar (radix)

Akar Familia Arecaceae adalah akar serabut kaku keras dan cukup besar seperti tambang (Garsinia dan Ira, 2008 ).

Batang (caulis)

Palmae berbatang tunggal dan tingginya bisa mencapai 30 m yang batangnya kokoh ramping. Merupakan tumbuhan monokotil atau berkeping satu yang berbatang tunggal. Tinggi pohon bisa mencapai 30 m yang batangnya kokoh ramping memanjat. Tinggi batanggnya (caulis) sangat beragam dan ada yang mencapai 100 meter. Berdasarkan tinggi batang, famili Arecaceae dapat digolongkan berupa pohon tinggi lebih dari 10 meter, pohon sedang (2-10 meter) maupun kurang dari 2 meter. Batang famili Arecaceae ada yang tumbuh tegak ada pula yang merambat pada pohon lain sebagai liana, bentuk yang seperti ini terutama dari spesies-spesies Hypaena dan Dypsis (Shukla dan Mirsa, 2002).

Daun (folium)

(25)

membentuk tajuk dari batang kokoh yang tidak bercabang, dasar petiole luas, berpelepah dan berserat (Bandini, 1996).

Bunga (flos)

Karangan bunga (tongkol bunga) kerap kali pada ketiak daun (axilaris), kadang-kadang terminal, yang mudah kerapkali keseluruhannya dikelilingi oleh satu seludang daun atau lebih, atau (daun) tangkai dan cabang samping mempunyai seludang kecil. Bunga (flos) duduk pada cabang yang berdaging tebal atau kerapkali tenggelam di dalamnya, berkelamin 1 (unisexualis), jarang berkelamin 2 atau bunga banci (hermaphroditus). Tenda bunga (perigonium) dalam lingkaran dengan jumlah masing-masing 3, bebas atau bersatu dengan yang lain dan umumnya tebal. Benang sari (stamen) 6 sampai 9 buah atau lebih, jarang berjumlah 3 buah, daun buah berjumlah 3, bebas atau bersatu, bakal buah beruang 1 (unilocularis) sampai beruang 3 (trilocularis), tiap ruang 1 bakal biji (ovulum) (Bandini, 1996).

Buah (fructus)

Buah buni (bacca) atau buah batu (drupa), kadang-kadang tiap-tiap daun buah tumbuh terpisah menjadi sebuah yang berbiji 1. Buah berry, drupe atau nut, biji dengan embrio kecil dan endosperm (Uhl and Dransfiel, 1987).

Bambu

(26)

tumbuh (sekitar 3 sampai 4 bulan). Bambu termasuk jenis tanaman yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa jenis bambu mampu tumbuh hingga sepanjang 60 cm dalam sehari. Bambu banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan secara luas karena memiliki batang yang kuat, lentur, lurus dan ringan sehingga mudah diolah untuk berbagai produk. Dalam kehidupan modern, bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun dan dapat digunakan untuk produk-produk dekoratif, alat rumah tangga, bahan bangunan, bahan alat kesenian, dan lain-lain. Bambu juga digunakan dalam upaya konservasi tanah dan air, karena memiliki sistem perakaran yang banyak sehingga menghasilkan rumpun yang rapat dan mampu mencegah erosi tanah (Dahlan, 1994 dalam Widjaja, dkk., 1994).

Di dunia terdapat sekitar 1200-1300 jenis bambu sedangkan menurut data lapangan dan laboratorium bahwa bambu di Indonesia diketahui terdiri atas 143 jenis. Berdasarkan data dapat dipastikan bahwa bambu merupakan sumber daya yang sangat melimpah dan memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Namun, kenyataan yang terjadi adalah tidak semua jenis bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik (Widjaja, 2001).

Morfologi Famili Poaceae

Akar (radix)

(27)

Batang (caulis)

Poaceae adalah tumbuhan perennial dan herba, bentuk seperti pohon tetapi tanpa penebalan sekunder, dinding sel, dan memiliki epidermis kuat. Batang beruas-ruas biasanya silinder dengan ruas kosong (internodus) (Gibson, 2009).

Daun (folium)

Berdaun tunggal dan berpelepah, biasanya daun berbentuk pita (Gibson, 2009).

Bunga (flos)

Famili rumput (Poaceae) adalah famili terbesar keempat tanaman berbunga di dunia dan berjumlah sekitar 11.000 spesies dengan 800 marga. Bunga tak bermahkota. Ciri-ciri yang paling penting dari famili ini adalah biji yaitu kulit biji menyatu dengan dinding buah yang dikenal sebagai kariopsis. Endosperm kaya akan pati, walaupun juga terdiri dari protein dan lipid. Embrio terletak pada bagian basal dari caryopsis dan mengandung lebih banyak protein, lemak, dan vitamin (Peterson dan Soreng, 2007).

Buah (fructus)

Penyerbukan bunga biasanya dengan bantuan angin, dan biasanya biseksual (Gibson, 2009).

Masyarakat Sekitar Hutan

(28)

Menurut Arief (2001) masyarakat hutan adalah penduduk yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang mata pencaharian dan lingkungan hidupnya sebagian besar bergantung pada eksistensi hutan dan kegiatan perhutanan. Dephut (2007) menyatakan bahwa masyarakat hutan umumnya bebas memungut dan memanfaatkan HHNK baik di dalam hutan produksi maupun hutan lindung, kecuali di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Hal itu terjadi karena mengingat pemungutannya tidak memerlukan perizinan yang rumit sebagaimana dalam pemungutan hasil hutan kayu.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis atau Geographic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial. Sistem ini meng-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi GIS mengintegrasikan operasi umum database, seperti query dan analisis statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisis yang unik yang dimiliki oleh pemetaan (Aini, 2007).

(29)

data yang disimpan dan disusun berdasarkan posisi, topology, dan elemen geografi (titik, garis, objek) yang mewakili tempat pada permukaan bumi (3) manipulasi data dan analisis, analisis meliputi pembuatan variabel gabungan yang melalui proses dua kegiatan langsung spatial dan non spatial pada kesatuan sistim (4) output data mempunyai tiga tipe yaitu; hardcopy, softcopy dan elektronik.

Hardcopy adalah tampilan permanen, peta dan tabel. Softcopy digunakan untuk menyediakan interaksi operator untuk meninjau data sebelum final. Hasil analisis dapat ditunjukkan dalam bentuk peta, tabel grafik dalam variasi untuk kesesuaian bagi pengguna (Rahmawaty, 2011).

Penggunaan teknologi berbasis komputer untuk mendukung perencanaan pertanian mutlak diperlukan untuk menganalisis, memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan keruangan. Salah satu teknologi tersebut adalah GIS yang memiliki kemampuan membuat model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual. GIS dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis sebaran vegetasi (Samsuri, 2004).

(30)

lain untuk aplikasi inventarisasi dan monotoring hutan, kebakaran hutan, perencanaan penebangan hutan, rehabilitasi hutan, konservasi DAS dan konservasi keanekaragaman hayati.

Pemantauan Potensi HHNK

Ritung, dkk (2007) meyatakan bahwa kebutuhan teknologi saat ini menggunakan Sistem informasi Geografi (SIG) untuk tujuan identifikasi sebaran, pemantauan dan penilaian sangat penting terutama bila dikaitkan dengan pengumpulan data yang cepat dan akurat. Pemantauan dan penilaian (monitoring

dan evaluasi) potensi merupakan kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi mengenai perkembangan atas potensi dan kekayaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berserta lingkungannya, yang lebih menekankan pada aspek perkembangan dan perubahan yang terjadi. Kegiatan ini umumnya dilakukan setelah ketersediaan data dan informasi dasar (base line data) telah terbangun dan tersedia.

(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Pasar Lumban Julu dan desa Lintong Julu, Kecamatan Lumban Julu pada kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa. Survey lokasi dilaksanakan pada bulan Oktober 2014. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015. Identifikasi jenis dan pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Tobasa

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh dari website KPH, KPHL Model Unit XIV Toba Samosir, terletak pada 98o54’25’’- 99o40’33’’ Bujur Timur dan antara

(32)

2o39’04’’ – 2o0’14’’ Lintang Utara. Luas Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara sesuai SK Menhut No.44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Utara adalah seluas 3.742.120 ha. Kawasan hutan tersebut meliputi :

1. Hutan Konservasi seluas 477.070 ha 2. Hutan Lindung seluas 1.297.330 ha

3. Hutan Produksi Terbatas seluas 879.270 ha 4. Hutan Produksi Tetap seluas 1.035.690 ha

5. Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 52.760 ha

Penetapan KPHL Model Unit XIV Toba Samosir yang terletak di Kabupaten Toba Samosir sesuai SK Menhut No.867/Menhut-II/2013 tanggal 5 Desember 2013 seluas 87.247 Ha, yang terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 75.762 Ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 6.294 Ha, dan hutan produksi (HP) seluas 5.191 Ha. Pada tanggal 24 Juni 2014 Menteri Kehutanan RI mengeluarkan SK Menhut No.579/Menhut-II/2014 mengenai kawasan hutan di Sumatera Utara. Dengan demikian maka luas KPHL Model Unit XIV mengikuti SK terbaru dengan perubahan luas sebesar 56.521 Ha. Kawasan hutan tersebut meliputi :

1. Hutan Lindung seluas 43.412 ha 2. Hutan Produksi seluas 11.243 ha

3. Hutan Produksi Terbatas seluas 1.957 ha 4. Hutan Suaka Alam seluas ± 9 ha

(33)

16,25 % dari total luas KPHL Model Unit XIV, Tobasa dan untuk luas kawasan berhutan sebesar 3761 Ha. Penelitian ini dilakukan di 2 desa dari 30 total desa yang terdapat di Kecamatan Lumban Julu yaitu desa Lintong Julu dan Pasar Lumban Julu. Berdasarkan data yang di dapat dari KPHL, kedua desa tersebut memiliki potensi palmae dan bambu yang cukup tinggi dibandingkan dengan desa-desa lain yang terdapat di Kecamatan Lumban Julu.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Position System

(GPS), parang, perangkat keras (hardware) yaitu PC (Personal Computer), perangkat lunak (software) yaitu ArcView GIS 3.3 dan Departement of Natural Resources (DNR) Garmin, pita meteran, kamera digital, kalkulator, kertas label, kantong plastik dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah Peta Administrasi KPHL Tobasa, buku identifikasi HHNK, dan tally sheet.

Prosedur Penelitian

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

(34)

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).

b. Data Sekunder

Data sekunder yang mendukung penelitian ini diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Sumatera Utara, yaitu Peta Administrasi KPHL Tobasa. Selain itu, data HHNK yang diperoleh dari pengelola KPHL Tobasa serta melalui studi pustaka tentang keberadaan jenis HHNK di Sumatera Utara.

Penentuan Sampel Responden

Penentuan responden dibagi menjadi 2 bagian yaitu responden umum dan responden kunci.

- Responden umum pada penelitian ini adalah masyarakat dikawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa yang mengetahui jenis-jenis palmae dan bambu serta memanfaatkannya.

- Responden kunci adalah kepala kampung, kepala suku, mantri, tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya. Penentuan responden kunci dilakukan dengan menggunakan metode purpossive sampling yang disesuaikan dengan tujuan penelitian melalui wawancara dan kuisioner secara langsung kepada masyarakat.

(35)

Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilapangan dengan menggunakan metode kombinasi metode jalur dan garis berpetak. Metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur - jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau menurun lereng gunung. Cara peletakan unit contohnya menggunakan cara systematic sampling with ramdom start yang berarti penentuan petak awal yang dilakukan dengan cara random (acak), namun penentuan petak-petak berikutnya menggunakan cara sistematis (teratur). Departemen Kehutanan (2007) menyatakan bahwa semua bentuk metode inventarisasi sistematik berjalur dengan intensitas sampling yang lebih tinggi dari 0,5% yang telah dan sedang dilaksanakan dapat diterima sehingga intensitas sampling yang digunakan untuk inventarisasi HHNK kelompok palmae adalah 0,5% dan sudah dianggap mewakili seluruh kawasan penelitian.

(36)

Luas Kecamatan Lumban Julu yang terdapat di KPHL Model Unit XIV untuk kawasan berhutan adalah 3761 Ha sehingga luas plot contoh untuk pengamatan palmae dan bambu sebesar 19 ha atau 475 plot. Start point

berdasarkan peta di jalur 1 terletak pada x (99,03855200), y (2,5949010, jalur 2 terletak pada x (99,05284847), y (2,60227720), dan jalur 3 terletak pada x (99,05732362), y (2,60445361).

Bentuk petak contoh pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Jalur 1 pada desa Lintong Julu

Jalur 2 pada desa Lintong Julu dan Pasar Lumban Julu

Jalur 3 pada desa Lintong Julu

Gambar 2. Petak Contoh Transek

100 m

10 m

10 m

10 m 10 m

10 m

(37)

Identifikasi Jenis

Metode identifikasi jenis diawali dengan pengamatan langsung di lapangan. Palmae diidentifikasi dengan menggunakan nama lokal supaya memudahkan identifikasi selanjutnya. Proses identifikasi jenis HHNK dari lapangan sampai pengklasifikasian adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi jenis dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan.

2. Menanyakan identitas tumbuhan kepada masyarakat sekitar menggunakan

interview guide.

3. Mencocokkan gambar-gambar hasil dokumentasi dengan website yang menyediakan deskripsi tumbuhan yang ditemukan.

4. Setiap jenis yang ditemukan dicocokkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Analisis Data

Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui kerapatan, kerapatan relative, dominansi, dominansi relative, frekuensi dan frekuensi relative serta Indeks Nilai Penting (INP) dengan menggunakan rumus Kusmana (1997) sebagai berikut:

a. Kerapatan suatu jenis (K)

K = ∑ individu suatu jenis

Luas petak contoh

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

KR = K Suatu jenis

(38)

c. Frekuensi suatu jenis (F)

F = ∑Sub−petak ditemukan suatu jenis

∑Seluruh sub−petak

d. Frekuensi relative suatu jenis (FR)

FR = F Suatu jenis

∑F Seluruh jenis x 100%

e. Indeks Nilai Penting (INP)

INP digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas (Kusmana, 1997).

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon) INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang)

f. Indeks Shannon-Wiener

Keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan Indeks Shannon menurut Odum (1971) :

H’ = -∑ (pi) Ln (pi) Keterangan:

H’ = Indeks Keragaman Jenis pi = ni/N

ni = Nilai Penting Jenis ke-i

(39)

Pemetaan Sebaran Palmae

Metode dilapangan dilakukan dengan pengambilan titik plot vegetasi dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui sebaran vegetasi. Pemetaan keanekaragaman vegetasi HHNK dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan software ArcView GIS 3.3.

Pembuatan peta penyebaran HHNK kelompok palmae dilakukan dengan melakukan overlay antara peta dasar kawasan KPHL Tobasa dengan data titik yang diambil di lapangan dengan menggunakan GPS. Proses pengolahan data titik koordinat yang diperoleh dari lapangan adalah sebagai berikut:

1. Dimasukkan atau disambungkan GPS ke laptop hingga muncul di Computer

(Removeable Disk E:).

2. Dibuka aplikasi DNR Garmin → Diklik “file”.

3. Diklik “load form” → fileMy Computer, dibuka folder → Pilih folder

Garmin → folder “GPX”.

4. Diganti “text file” menjadi format “GPS”. 5. Didouble klik titik pengambilan koordinat.

6. Muncul kotak dialog “Feature Type” → Dipilih “Way Point” → Klik “OK”. 7. Lalu muncul titik-titik dari GPS → Diblok semua.

8. Diklik file → pilih “ Save To” → Klik file → Simpan file ditempat penyimpanan yang dikehendaki.

9. Diganti “Save as Type” menjadi bentuk “shp.unprojected” → Diklik file.

10. Muncul kotak dialog “DNR Garmin” yang menyatakan input data telah berhasil → Klik “OK”.

11. Dibuka jendela ArcView GIS 3.3 → Klik OK. 12. Klik “Yes” pada kotak dialog “Add Data”.

13. Pada kotak “Add Theme” pilih “titik_palmae.shp” → Klik “OK”. 14. Klik “Open Theme Table

(40)

17. Pilih “Delete Multiple Field” pada “XTools”.

18. Klik Comment, Display, Symbol, Unused1, Dist, Prox_index, Colour, Depth, Tempt, Wpt_Class,Sub_Class, Attrib, Link, State, Country, City, Add, Facility, Crossroad, Unused2, Ete, Dtype, Model, Filename→ Klik “OK”.

19. Klik “Yes To All” pada kotak dialog “Delete Confirmation”.

20. Untuk membuat nama/keterangan yang baru, klik “Table”, klik “Start Editing

21. Klik “Edit” → Klik “Add Field”.

22. Diganti kotak “Name” menjadi “Keterangan”, Type” menjadi “String”, “Width” menjadi “100” pada kotak dialog “Field Definition” → Klik “OK”. 23. Setelah diperoleh peta titik koordinat HHNK kelompok palmae, selanjutnya

titik tersebut dioverlaykan dengan peta Administrasi KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, dapat dilihat bagan alir pada Gambar 3.

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Identifikasi Jenis Palmae dan Bambu

Hasil penelitian keragaman jenis palmae dan bambu yang telah dilakukan di Kecamatan Lumban Julu pada kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesies Palmae dan Bambu di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa

2. Graminae Dendrocalamus asper Backer Bulu Bolon 42 22

3. Bambusoideae Bambusa vulgaris Schrad. Bambu Kuning 6 0

4. Lepidocaryhoideae

Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo 90 27

Calamus javensis Blume Hotang Cacing 3 3

Calamus manan Miquel Hotang Manau 230 8

Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi 42 0

Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar 165 4

Salacca zalacca Gaertn. Salak 33 0

Total 665 112

Inventarisasi palmae yang dilakukan di lokasi penelitian diperoleh hasil sebanyak 777 individu palmae dan bambu yang terdiri dari 4 sub famili dengan 6 genus diantaranya adalah Calamus (4 spesies), Arenga (1 spesies), Dendrocalamus (1 spesies), Bambusa (1 spesies), Khortalasia (1 spesies) dan

(42)

Gambar 4. Persentase Jumlah Jenis Palmae dan Bambu di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Toba Samosir

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa persentase jenis yang mendominasi adalah jenis Calamus Scipionum sebesar 31 %. Hal ini disebabkan karena Calamus scipionum Lour. merupakan jenis palmae yang memiliki ukuran yang besar dibanding jenis rotan lain dan penyebarannya merata di Sumatera Utara. Hal ini sesuai pernyataan Kalima (2005) yang menyatakan bahwa perawakan Calamus scipionum Loureiro berumpun, memanjat sampai tinggi mencapai panjang 50 m atau lebih. Persebaran Calamus scipionum Loureiro terdapat di Sumatera dan Kalimantan.

(43)

1. Bagot (Arenga Pinnata Merr.)

(a) (b)

Gambar 5. Aren (Arenga Pinnata Merr.): (a) Perawakan, (b) Buah

Perawakan:Arenga Pinnata merupakan jenis tanaman tahunan, berukuran besar, tinggi hingga 12 m, diameter setinggi dada (DBH) hingga 60 cm. Aren dapat tumbuh mencapai tinggi dengan diameter batang sampai 65 cm dan tinggi 15 m bahkan mencapai 20 m dengan tajuk daun yang menjulang di atas batang.

Batang: memiliki batang yang lurus dan tinggi. Berdasarkan sifat internal dan eksternalnya, tipe batang Arenga pinnata termasuk ke dalam jenis pohon. Menurut Mulyani (2006), struktur umum yang dimiliki pada batang, pada bagian luar terdapat epidermis yang ditutupi oleh bahan lemak alam yang sangat tahan air (kutin). Lapisan kutin disebut dengan kutikula. Pada Arenga pinnata, kutikulanya cukup tebal, bersifat kedap air dan gas (impermeabel).

Daun: palmately atau pinnately membentuk tajuk dari batang kokoh yang tidak bercabang, berpelepah, dan berserat dengan batangnya yang menunjang. Daun

(44)

rimbun. Daun muda selalu berdiri tegak di pucuk batang, daun muda yang masih tergulung lunak seperti kertas. Pelepah daun melebar di bagian pangkal dan menyempit ke arah pucuk. Susunan anak daun pada pelepah seperti duri-duri sirip ikan, sehingga daun aren disebut bersirip. Oleh karena pada ujungnya tidak berpasangan lagi daun aren disebut bersirip ganjil (Ramadani et al., 2008).

Pelepah daun: Pada bagian pangkal pelepah daun diselimuti oleh ijuk yang berwarna hitam kelam. Pada bagian atasnya berkumpul suatu massa yang mirip kapas yang berwarna cokelat, sangat halus dan mudah terbakar.

Bunga: bunga jantan dan betina berpisah, besar, tangkai perbungaan muncul dari batang, panjangnya 1-1,5 m. Bunga berbentuk tandan dengan malai bunga yang menggantung. Bunga tersebut tumbuh pada ketiak-ketiak pelepah atau ruas-ruas batang bekas tempat tumbuh pelepah (Ramadani et al., 2008).

Buah: buah tumbuh bergelantungan pada tandan yang bercabang dengan panjang sekitar 90 cm. Untuk yang pertumbuhannya baik, bisa terdapat 4-5 tandan buah. Buah Arenga pinnata termasuk buah buni, bentuknya bulat, secara rapat berkumpul sepanjang tangkai perbungaan, berwarna hijau, buah masak warna kuning (Ramadani et al., 2008).

(45)

2. Bulu Bolon (Dendrocalamus asper Backer)

(a) (b)

Gambar 6. Bulu Bolon (Dendrocalamus asper Backer): (a) Batang, (b) Daun

Perawakan: berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 3-4 tahun. Dendrocalamus asper tergolong keluarga Graminceae (rumput-rumputan).

Akar Rimpang: terdapat dibawah tanah membentuk sistem percabangan, dimana dari ciri percabangan tersebut dapat dibedakan asal kelompok bambu tersebut. Bagian pangkal akar ripangnya lebih sempit dari pada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjat dan akhirnya menghasilkan buluh (Widjaja, 2001).

(46)

yang disebut dengan pelepah batang. Biasanya pada batang yang sudah tua pelepah batangnya mudah gugur. Pada ujung pelepah batang terdapat perpanjangan tambahan yang berbetuk segi tiga dan disebut subang yang biasanya gugur lebih dulu (Widjaja, 2001).

Rebung: tunas atau batang-batang muda yang baru muncul dari permukaan dasar rumpun dan rhizome disebut rebung. Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang didalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Rebung dapat dibedakan untuk membedakan jenis dari bambu karena menunjukkan ciri khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya hitam, tetapi ada pula yang coklat.

Tipe Pertumbuhan: simpodial (clump type) dan monopodial (running type). Pada tipe simpodial tunas baru keluar dari ujung rimpang. Sistem percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul dan tumbuh membentuk rumpun. Bambu tipe simpodial tersebar di daerah tropik, seperti yang terdapat di Indonesia dan Malaysia. Pada bambu tipe monopodial tunas bambu keluar dari buku-buku rimpang dan tidak membentuk rumpun. Batang dalam satu rumpun menyebar sehingga tampak seperti tegakan pohon yang terpisah-pisah.

(47)

Helai Daun dan Pelepah Daun: mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan sempit. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang mungkin panjang atau pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping pelepah daun dan juga ligula. Kuping pelepah daun umumnya besar tetapi ada juga yang kecil atau tidak tampak. (Widjaja, 2001).

Ekologis: pertumbuhan setiap tanaman tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungannya. Lingkungan yang sesuai dengan tanaman ini adalah yang bersuhu sekitar 8,8-36oC.

3. Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad.)

Gambar 7. Perawakan Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad.)

Perawakan: Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad.) berumpun tegak. Tinggi mencapai 10 - 20 m dan berdiameter 4 - 10 cm.

(48)

dilapisi lilin putih ketika muda dan berangsur-angsur menjadi halus tak berambut dan mengkilap. Selubung rumpun berbentuk segitiga lebar.

Daun: tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung meruncing, tepi rata, dan pangkal membulat. Panjang mencapai 15 – 27 cm, lebar 2 – 3 cm, pertulangan sejajar, hijau.

Bunga: majemuk dan bentuk malai terdapat di batang. Biasanya berwarna ungu kehitaman.

Akar: akarnya serabut. Berwarna putih kotor.

Ekologis: dijumpai tumbuh pada ketinggian 1200 mdpl. Tumbuh baik di daerah dataran rendah dengan kondisi kelembapan udara dan tipe tanah yang luas.

4. Hotang Mallo (Khortalasia echinometra Becc.)

(a) (b)

Gambar 8. Hotang Mallo (Khortalasia echinometra Becc.): (a) Batang, (b) Daun

Perawakan: Korthalsia echinometra Becc. tumbuh secara berumpun, memanjat dan bercabang pada kanopi hutan sampai 30 m tingginya. Tumbuhan bersifat hermaprodit.

(49)

batang dapat mencapai 30 m atau lebih, batang tanpa pelepah berwarna merah tua, pelepah berwarna coklat, berduri dan menggelembung dan sering menjadi sarang semut. Diameter batang berkisar antara 0,8-1,6 m, panjang ruas berkisar antara 12-15cm.

Daun: Panjang daun berkisar antara 1,5-1,8 m, petioles antara 10-15 cm, cirrus 50-70 cm, anak daun berjumlah antara 20-35 helai tiap sisi rakis, berukuran 30-40x2-3cm, bagian bawah berwarna abu-abu, bagian atas berwarna hijau tua.

Pelepah daun: pelepah daun warna hijau mengkilap; ditutupi oleh okrea yang menggelembung atau bentuk tonjolan kasar, berukuran panjang 9 cm dan lebar 6 cm, ditutupi duri warna hitam, rapat dan panjangnya 4-5 cm.

Anak daun: permukaan bawah anak daun berwarna putih seperti kapur, jumlah anak daun 10-36 pasang melekat di kanan-kiri rakis, tersusun menyirip teratur, bentuk anak daun garis atau mendekati lanset, ujung anak daun lancip, anak daun berukuran 25-31 cm x 2-5 cm.

Ekologis: tumbuh pada hutan dataran rendah. Ditemukan pada ketinggian 150 mdpl (Kalima dan Jasni, 2007).

5. Rotan Cacing (Calamus javensis Blume)

(a) (b)

(50)

Perawakan: berumpun, memanjat, tinggi sampai 15 m, diameter batang dengan pelepah sampai 5 mm (tanpa pelepah sampai 3 mm). Panjang ruas sampai 25 cm. Persebaran Calamus javensis Blume di Sumatera, Jawa dan Kalimantan.

Daun: panjang daun sampai 50 cm; pelepah daun hijau muda, ketika muda berwarna hijau kemerahan, berduri segitiga pipih, duri hijau kekuningan, panjang duri 0,3-0,5 cm. Tidak bertangkai daun atau sangat pendek, terdiri atas 5 helaian daun di tiap sisi rakis daun, berbentuk bulat memanjang, tipis, agak keriput, helaian daun paling pangkal biasanya memeluk batang. Panjang flagellum/cemeti sampai 75 cm.

Perbungaan: panjang hingga 1 m terdiri dari 2-5 bagian perbungaan. Biasanya panjang mencapai 20 cm.

Buah: bulat telur sampai bulat, sisik berwarna putih kehijauan pucat. Biji bulat telur sampai bulat, berukuran 12 x 8 mm. Jenis ini juga ditemukan di hutan Berau, Kalimantan Timur (Kalima dan Setyawati, 2003).

6. Hotang Manau (Calamus manan Miquel)

(51)

(c)

Gambar 10. Rotan Manau (Calamus manan Miquel): (a) Batang, (b) Daun Muda, (c) Perawakan

Perawakan: tunggal, memanjat, tinggi sampai 100 m. Diameter batang dengan pelepah sampai 66-80 mm (tanpa pelepah sampai 3-80 mm), panjang ruas 18-35 cm. Persebaran rotan manau (Calamus manan Miquel) terdapat di Sumatera dan Kalimantan (Jasni et al., 2007).

Pelepah daun: berwarna hijau tua, berduri bentuk segitiga, tersusun sangat rapat dalam kelompok-kelompok yang tersebar acak, di antara duri terdapat lapisan lilin tipis yang berlimpah. Berduri tunggal tersusun tersebar.Okrea tidak jelas.

Daun: bersulur sampai sekitar 8,5 m panjangnya (termasuk tangkai 12 cm dan sulur 3 m panjangnya). Helaian anak daun 47 di tiap sisi rakis daun, tersusun menyirip teratur, bentuk anak daun lanset, ukuran anak daun 43-53 x 7,5 cm.

Buah: masak bentuk bulat telur, berukuran 28x20 mm, sisik buah warna kekuningan. Biji bulat telur,berukuran 18x12 mm.

(52)

7. Hotang Sulfi (Calamus ornatus Blume)

(a) (b)

(c)

Gambar 11. Hotang Sulfi (Calamus ornatus Blume): (a) Perawakan, (b) Batang, (c) Daun

Perawakan: memiliki sifat tumbuh merumpun secara masif, memanjat. Tingginya mencapai panjang 50 m atau lebih.

(53)

Daun: panjang daun dapat mencapai 4-5 m. Anak daun berjumlah 20-30 helai tiap sisi rakis, dengan ukuran 50-80 x 5-8 cm.

Buah: berwarna merah, berukuran 3x2 cm, dapat dimakan, berparuh pendek, tertutup dalam 15 baris vertikal sisik cokelat kuning sampai hitam kusam, sedikit lebih muda pada bagian pangkal. Biji elipsoid 2x0,8 cm, agak menyudut dengan alur pada muka samping yang memipih, terbalut dengan sarkotesta masam, endosperma homogen.

Ekologis: ditemukan soliter secara alam dihutan sekunder tua atau primer sampai 1000 m. Tidak dijumpai di rawa gambut atau tanah puncak bukit yang tidak subur (Jasni et al., 2012).

8. Hotang Buar-Buar (Calamus scipionum Loureiro)

(a) (b)

(c) (d)

(54)

Perawakan: memiliki sifat tumbuh merumpun, memanjat sampai tinggi mencapai panjang 50 m atau lebih. Persebaran Calamus scipionum Loureiro di Sumatera dan Kalimantan (Kalima, 2005).

Batang: diameter batang dengan pelepah 35-50 mm (tanpa pelepah 25-30 mm). Ruas panjang, biasanya sampai 50 cm. Buku-buku menonjol dan membengkak pada satu titik, sepanjang 10 mm atau lebih lebih sepanjang kelilingnya, pembengkakan timbul memanjang dari antar buku, jarak antar buku sangat panjang kadang sampai melebihi 1 m. Permukaan batang coklat muda sampai coklat tua di seluruh panjangnya, atau dengan bercak-bercak coklat. Batang rotan ini tidak silindris.

Daun: daunnya berkuncir. Panjangnya mencapai 2 m.

Pelepah daun: berwarna hijau tua, berduri bentuk segitiga, tersusun jarang,

berwarna hijau kekuningan, bagian pangkal berwarna hitam, panjang sampai 5 cm. Panjang flagellum sampai 7 m, berduri hitam. Panjang daun sampai 2 m,

panjang tangkai sampai 30 cm, helaian anak daun 25 di tiap sisi rakis daun, tersusun menyirip teratur, bentuk linier sampai bulat memanjang, bagian ujung anak daun berambut hitam.

Buah: masak berbentuk bulat telur, berukuran 14x9 mm. Berparuh sangat pendek, ditutupi dengan sisik warna hijau kusam sekitar 14-15 berbaris secara vertikal.

(55)

Ekologi: merupakan tanaman yang tumbuh di dataran rendah yang tersebar luas dan terdapat di atas ketinggian 200 m. Tanaman ini menyukai tanah yang lebih baik seperti tanah aluvial. Tanaman ini sering terdapat di hutan sekunder (Dransfield dan Manokaran, 1996).

9. Salak (Salacca zalacca Gaertn.)

(a) (b)

Gambar 13. Salak (Salacca zalacca Gaertn.): (a) Perawakan, (b) Daun

Perawakan: berbentuk perdu atau hampir tidak be

melata dan beranak banyak. Tumbuh menjadi rumpun yang rapat dan kuat.

Batang: menjalar di bawah atau di atas tanah. Membent

bercabang dengan diameter

(56)

Bunga: kebanyakan berumah dua (dioesis), karangan tongkol majemuk yang muncul di ketiak daun, bertangkai, mula-mula tertutup oleh seludang, yang belakangan mengering dan mengurai menjadi serupa serabut. Tongkol bunga jantan 50–100 cm panjangnya, terdiri atas 4-12 bulir masing-masing panjangnya antara 7–15 cm, dengan banyak bunga kemerahan terletak di ketiak sisik-sisik yang tersusun rapat. Tongkol bunga betina 20–30 cm, bertangkai panjang, terdiri atas 1-3 bulir yang panjangnya mencapai 10 cm.

tipe buah berbentuk segitiga agak bulat atau bulat telur terbalik, runcing di pangkalnya dan membulat di ujungnya, panjang 2,5–10 cm, terbungkus oleh sisik-sisik berwarna kuning coklat sampai coklat merah mengkilap yang tersusun seperti masing sisik. Dinding buah tengah (sarkotesta) tebal berdaging, kuning krem sampai keputihan; berasa manis, kehitaman, keras, panjangnya sekitar 2–3 cm.

Berdasarkan hasil yang diperoleh terdapat 6 genus diantaranya adalah

(57)

kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu tergolong hutan sekunder yang berada dalam kawasan lindung.

Hasil penelitian Siregar (2007) di Gunung Sinabung, Kab Karo, Sumatera Utara yaitu diperoleh sebanyak 8 jenis palmae pada ketinggian 1400-2450 mdpl dengan jenis-jenis palmae yang diperoleh adalah Arenga sp., Caryota sp.,

Iguanura geonomaeformis, Calamus tumidus Furt., Calamus Palustris Griff.,

Calamus scipionum Lour. Daemonorops sp1., Daemonorops sp2. Sedangkan jenis yang juga dijumpai pada lokasi penelitian adalah Calamus scipionum Lour.

Pengelompokan jenis-jenis palmae lazimnya didasarkan atas persamaan ciri-ciri karakteristik morfologi organ tanaman, yaitu: akar, batang, daun, bunga, buah, dan alat-alat tambahan. Penentuan yang paling spesifik pada jenis palmae dan bambu berdasarkan tipe batangnya serta pemberian nama daerah yang dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan bahasa daerah dimana jenis tersebut tumbuh seperti yang digunakan oleh masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nama Lokal yang Digunakan Masyarakat di Sekitar Kecamatan Lumban Julu pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa

No. Nama Dagang

2. Bambu Betung Dendrocalamus asper Backer Bulu Bolon Berumpun 3. Bambu Kuning Bambusa vulgaris Schrad. Bambu Kuning Berumpun 4. Rotan Udang Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo Berumpun 5. Rotan Lilin Calamus javensis Blume Hotang Cacing Berumpun 6. Rotan Manau Calamus manan Miquel Hotang Manau Berumpun 7. Rotan Lambang Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi Berumpun 8. Rotan Semambu Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar Berumpun 9. Salak Salacca zalacca Gaertn. Salak Berumpun

(58)

desa-desa atau orang-orang dengan kelompok bahasa yang berlainan dan tinggal berdekatan satu sama lain, beberapa nama bahkan dapat digunakan untuk spesies lokal. Telah timbul kerancuan yang serius dari penggunaan yang tidak kritis dari nama-nama daerah. Mogea (2002) mengatakan bahwa nama lokal sangat tidak akurat dan bahkan menyesatkan apabila dilakukan konversi langsung dari nama lokal ke nama botani tanpa mengidentifikasi material herbarium yang dimaksud. Identifikasi berlaku untuk semua spesies dalam mendapatkan ketepatan nama botani/ilmiah. Sementara hasil pengamatan sifat morfologi atau karakteristik 9 spesies palmae dan bambu tersebut, terdapat delapan spesies yang sifat tumbuhnya berumpun, sedangkan satu spesies bersifat soliter (berbatang tunggal).

Identifikasi jenis Calamus, Khortalasia dan Salacca dapat dilakukan dengan mengamati jumlah batang pada setiap rumpun, sistem perakaran, bentuk dan jenis alat pemanjat, serta bentuk dan perkembangan daun, bunga dan buah. Pada Dendrocalamus dan Bambusa ditentukan berdasarkan pada karakter morfologi bunga dan pelepah buluh. Untuk karakter morfologi vegetatif lainnya, seperti tipe rimpang, rebung, buluh, percabangan, pelepah buluh dan daun juga dapat dijadikan dasar dalam membedakan jenis-jenis bambu (Widjaja, 2001). Sementara untuk Arenga tipe batangnya berbeda dengan jenis lain karena menyerupai pohon. Penentuan jenis dengan penerapan sifat morfologi saja kadang-kadang menemui kelemahan, begitu juga dengan identifikasi berdasarkan nama daerah sehingga penempatan suatu takson dalam klasifikasi diragukan.

(59)

Tabel 3. Jenis Palmae dan Bambu dalam Penggunaan dan Pemanfaatan Oleh Masyarakat di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa

No. Nama Ilmiah

2. Dendrocalamus asper Backer Bulu Bolon  Meriam , tiang penyangga

3. Bambusa vulgaris Schrad. Bambu Kuning  Kurang dimanfaatkan

4. Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo  Sapu, penyekat dinding

5. Calamus javensis Blume Hotang Cacing  Kurang dimanfaatkan

6. Calamus manan Miquel Hotang Manau  Kursi, meja, rak

7. Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi  Sangkar burung, pemukul

tilam

8. Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar  Sapu, pemukul tilam,

tampi beras

9. Salacca zalacca Gaertn. Salak  Buahnya dapat

dikonsumsi

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa masyarakat mengganggap bahwa palmae dan bambu merupakan jenis yang mampu menghasilkan uang untuk kehidupan masyarakat setempat apabila dijual dan juga dapat dimanfaatkan sebagai perabot rumah tangga bahkan sumber makanan. Pengetahuan ini diperoleh secara turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pemanfaatan palmae dan bambu oleh masyarakat sebagian besar dimanfaatkan secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

(60)

2. Pemetaan Sebaran

Jenis palmae dan bambu yang ditemukan di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa pada identifikasi diperoleh sebanyak 9 jenis tumbuhan yang tersebar di wilayah tersebut. Menurut Nopelina (2006) peta merupakan penyajian secara grafis dari kumpulan data maupun informasi sesuai lokasinya secara dua dimensi. Informasi merupakan bentuk data yang telah dianalisis, berbeda dari data mentah maupun yang biasanya lebih sering hanya merupakan hasil pengukuran langsung. Sehingga perlu dilakukan pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui sebaran jenis di lapangan. Peta penyebaran palmae dan bambu diperoleh dari kegiatan pengambilan data primer di lapangan yaitu berupa titik koordinat palmae dan bambu tersebut. Pengambilan titik dilakukan apabila ditemukan jenis palmae dan bambu pada petak pengambilan contoh yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Data Penyebaran Palmae dan Bambu di KPHL Model Unit XIV Kecamatan Lumban Julu Toba Samosir

Jalur Jumlah Plot Jumlah Plot

Berdasarkan Tabel 4, diperoleh total plot terisi sebanyak 256 plot dengan

(61)

Gambar 14. Peta Titik Sebaran Palmae dan Bambu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir

Berdasarkan Gambar 14, diketahui bahwa mahluk hidup tidak semua dapat hidup di seluruh wilayah di muka bumi. Berdasarkan penelitian diperkirakan hanya sekitar 1/550 bagian saja dari muka bumi yang berpotensi sebagai lingkungan hidup. Mahluk hidup tidak semua dapat hidup di seluruh wilayah di muka bumi. Hal ini berarti, kehidupan flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkait dengan kondisi lingkungannya. Itulah yang menyebabkan persebaran flora dan fauna tidak merata di permukaan bumi. Kondisi iklim dan tanah di permukaan bumi sangat beragam, maka beragam pula persebaran flora dan fauna. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan flora dan fauna di muka bumi menurut Waluya (2013) antara lain adalah:

a. Faktor klimatik

(62)

dan fauna. Di daerah tropis merupakan wilayah yang optimal bagi kehidupan spesies. Beberapa faktor-faktor iklim yang berpengaruh terhadap persebaran flora dan fauna antara lain suhu, kelembaban udara:

1) Suhu : Posisi lintang di bumi sangat berhubungan dengan penerimaan intensitas penyinaran matahari yang berbeda-beda di berbagai wilayah. Daerah-daerah yang berada pada zone lintang iklim tropis menerima penyinaran matahari setiap tahun relatif lebih banyak dibandingkan wilayah lain. Perbedaan ini menyebabkan variasi suhu udara di berbagai kawasan di muka bumi. Perbedaan suhu juga terjadi karena secara vertikal yaitu letak suatu wilayah berdasarkan perbedaan ketinggian di atas permukaan laut. Kondisi suhu udara tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna, karena berbagai jenis spesies memiliki persyaratan suhu lingkungan hidup ideal atau optimum serta tingkat toleransi yang berbeda satu sama lain. Kondisi suhu udara adalah salah satu faktor pengontrol persebaran vegetasi sesuai dengan posisi lintang, ketinggian tempat, dan kondisi topografinya. Suhu dan intensitas cahaya akan semakin kecil dengan semakin tingginya tempat tumbuh. Berkurangnya suhu dan intensitas cahaya dapat mengahambat pertumbuhan karena proses fotosintesis terganggu.

2) Kelembaban Udara : Faktor iklim lain adalah kelembaban udara. Tingkat kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap pola persebaran tumbuhan di muka bumi.

b. Faktor Edafik

(63)

semakin subur tanah maka kehidupan tumbuhan semakin banyak jumlah dan keanekaragamannya.

c. Faktor Biotik

Manusia adalah komponen biotik paling berperan terhadap keberadaan tumbuhan dan fauna di suatu wilayah, baik yang sifatnya menjaga kelestarian maupun merubah tatanan kehidupan tumbuhan dan fauna. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berusaha memanfaatkan lingkungan hidup di sekitarnya semaksimal mungkin, walau kadang-kadang dapat merusak kelestariannya.

Peta titik sebaran untuk aren (Arenga), bambu (Dendrocalamus dan

Bambusa), rotan (Khortalasia dan Calamus), dan salak (Salacca) berdasarkan jalur dapat dilihat pada Gambar 15.

(64)

(b)

(65)

(d)

Gambar 15. Peta Titik Sebaran (a) Aren (Arenga), (b) Bambu (Dendrocalamus

dan Bambusa), (c) Rotan (Khortalasia dan Calamus), dan (d) Salak (Salacca) di Kecamatan Lumban Julu yang Terdapat di Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa

Berdasarkan Gambar 15, diketahui bahwa sebaran terbesar yaitu pada jenis

(66)

3. Keanekaragaman Jenis

Konsep keanekaragaman merupakan perbedaan populasi serta penyebaran populasinya seluruh individu dalam satu areal. Dalam populasi tersebut keanekaragaman jenis ditentukan berdasarkan kerapatan, frekuensi dan dominansi. Penyebaran pada tempat yang baru ini akan membentuk populasi yang nantinya akan kembali menempati, beradaptasi, dan membentuk keseimbangan baru. Karena penyebaran yang berskala besar maka akan terjadi keterbatasan daya dukung lingkungan, termasuk didalamnya berupa keterbatasan ketersediaan sumberdaya makanan, ruang, dan lain-lain sehingga menyebabkan setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya. Data kerapatan Relatif (%) spesies palmae dan bambu berdasarkan jumlah jenis di 2 ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kerapatan Relatif (%) spesies palmae dan bambu di 2 ketinggian tempat No. Nama Ilmiah

(67)

Total keseluruhan jumlah palmae dan bambu sebesar 665 individu/ha pada ketinggian 1300 mdpl dan 112 individu/ha pada ketinggian 1400 mdpl. Total keseluruhan jenis palmae dan bambu paling melimpah terdapat pada ketinggian 1300 mdpl. Menurut Witono et al., (2000), sebagian besar kelompok palmae tumbuh subur terutama di atas ketinggian 1200 mdpl, tumbuh baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan tanah datar, tanah berbukit, dan berlereng terjal. Sementara menurut Sutiyono et al., (1992) bambu tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi 100 - 2200 mdpl. Walaupun demikian, tidak semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik di tempat yang tinggi. Hal ini dibuktikan pada ketinggian 1400 mdpl tidak ditemukan jenis

Bambusa vulgaris Schrad. Pada tempat-tempat yang lembab dan memiliki kondisi curah hujan yang tinggi dapat mencapai pertumbuhan terbaik untuk tanaman bambu, seperti di tepi sungai, di tebing-tebing yang curam.

Calamus manan banyak ditemukan di areal perbukitan, tingkat semai ditemukan melimpah di hutan perbukitan. Namun ada beberapa spesies yang memang mempunyai habitat tertentu misalnya Salacca, jenis ini hanya hanya dijumpai pada daerah yang datar yang terdapat pada areal lembab. Menurut Witono et al., (2000), palmae dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit, dan tanah berlereng terjal.

Gambar

Gambar 1. Peta Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Tobasa
Gambar 2. Petak Contoh Transek
Gambar 3.   Bagan Alir Pemetaan Sebaran Vegetasi Hasil Hutan Non Kayu Kelompok Palmae dan Bambu
Tabel 1.  Spesies Palmae dan Bambu di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan bahwa Best Practice yang disusun seluruhnya asli hasil kerja sendiri, bukan plagiat, dan belum pernah dinilai pada lomba lainnya, baik di dalam maupun

Untuk mengatasi persaingan yang semakin ketat tersebut guna meningkatkan penjualan, maka penulis merancang dan membuat sebuah desain dan bentuk website ECommerce dengan menggunakan

Untuk memudahkan dalam melakukan pemeriksaan maka sebagai indikatornya berupa suara, dimana apabila terdapat sinyal input ataupun terdapat hubungan maka insikator akan akan

The operating cash flows must be translated back into the parent firm’s currency at the spot rate expected to prevail in each period.. The operating cash flows must be

Sebagai tindak lanjut surat kami nomor 3143/ C5 / KS /2017 tanggal 6 Juni 2017 tentang pengumuman seleksi Hibah Konsorsium 2017 dan surat No 3034/C5/KS.2017 tertanggal 2 Juni

 Pria : background biru, memakai jas hitam, kemeja putih dan berdasi  Wanita : background merah, bersanggul dan berkebaya. ( bagi yang berjilbab harus membuat surat

Penilaian kegiatan Lokakarya PPG dititikberatkan pada penilaian penguasaan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Ketentuan yang terkait dengan penilaian tersebut

By limiting netting, more unnecessary foreign exchange transactions flow through the local banking system... ! $ )..