• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada dasarnya dalam setiap komunitas atau masyarakat terdapat suatu mekanisme untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas atau masyarakat akan secara spontan mengunpulkan informasi, menciptakan nilai dan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu, termasuk cara untuk mengelola dan mengolah sumber daya alam demi menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup. Himpunan informasi dan cara tersebut dikembangkan menjadi suatu sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang kemudian dilestarikan dan diwariskan turun temurun yang dikenal sebagai kearifan lokal, sebagaimana dikemukakan oleh Mitchell et al. (2000) dan Soemarwoto (1999) bahwa masyarakat lokal telah mengembangkan pemahaman

terhadap sistem ekologi di mana mereka tinggal. Sebenarnya hampir semua, kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya, masyarakat di Indonesia memiliki kearifan lokal sendiri-sendiri yang bersumber dari norma dan budaya masing-masing.

Terminologis kearifan lokal merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris local wisdom. Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat, sedangkan wisdom sama dengan kearifan/kebijaksanaan (Echols dan Shadily, 1996). Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu dengan menggunakan akal budinya (kognisi) yang berlandaskan pada nilai-nilai atau gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal adalah pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh oleh masyarakat setempat melalui akumulasi pengalaman yang terintegrasi dengan pemahaman terhadap lingkungan alam dan budaya (Naritoom, 2007). Kearifan lokal, menurut Tjahyono et al. (2000), merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili sistem nilai dan norma yang disusun, dianut, dipahami dan diaplikasikan masyarakat lokal berdasarkan pemahaman, dan pengalaman mereka dalam berinteraksi dan berinterrelasi dengan lingkungan. Amiruddin (2005) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak

sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Menurut Rajab (2006) kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sistem pemenuhan kebutuhan tersebut meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi. Secara substansial, menurut Ridwan (2007), kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakat adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakat.

Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus yang dianggap baik dan benar oleh masyarakat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama bahkan melembaga

Ahmad (2006) mengemukakan kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional dan ada pula yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya pergeseren nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat, intervensi pemerintah, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat. Tetap fungsionalnya kearifan lokal tidak terlepas dari proses sosialisasi yang dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya. Lebih lanjut Ahmad menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa:

1. Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi-sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hierarki dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam kehidupan sehari-hari;

2. Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh- tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam;

3. Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib.

Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pada dasarnya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki pengetahuan dan kearifan dalam memanfaatkan hutan demi keberlanjutan pemenuhan kebutuhan hidupnya (Tadjudin, 2002). Demikian pula dengan petani yang tinggal di sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros. Mereka juga memiliki kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan tanaman kemiri. Agusnawati (2006) dan Marzuki (2007) menyebutkan beberapa tahapan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri yang merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat tani sekitar kawasan Pegunungan Bulusaraung sebagai berikut:

1. Mangolo/Mappammula persiapan lahan berupa penebangan pohon (mattebang) dan pembukaan lahan, dipimpin oleh orang yang dituakan dalam wilayah tersebut dan disertai upacara tertentu.

2. Mattunu pembakaran dan pengolahan tanah serta penanaman tanaman kemiri. 3. Penanaman tanaman semusim disamping memelihara tanaman kemiri

(maddare). Hal ini biasanya berlangsung selama kurang lebih tiga tahun sampai tanaman kemiri besar.

4. Pengaturan wilayah jangkauan panen berdasarkan posisi lahan. Untuk topografi datar buah kemiri yang jatuh pada lahan yang ada di sebelahnya menjadi hak pemilik lahan yang ada di sebelahnya dan sebaliknya, sedangkan untuk topografi miring disepakati bahwa pemilik lahan yang ada di bagian bawah merelakan lahan kemirinya antara 2 – 5 meter dipungut oleh pemilik lahan yang ada di bagian atasnya.

5. Penetapan waktu larangan panen oleh masyarakat umum dengan memasang tanda larangan yang disebut hompong (daun enau yang dibungkus kain putih

dan diikatkan pada batang pohon kemiri). Pada saat pemasangan dibacakan mantera-mantera sebagai kekuatan agar tidak dilanggar.

6. Makkampiri yaitu panen tahap pertama yang dilakukan oleh pemilik lahan atau orang yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut buah kemiri yang jatuh.

7. Mabbali yaitu panen tahap kedua yang dilakukan oleh pemilik lahan atau orang lain yang dipekerjakan oleh pemilik lahan dengan memungut sisa buah kemiri yang belum jatuh pada saat makkampiri.

8. Pelepasan tanda larangan (hompong) sebagai tanda dibukanya lahan untuk masyarakat umum.

9. Makkalice yaitu panen tahap ketiga yang dilakukan oleh masyarakat umum yang bukan pemilik lahan untuk dimiliki sendiri tanpa harus meminta izin dari pemilik lahan.

10.Maddeppa yaitu pengupasan tempurung kemiri dengan menggunakan alat yang berupa anyaman rotan yang dihentakkan pada batu datar.

Selanjutnya, Agusnawati (2006) mengemukakan bahwa kelembagaan kepemilikan lahan hutan kemiri secara umum ada beberapa bentuk yaitu:

1. Pemilik Penggarap, yaitu petani yang mengelola dan mempertanggungjawab- kan sendiri hutan kemirinya dan berhak sepenuhnya atas seluruh proses pengolahan dan hasilnya.

2. Teseng/Ruma, yaitu pemberian lahan kemiri kepada orang lain untuk dikelola dengan sistem bagi hasil dengan pemilik.

3. Sanra/Katenni, yaitu penyerahan lahan untuk dikelola oleh orang lain dengan ketentuan passanra/ pakkatenni (orang yang diserahi lahan) menyerahkan jaminan berupa uang kepada pemilik lahan. Pengelolaan lahan kembali kepada pemiliknya ketika sang pemilik lahan juga mengembalikan uang jaminan kepada passanra/pakkatenni sesuai perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.

4. Makkoko/Maddare, yaitu pemilik lahan menyerahkan lahannya yang sudah ditanami bibit tanaman kemiri kepada orang lain. Pakkoko/Paddare (orang yang diserahi lahan) akan menanami lahan tersebut dengan tanaman semusim dengan tidak merusak tanaman kemiri yang ada. Lama penyerahan kurang

lebih tiga tahun sampai tanaman semusim tidak bisa lagi diusahakan karena sudah tertutup tanaman kemiri.

5. Pabbere (pemberian) yaitu lahan kemiri diserahkan kepada orang lain. Biasanya merupakan pemberian orang tua kepada menantunya pada saat terjadi perkawinan.

6. Mana’ (pewarisan) yaitu pemilik menyerahkan lahannya kepada ahli warisnya.

7. Pembelian yaitu berpindahnya hak kepemilikan lahan karena terjadinya proses jual beli.