• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ide melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan muncul pada tahun 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan VIII Sedunia di Jakarta dengan tema Forest for People, pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penganggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara yang sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa pihak yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan (Hinrics et al., 2008). Mengacu pada hasil Konggres Kehutanan Dunia tersebut terjadi pergeseran

paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia yang melahirkan sistem baru pengelolaan hutan yang dinamakan strategi Social Forestry atau perhutanan sosial (Simon, 2009). Menurut Departemen Kehutanan, perhutanan sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat baik di kawasan hutan milik negara maupun milik pribadi atau kelompok. Pada tahun 2002 jajaran Departemen Kehutanan menempatkan perhutanan sosial di dalam birokrasi sebagai payung dari semua program dan kebijakan strategis.

Perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari (CIFOR, 2003).

Pada saat ini, berbagai bentuk dan model pengelolaan hutan partisipatif telah dikembangkan baik yang diperkenalkan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan), maupun non pemerintah. Model-model tersebut menggunakan terminologis yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya sama yaitu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Model-model pengelolaan hutan partisipatif tersebut antara lain:

Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Model HKm merupakan salah satu kebijakan operasional dari paradigma pembangunan hutan untuk rakyat, sesungguhnya merupakan langkah kompromi yang strategis, terutama untuk mengeliminir berbagai persoalan sosial dalam hubungan pengelolaan sumberdaya hutan yang tejadi selama ini. Dengan fokus pengembangan pada aspek pemberdayaan masyarakat, maka implementasi program HKm sarat dengan dimensi sosial. Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 menyatakan bahwa hutan kemasyarakatan adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang betujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri untuk kegiatan hutan kemasyarakatan.

Pada tataran implementasi terjadi pembiasan yang menunjukkan kelemahan HKm, yaitu kegiatan yang dilaksanakan lebih menekankan pada pendekatan keproyekan. Pendekatan semacam ini menjadikan HKm kehilangan spirit aslinya, yakni upaya perubahan paradigma pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan dari pekerja menjadi pengelola.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa bersama, berdaya, dan berbagi, yang meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat, dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. (Perhutani, 2001). Dengan demikian, model PHBM adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi atau model kemitraan yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau pihak yang bekepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal.

Pengelolaan hutan bersama masyarakat dilakukan di wilayah kerja perusahaan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan hasil perencanaan partisipatif. Pengelolaan dilakukan dengan tidak mengubah status kawasan hutan dan status tanah perusahaan. Penyusunan rencana PHBM dilakukan bersama antara perusahaan dan masyarakat desa hutan melalui perencanaan partisipatif dan diintegrasikan dengan pembangunan wilayah. Masyarakat desa hutan dalam program PHBM berhak: (1) menyusun rencana, melakukan monitoring dan evlaluasi bersama perusahaan; (2) memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikannya; (3) memperoleh fasilitasi dari perusahaan dan atau pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Dalam pelaksanaannya, masyarakat desa membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terwujud kelompok ekonomi, kelompok sosial maupun kelompok budaya yang tumbuh dari keswadayaan dan berbadan hukum.

Model Desa Konservasi (MDK)

Desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang digagas oleh Departemen Kehutanan dalam rangka memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Model ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan. Model akses pemanfaatan ini bisa berbeda dari satu kawasan ke kawasan lain tergantung pada kesepakatan dengan pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan (Dephut, 2008)

Pembangunan MDK merupakan upaya konkrit pemberdayaan masyarakat disekitar dan didalam kawasan konservasi yang dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Dephut. 2009). Desa-desa yang menjadi model desa konservasi adalah desa – desa yang terletak di wilayah hulu dan dekat dengan kawasan konservasi. Desa konservasi adalah desa yang semua sendi kehidupannya selaras dengan alam. Desa yang memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam kegiatan perlindungan lingkungan hidup dan ikut mengelola kawasan tersebut. Pengembangan model desa konservasi menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu, guna mendukung tata kelola kawasan hutan dan konservasi yang lebih baik. Masyarakat yang ada di sekitar lokasi akan diberikan penyuluhan dan pengetahuan tentang pentingnya hutan untuk kehidupan masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaganya.

Tujuan pembangunan MDK disekitar Kawasan Konservasi (KK) yaitu dari aspek ekologi/lingkungan, MDK dapat menyangga KK dari berbagai gangguan, memperluas habitat flora dan fauna yang ada di KK, menambah areal serapan air jika terletak dibagian hulu sungai, menangkal bencana alam berupa banjir, erosi, angin serta bencana lainnya. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat

untuk menambah pendapatan, potensi SDA yang ada dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai, dan diharapkan roda perekonomian pedesaan dapat berputar. Dari aspek sosial, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat, masyarakat diharapkan dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi, kesehatan masyarakat dapat meningkat karena kondisi lingkungan pedesaan yang sehat dan diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan berkurang. (Dephut. 2009).

Pengelolaan Hutan Bersama Secara Adaptif (PHBA/Adaptive Collaboration

Management)

PHBA adalah model pendekatan pengelolaan hutan bersifat partisipatif yang menghubungkan pemangku kepentingan atas hutan, memberdayakan masyarakat lokal dan kelompok-kelompoknya, serta menguatkan kemampuan adaptasinya. PHBA berjuang untuk mengenal, membangun, dan menguatkan kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi tantangan dari lingkungan yang beubah-ubah (CIFOR, 2008).

Model PHBA di Indonesia dikembangkan oleh CIFOR dibangun berdasarkan tujuan demokrasi, keadilan dan kesetaraan, mengakui pentingnya kekuasaan dan berjuang untuk menyeimbangkan arena dalam proses pemberdayaan. Model ini didasarkan atas prinsip bahwa pengelolaan hutan harus dapat memenuhi kebutuhan banyak pihak dan selalu disesuaikan dengan perkembangan di masyarakat dan pemerintah dalam aspek lingkungan, sosial, politik, ekonomi, dan kebijakan (CIFOR, 2003). Metode utama dalam model PHBA adalah penelitian aksi partisipasi (participatory action research-PAR) yang berorientasi pada proses, yang memungkinkan kelompok masyarakat bertindak bersama dalam daur iteratif penetapan tujuan, analisis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan peninjauan kembali capaian kemajuan (Kusumanto et.al., 2006). Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)

PMDH adalah model pengelolaan hutan yang pelaksanaannya, berdasarkan SK. Menhut 523/Kpts-II/1997, menjadi kewajiban dari perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Kewajiban dikenakan kepada setiap pemegang HPH dan

HPHTI dalam rangka beperan serta untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional yang berada di dalam dan sekitar hutan. Tujuan PMDH adalah membantu mewujudkan masyarakat desa hutan yang mandiri, sejahtera, dan sadar lingkungan (Anonim, 2000).

Kenyataannya, hingga saat ini hasil yang diperoleh belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu hal yang menghambat keberhasilan kegiatan PMDH adalah kurang optimalnya peranserta masyarakat desa binaan, di mana mereka kurang dilibatkan secara aktif dalam berbagai aspek kegiatan. Ada dua hal yang selama ini dianggap mendasari hal itu. Pertama, dalam pelaksanaannya masyarakat cenderung dijadikan objek saja dan kurang terlibat dalam merumuskan rencana serta penyusunan kebijakan. Kedua, dalam penerapan kebijakan, masyarakat hanya sebagai orang yang menerima bukan sebagai pelaku dan pelaksana, sehingga acapkali kebijakan kurang dipahami dan kurang. dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang memicu lahirnya “partisipasi semu” dengan motif yang beragam (karena upah atau maksud tertentu semata) (Soetrisno, 1995).

Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)

SHK sebenarnya adalah pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh rakyat itu sendiri. Penggunaan terminologi SHK digagas oleh para akademisi, peneliti/praktisi kehutanan, tokoh masyarakat adat, aktivis lingkungan dan sumberdaya alam, untuk membedakan dengan model pengelolaan hutan partisipatif yang digagas oleh pemerintah yang kental dengan kepentingan proyek.

Jauhari (2009) menyatakan bahwa sistem Hutan Kerakyatan tidak hanya sekedar penamaan dari berbagai bentuk-bentuk pengelolaan hutan dan kawasan hutan oleh masyarakat, tetapi juga merupakan sistem alternatif (antitesis dari sistem pengelolaan hutan yang dipraktikkan oleh pemerintah). SHK yang memiliki 4 prinsip besar yaitu kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan dan kelestarian.

Prinsip kemandirian dalam SHK, setiap pengelolaan hutan dan kawasan hutan pelaku utamanya adalah masyarakat lokal (adat) dengan bersandar kepada

kemampuan (daya lenting) diri masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi-sosial-budaya).

Kebersamaan, praktik SHK dilakukan secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok masyarakat atau komunitas yang masih memegang teguh adat-istiadat atau berdasarkan aturan setempat (kesepakatan bersama antar kelompok-kelompok di masyarakat) yang mana usaha-usaha ekonomi atas hutan dan kawasan hutannya diperuntukkan demi pemenuhan kebutuhan bersama dalam satu-kesatuan sistem sosial (kolektif dalam pengelolaan dan pemenuhan kebutuhan hidup kelompok-kelompoknya).

Keberlanjutan, praktik SHK mengandung tujuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi-sosial-budaya) generasi berikutnya dari suatu komunitas lokal (adat) dan demi keberlangsungan sistem kelola hutan dan kawasan hutan yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Kelestarian, praktik SHK sebagai praktik pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam membawa nilai-nilai penghormatan terhadap makhluk hidup lainnya (satwa dan tumbuhan yang dilindungi) dan turut menjaga alam dan lingkungan hidup dari kehancuran. SHK adalah sistem pengelolaan hutan dan kawasan hutan yang melandaskan keseimbangan ekosistem, dimana manusia adalah bagian dari penyimbang ekosistem alam yang ada.