• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

1. Tingkat Kemampuan Petani dalam mengelola hutan kemir

Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri merupakan

faktor pertama yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh tiga indikatornya yaitu:

(a) kemampuan teknis; (b) kemampuan sosial dan (c) kemampuan manajerial.

Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkat motivasinya untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Dengan kata lain, petani dengan tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Budiono (2006) bahwa petani sekitar hutan dengan kemampuan melestarikan hutan yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mengelola hutan secara lestari.

Indikator kemampuan teknis berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Kemampuan teknis petani sekitar hutan terbentuk melalui proses belajar informal secara turun temurun yang bersifat praksis atau learning by doing dan telah menjadi bagian dari perilaku mereka sehari-hari yang meliputi teknik pengadaan/pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemeliharaan dan perlindungan tanaman kemiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin (1975) bahwa kemampuan yang dimiliki inidvidu merupakan hasil dari proses perkembangan/kematangan diri (maturity) dan proses pembelajaran.

Petani sekitar hutan yang memiliki kemampuan di bidang teknis pengelolaan hutan kemiri akan termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, karena mereka merasa yakin dan percaya diri telah memiliki modal pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang positip sebagai prasyarat untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa keberadaan hutan kemiri merupakan hasil budidaya yang dilakukan oleh petani sekitar hutan sejak dulu sampai dengan sekarang. Temuan penelitian ini sejalan

dengan pendapat Walter dan Marks (1981) bahwa kepemilikan kemampuan sebagai hasil proses learning by doingakan mendorong motivasi dan rasa percaya diri seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu.

Indikator kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani adalah kemampuan sosial. Temuan penelitian ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa kemampuan sosial petani dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong atau kekuatan yang memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lippit et al. (1958) bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai kekuatan pendorong untuk terjadinya perubahan (change forces).

Kemampuan sosial petani berkaitan dengan kemampuan petani untuk membangun hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, yang meliputi kemampuan bekerja sama, bernegosiasi, membangun jaringan, mengantisipasi dan meminimalisir timbulnya konflik ketika berhubungan dengan orang lain dalam kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Dengan kemampuan sosial petani mampu membangun kepercayaan dan hubungan harmonis di antara mereka serta mampu mengatasi dan menyelesaikan masalah atau konflik yang timbul dalam lingkungan sosialnya.

Terbentuknya kemampuan sosial ini tidak terlepas dari pengaruh nilai- nilai yang bersumber dari sosial budaya yang berlaku dan telah terinternalisasi dalam diri mereka walaupun bersifat apa adanya, artinya kemampuan sosial timbul karena perkembangan inidividu dalam tatanan sosialnya yang terbentuk karena hubungan antarpribadi, hubungan antarkelompok, atau nilai-nilai sosial dan pranata-pranata. Hal ini, kemudian, mendorong dan menjadi modal petani untuk membangun keharmonisan dalam mengelola hutan kemiri. Rakhmat (2002) dan Sarwono (2002) mengemukakan bahwa proses belajar melalui interaksi dan hubungan sosial dapat melahirkan motif sosiogenik pada diri inidvidu yang berperan membentuk perilaku sosial. Motif sosiogenik adalah dorongan dari dalam diri untuk bertindak sebagai akibat atau adanya pengaruh orang laing. Hal ini berarti kemampuan yang terbentuk melalui proses belajar sosial di antara petani, secara psikologis, dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.

Dipertegas oleh Robert Zajonc dalam Sarwono (2005) bahwa keberadaan dan keterhubungan dengan orang lain (interaksi sosial) juga dapat melahirkan fasilitasi sosial. Fasilitasi sosial merupakan suatu keadaan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan intensitas perilakunya sebagai akibat adanya kehadiran orang lain atau interaksi sosial. Situasi ini sejalan dengan konsep experiental learning sebagaimana dikemukakan oleh Walter dan Marks (1981) bahwa pada situasi sosial dimana di dalamnya terdapat interaksi sosial dapat menginisiasi dan menstimulasi timbulnya keinginan dalam diri seseorang untuk berkembang, berubah dan maju. Ditegaskan oleh keduanya bahwa keberadaan orang lain (fellow participants) merupakan suatu situasi experiental learning yang dapat memfasilitasi terjadinya perubahan, karena setiap individu dalam situasi tersebut akan saling memfasilitasi melalui pemberian rasa aman dan dukungan sebagai akibat kebersamaan mereka dalam situasi tersebut.

Petani tetap ingin terlibat dalam mengelola hutan kemiri, karena petani yakin dan percaya bahwa dengan adanya kebersamaan di antara mereka maka hutan kemiri mampu dikelola dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa para petani sekitar hutan kemiri mampu menciptakan keharmonisan sosial dalam mengelola hutan kemiri yang merupakan bentuk implikasi dari kemampuan sosial yang dimilikinya.

Indikator berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola huan kemiri. Berdasarkan temuan penelitian, dengan demikian, kemampuan manajerial merupakan sumberdaya intrinsik petani yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kemajuan, perbaikan dan keberhasilan pengelolaan hutan kemiri. Keberadaan kebun kemiri rakyat yang menyerupai hutan merupakan manifestasi dari kemampuan manajerial petani dalam mengelola usahataninya. Petani sekitar hutan kemiri, dengan demikian, telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen, walaupun bersifat apa adanya, dalam menjalankan usahataninya, sebagaimana dikemukakan Lionberger dan Gwin (1982) bahwa pada hakekatnya

petani pedesaan telah memiliki kemampuan atau kecakapan manajerial dalam menjalankan usahataninya, yang berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya. Petani dengan kemampuan manajerial di atas rata-rata petani lainnya akan menjalankan usahataninya dengan lebih baik.

Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri berada dalam kategori rendah, sedangkan dua indikator lainnya yaitu kemampuan teknis dan kemampuan sosial berada dalam kategori sedang. Rendahnya kemampuan manajerial petani disebabkan karena pengelolaan hutan kemiri masih dilaksanakan petani dengan manajemen apa adanya, artinya tidak dilakukan dengan kecermatan dan perhitungan sebagaimana manajemen modern yang dilakukan secara tertulis dan sistematis, namun demikian secara prinsip petani telah melakukan tahapan manajemen pengelolaan hutan yang memadai yaitu merencanakan, mengatur, menggerakkan tenaga kerja, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi usahataninya berdasarkan kebiasaan, pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki. Implikasinya bahwa perlu peningkatan kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri.

Faktor-faktor lain yang dikaji dalam penelitian ini yaitu intensitas peran penyuluh kehutanan, tingkat kekosmopolitan, dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu, berdasarkan temuan penelitian (Gambar 7), memberikan pengaruh tidak langsung terhadap motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Keempat faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Semakin tinggi keempat faktor tersebut memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.

Intensitas peran penyuluh kehutanan merupakan faktor yang berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap peningkatan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa semakin intensif penyuluh kehutanan menjalankan perannya maka, secara langsung, akan

semakin meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Seiring dengan meningkatnya kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, maka motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan juga akan meningkat. Hal ini terjadi karena semakin meningkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka petani akan semakin percaya diri dan akhirnya terdorong untuk terlibat dalam pengelolalaan hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan, dengan demikian, memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri.

2. Kesempatan/Peluang

Faktor kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat adalah ketersedian peluang atau kesempatan untuk berpartisipasi, yang direfleksikan oleh indikator: (a) dukungan pemerintah; dan

(b) kepastian pasar.

Artinya, semakin tinggi ketersediaan atau semakin terbuka kesempatan/ peluang untuk berpartisipasi maka petani akan semakin termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini berarti partisipasi harus diartikulasikan sebagai pemberian peluang kepada petani sekitar hutan kemiri untuk berperan secara efektif dalam pembangunan kehutanan, menjadi aktor sosial, mengelola sumberdaya hutan, membuat keputusan dan mengawasi kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka, sehingga motivasi yang merupakan daya dorong untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan semakin meningkat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Khairuddin (1992) dan Slamet (2003) bahwa kesempatan atau peluang untuk berpartisipasi harus tersedia agar masyarakat terdorong untuk membangun dan merubah kualitas hidupnya. Apabila kesempatan yang ada sangat kecil maka sulit bagi seseorang terdorong untuk mengembangkan dirinya.

Indikator kesempatan atau peluang yang paling berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan pemerintah. Temuan ini memberikan penguatan pada paradigma pembangunan kehutananan sekarang ini yang bertumpu pada

pendekatan ekosistem yang dikenal dengan resources based management berbasis pada forest community based development. Artinya, semakin tinggi dukungan pemerintah kepada petani sekitar hutan untuk mengakses hutan maka akan semakin mendorong petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri.

Hutan merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karenanya berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai representasi negara, kemudian, memiliki wewenang untuk: (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan kawasan hutan, (2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Implikasinya kemudian pemerintah membuat berbagai aturan, kebijakan atau regulasi terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Regulasi pengelolaan hutan yang membatasi akses dan keterlibatan masyarakat/ petani sekitar hutan untuk mengelola hutan akan mendorong petani untuk bersikap apatis, kehilangan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap hutan.

Sebaliknya, apabila kebijakan pengelolaan hutan lebih berpihak pada kebutuhan dan kepentingan petani sekitar hutan, atau lebih mendukung petani untuk mengakses dan terlibat dalam pengelolaan hutan dengan pertimbangan bahwa petani sekitar hutan memahami dan telah memiliki kearifan untuk mengelola hutan secara lestari, maka akan melahirkan sikap positip petani terhadap pemerintah dan juga terhadap eksistensi hutan itu sendiri. Hal ini akan memotivasi petani untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sebagaimana yang selama ini telah dilakukan dan menjadi bagian dari budaya mereka. Rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap kelestarian hutan, dengan demikian, akan muncul karena hutan menjadi salah satu sumber pendapatan rumah petani, sebagaimana pendapat Ostrom (1990) serta Becker dan Gibson (1990) yang disitir

oleh Awang et. al (2000) bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal akan berhasil jika hutan tersebut memberikan nilai penting bagi masyarakat tersebut.

Dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokal/petani sekitar hutan sesungguhnya telah terakomodasi dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat lokal diberikan peluang yang lebih luas. Paling sedikit terdapat tiga bab yang berkaitan dengan dukungan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat lokal, yakni: Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Bab X tentang Peranserta Masyarakat, dan Bab XI tentang Gugatan Perwakilan.

Namun demikian, fakta penelitian menunjukkan bahwa dukungan pemerintah terhadap petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros masuk dalam kategori rendah. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan sejauhmana kesungguhan pemerintah dalam memberikan dukungan kepada petani sekitar hutan kemiri untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan. Dukungan pemerintah untuk memberikan wewenang dan berbagi tanggungjawab (share of responsibility) kepada petani sekitar hutan kemiri masih sangat terbatas. Awang (2003a) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah adakah political will pemerintah untuk memberikan pengakuan atas kerja pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat. Seharusnya pemerintah mampu menjadi pengayom bagi keinginan masyarakat untuk mengelola hutan dengan pilar kelestarian melalui pendekatan multiguna, sehingga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dapat terwujud.

Pada tataran implementasi, terdapat kesan bahwa petani sekitar hutan kemiri hanya diberi tanggungjawab atas kelestarian, tanpa diikuti dengan perangkat wewenang untuk memutuskan pola kelestarian itu sendiri. Pengelolaan hutan yang diharapkan demokratis dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan oleh UU No: 41/1999, pelaksanaannya masih terkesan ragu-ragu/belum sepenuh hati, sulit dan tidak taat azas sehingga belum terlihat secara nyata implementasinya di lapangan. Pelaksanaan kebijakan cenderung mengabaikan bahkan terkadang menegasikan hak-hak masyarakat lokal atau petani sekitar hutan, dan kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologis, historis, dan kultur serta pengetahuan dan kearifan lokal.

Kartodihardjo (Sardjono, 2004) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat sentralistik, diskriminatif dan represif akan berbuntut pada dehumanisasi dan degradasi sumberdaya alam. Kondisi ini pada akhirnya mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Oleh karena itu, upaya mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat tidak bisa tidak harus berangkat dari pengakuan dan penghormatan terhadap hak, tradisi, dan keberadaan masyarakat.

Pengakuan tersebut hendaknya diwujudkan dalam bentuk perangkat hukum dan kebijakan yang benar-benar memihak kepentingan masyarakat lokal atau petani sekitar hutan, disertai konsistensi dukungan aparatur hukum formal dalam usaha penegakannya. Pemerintah, dengan demikian, perlu memberikan kesempatan kepada petani sekitar hutan untuk bisa memperoleh keuntungan dari keberadaan hutan kemiri dengan cara memberikan kewenangan kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri atau memberikan hak kelola terbatas (bukan hak kepemilikan) dalam jangka waktu tertentu dengan berbagai kesepakatan atau perjanjian.

Perjanjian yang disepakati tersebut analog dengan kontrak sosial antara pemerintah dengan petani sekitar hutan yang mengikat kedua belah pihak. Dalam keterikatan tersebut dapat disepakati apa yang dapat dilakukan petani dan apa yang harus dilakukan dan diberikan pemerintah, dengan kata lain terdapat pembagian hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak. Seiring dengan pemberian kewenangan kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan atau pemberian hak kelola terbatas maka perlu diimbangi dengan terpeliharanya kearifan lokal serta peningkatan kapasitas petani dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Indikator peluang atau kesempatan berikutnya yang mempengaruhi tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kepastian pasar. Semakin tinggi dukungan atau tingkat kepastian pasar bagi komoditas kemiri, akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat. Tujuan akhir dari suatu usahatani adalah, selain untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, hasilnya dapat dijual atau memberikan keuntungan finansial. Oleh karena itu, dukungan