• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdsarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang `Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari Hukum Perikatan` belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas sebelumnya. Salah satu perbandingan judul tesis yang dimaksud kepunyaan Donny Parhimpunan Harahap adalah “PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA EVENT ORGANIZER DENGAN MANAJEMEN BAND”. Dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.16 Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori keadilan berbasis perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih

16

bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama, bebas, rasional dan sederajat.17

Melalui pendekatan perjanjian sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

Definisi perjanjian menurut pendapat Subekti, “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.18

Menurut Van Dunne, ada tiga tahap teori perjanjian modern, yaitu : a. Tahap Pra Perjanjian;

b. Tahap Perjanjian, adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c. Tahap Setelah Perjanjian, adanya pelaksanaan perjanjian.19

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan pendapatnya bahwa “suatu perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

17

Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. h. 43

18

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, h. 1.

19

melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.20

Buku III KUHPerdata, tentang perikatan, tidak mengatur mengenai perjanjian kerjasama. Mengenai perikatan bisa dilahirkan karena perjanjian dan bisa dilahirkan karena undang-undang (pasal 1233 KUHPerdata). Hukum perjanjian mempunyai cakupan yang lebih sempit dari istilah hukum perikatan. “Hukum perikatan mencakup semua bentuk perikatan dalam buku III KUHPerdata, jadi termasuk ikatan hukum yang terbit dari undang-undang, sedangkan hukum perjanjian hanya dimaksudkan mengatur tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian”.21

Buku III KUHPerdata bersifat terbuka, maksudnya para pihak yang ingin membuat perikatan atau perjanjian bebas menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku III KUHPerdata asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Berdasarkan hal di atas, suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dari peristiwa ini timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan

20

Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas hukum perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 46.

21

Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2.

perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Apabila di antara salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata tentang akibat suatu perjanjian disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena selain alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemlik sarana apotek, di mana kedua pihak ini saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yaitu dalam hal mengelola suatu apotek. Melalui perjanjian ini, ditentukan hak dan kewajiban para pihak.

Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang wujud dari perjanjiannya didasarkan atas asas kebebasan berkontrak dari buku III KUH Perdata, mengenai perikatan tidak saja memberikan hak dan kewajiban serta tanggung jawab diantara kedua pihak, akan tetapi memberikan hak dan kewajiban serta tanggung jawab kepada konsumen yaitu hak dan kewajiban serta tanggung jawab antara apoteker dengan konsumen.

Hak, kewajiban dan tanggung jawab antara apoteker dengan konsumen diatur oleh undang-undang, yang tidak begitu saja dapat dikesampingkan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, karena salah satu pasal dari isi perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, secara umum mewajibkan apoteker tunduk kepada undang-undang dan kode etik apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola apotek.

2. Konsepsi

Dalam konsepsi diungkapkan beberapa pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. “Konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.22

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian konsepsi yang dipakai.

a. Apotek.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan

22

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta, 1986, h. 122.

apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (simplisia), alat kesehatan dan kosmetika. b. Pemilik Sarana Apotek

Dalam membahas pengertian tentang pemilik sarana apotek atau disebut juga sebagai pemilik modal penulis akan mengemukakan terlebih dahulu pengertian modal. Menurut pendapat Ahmat Ihsan, dalam bukunya hukum dagang, mengemukakan dimaksud pengertian modal adalah suatu perwujudan kesatuan benda yang dapat berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan suatu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.

Pemilik sarana apotek atau pemilik modal adalah orang yang mempunyai uang pokok yang dipakai sebagai induk untuk berniaga, melepas uang dan sebagainya, atau harta benda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan atau dengan kata lain pihak yang memberikan sarana dan prasarana untuk berdiri dan berjalannya pengelolaan apotek. Pihak yang dapat

menjadi pemilik sarana apotek adalah pengusaha, apoteker, rumah sakit, instansi pemerintah dan swasta yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. c. Apoteker

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Apoteker sebagai seorang sarjana yang mengemban profesi, memiliki keahlian dan keterampilan dalam ilmu kefarmasian yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, berpegang teguh pada sumpah yang diucapkannya dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apoteker dalam menjalankan profesinya harus memenuhi hak dan kewajibannya. Apoteker juga bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.

Di atas telah dikatakan bahwa adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak lain yang bersedia menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang terjadi adalah adanya hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai pemilik apotek, dimana pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan

pemilik sarana apotek yang berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang juga menyangkut hak dan kewajiban para pihak.

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

F. Metode Penelitian