• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

UPAYA HUKUM ANTARA PARA PIHAK JIKA TERJADI SENGKETA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN

4. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

Para pihak dalam hubungannya senantiasa mengharapkan agar perjanjian yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak diharapkan. Sengketa pada umumnya muncul sebagai akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak. Sengketa muncul sebagai akibat dari beberapa, antara lain:

a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan sengketa. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada satu pihak menang, yang lain kalah;

b. Ambiquous Jurisdictions, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak) saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain;

c. Intimacy, keterdekatan yang seringkali bermuara pada sengketa mendalam jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Sengketa berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yang tidak memiliki pengalaman “kenal” satu sama lain;

d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan

diskriminasi yang sifatnya berseberangan.86

Sengketa bisnis dalam perjanjian seringkali berawal dari kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya perikatan dengan berbagai faktor atau penyebabnya, antara lain:

a. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-coba tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang akan menimpanya.

b. Ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya, ada sementara pelaku bisnis yang sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut latar belakangnya.

c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam melindungi aktffitas bisnis mereka.

Adakalanya para pihak bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis karena hal itu dianggap sebagai bagian dari risiko bisnis. Persoalan terpenting bagi para pihak adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi atau mencegah

86

kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu, umumnya dalam perjanjian, para pihak mencantumkan klausul penyelesaian sengketa dalam perjanjian mereka. Jika pada akhirnya sengketa berkembang menjadi lebih kompleks maka upaya penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pihak, yaitu:

a. Penyelesaian melalui jalur pengadilan.

b. Penyelesaian melalui jalur diluar pengadilan. 87

Menurut Fisher dan Ury terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan, hak dan status kekuasaan. Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan serta dipertahankan.88

Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan umumnya didasarkan pada: a. Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, dimana untuk gugatan ini

harus didasarkan pada adanya hubungan perikatan di antara para pihak (penggugat dan tergugat);

b. Adanya perbuatan melanggar hukum, dimana dalam gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului adanya hubungan perikatan diantara para pihak, namun yang paling utama adalah adanya perbuatan yang merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat kesalahannya.

87

Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota Medan, tanggal 20 Mei 2010.

88

Sudah menjadi pendapat umum, khususnya di Indonesia, mengenai tidak efektif dan efisiennya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi (pengadilan). Bahkan belakangan muncul kritik bahwa proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak menjamin kepastian hukum, buang waktu dan mahal, meskipun pada azasnya beracara di pengadilan itu “sederhana, cepat dan biaya ringan”.

Bagi dunia usaha proses yang demikian jelas akan mengakibatkan kredibilitas para pihak menjadi rendah serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Pengadilan dipandang sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan. Dalam praktenya, penyelesaian sengketa yang terjadi antara apoteker dengan pemilik sarana apotek melalui jalur pengadilan sangat jarang dilakukan oleh pihak yang bersengketa. Apabila apoteker dan pemilik sarana apotek memutuskan hubungan dalam kerja sama sebelum waktu yang ditentukan dalam perjanjian misalnya tiga tahun, berakibat bagi pemilik sarana apotek adalah tidak adanya orang yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan terhadap obat yang diberikan pada konsumen apabila terdapat kekeliruan, sehingga membawa dampak negatif dengan diajukan pemilik sarana apotek ke Pengadilan, sehingga mengakibatkan pemilik sarana apotek memperoleh sanksi pidana di samping itu akan mengalami kerugian material, karena apotek dinyatakan tidak mampu memberikan pelayanan kepada konsumen, akibatnya ditarik atau dicabut izinnya.

Menurut Bachtiar, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sangat lambat, biaya mahal. Dalam proses beracara di pengadilan, pihak yang bersengketa biasanya diwakili oleh asosiasi atau organisasinya.89

Basuki Rekso Wibowo mengemukakan bahwa paradigma beracara di pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan kesempatan dan kekuatan untuk saling mengalahkan. Dengan pergeseran paradigma tersebut maka keadilan direduksi menjadi persoalan kalah dan menang.90

Garry Goodpaster mengemukakan enam alasan utama mengapa para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur pengadilan daripada proses negosiasi, sebagai berikut:91

a. Refusal to deal, salah satu pihak menolak untuk bermusyawarah sementara pihak yang lain tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa menyelesaikan sengketa melalui proses selain itu;

b. Negosiation failures, musyawarah yang berlangsung di antara para pihak mengalami kegagalan karena beberapa hal misal kurangnya keahlian. Salah satu pihak beranggapan bahwa penyelesaian melalui litigasi memberikan hasil yang lebih memuaskan baginya;

89

Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.

90Ibid

91

c. Zero-sum negotiation, para pihak melihat prospek penyelesaian sengketa melalui musyaawrah akan menempatkan mereka pada situasi kemungkinan “kalah-menang”. Melalui litigasi diharapkan akan memberikan posisi yang lebih kuat untuk meminta sesuatu bahkan pembebanan biaya-biaya;

d. The litigator-negotiator’s role, pengacara yang pada prinsipnya bekerja pada konteks area litigasi mungkin tidak berhasil melihat peluang penyelesaian melalui musyawarah, dan oleh karena itu lebih menyarankan kepada kliennya untuk menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi;

Dalam perspektif Indonesia, dimana masih banyak pengacara yang kurang menguasai prinsip dan teknik bernegosiasi dengan baik, maka alasan yang dikemukakan oleh Garry Goodpaster di atas dapat merugikan kepentingan klien dan merusak citra profesi mereka. Dengan kemampuan dan teknik negosiasi yang lemah, ujung-ujungnya mereka hanya mampu membangun retorika dalam bernegosiasi.92

Dalam pembuktian sengketa perdata, meskipun telah ditetapkan metode beban wajib bukti, batas minimal pembuktian, syarat formil dan materil maupun alat bukti yang sah dipergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian tidak pernah, bahkan tidak mungkin dihasilkan pembuktian yang sempurna dan logis apalagi pasti. Bahkan pembuktian perkara menurut hukum pada prinsipnya selalu

92

mengandung ketidakpastian relatif, sehingga kebenaran yang dihasilkan dari sistem pembuktian itu, pada dasarnya bersifat kebenaran nisbi atau relatif.93

Dalam kedudukan yang demikian, hakim wajib memberikan kesempatan yang sama dengan cara meletakkan beban pembuktian yang berpedoman kepada beratnya dalil yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian rupa agar berlangsung seimbang, sehingga pihak yang dibebani kewajiban pembuktian, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila dia mengajukan pembuktian. Pemilik sarana apotek dapat bertanggung jawab keluar terhadap konsumen yang dirugikan atas kesalahan obat yang diberikan oleh apoteker. Namun demikian, apabila hal tersebut terjadi, maka berarti apoteker telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada pihak pemilik sarana apotek. Sehingga apoteker bisa dikatakan telah melakukan wanprestasi, dengan demikian pemilik sarana apotek dapat melakukan pengakhiran atau pemutusan atas perjanjian kerja sama yang telah disepakati bersama. Jika pemutusan perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana apotek tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka sedikitnya banyak nama apoteker akan tercemar.

M. Yahya Harahap, mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:94

a. penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu; b. biaya mahal;

93

Shofie Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h. 44.

94

c. peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum; d. putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa; e. kemampuan hakim bersifat generalis;

f. putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup rasional.

Seperti halnya dalam penyusunan perjanjian yang perlu menekankan konsep win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Dalam penyelesaian sengketa diantara para pihak, maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution, terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi: negosiasi/ musyawarah, mediasi dan arbitrase.95

Pola ADR ini dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui wadah ini keberadaan para pihak sama-sama terlindungi. Selain itu ADR dipandang sebagai pilihan terbaik karena:

a. bersifat informal;

b. penyelesaian secara kooperatif oleh para pihak yang bersengketa; c. biaya murah;

d. penyelesaian cepat;

e. menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan; f. penyelesaian secara kompromi;

95

g. hasil yang dicapai sama-sama menang; h. hubungan semakin mesra;

i. tidak antagonistik serta tidak ada dendam; j. pemenuhan secara sukarela.96

Menurut Goldberg, terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa alternatif, yaitu:97

a. mengurangi kemacetan di pengadilan;

b. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa; c. memperlancar jalur keadilan;

d. memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.

Musyawarah sebagai salah satu alternatif utama penyelesaian sengketa merupakan sarana bagi pihak-pihak untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan, maupun pihak ketiga pengambil keputusan. Untuk itu agar penyelesaian sengketa melalui musyawarah berjalan efektif, disyaratkan:98

a. Para pihak bersedia bermusyawarah secara sukarela berdasarkan kesadaran yang penuh;

b. Para pihak siap melakukan musyawarah; c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan;

96

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 169.

97Ibid

, h. 281.

98

d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan;

e. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah.

Dalam kerangka perikatan yang win-win solution maka sejak awal pembuatan perjanjian sampai dengan pelaksanaannya, serta apabila kemungkinan terjadi sengketa di antara para pihak hendaknya senantiasa dihindari hal-hal yang dapat merusak pola kemitraan yang terbingkai dalam perjanjian. Sehingga upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak juga diarahkan pada pola penyelesaian win-win solution. 99

Seorang pemilik sarana apotek dapat memutuskan perjanjian kerjasama dengan apoteker, bila apoteker ternyata melakukan perjanjian kerjasama dengan pemilik sarana apotek yang lain. Hal ini tidak boleh dilakukan seorang apoteker, karena telah bertentangan dengan peraturan yang berlaku.100

Oleh karena itu musyawarah sebagai suatu proses yang utuh dan padu dalam suatu perjanjian harus senantiasa mewarnai mulai tahap pra-perjanjian, pembuatan perjanjian, serta pelaksanaan perjanjian, bahkan seandainya terjadi sengketa.

Dalam hal ini pemusyawarah harus mampu menyusun langkah, tahapan, gaya maupun strategi untuk mampu menyelesaikan masalah yang timbul. Melalui musyawarah diharapkan tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan

99

Wawancara dengan Abu Bakar, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kota Medan, tanggal 20 Mei 2010.

100

Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010.

para pihak di antara para pihak, sehingga adanya hubungan yang win-win solution akan mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif.

Musyawarah sebagai bagian dari metode alternatif penyelesaian sengketa, ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Adakalanya proses tersebut menghadapi fase kegagalan karena, antara lain, tidak diterima, diabaikan atau ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada pilihan penyelesaian melalui jalur litigasi.

Apabila terjadi sengketa, pada prinsipnya para pihak berupaya menempuh mekanisme yang mampu memberikan hasil terbaik bagi mereka. Pola penyelesaian dengan menggunakan mekanisme ADR maupun melalui pengadilan, keduanya tetap merupakan manifestasi yang membagi beban pembuktian secara seimbang.

Dalam prakteknya, penyelesaian sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) khususnya musyawarah/ negosiasi dan mediasi banyak dilakukan oleh pihak yang bersengketa (apoteker dengan pemilik sarana apotek). Contoh kasus yang banyak dijumpai adalah kasus mengenai pembayaran honorarium apoteker oleh pemilik sarana apotek.101

101

Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010.

BAB V