• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari Hukum Perikatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari Hukum Perikatan"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK

DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN

TESIS

Oleh

BUDI HARRY PRIMA

087011025/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK

DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

BUDI HARRY PRIMA

087011025/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Judul Tesis : ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN

Nama Mahasiswa : Budi Harry Prima Nomor Pokok : 087011025

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Ketua

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Dalam era pembangunan sekarang ini di dalam bidang kesehatan, khususnya apotek mempunyai peranan yang penting. Apotek terhadap konsumen mempunyai peranan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumen tentang pentingnya obat serta alat-alat kesehatan, maka pemerintah selalu mengawasi usaha pembukaan apotek karena merupakan salah satu usaha yang menyalurkan obat ke konsumen. Hubungan antara apoteker sebagai pengelola apotek dengan pemilik modal bukan lagi merupakan hubungan perburuhan, akan tetapi merupakan hubungan kerjasama yang sederajad. Dalam arti bahwa mereka sama kedudukan dalam apotek, sehingga perlu mengadakan suatu perjanjian tersendiri dalam menentukan kelangsungan suatu usaha apotek baik dalam masalah resiko kerugian pengelolaan maupun dalam pembagian keuntungan dan lain-lainnya.

Penelitian ini dilakukan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap permasalahan penulisan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perjanjian. Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu kuisioner dan wawancara, serta data sekunder yang berupa studi kepustakaan. Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui realibilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Perjanjian kerjasama antara apoterker dengan pemilik sarana apotek memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Hak dan kewajiban para pihak pada umumnya terlaksana dengan baik. Pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak akan menimbulkan tanggung jawab diantara keduanya. Tanggung jawab pemilik sarana apotek hanya memberikan sarana dan prasarana untuk mendirikan apotek. Tanggung jawab apoteker adalah sebagai pengelola apotek, yang menimbulkan tanggung jawab kepada konsumen. Apabila apoteker lalai menjalankan tanggung jawabnya, maka konsumen dapat menuntut ganti rugi. Penyelesaian sengketa antara apoteker dengan konsumen secara umum diselesaikan melalui musyawarah. Penyelesaian sengketa antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat diselesaikan melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Para pihak lebih memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan (musyawarah dan mediasi) dari pada memilih penyelesaian sengketa di pengadilan.

(6)

ABSTRACT

In the current era of health development, pharmacy plays an important role to meet the consumer’s need for medicine and health equipment. For that reason, the government always controls the establishment of pharmacy because it is one of the businesses to supply medicine to the consumers. The relationship between a pharmacist as the manager of a pharmacy and the investor is not an employer-employee relationship but an equal work cooperation which means they have the same position in the pharmacy business either in terms of loss, management or profit sharing.

This normative juridical study looked at anything related to the work agreement a pharmacist and the pharmacy owner by analyzing the problem based on regulations of legislation, theories, and concepts related to the aspects of agreement law. The data used in this study were primary data which were directly obtained through questionnaires and interviews, and the secondary data in the forms of library study. The data were qualitatively analyzed after being scrutinized, grouped, processed, and evaluated to obtain their reliability.

The agreement between a pharmacit and the pharmacy owner has a balanced rights and responsibility which have been well implemented that the implementation of rights and responsibility of the pharmacist and the pharmacy owner have resulted in mutual responsibilities between both parties. The responsibility of the pharmacy owner is only to provide the facility and infrastructure to establish the pharmacy and the responsibility of the pharmacist is to manage the pharmacy and be responsibility for the consumers. If the pharmacist fails to perform his responsibility, the consumers can claim for compensation. The dispute existing between the pharmacist and the consumers, in general, will be settled through deliberation. The settlement of dispute between the pharmacist and the pharmacy owner can be done in or outside of the court of law. But the parties involved prefer settling the dispute outside of the court (deliberation and mediation) to in the court.

Key words : Pharmacy, Pharmacist, Consumer, Dispute

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT sehingga berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN, dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan tesis ini mulai dari penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data di lapangan serta pengolahan hasil penelitian sampai tersajikannya karya ilmiah ini, penulis telah banyak mendapat sumbangan pemikiran maupun tenaga yang tidak ternilai harganya bagi penulis. Untuk itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh keikhlasan untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, MSc (CTM), SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. MHum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Bapak Syafnil Gani, SH. MHum, selaku Dosen Penguji yang telah menguji dan memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

6. Ibu Chairani Bustami, SH. SpN. MKn, selaku Dosen Penguji yang telah menguji dan memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

7. Seluruh staf Pengajar dan staf karyawan tata usaha pada Program Studi Magister Kenotariatan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan di Magister Kenotariatan Angkatan 2008 dan berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Kedua orang tua penulis, yang telah merawat, mengasihi, mendidik dan membesarkan serta memberikan tauladan kepada penulis tentang arti kejujuran, kerja keras dan keberhasilan, yaitu ayahanda Syaiful Harrys Hsb dan Ibunda Arlina Gusti.

(9)

kekurangan, sehingga pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun serta berharap semoga tesis ini dapat berguna bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, 25 Agustus 2010 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Budi Harry Prima

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 18 April 1984

Alamat : Jl. M. Yamin, SH Gg. Pisang Kel. No. 6 Medan

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

II. NAMA ORANG TUA

Bapak : Syaiful Harrys Hsb

Ibu : Arlina Gusti

III. PENDIDIKAN

SD Negeri 060792 Medan : 1991 SLTP Negeri 12 Medan : 1996 SMU Negeri 4 Medan : 1999

S1 FH USU : 2003

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

a. Kerangka Teori ... 12

b. Konsepsi ... 16

G. Metodologi Penelitian ... 19

a. Jenis Penelitian ... 19

b. Sumber data penelitian ... 19

c. Teknik Pengumpulan data ... 20

d. Alat pengumpulan data ... 21

(12)

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER

DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK ... 22

1. Dasar Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek ... 22

2. Anatomi klausul Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek ... 26

BAB III TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN ... 32

1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek ... 32

2. Hak Dan Kewajiban Konsumen ... 38

3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi Konsumen ... 41

BAB IV UPAYA HUKUM ANTARA PARA PIHAK JIKA TERJADI SENGKETA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK ... 87

1. Akibat Kegagalan Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek ... 87

2. Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

1. Kesimpulan ... 102

2. Saran ... 104

(13)

ABSTRAK

Dalam era pembangunan sekarang ini di dalam bidang kesehatan, khususnya apotek mempunyai peranan yang penting. Apotek terhadap konsumen mempunyai peranan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumen tentang pentingnya obat serta alat-alat kesehatan, maka pemerintah selalu mengawasi usaha pembukaan apotek karena merupakan salah satu usaha yang menyalurkan obat ke konsumen. Hubungan antara apoteker sebagai pengelola apotek dengan pemilik modal bukan lagi merupakan hubungan perburuhan, akan tetapi merupakan hubungan kerjasama yang sederajad. Dalam arti bahwa mereka sama kedudukan dalam apotek, sehingga perlu mengadakan suatu perjanjian tersendiri dalam menentukan kelangsungan suatu usaha apotek baik dalam masalah resiko kerugian pengelolaan maupun dalam pembagian keuntungan dan lain-lainnya.

Penelitian ini dilakukan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap permasalahan penulisan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perjanjian. Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu kuisioner dan wawancara, serta data sekunder yang berupa studi kepustakaan. Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui realibilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Perjanjian kerjasama antara apoterker dengan pemilik sarana apotek memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Hak dan kewajiban para pihak pada umumnya terlaksana dengan baik. Pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak akan menimbulkan tanggung jawab diantara keduanya. Tanggung jawab pemilik sarana apotek hanya memberikan sarana dan prasarana untuk mendirikan apotek. Tanggung jawab apoteker adalah sebagai pengelola apotek, yang menimbulkan tanggung jawab kepada konsumen. Apabila apoteker lalai menjalankan tanggung jawabnya, maka konsumen dapat menuntut ganti rugi. Penyelesaian sengketa antara apoteker dengan konsumen secara umum diselesaikan melalui musyawarah. Penyelesaian sengketa antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dapat diselesaikan melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Para pihak lebih memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan (musyawarah dan mediasi) dari pada memilih penyelesaian sengketa di pengadilan.

(14)

ABSTRACT

In the current era of health development, pharmacy plays an important role to meet the consumer’s need for medicine and health equipment. For that reason, the government always controls the establishment of pharmacy because it is one of the businesses to supply medicine to the consumers. The relationship between a pharmacist as the manager of a pharmacy and the investor is not an employer-employee relationship but an equal work cooperation which means they have the same position in the pharmacy business either in terms of loss, management or profit sharing.

This normative juridical study looked at anything related to the work agreement a pharmacist and the pharmacy owner by analyzing the problem based on regulations of legislation, theories, and concepts related to the aspects of agreement law. The data used in this study were primary data which were directly obtained through questionnaires and interviews, and the secondary data in the forms of library study. The data were qualitatively analyzed after being scrutinized, grouped, processed, and evaluated to obtain their reliability.

The agreement between a pharmacit and the pharmacy owner has a balanced rights and responsibility which have been well implemented that the implementation of rights and responsibility of the pharmacist and the pharmacy owner have resulted in mutual responsibilities between both parties. The responsibility of the pharmacy owner is only to provide the facility and infrastructure to establish the pharmacy and the responsibility of the pharmacist is to manage the pharmacy and be responsibility for the consumers. If the pharmacist fails to perform his responsibility, the consumers can claim for compensation. The dispute existing between the pharmacist and the consumers, in general, will be settled through deliberation. The settlement of dispute between the pharmacist and the pharmacy owner can be done in or outside of the court of law. But the parties involved prefer settling the dispute outside of the court (deliberation and mediation) to in the court.

Key words : Pharmacy, Pharmacist, Consumer, Dispute

(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada dasarnya suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.1

Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.2

Kebebasan berkontrak yang merupakan inti dari sebuah perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak para pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang.3 Dengan demikian diharapkan akan muncul perjanjian yang adil dan seimbang bagi para pihak. Urgensi pengaturan perjanjian

1

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 1.

2Ibid

3

(16)

dalam praktek bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara seimbang bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan yang adil dan saling menguntungkan. 4

Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, maka pihak tersebut dapat dituntut untuk dimintakan ganti rugi. Dengan demikian pertanggungjawaban atas ganti rugi yang diajukan salah satu pihak memberikan konsekuensi kepada pihak lain untuk memenuhi prestasi yang dibuat para pihak dalam suatu perjanjian.

Perjanjian menurut namanya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang dikenal di dalam KUH Pedata. Contoh yang termasuk dalam perjanjian bernama adalah jual beli. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. Contoh dari perjanjian tidak bernama adalah perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.5

Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dalam mengelola apotek yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dapat mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang bagi para pihak yang melakukan suatu perjanjian, karena telah dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud oleh pasal 1320 KUH Perdata.6

Mengenai bentuk dan isi perjanjian diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan mengenai perikatan

4

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit. h. 6

5

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, 2000, h. 42.

6

(17)

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya dalam Buku III KUH Perdata yang mempunyai sifat terbuka dan adanya asas kebebasan berkontrak.7 Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dalam perspektif KUHPerdata, daya mengikat suatu perjanjian dapat dicermati dari rumusan Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Pengertian isi dari pasal tersebut menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang. 8

Kebebasan berkontrak pada intinya mengandung pengertian bahwa para pihak bebas memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Lebih jauh lagi para pihak yang membuat perjanjian mempunyai posisi yang setara dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya, sehingga menjadi seimbang hak dan kewajiban diantara para pihak. Mengenai sebab dari suatu perjanjian haruslah halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dalam perjanjian kerjasama pengelolaan apotek, apotek yang dikelola harus telah mendapatkan izin usaha apotek. Tata cara pemberian izin apotek diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 922/Men.Kes/Per/X/1993 yang telah diubah

7

Ibid.

8

(18)

oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/Kep/X/2002 tentang ketentuan dan tata cara penberian izin apotek.9

Adanya kerjasama antara apoteker dengan pihak lain yang bersedia menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek, maka yang terjadi adalah adanya hubungan hukum antara apoteker dengan pihak lain sebagai pemilik apotek, dimana pihak yang satu mengikat diri dengan pihak lain dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, tetap terjadi pemisahan antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang juga menyangkut hak dan kewajiban para pihak.

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Keterikatan antara apoteker dengan konsumen telah diatur dalam undang-undang sebagai tanggung jawab apoteker dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya walaupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Jadi, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yang dibuat dengan dua pihak saja, juga memberikan akibat hukum kepada pihak ketiga (konsumen).

9

(19)

Kaitannya dengan pengelolaan apotek terhadap konsumen tidak terlepas dari pelayanan kefarmasian kepada konsumen itu sendiri. Pelayanan kefarmasian dilakukan selain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap farmasi dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan konsumen, juga untuk melindungi konsumen dari bahaya penyalahgunaan farmasi atau penggunaan farmasi yang tidak tepat dan tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Perkembangan dunia kesehatan yang semakin baik, memberikan dampak positif bagi dunia usaha dibidang kesehatan. Apoteker sebagai sarjana kefarmasian yang membutuhkan tempat untuk menerapkan keahliannya, sementara itu pengusaha dibidang kesehatan yang membutuhkan tenaga ahli dalam mengelola usahanya, menjadikan apoteker dan pengusaha mempunyai tujuan untuk melaksanakan suatu bentuk kerjasama yang dapat dibuat dalam suatu perjanjian.

Dalam pelayanan kefarmasian di apotek, peranan apoteker menjadi perhatian utama karena apoteker merupakan penanggung jawab dalam praktek pelayanan kefarmasian di apotek. Disamping itu, apotek juga bukan saja merupakan tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker pengelola apotek, dengan bantuan tenaga kesehatan dan non kesehatan.10

10

(20)

Peran apoteker bukanlah sekedar meracik obat, tetapi juga memberikan informasi obat yang aman dan benar.

Peningkatan pengadaan dan pengelolan tenaga kesehatan, khususnya apoteker dan pemilik sarana apotek, diharapkan dapat menunjang peningkatan upaya kesehatan konsumen. Penyebaran tenaga kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata guna mengembangkan program-program kesehatan.

Apotek merupakan suatu tempat, tertentu tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada konsumen. Sebagai tenaga kesehatan kesarjanaan, apoteker dapat berperan sebagai pengusaha, tenaga kesehatan di rumah sakit dan pengelolaan apotek.11 Akan tetapi pada hakekatnya apoteker adalah seorang profesional yang terikat oleh sumpah dan kode etik apoteker.12

Kedudukan konsumen yang memerlukan bantuan jasa profesional, rata-rata lebih lemah. Di samping itu juga perlu dicatat, bahwa peranan profesional secara umum bersifat rahasia dan didasarkan pada kepercayaan, yang justru oleh karena kedudukannya yang lebih kuat. Oleh karenanya diharapkan kejujuran dari tenaga ahli yang berkompeten dibidang kesehatan.

Mengenai kesehatan konsumen, situasi dan perkembangan perekonomian global melalui dibukanya pasar bebas menimbulkan dampak yang nyata atas perekonomian nasional, termasuk sektor kefarmasiaan dalam berbagai kegiatan,

11

Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Apotik dan Apoteker, Mandar Maju, Bandung, 1998, h. 8.

12

(21)

mulai dari sektor kegiatan produksi, pengawasan produksi, distribusi dan perdagangan obat-obatan.

Pembangunan kesehatan diarahkan mempertinggi derajat kesehatan termasuk keadaan gizi konsumen dalam rangka peningkatan kualitas dan taraf hidup serta kecerdasan kesejahteraan konsumen pada umumnya. Pembangunan kesehatan dilakukan dengan memberikan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan.

Sehubungan dengan itu, perlu ditingkatkan upaya untuk memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih baik. Untuk memperoleh pelayanan kesehatan kepada konsumen dengan mutu yang lebih baik, perlu terus ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit, lembaga-lembaga pemulihan kesehatan, serta lembaga-lembaga kesehatan lainnya termasuk antara perusahaan kefarmasian dengan pengelola apotek. Kemudian ditingkatkan pula penyediaan dan pemerataan tenaga medis, paramedis dan tenaga kesehatan lainnya, serta penyediaan obat yang makin merata dan terjangkau oleh rakyat.

Dalam bidang kesehatan, apotek mempunyai peran yang sangat besar dalam hal pendistribusian perbekalan kesehatan kepada konsumen. Pendistribusian perbekalan kesehatan dalam hal obat-obatan tersebut meliputi pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi, selain itu apotek juga memberikan pelayanan informasi tentang obat-obatan kepada konsumen secara umum.

(22)

dokter hewan. Dalam pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek.

Kedua, penyimpanan dibidang farmasi, dalam hal ini apotek dapat menyimpan segala obat-obatan yang merupakan kebutuhan masyarakat dan juga kebutuhahn obat-obatan guna melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan.

Ketiga, penyaluran dan penyerahan di bidang farmasi, dalam hal ini apotek sebagai penyalur atau pendistribusi obat-obatan untuk masyarakat, dimana masyarakat dapat membeli obat-obatan sesuai dengan kebutuhan dan resep dokter. 13

Pengelolaannya, pemilik sarana apotek dibantu oleh tenaga medis profesional yang memiliki ijasah dan surat izin kerja yang disebut sebagai apoteker pengelola apotek. Apoteker tersebut bertindak sebagai penanggung jawab operasional dan seluruh kegiatan apotek tersebut merupakan tanggung jawab sepenuhnya apoteker.

Dengan adanya tanggung jawab apoteker tersebut, maka dapat dilihat bahwa adanya kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, juga mengikat konsumen secara tidak langsung dalam pelaksanaan perjanjian yang dibuat para pihak. Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek tersebut haruslah dicermati pula apakah perjanjian yang dibuat sudah sesuai dengan baik.

Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dilakukan dalam bentuk tertulis, agar mempunyai bukti yang sah bagi para pihak. Perjanjian tersebut dapat dibuat dengan akta otentik, yaitu suatu perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini adalah notaris, dan dapat juga

13

(23)

dibuat dengan akta dibawah tangan, yaitu perjanjian tertulis yang tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.

Dengan demikian dengan adanya pejanjian secara tertulis, maka pihak apoteker dengan pemilik sarana apotek masing-masing dilindungi haknya. Para pihak yang mengadakan kerja sama (apoteker dan pemilik modal) menghadap Notaris tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Keduanya secara sukarela dan penuh keyakinan, dengan cara itu masing-masing memperoleh kepastian hukum.

Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, terlebih dahulu menyatakan bahwa Apoteker melakukan tugas pengabdian profesi dengan mengelola sebuah apotek yang mempergunakan sarana pemilik sarana apotek. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek tersebut timbul sengketa, maka dapat disepakati penyelesaiannya melalui musyawarah atau mediasi dan bilamana tidak membawa hasil penyelesian berikutnya melalui jalur hukum melalui pengadilan.14

Mengingat semakin berkembangnya berbagai perjanjian diluar KUH Perdata, khususnya hukum perikatan dibidang kesehatan, menjadi wacana yang banyak diperbincangkan baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi, maka menjadi

14

(24)

keinginan penulis untuk meneliti suatu permasalahan yang dapat memberikan sumbangsih terhadap persoalan hukum perikatan dibidang kesehatan.15

Tidak banyaknya referensi-referensi yang dapat dicari oleh setiap kalangan, baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi dalam mempelajari ataupun menelaah hukum perikatan khusus bidang kesehatan, maka dalam hal ini saya melakukan penelitian yang memfokuskan diri pada judul tesis, yaitu ASPEK HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK DITINJAU DARI HUKUM PERIKATAN.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, perumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antara

apoteker dengan pemilik sarana apotek?

2. Bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian bagi konsumen?

3. Bagaimana upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek?

15

(25)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, jika terjadi kerugian bagi konsumen.

3. Untuk mengetahui upaya hukum antara para pihak bila terjadi sengketa dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagi berikut:

1. Secara teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum dan juga masukan bsgi penyempurnaan pranata hukum, khususnya dalam lapangan hukum perikatan dan hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia yaitu mengenai perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek 2. Secara Praktis

(26)

peraturan-peraturan dibidang hukum perikatan dan hukum kesehatan, agar tercipta suatu unifikasi hukum di dalam masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdsarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang `Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Ditinjau Dari Hukum Perikatan` belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas sebelumnya. Salah satu perbandingan judul tesis yang dimaksud kepunyaan Donny Parhimpunan Harahap adalah “PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA EVENT ORGANIZER DENGAN MANAJEMEN BAND”. Dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.16 Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori keadilan berbasis perjanjian (John Rawls) yang menyebutkan keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan perjanjian, dimana azas-azas keadilan yang dipilih

16

(27)

bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama, bebas, rasional dan sederajat.17

Melalui pendekatan perjanjian sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

Definisi perjanjian menurut pendapat Subekti, “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.18

Menurut Van Dunne, ada tiga tahap teori perjanjian modern, yaitu : a. Tahap Pra Perjanjian;

b. Tahap Perjanjian, adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

c. Tahap Setelah Perjanjian, adanya pelaksanaan perjanjian.19

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan pendapatnya bahwa “suatu perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

17

Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. h. 43

18

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2005, h. 1.

19

(28)

melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.20

Buku III KUHPerdata, tentang perikatan, tidak mengatur mengenai perjanjian kerjasama. Mengenai perikatan bisa dilahirkan karena perjanjian dan bisa dilahirkan karena undang-undang (pasal 1233 KUHPerdata). Hukum perjanjian mempunyai cakupan yang lebih sempit dari istilah hukum perikatan. “Hukum perikatan mencakup semua bentuk perikatan dalam buku III KUHPerdata, jadi termasuk ikatan hukum yang terbit dari undang-undang, sedangkan hukum perjanjian hanya dimaksudkan mengatur tentang ikatan hukum yang terbit dari perjanjian”.21

Buku III KUHPerdata bersifat terbuka, maksudnya para pihak yang ingin membuat perikatan atau perjanjian bebas menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku III KUHPerdata asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Berdasarkan hal di atas, suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dari peristiwa ini timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan

20

Prodjodikoro Wirjono, Asas-asas hukum perjanjian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 46.

21

(29)

perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Apabila di antara salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dianggap tidak sah. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata tentang akibat suatu perjanjian disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena selain alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemlik sarana apotek, di mana kedua pihak ini saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yaitu dalam hal mengelola suatu apotek. Melalui perjanjian ini, ditentukan hak dan kewajiban para pihak.

(30)

Hak, kewajiban dan tanggung jawab antara apoteker dengan konsumen diatur oleh undang-undang, yang tidak begitu saja dapat dikesampingkan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, karena salah satu pasal dari isi perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, secara umum mewajibkan apoteker tunduk kepada undang-undang dan kode etik apoteker dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola apotek.

2. Konsepsi

Dalam konsepsi diungkapkan beberapa pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. “Konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali abstrak, sehingga diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.22

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian konsepsi yang dipakai.

a. Apotek.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan

22

(31)

apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat.

Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat; pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya dan pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang terdiri atas obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), bahan obat asli Indonesia (simplisia), alat kesehatan dan kosmetika. b. Pemilik Sarana Apotek

Dalam membahas pengertian tentang pemilik sarana apotek atau disebut juga sebagai pemilik modal penulis akan mengemukakan terlebih dahulu pengertian modal. Menurut pendapat Ahmat Ihsan, dalam bukunya hukum dagang, mengemukakan dimaksud pengertian modal adalah suatu perwujudan kesatuan benda yang dapat berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan suatu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan.

(32)

menjadi pemilik sarana apotek adalah pengusaha, apoteker, rumah sakit, instansi pemerintah dan swasta yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. c. Apoteker

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Nomor 992/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Apoteker sebagai seorang sarjana yang mengemban profesi, memiliki keahlian dan keterampilan dalam ilmu kefarmasian yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, berpegang teguh pada sumpah yang diucapkannya dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apoteker dalam menjalankan profesinya harus memenuhi hak dan kewajibannya. Apoteker juga bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.

(33)

pemilik sarana apotek yang berhubungan dengan masalah tanggung jawabnya, yang juga menyangkut hak dan kewajiban para pihak.

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan hukum terhadap kedua pihak saja, akan tetapi hal ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab apoteker sebagai pengelola apotek kepada konsumen sebagai pihak ketiga yang tidak secara langsung ikut dalam perjanjian antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan untuk mengkaji penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif. Pemilihan jenis penelitian ini mengingat telaah terhadap permasalahan penulisan ini bersumber pada materi peraturan perundang-undangan, teori-teori, serta konsep yang berhubungan dengan aspek hukum perjanjian. Beranjak dari jenis penelitian tersebut diharapkan dapat memperoleh bentuk perjanjian kerjasama yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya.

2. Sumber data penelitian

Dalam penulisan ini bahan hukum yang dijadikan sebagai rujukan adalah menggunakan data sekunder, yang terdiri dari:

(34)

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini buku III KUH Perdata tentang perikatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Men/Kes/Kep/X/2002 tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Apotek serta peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu buku-buku ilmu hukum, tesis, disertasi, jurnal hukum, laporan hukum, makalah dan media cetak atau elektronik.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan internet serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.

3. Teknik Pengumpulan Data

(35)

menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Beranjak dari pengumpulan data penelitian kepustakaan diharapkan dapat memperoleh suatu bentuk perjanjian kerjasama yang memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data yang dilakukan di Apotek Navisa dan Apotek Budi melalui wawancara langsung dan melakukan pengamatan di beberapa apotek guna memperoleh data yang lebih akurat dalam praktek sehari-hari.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data sekunder).

5. Analisis Data

(36)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN

PEMILIK SARANA APOTEK

1. Dasar Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek.

Hukum, hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat dalam lalu lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan, sementara itu kewajiban merupakan beban.

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Hak-hak pemilik sarana apotek sebagai pelaku usaha adalah diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

(37)

b. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

c. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban pemilik sarana apoteker sebagai pelaku usaha adalah diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberi kompensasi, ganti rugi barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban-kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak semuanya dapat diterapkan kepada pemilik sarana apotek karena kewajiban lainnya yang terdapat dalam undang-undang tersebut lebih diterapkan kepada apoteker. Apoteker mempunyai kewajiban sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian yang berhubungan dengan konsumen.

(38)

melaksanakan pendirian usaha apotek serta menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek.

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

b. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

c. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan; d. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

(39)

d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan;

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

a. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan obat paten.

c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d. Apoteker wajib memberikan informasi:

(1). Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen. (2). Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

(40)

memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

Pemilik sarana apotek atau pemilik modal tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban apoteker. Hal ini dikarenakan pemilik sarana apotek dalam suatu perjanjian kerjasama hanya berkewajiban menyediakan sarana dan prasana suatu bentuk usaha. Pemilik sarana apotek juga harus melaksanakan hak dan kewajibannya dengan iktikad baik. Berbeda dengan apoteker karena memiliki kewajiban sebagai pengelola apotek, kewajiban apoteker juga harus ditentukan oleh undang-undang, karena hal itu berhubungan dengan pihak ketiga, dalam hal ini konsumen.

2. Anatomi Klausul Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

Suatu perjanjian merupakan hasil kesepakatan antara para pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum dalam suatu perjanjian tercermin dari klausul-klausul atau pasal-pasal yang tertuang dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sah, dengan memenuhi pasal 1320 KUH Perdata.23

Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, menempatkan

23

(41)

posisi para pihak dalam posisi seimbang. Artinya, para pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai kesepakatan yang telah ada.

Secara umum, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek terdiri dari beberapa pasal, yaitu:

Pasal 1 (satu) berisi mengenai para pihak bersepakat untuk mematuhi ketentuan dan persyaratan mengenai pendirian sebuah apotik sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Taahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/Kep/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 02401/A/SK/X/90, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Pasal 2 (dua) berisi mengenai pihak kedua (pemilik sarana apotek) menyediakan sarana-sarana apotek yang terdiri dari bangunan, perlengkapan apotek, perbekalan kesehatan dibidang farmasi sebagaimana terdapat dalam daftar perincian sarana yang akan diperbuat kedua belah pihak yang menjadi milik dan/atau berada dalam penguasaan pihak kedua.

(42)

permohonan pendirian apotek. Untuk menghindari kekurangan yang ada, maka sebaiknya pemilik sarana apotek melakukan dua hal, yaitu menginventarisasi semua kebutuhan perlengkapan sarana pendirian apotek dan membeli sesuai dengan kebutuhan, menginventarisasi dan mengurus semua berkas-berkas yang dibutuhkan dalam pendirian dan pengelolaan apotek.

Secara umum sarana dan prasana yang dimiliki oleh sebuah apotek yang dapat disediakan oleh pemilik sarana apotek adalah:

a. Papan nama apotek

b. Ruang tunggu yang nyaman

c. Tersedianya tempat untuk mendisplay obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi konsumen

d. Ruang racikan

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya f. Ruang/ tempat penyerahan obat

g. Tempat pencucian alat24

Pasal 3 (tiga) berisi mengenai pihak pertama (apoteker) berkewajiban melakukan pengelolaan apotek sesuai dengan fungsi dan profesinya sebagai seorang apoteker dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

24

(43)

Pemahaman pasal ini dimana apotek merupakan tempat pengabdian profesi seorang apoteker, sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, penyerahan obat dan pelayanan informasi kefarmasian yang dibutuhkan konsumen. Kewajiban pengelolaan apotek tidak mungkin dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai pendidikan (keahlian) kefarmasian, oleh karena apoteker yang hanya dapat mengelola apotek dan kegiatan apoteker harus didasaarkan pada kode etik profesi dan standar pelayanan profesi apoteker.

Pasal 4 (empat) berisi mengenai pihak pertama adalah pimpinan apotik yang berhak dan berkewajiban serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan apotek, pengelolaan apotek mana meliputi bidang pelayanan kefarmasian, bidang material, bidang ketenagakerjaaan, bidang lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi apotek, satu dan lainnya sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri kesehatan.

Dalam pasal tersebut, seorang apoteker dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan sistem prosedur operasional. Pengertian sistem ini meliputi cara-cara untuk mengawasi pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab suatu fungsi kegiatan yang ada di apotek. Struktur sistem yang umum terdapat di apotek terdiri dari fungsi-fungsi sebagai pusat pertanggungjawaban, antara lain sistem pembelian, sistem penjualan, sistem pelayanan, sistem pembukuan.25

Pasal 5 (lima) berisi mengenai honorarium atas kewajibannya, pihak pertama berhak untuk mendapatkan honorarium setiap bulan yang jumlahnya diketahui dan

25

(44)

disepakati bersama dan dapat ditinjau kembali berdasarkan perkembangan apotek, pembayaran honorarium mulai berlaku pada saat apotek sudah berjalan (operasional).

Apoteker sebagai pihak yang memiliki keahlian tertentu, berhak mendapatkan honorarium apabila melaksanakan pekerjaanya dengan pihak lain (pemilik sarana apotek). Hal ini karena pihak pemilik sarana apotek tidak akan dapat mendirikan usaha apotek, yang mana dalam pengelolaan apotek membutuhkan suatu keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh apoteker. Honorarium ini dapat ditinjau ulang berdasarkan perkembangan usaha apotek ini nantinya apakah memproleh laba atau rugi.

Pasal 6 (enam) berisi mengenai apabila timbul perbedaan pendapat atau perselisihan diantara kedua belah pihak, sedapat mungkin diusahakan penyelesaiannya secara kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat, akan tetapi bila masih juga tidak terdapat persesuaian maka dapat ditempuh penyelesaiannya melalui badan arbitrase yang dibentuk bersama, badan arbitrase tersebut dibentuk dan terdiri dari tiga orang anggota, dimana masing-masing pihak memilih seorang anggota dan kedua orang yang terpilih tersebut memilih anggota ketiga.

(45)

pihak-pihak yang bersengketa dikarenakan beracara melalui pengadilan proses penyelesaiannya lambat dan biaya cukup mahal.26

Pasal 7 (tujuh) berisi mengenai perjanjian kerja sama berlaku untuk jangka waktu misalnya 3 (tiga) tahun, terhitung sejak ditandatanganinya akta ini. Pasal 8 (delapan) berisi mengenai dalam segala hal yang tidak cukup diatur dalam akta ini akan diputuskan oleh kedua belah pihak dengan perjanjian tersendiri. Pasal 9 (sembilan) berisi mengenai segala ongkos dan biaya pembuatan akta ini dipikul oleh pihak kedua. Dan pasal 10 (sepuluh) berisi mengenai para pihak memilih tempat tinggal yang tetap dan umum-mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Medan.

Evaluasi jangka waktu lamanya perjanjian kerjasama biasanya dilihat berdasarkan laporan keuangan apotek. Apabila apotek tetap mendapatkan laba, maka perjanjian kerjasama dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya dan apabila apotek mengalami kerugian maka perjanjian kerjasama dapat dibatalkan.27 Hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian kerjasama dapat disepakati tersendiri oleh apoteker dengan pemilik sarana apotek, misalnya dalam pemberian honorarium dapat berubah sesuai kesepakatan bersama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dan segala resiko dan akibat pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut menjadi tanggung jawab para pihak.

26

Wawancara dengan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.

27

(46)

BAB III

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA

APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN

1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek

Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Peraturan Pemerrntah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek juga dinyatakan bahwa “Pengelolaan (pekerjaan kefarmasian) apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang apoteker dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi”.

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, peran apoteker yang menyandang gelar sarjana farmasi, telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia bertanggung jawab terhadap aspek pelayanan kefarmasian dan pengelolaan apotek.

Dalam prakteknya, sebagian besar apoteker memberikan pelayanan kefarmsian dan pengelolaan apotek belum maksimal. Hal ini dikarenakan sebagian besar apoteker tidak setiap hari datang ke apotek tempatnya bekerja.28 Keharusan apoteker untuk mengelola apotek setiap harinya sangat diperlukan guna memberikan pelayanan kefarmasian yang baik bagi konsumen.

28

Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010.

(47)

Tabel Kegiatan Pembelian dan Penjualan di Apotek Budi dan Apotek Navisa. distributor berdasarkan penjualan bulan sebelumnya, sedangkan pada bagian penjualan, kedua apotek mengalami kenaikan penjualan obat, akan tetapi sisa obat yang belum terjual akan disimpan pada bagian pergudangan untuk dijadikan stok barang bulan selanjutnya.

(48)

8. Lama Pemakaian 24 25

Pada kegiatan konsumen, responden dengan jumlah 100 (seratus) orang yang dilakukan melalui kuisioner membuat suatu perbandingan yang cukup. Hal ini berarti aktivitas di kedua apotek tidak memiliki perbedaan yang jauh. Hal ini berdasarkan kebiasaan para pihak yang telah memiliki pengalaman sebelum mendirikan apotek. Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Budi.

Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang Tidak Diberikan Bagian

Bulan Langsung Tertunda Stok

Habis

Permintaan Konsumen

Maret 198 7 - 5

(49)

Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Navisa.

Item Obat Yang Diberikan Item Obat Yang Tidak Diberikan Bagian

Bulan Langsung Tertunda Stok

Habis

Permintaan Konsumen

Maret 207 8 - 7

April 212 4 - 4

Pada kegiatan pergudangan, jenis obat yang diberikan di kedua apotek mengalami kenaikan pada bulan april dikarenakan adanya kenaikan pada kegiatan penjualan, sedangkan yang tertunda, setelah keluar dari bagian gudang, konsumen tidak jadi membeli. Item obat yang tidak diberikan pada konsumen dikarenakan adanya obat resep yang tidak mampu dibayar konsumen sehingga apoteker mengganti dengan obat yang murah tapi memliki dosis yang sama.

Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Budi

Kerusakan Kehilangan

Hal

Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang

Maret - - - -

(50)

Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Navisa.

Kerusakan Kehilangan

Hal

Bulan Dokumen Uang Dokumen Uang

Maret - - - -

April 1 - - -

Pada kegiatan pembukuan, data yang dimaksud diatas sangat jarang terjadi karena yang berwenang pada kegiatan tersebut selalu menata dengan baik penyusunan dokumen, walaupun terkadang ada juga yang lepas dari pengamatan dikarenakan begitu banyak konsumen yang datang ke apotek.

Berdasarkan hal itu apoteker harus mengusahakan terpenuhinya keperluan konsumen dengan sebaik-baiknya akan obat-obatan, sehingga apoteker sebagai pengemban profesi harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Apoteker yang mengelola apotek tersebut mempunyai tugas dan fungsi yang meliputi:29

a. Membuat visi dan misi;

b. Membuat strategi, tujuan, sasaran dan program kerja;

c. Membuat dan menetapkan peraturan pada setiap fungsi kegiatan di apotek;

d. Membuat dan menentukan indikator form record pada setiap fungsi kegiatan di apotek;

29

(51)

e. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SPO dan program kerja pada setiap fungsi kegiatan di apotek;

Wewenang dan tanggung jawab apoteker meliputi:30 a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan;

b. Menentukan sistem yang akan digunakan;

c. Mengawasi pelaksanaan SPO dan program kerja; d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang diperoleh;

Apoteker juga bertanggung jawab terhadap pelayanan baik obat keras maupun resep dengan memberikan jasa profesi terbaik termasuk informasi tentang cara pemakaian obat, dosis obat dan konsultasi ke dokter penulis resep bila ada keraguan. Untuk melaksanakan kegiatannya itu seorang apoteker dibantu oleh asisten apoteker.

Tugas dan Fungsi Apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek, adalah sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan; b. Sarana farmasi yang telah melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat;

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata;

d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada masyarakat;

30

(52)

Dalam hal pemberian informasi dan obat kepada konsumen, kehadiran seorang apoteker merupakan sosok yang paling bertanggung jawab terhadap terjaminnya keamanan pemakaian obat. Informasi-informasi penting tentang obat merupakan hal yang mutlak yang harus dimengerti oleh konsumen. Kalau perlu seorang apoteker memberikan waktu khusus untuk menerangkan secara lebih rinci akibat berlanjut dan efek samping obat tersebut.

2. Hak Dan Kewajiban Konsumen

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan secara jelas pengertian dari konsumen, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diharapkan agar meniadakan tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pelaku usaha untuk melindungi kepentingan konsumen.

(53)

Oleh karena itu, konsumen memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Hak-hak konsumen terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diantaranya adalah:

a. Hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/ atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/ atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(54)

Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/ atau jasa dalam penggunaannya mendapatkan kenyamanan, keamanan, maupun tidak membahayakan konsumen, maka konsumen diberikan suatu hak yang sesuai dengan kemampuannya untuk memilih barang dan/ atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terjadi sesuatu yang merugikan konsumen, maka konsumen tersebut berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, mendapatkan keadilan, kompensasi sampai ganti rugi.

Kewajiban konsumen terdapat pada Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;

(55)

3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi Konsumen.

Hubungan Hukum Antara Apotek dengan Pendiri Apotek (Apoteker Dan Pemilik Sarana Apotek (Pengusaha))

Perjanjian kerjasama

Sumber: Hasil analisis bahan hukum primer

Hubungan tersebut diatas terjadi karena seorang pengusaha tidak akan dapat mendirikan suatu usaha apotek tanpa adanya seorang apoteker. Hal ini dikarenakan setiap pengusaha yang ingin mendirikan usaha apotek, wajib melampirkan surat izin kerja seorang apoteker, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pengusaha serta melampirkan surat rekomendasi dari ikatan apoteker indonesia.31 Berdasarkan hal tersebut apoteker dan pemilik sarana apotek (pengusaha) mempunyai kedudukan yang seimbang bila dilihat dari segi hukum perikatan.

31

Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan. tanggal 12 Mei 2010.

Apoteker

Pengusaha

Gambar

Tabel Kegiatan Pembelian dan Penjualan di Apotek Budi dan Apotek Navisa.
Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Budi.
Tabel Kegiatan Pergudangan di Apotek Navisa.
Tabel Kegiatan Pembukuan di Apotek Navisa.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga input peserta didik berasal dari anak-anak cerdas yang sudah berkemampuan membaca al-Qur’an secara tartil serta menguasai hafalan Juz’amma (Juz 30). Program

Dari pernyataan Underwood (2002) dapat diartikan bahwa perlakuan kain katun berwarna merah akan menyerap energi cahaya yang banyak sehingga bobot buah segar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun ceremai berpengaruh secara nyata terhadap mortalitas larva Aedes aegypti, baik pada 24, 48 maupun 72 jam

Promosi melalui forum merupakan salah satu promosi percuma yang amat bekesan bagi mempromosi produk affiliate lebih-lebih lagi jika tiada produk yang serupa di forum

4 Pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengembangan model prediksi tinggi badan dengan prediktor panjang ulna dan demi span pada berbagai wilayah dan etnis

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika peserta

Quenching akan mencegah adanya proses yang dapat terjadi pada pendinginan lambat seperti pertumbuhan butir Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kekerasan, kekuatan tarik

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Ilma Alfiana pada tahun 2019 ini membahas tentang membandingkan rata rata produktifitas pekerjaan pemasangan pemasangan keramik menurut