• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi

APOTEK JIKA TERJADI KERUGIAN BAGI KONSUMEN 1. Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker Dalam Pengelolaan Apotek

3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek Jika Terjadi Kerugian Bagi

Konsumen.

Hubungan Hukum Antara Apotek dengan Pendiri Apotek (Apoteker Dan Pemilik Sarana Apotek (Pengusaha))

Perjanjian kerjasama

Sumber: Hasil analisis bahan hukum primer

Hubungan tersebut diatas terjadi karena seorang pengusaha tidak akan dapat mendirikan suatu usaha apotek tanpa adanya seorang apoteker. Hal ini dikarenakan setiap pengusaha yang ingin mendirikan usaha apotek, wajib melampirkan surat izin kerja seorang apoteker, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pengusaha serta melampirkan surat rekomendasi dari ikatan apoteker indonesia.31 Berdasarkan hal tersebut apoteker dan pemilik sarana apotek (pengusaha) mempunyai kedudukan yang seimbang bila dilihat dari segi hukum perikatan.

31

Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan. tanggal 12 Mei 2010.

Apoteker

Pengusaha

Dalam Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 Tahun 1981, berbunyi permohonan izin apotek yang sarana apotek dimiliki pihak lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 Tahun 1981 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 1981 harus juga melampirkan akta perjanjian kerja sama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa permohonan pendirian izin apotek apabila sarana apotek dimiliki pemilik modal, maka harus melampirkan akta perjanjian kerja sama. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut bentuk perjanjian kerja sama antara apoteker dengan pemilik modal adalah secara tertulis. Dengan adanya kedudukan yang seimbang tersebut maka suatu usaha apotek dapat didirikan dengan adanya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Dalam perjanjian kerjasama keduanya saling memasukkan modal, yaitu modal sarana apotek yang terdiri dari bangunan apotek, perlengkapan apotek, perbekalan kesehatan di bidang farmasi, dan modal berupa tenaga dan jasa yang dimasukkan oleh seorang apoteker, sehingga pengelolaan apotek menjadi tanggung jawab seorang apoteker.

Hubungan hukum antara apotek dengan para pihak tersebut di atas adalah hubungan hukum yang terjadi dengan perjanjian. Penyelenggaraan apotek oleh swasta dimungkinkan pu1a dilakukan sendiri oleh apoteker. Dalam hal ini bila apoteker memiliki sarana untuk suatu pendirian apotek, maka apoteker dapat

langsung mendirikan apotek. Kedudukan apoteker di sini selain sebagai tenaga profesional pengelola apotek juga sebagai seorang pengusaha.

Perjanjian yang ditemukan dalam praktek pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini berarti bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Ini dapat diartikan boleh mengenyampingkan ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata, sehingga buku III KUH Perdata tersebut merupakan hukum pelengkap. Sedangkan pengertian sah adalah telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut: a. Kata sepakat (persetujuan) para pihak yang saling mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Mengenai suatu hal (objek) tertentu; d. Karena suatu kausa yang sah;32

Dipenuhinya keempat syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang telah disebutkan, belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah

32

kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada kemungkinan batal.33

Dua syarat yang pertama yaitu kata sepakat dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir yaitu mengenai suatu hal tertentu dan suatu kausa yang sah dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dan pembuatan hukum yang dilakukannya itu.34

Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjian belum batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat selama tidak dibatalkannya (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.35

Dalam hal syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk mengadakan perjanjian guna

33

R. Soetojo Prawirohami dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Bma Ilmu, Surabaya, 1984, h. 82

34

R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke XII, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1987, h. 17

35

melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

Yang dimaksud dengan sepakat atau persesuaian kehendak ialah kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki dari pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kedua pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Dengan diperlakukannya kata sepakat antara kedua pihak berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan dan tidak mendapat tekanan dari pihak lain yang mengakibatkan terjadinya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui antara kedua pihak. Sepakat para pihak yang mengikat diri merupakan asas esensial dalam hukum perjanjian.36 Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap untuk berbuat menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

Syarat ketiga bagi sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah mengenai suatu hal (objek) tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas.

Syarat keempat adanya perjanjian adalah karena adanya suatu sebab yang sah. Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai sebab. Yang dimaksud dengan sebab bukanlah hubungan sebab yang mendorong para pihak untuk

36

Mariam Darus Badruzaman, KUH Perdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, h. 1038

mengadakan perjanjian, karena yang menjadi motif dari seorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak menjadi perhatian hukum, akan tetapi isi maksud dari perjanjian.

Melalui syarat sebab dalam praktek maka ini merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika syarat-syarat dalam pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka:

a. Isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;

b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak tanpa izin dan pihak lain, kecuali ditegaskan dalam perjanjian;

c. Perjanjian yang telah disepakati harus dilaksanakan dengan baik;

d. Perjanjian mengikat para ahli waris para pihak, kecuali bila dinyatakan dalam perjanjian;

e. Para pihak tidak saja terikat oleh apa yang tercantum secara tegas dalam isi perjanjian tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Keempat syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian, ini merupakan salah satu unsur yang mutlak harus ada agar terjadi suatu perjanjian. Unsur ini dinamakan essentialia.37

Unsur lain yang melekat pada perjanjian yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada

37

Kartini Mulyadi, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

dalam perjanjian karena sudah merupakan pernbawaan atau melekat pada perjanjian, misalnya pada perjanjian jual-beli obat, apoteker harus menjamin konsumen terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Unsur ini disebut naturalia.38

Yang ketiga adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian, unsur ini dinamakan accidentalia, misalnya mengenai tempat tinggal yang dipilih.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan bahwa tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. Selain tenaga kefarmasian seperti tersebut di atas yang bekerja/ mengelola apotek juga dibantu tenaga-tenaga administrasi.

Suatu apotek tidaklah mungkin ditangani sendiri oleh seorang tenaga apoteker. Apabila apoteker pengelola berhalangan melakukan tugasnya, maka apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pendamping. Bilamana apoteker pengelola dan pendamping berhalangan untuk suatu hal tertentu, maka apoteker pengelola dapat menunjuk apoteker pengganti.

Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping maupun apoteker pengganti dalam apotek, apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas segala kegiatan tersebut. Selain apoteker pendamping dan pengganti di apotek, apoteker pengelola juga dibantu tenaga farmasi lainnya yaitu asisten apoteker dan analis farmasi. Keduanya melakukan kegiatan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker (pengelola, pendamping atau pengganti).

38

Sebagai penjabaran atau implementasi dari pelaksanaan tanggung jawab apoteker, maka pemilik sarana apotek memberikan kewenangan kepada apoteker untuk mengelola suatu apotek. Penjabaran atau implementasi tersebut tertuang dalam bentuk perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Apotek yang dikelola berdasarkan perjanjian kerjasama dan apotek yang didirikan oleh apoteker pribadi, keduanya dikelola oleh apoteker dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab apoteker. Ada sekitar sembilan puluh persen apotek di Indonesia berbentuk kedua jenis apotek ini.39 Di Kota Medan, kedua jenis apotek ini ada sekitar lima ratus apotek dan sekitar sembilan puluh tiga persennya adalah apotek yang didirikan berdasarkan perjanjian kerjasama.40 Kedua bentuk apotek ini tidak jelas hubungan antara apotek dengan apoteker sebagai pengelola apotek, apakah apoteker bertindak untuk dan atas nama apotek ataukah bertindak untuk diri sendiri sebagai apoteker dalam melakukan hubungan-hubungan hukum di apotek.

Hasil penelitian penulis, kedua bentuk apotek ini melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana apotek sebagai salah satu pihak dan apotek sebagai person yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama apotek. Kedua apotek bentuk ini tidak berbentuk badan hukum. Bilamana apotek sebagai salah satu pihak dalam perjanjian, maka apotek harus memilih kedudukan sebagai subjek hukum.

39

http://duakehidupan.otodidak.info/”Peran Apoteker di Apotek”, 22 Maret 2010.

40

Kedua bentuk apotek ini dapat menimbulkan masalah hukum sebab apotek tersebut melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak yang terkait, dimana apotek tidak memiliki kedudukan sebagai subyek hukum untuk sahnya transaksi-transaksi yang dilakukannya. Akan tetapi dalam prakteknya selama ini tidak dipermasalahkan, namun tetap diterima oleh masyarakat.

Kedudukan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan tenaga administrasi terhadap kedua bentuk apotek di atas adalah sebagai pegawai apotek tersebut diangkat atau ditugaskan untuk bekerja berdasarkan

perjanjian kerja.41 Namun yang dapat menjadi persoalan hukum adalah dimana pihak apotek diwakili oleh apoteker pengelola, sedangkan apotek itu sendiri tidak berbadan hukum sehingga perjanjian kerja yang dibuat antara apotek dengan apoteker pendamping, apoteker pengganti, asisten apoteker dan tenaga administrasi apakah sah menurut hukum.

Untuk dapat menghindari dari persoalan-persoalan hukum yang dapat timbul, maka seyogyanya peraturan mengenai apotek perlu dipertegas, khususnya menyangkut kedudukan badan usaha apotek, apakah berbadan hukum atau tidak. Bilamana apotek secara tegas berbadan hukum, maka kedudukan apoteker sebagai pihak di dalam mengadakan hubungan-hubungan hukum tidak untuk dan atas nama apotek, akan tetapi bertindak sendiri (apoteker) sebagai subyek hukum.

41

Wawancara dengan Bachtiar, Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan. tanggal 12 Mei 2010.

masing bentuk badan hukum dan tidak badan hukum suatu apotek mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda-beda, khususnya mengenai tanggung jawabnya.

Apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang mempunyai peranan melakukan upaya pelaksanaan kesehatan melalui penyaluran obat dan informasi kesehatan kepada konsumen secara nyata dan menyeluruh. Konsumen pada apotek dapat kita bagi dua kelompok, antara lain:

a. Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan menunjukkan resep dari dokter;

b. Kelompok konsumen yang membutuhkan pelayanan apotek dengan tidak menunjukkan resep dari dokter. 42

Barang-barang yang dapat disalurkan oleh apotek dengan syarat konsumen harus menunjukkan resep dari dokter adalah obat-obatan yang tergolong obat keras, alat kesehatan tertentu dan kosmetika tertentu. Sedangkan untuk barang lainnya, dapat diperoeh konsumen tidak dengan resep dokter.

Bilamana dilihat dari sudut hubungan apotek dengan konsumen, maka apotek berkedudukan sebagai penyedia dan penyalur obat di apotek, atau sebagai pihak yang akan menyerahkan/ menyalurkan barang kepada konsumen yang disebut penjual. Sedangkan pihak konsumen adalah pihak yang menerima barang atau pemakai atau yang dinamakan pembeli.

Dalam ketentuan KUH Perdata ditegaskan bahwa jual beli suatu barang dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak setelah mereka mencapai sepakat

42

tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.43

Pada apotek, pengalihan barang kepada pihak konsumen sangatlah penting karena selain barang yang akan diserahkan juga yang sangat penting adalah pemberian informasi tentang penggunaan barang. Hal ini harus mendapat perhatian pada transakasi barang di apotek sebab ini sangat berhubungan dengan keselamatan konsumen dalam penggunaan obat-obatan.

Persoalan-persoalan mengenai tidak jelasnya informasi penggunaan obat kepada konsumen paling sering terjadi, khususnya konsumen yang sangat awam dengan obat-obatan. Contoh kasus penulis kemukakan sebagai berikut, seorang konsumen membeli vitamin ke apotek. Konsumen tersebut tidak menunjukkan resep, sebab vitamin tersebut tergolong bebas (tanpa resep dokter). Vitamin tersebut berbentuk kapsul yang bergula (kaplet) dan dikemas dalam botol plastik.44

Agar kaplet tersebut tidak meleleh (cepat rusak) oleh pabrik (industri) dilengkapi bahan pengering yang berbentuk kemasan kapsul dan ini sangat menyerupai kaplet vitamin tersebut. Karena konsumen tidak mengerti dan tidak mendapat penjelasan dari apotek tentang fungsi kapsul pengering tersebut, konsumen awam juga mengkonsumsi kapsul pengering tersebut dengan anggapan bahwa kapsul itu adalah bagian dari kapsul vitamin akibatnya konsumen mengalami rasa perih di persendian.

43 lbid 44

Kasus ini adalah kasus dimana konsumen tidak mendapat penjelasan tentang obat dari petugas di apotek. Ada juga terjadi kasus dimana pihak apotek memberikan penjelasan (informasi) kepada konsumen, akan tetapi tidak jelas atau konsumen tidak mengerti mengenai obat tersebut.

Contoh kasus sebagai berikut, seorang konsumen membeli obat ke apotek dengan menunjukkan resep obat-obatan untuk penyakit ambaien dengan cara penggunaan dimasukkan ke dalam dubur pemakai (pasien/ penderita). Karena kurang jelasnya penjelasan (informasi) dari petugas di apotek, khususnya tentang cara penggunaan obat tersebut, konsumen mengunakan obat tersebut tidak memasukkan obat tersebut ke dalam dubur, akan tetapi obat tersebut dimakan (ditelan) sebagaimana lazimnya bagi si konsumen, akibatnya konsumen sulit untuk buang air besar (karena ambaien) juga konsumen mengalami sakit perut.45

Jual beli obat di apotek, antara apotek dengan konsumen, pihak penjual (apotek) tidak hanya berkewajiban menyerahkan obat yang diperjualbelikan dan menanggung kenikmatan dan ketentraman atas obat tersebut, menanggung cacat-cacat yang tersembunyi.46 Akan tetapi pihak apotek berkewajiban pula memberikan penjelasan (informasi) mengenai obat (barang) yang diperjualbelikan di apotek.

Jual beli obat di apotek, berbeda dengan jual beli pada umumnya. Karena obat di apotek memerlukan penjelasan (informasi) agar tidak menimbulkan akibat-akibat yang dapat mengancam keselamatan (nyawa) konsumen. Konsumen di apotek, selain

45

http://www.sasak.net/nasional/”Salah Minum Obat”, 22 Maret 2010.

46

konsumen yang datang dengan menunjukkan resep dari dokter dan yang tidak menunjukkan resep dokter, dapat pula dibagi dalam bagian konsumen langsung dan konsumen tidak langsung.

Konsumen langsung adalah konsumen atau penderita sendiri sebagai pemakai (pengguna) obat-obatan secara langsung yang berhubungan langsung dengan apotek. Sedangkan konsumen tidak langsung adalah konsumen pemakai (pengguna) obat-obatan yang tidak secara langsung berhubungan dengan apotek, tetapi melalui orang lain. Biasanya konsumen tidak dapat secara langsung berhubungan dengan apotek karena konsumen sedang sakit.

Persoalan yang terjadi atau timbul adalah dalam hal konsumen yang tidak secara langsung berhubungan dengan apotek. Kadang-kadang konsumen hanya menyuruh sopir atau pembantu rumah tangga atau suruan tertentu. Kewajiban apotek memberikan informasi telah dilakukan, akan tetapi orang suruan tersebut tidak mengerti (memahami) informasi yang diberikan dari apotek, atau orang suruan salah menyampaikan informasi kepada konsumen.

Persoalan tidak sampainya informasi kepada konsumen ini, dapat diatasi apabila pihak konsumen lebih berhati-hati. Misalnya bila obat yang akan di konsumsi tidak jelas cara penggunaannya (informasi dan suruan), maka konsumen dapat menghubungi kembali pihak apotek.

Berdasarkan hubungan hukum (jual beli) antara apotek dengan konsumen mengakibatkan adanya keterkaitan (hubungan hukum) antara konsumen dengan pabrik obat (produsen). Hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen dapat

langsung maupun tidak langsung.47 Hubungan langsung dimaksudkan adalah hubungan antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Hubungan semacam ini tidak dikenal dalam penyaluran persediaan farmasi kepada konsumen.

Hubungan tidak langsung antara produsen (pabrik) dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak konsumen dengan produsen. Hal ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang diinginkan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian. Hubungan hukum yang melahirkan perikatan tidak selamanya lahir hanya dengan perjanjian, akan tetapi juga karena undang-undang. Perikatan yang lahir karena undang-undang dapat karena undang-undang saja maupun karena perbuatan manusia.48

Konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi suatu produk tertentu, tidak perlu harus terikat perjanjian, untuk dapat menuntut ganti rugi tetapi dapat juga menuntut dengan alasan bahwa produsen melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH Perdata), dan dasar tanggung jawab produsen adalah tanggung jawab yang yang didasarkan pada adanya kesalahan produsen (pabrik).49 Contohnya

47

Sabir Alwi, Tanggung Gugat Apotek Sebagai Sarana Kesehatan di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana UNAIR, Surabaya, 2002, h. 179.

48

Handi Raharjo, Op. Cit, h.12

49

dalam kasus pengaruh sampingan produk obat Chioroguine (Krug V. Sterling Drug, Inc.50

Kasusnya, seseorang yang menderita cacat mata yang tidak dapat disembuhkan sebagai pengaruh samping dan mengkonsumsi obat Chioroguine (nama dagang Aralen, Triguin dan plaguenil) dibuat dalam satu perusahaan obat (pabrik). Pihak konsumen menggugat produsen (pabrik) dan apotek, dengan dasar ia gagal memberikan peringatan yang cukup kepada profesi kedokteran tentang pengaruh samping obat Chioroguine. Keputusan hakim tingkat rendah dan banding adalah sama yaitu membebaskan apotek terhadap pengggugat (konsumen) dan menghukum produsen (pabrik) obat sebanyak $ 125.000 untuk konsumen yang cacat sebagai ganti kerugian yang didasarkan atas kesalahan karena kelalaian produsen (pabrik) memberikan peringatan yang cukup mengenai pengaruh samping obat Chioroguine.

Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, keberadaan undang-undang perlindungan konsumen disamping melengkapi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan KUH Perdata, juga melakukan perubahan mendasar bagi pelaksanaan tanggung jawab yang masih berorientasi pada unsur kesalahan dan pembuktian dibebankan pada konsumen, maka berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen berorientasi pada jaminan dan pembuktian oleh pelaku usaha Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

50

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab apoteker, meliputi:

a. Tanggung jawab gannti kerugian atas kerusakan b. Tanggung jawab gannti kerugian atas pencemaran

c. Tanggung jawab gannti kerugian atas kerugian konsumen.

Menurut J.M. van Dunne, sehubungan dengan tanggung jawab mengenai kerugian konsumen yang dilakukan terhadap orang lain dibedakan 3 (tiga) golongan tanggung jawab.51

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, yang mengandung persamaan dengan pasal 1365 KUH Perdata;

b. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan bahwa tergugat cukup hati-hati, ini tertuang dalarn pasal 1367 ayat (2) KUH Perdata;

c. Tanggung jawab berdasarkan risiko atau majikan bertanggung jawab kepada bawahan.

Secara teoritis, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut

51

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 109.

untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum yang ada, maka dapat dibedakan:52

a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hokum, tindakan yang kurang hati-hati.

b. Pertanggungjawaban atas dasar resiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.

Sebagai hak keperdataan, konsumen harus memperjuangkan sendiri haknya melalui saluran-saluran hukum dan institusi hukum perdata yang disediakan oleh Negara. Jelasnya jika sorang konsumen dilanggar haknya dan karena itu menimbulkan kerugian baginya, konsumen dapat mengajukan tuntutan secara perdata untuk mempertahankan haknya.

Apabila apotek atau pihak lain yang berhubungan dengan apotek, tidak melakukan apa yang telah dijanjikannya, salah satu pihak lalai atau ingkar janji atau