• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Kebaruan Penelitian

Banyak penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan model pembelajaram Problem Based Learning (PBL) adalah penelitian kuantitatif untuk mengetahui pengaruh PBL terhadap hasil belajar siswa dan membandingkan model PBL dengan model pembelajaran yang lain dan meningkatkatkan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran PBL. Salah satunya dalam penelitian Fatia Fatimah (2010) untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis dan pemecahan masalah melalui Problem Based Learning (PBL). Hasil penelitian menunjukan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dengan menerapkan model PBL dalam pembelajaran Statistika Elementer lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran biasa.

Kebaruan penelitian ini adalah untuk mendesain lintasan belajar pada materi himpunan dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dan dampaknya desain pembelajaran dengan model problem based learning terhadap kemampuan pemecahan masalah untuk siswa. Pada penelitian ini merupakan penelitian desain yang bertujuan menghasilkan lintasan belajar dan mengetahui dampak model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.

BAB II

LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori

1. Problem Based Learning (PBL)

Kurikulum 2013 menerapkan pembelajaran tematik. Ada tiga model pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum 2013 (Suyitno, 2013). Ketiga model pembelajaran tersebut adalah Discovery Learning, model pembelajaran berbasis proyek, dan model pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning. Menurut Arends (dalam Trianto, 2007: 68) pembelajaran berdasarkan masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang nyata dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, memperoleh informasi dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan pecaya diri.

Permasalahn otentik diartikan sebagai masalah kehidupan nyata yang ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengerjakan masalah-masalah yang nyata, siswa dapat melihat bagaimana keterampilan-keterampilan matematika yang sedang mereka pelajari dapat diterapkan dalam dunia nyata.

Sementara itu menurut Setyorini, dkk. (2011) problem based learning adalah model pembelajaran yang dirancang agar siswa siswa melatih kemampuan dalam memecahkan masalah. Dengan model problem based learning, pembelajaran akan mengakibatkan siswa sehingga lebih mampu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian,

12

kemampuan pemecahan masalah akan meningkat secara otomatis. Menurut De Graaff dan Kolmos (2003) mendefinisikan problem based learning sebagai sebuah model pembelajaran dimana masalah merupakan titik awal dari suatu proses pembelajaran. Jenis masalah bergantung pada aturan khusus. Biasanya, masalah didasarkan pada masalah kehidupan nyata yang dipilih dan disunting untuk memenuhi tujuan dan kriteria pengajaran. Akan tetapi, masalah bisa juga merupakan hipotesis. Penting bahwa masalah berfungsi sebagai dasar proses pembelajaran, karena masalah menentukan arah proses pembelajaran dan menekankan pada perumusan pertanyaan daripada jawaban.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar dari suatu proses pembelajaran. Masalah yang diambil dalam Problem Based Learning merupakan masalah dalam kehidupan nyata.

Karakteritik pembelajaran berdasarkan masalah menurut Arends dalam (Trianto, 2007: 69-70), adalah sebagai berikut.

a. Memberikan masalah atau pertanyaan. Masalah yang diajukan berupa situasi kehidupan nyata otentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut.

Adapun beberapa kriteria yang perlu diperhatika dalam menyusun masalah atau pertanyaan sebagai berikut.

1) Masalah atau pertanyaan itu harus otentik, artinya bahwa masalah atau pertanyaan harus sering terjadi pada pengalaman sehari-hari siswa dari pada pengalaman prinsip-prinsip disiplin ilmu lain.

2) Masalah atau pertanyaan yang diberikan sebaiknya tidak terdefinis secara ketat, hal ini untuk mencegah jawaban sederhana dan menghendaki alternatif pemecahan.

3) Bermakna bagi siswa, masalah yang diberikan seharusnya bermakna bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual mereka.

4) Bersifat luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang diajarkan sesuai dengan waktu, tempat dan sumber daya yang terbatas. Selain itu masalah yang telah disusun tersebut haruslah didasarkan pada tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan.

5) Bermanfaat, masalah yang dibuat dan dirumuskan harus bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecahan masalah maupun bagi guru yang membuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang meningkatkan kemampuan berfikir dan pemecahan masalah serta meningkatkan motivasi belajar siswa.

b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin, artinya masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar–benar nyata agar dalam memecahkan masalah, siswa dapat meninjau dari banyak ilmu yang telah dipelajari sebelumnya.

c. Penyelidikan otentik, siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembagkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.

d. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Pelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dan bentuk karya nyata atau artefak dan penghargaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.

e. Kolaborasi. Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah yang harus diselesaikan bersama-sama antara siswa baik dalam kelompok kecil maupun besar, dan bersama-sama antara siswa dengan guru.

Setiap pembelajaran tentunya mempunyai tujuan, demikian juga dengan Problem Based Learning. Dengan Problem Based Learning, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa terutama pada aspek emosional, intelektual, dan kebebasan praktis sebagaimana dikemukakan oleh Savin-Baden (dalam Newman, 2005: 12) sebagai berikut: “Similarly, Savin-Baden argues that the often unarticulated aim of teachers who use PBL approaches is to develop in their students

“criticality,” that is, emotional, intellectual, and practical independence. Jadi, dengan melaksanakan pembelajaran Problem Based Learning diharapkan akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah pada diri siswa.

Sementara itu menurut Ibrahim (dalam Trianto, 2007: 70).

Pembelajaran berbasis masalah perlu dikembangkan dalam membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah danmeningkatkan kertampilan dalam belajar yang melibatkan mereka dengan

pembelajaran yang terjadi disekitar mereka. Maksudnya dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah itu nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam hidupnya kelak. Tahap dalam pembelajaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1 Tahapan Problem Based Learning

Fase ke- Indikator Aktivitas Guru

1

Orientasi siswa kepada

masalah Guru menjelaskan tujuan

pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

2

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4

Mengembangkan

menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, vidio, dan model yang membantu mereka untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Sumber: (Trianto, 2007: 71).

2. Karakteristik Problem Based Learning.

Menurut Tan (dalam Rusman 2011: 232), karakteristik Problem Based Learning adalah sebgai berikut:

a. Permasalahan menjadi statrting pont dalam belajar.

b. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada didunia nyata yang tidak terstruktur.

c. Permasalahan membutuhkan persepektif ganda (multiple perspektif) yaitu bagaimana cara dalam memilih konsep dalam menyelesaikan masalah.

d. Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bimbingan baru dalam belajar.

e. Belajar pengarahan diri menjadi yang utama.

f. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaanya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses isensial dalam pembelajaran berbasis masalah.

g. Belajar adalah kolaborasi, komunukasi dan kooperatif.

h. Pengembangan ketrampilan inquiry dan pemecahhan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahaan.

i. Keterbukaan proses dalam proses belajar mengajar meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar.

j. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

3. Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning.

Menurut Hamdani (dalam Sukmawati: 2015) ada beberapa kelebihan dan kekuarangan dari model pembelajaran problem based learning, yaitu:

a. Kelebihan model pembelajaran Problem Based Learning adalah:

1) Melibatkan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar agar pengetahuannya benar-benar diterima dengan baik.

2) Siswa dilatih untuk bekerja sama dengan siswa yang lain.

3) Siswa dapat memperoleh pemecahan dari berbagai sumber.

b. Kekurangan model pembelajaran problem based learning adalah:

1) Untuk siswa yang malas, tujuan dari model tersebut dapat tercapai.

2) Membutuhkan banyak waktu dan dana.

3) Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan model ini.

4. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning a. Teori Ausebel

Ausebel (dalam Rusman 2010:244), membedahkan antara belajar bermakna (meaningful learning) dengan belajar menghafal (rote learning). Dalam proses belajar yang disebut belajar bermakna ini dimana proses belajar dimulai dari informasi yang baru yang dihubungkan dengan seseorang yang sedang belajar struktur pengertian yang dimiliki sebelumnya.

b. Teori Vigotsky

Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha

memecahkan masalah yang dimunculkan (Rusman 2010: 244). Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Rusman 2010: 244), Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Kaitan dengan proses belajar mengajar dalam hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui kegiatan belajar dalam interaksi sosial dengan teman lain.

c. Teori Bruner

Bruner menggunakan konsep scaffolding dan interaksi sosial dikelas maupun diluar kelas. Scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa menuntasakan masalah tertetu melampaui kapasitas perkembangan melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih (Rusman 2010: 245).

B. Kemampuan Pemecahan Masalah

Menurut Wardhani (2010:17) kemampuan pemecahan masalah merupakan proses dalam menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak perlu dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui siswa (Shadiq, 2009:4). Lenchner dalam (Wardhani, 2010:15) mengemukakan setiap penugasan dalam belajar matematika untuk siswa dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu exercise (latihan) dan problem (masalah). Latihan merupakan tugas

yang langkah penyelesaiannya sudah diketahui siswa dan latihan diselesaikan dengan menerapkan secara langsung satu atau lebih algoritma (Wardhani, 2010:15).

Masalah lebih kompleks dari pada latihan karena strategi untuk menyelesaikannya tidak langsung tampak.

Polya (1973:5) mengemukakan terdapat empat tahap yang harus dikerjakan dalam pemecahan suatu masalah, yaitu:

1) Memahami Masalah (Understanding the Problem)

Memahami masalah adalah memahami bahasa atau istilah yang digunakan dalam masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus terpenuhi, serta dinyatakan atau dituliskan masalah dalam bentuk yang lebih operasional sehingga mempermudah untuk dipecahkan. Dalam menyelesaikan suatu masalah diperlukan kemampuan yang diperoleh dengan secara rutin menyelesaikan masalah.

Sasaran penilaian pada tahap pemahaman soal meliputi:

a. Siswa mampu menganalisis soal. Hal ini dapat terlihat apakah siswa paham dan mengerti apa yang diketahui dan yang ditanyakan dalam soal.

b. Siswa dapat menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam bentuk rumus, simbol, atau kata-kata sederhana.

2) Merencanakan Penyelesaian (Devising A Plan)

Dalam merencanakan pemecahan masalah dapat mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atau mengingat-ingat kembali masalah yang

pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan sifat/pola dengan masalah yang akan dipecahkan. Kemudian barulah menyusun prosedur penyelesaiannya.

Pada tahap ini siswa dapat melakukan:

a. Mencari konsep-konsep atau teori-teori yang saling menunjang.

b. Mencari rumus-rumus yang diperlukan.

3) Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)

Tahap menyelesaikan masalah ini mempunyai bobot lebih tinggi dari tahap memahami maslah namun lebih rendah dari tahap merencanakan penyelesaian Pertimbangan yang diambil berkenaan dengan pernyataan tersebut bahwa pada tahap ini siswa melaksanakan proses perhitungan sesuai dengan rencana yang telah disusunnya, dilengkapi pula dengan segala macam data dan informasi yang diperlukan, hingga siswa dapat menyelesaikan soal yang dihadapinya dengan baik dan benar.

4) Memeriksa Kembali (Looking Back)

Kegiatan pada langkah ini adalah menganalisi dan mengevaluasi apakah strategi yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apabila hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diminta, apakah ada strategi lain yang lebih baik, apakah alternatif yang dibuat untuk menyelesaikan masalah, atau apakah strategi dapat dibuat generalisasinya.

C. Keterkaitan Model Problem Based Learning dengan Kemampuan Pemecahan Masalah.

Menurut De Graaff dan Kolmos (2003) mendefinisikan Problem Based Learning sebagai sebuah model pembelajaran dimana masalah merupakan titik

awal dari suatu proses pembelajaran. Jenis masalah bergantung pada aturan khusus.

Biasanya, masalah didasarkan pada masalah kehidupan nyata yang dipilih dan disunting untuk memenuhi tujuan dan kriteria pengajaran. Model ini berpusat pada siswa, siswa diberdayakan untuk melakukan penelitian, mengintegrasikan teori dan praktek.

Jika pandang dari psikologi belajar, model pembelajaran berbasis masalah berdasarkan pada psikologi kognitif yang berdasar dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku dengan adanya pengalaman. Menurut Arends (2008), melalui model pembelajaran ini siswa dapat berkembang secara sempurna, artinya bukan hanya perkembangan kognitif, tetapi siswa juga akan berkembang dalam bidang afektif dan psikomotorik secara otomatis melalui masalah yang dihadapi.

Menurut Setyorini, dkk. (2011) Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang mengajak siswa agar mampu melatih kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Dengan model Problem Based Learning, pembelajaran akan mengakibatkan siswa sehingga lebih mampu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Menurut Sudarman (2007), Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang materi pelajaran tertentu dengan menerapkan proses memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan konsep yang esensial dari materi pembelajaran tersebut.

Polya (1973:5) mengemukakan terdapat empat tahap yang harus dikerjakan dalam pemecahan suatu masalah, yaitu: 1). Memahami Masalah (Understanding the Problem), 2). Merencanakan Penyelesaian (Devising A Plan), 3).

Menyelesaikan Masalah Sesuai Rencana (Carrying Out The Plan), 4). Memeriksa Kembali (Looking Back).

Jadi, keterkaitan antara model pembelajaran Problem Based Learning dengan kemampuan pemecahan masalah, terletak dalam objek atau sasaran pembelajaran, yaitu belajar sama-sama dipandang sebagai keseluruhan potensi yang dimiliki individu mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek psikomotor, aspek afektif. Dengan demikian dapat dijalin suatu hubungan dalam upaya penerapan model Problem Based Learning dalam pemebelajaran membutuhkan kemampuan pemecahan masalah. Model problem based learning memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan secara aktif melalui proses pemecahan masalah yang dihadapi secara individu maupun kelompok. Aktivitas belajar dan bekerja secara kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil dapat mengakomodasi perkembangan kemampuan pemecahan masalah dalam konteks problem based learning.

Pada dasarnya, setiap individu memiliki potensi positif yang layak dikembangkan, oleh karena itu peran guru dalam aliran ini dan dalam model Problem Based Learning adalah membimbing siswa untuk bertanggung jawab penuh terhadap belajarnya siswa untuk memberdayakan siswa secara aktif dan memposisikan siswa sebagai objek utama yang patut dihargai, diakui, dan dikembangkan.

Dalam penelitin ini model problem based learning didesain dengan menggabungkan pembelajaran dengan dunia nyata yang berhubungan dengan materi himpunan sehingga siswa mengetahui mengapa mereka belajar kemudian mengidentifikasikan masalah dan mengumpulkan informasi dari sumber belajar, lalu mendiskusikannya bersama kelompoknya untuk mendapatkan solusi masalah sekaligus memcapai tujuan pembelajaran.

D. Penelitian Desain

1. Pengertian dan Karakteristik Penelitian Desain

Ketika sebuah penelitian menempatkan proses desain sebagai bagian yang terpenting, maka penelitian tersebut dapat dikatakan sebagai penelitian desain.

Setiap model penelitian memilili beberapa karakteristik masing-masing termasuk design research. Walaupun memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan model penelitian lain, desaign research memiliki karakteristik sebagai berikut : (Cobb et al.2003; Kelly 2003; Desain Based Research Collective 2003; Reeves et al.2005; van den Akker 1999, dalam van den Akker at al, 2006:5);

a. Interventionist: bertujuan untuk merancang suatu intervensi dalam dunia nyata.

b. Iterative: penelitian menggabungkan pendekatan Siklikal (daur) yang meliputu perancanagan, evaluasi dan revisi.

c. Proses oriented: model kotak hitam pada pengukuran inpur-output diabaikan,tetapi difokuskan padan pemahaman dan pengembangan model intervensi.

d. Utility oriented: keunggulan dari rancanag diukur untuk bisa digunakan secara praktis oleh pengguna.

e. Theory oriented: rancangan dibangun berdasarkan pada preposisi teoritis kemudian dilakukan pengujian lapangan untk memberikan kontribusi pada teori.

Berdasarkan karakteristik tersebut, berikut ini adalah salah satu definisi education design research yang diberikan oleh Barab dan Squire (2004, van den Akker at al., 2006:5), yaitu: serangkaian pendekatan, dengan maksud untuk menghasilkan teori-teori baru, artefak dan model praktis yang menjelaskan dan berpotensi berdampak pada pembelajaran dengan pengatuaran yang alamai (naturalistic).

Menurut Plomp (2007: 13), design research adalah suatu kajian sistimatis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi pendidikan (seperti program, strategi dan bahan pembelajaran, produk dan sistem) sebagi solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga bertujuan untuk memajukan pengetahuan kita tentang karakteristik dan intervensi-intervensi tersebut serta proses perancangan dan pengembanannya.

2. Fungsi Penelitian Desain

Fungsi penelitian desain adalah merancang/mengembangkan suatu intervensi pendidikan (seperti program, strategi dan bahan pembelajaran, produk dan sistem) dengan tujuan untuk memecahkam masalah pendidikan yang kompleks dan untuk mengembangkan pengetahuan (teori) tentang suatu karakteristik dari

intervensi serta proses perancangan dari intervensi serta proses perancangan dan pengembangan tersebut (Plomp, 2007:12).

3. Hasil dari Penelitian Desain

Menurut Plomp (2007:20-22), ada tiga hasil yang diperoleh dari penelitian desain, yaitu:

1. Prinsip desain teori dan teori intervensi

Penelitian desain bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan tentang apakah dan kenapa suatu intervensi bekerja dalam konteks tertentu.

Dalam penelitian desain, hasil penelitian tidak dapat digeneralisasi dari sampel ke populasi.

2. Model intervensi

Penelitian desain akan menghasilkan rancangan-rancangan program, strategi pembelajaran, bahan ajar, produk dan sistem yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran atau pendidikan secara empiris.

3. Pengembangan Profesi

Penelitian desain dilakukan secara kolaboratif dan kolegaliatif oleh para peneliti dan praktisi pendidikan dilapangan. Kolaborasi praktis yang dilakukan dapat bermanfaat untuk mengatasi berbagai permasalahan pembelajaran dan pendidikan dengan cepat dan tepat.

4. Langkah – Langkah Penelitian Desain

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian desain menurut Model Gravemeijer dan Cobb (2006), diantaranya yaitu:

1. Preparing for the experiment/preparation and design phase (Bakker, 2004). Tujuan utama tahap ini adalah memfokuskan teori pembelajaran lokal (local instructional theory) yang dielaborasi dan diperbaiki selama pelaksanaan eksperimen. Hal-hal dilakukan dalam tahap ini adalah : a. Menganalisis tujuan yang ingin dicapai misalnya tujuan

pembelajaran.

b. Menentukan dan menetapkan kondisi awal penelitian.

c. Mendiskusikan konjektur dari local intructional theory yang akan dikembangkan.

d. Menentukan karakteristik kelas dan peran guru.

e. Menepatkan tujuan teoritis yang akan dicapai melalui penelitian.

2. Design Experiment

Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan desain eksperimen yang dilakukan setelah semua persiapan dilakukan. Pada tahap ini dikumpulkan data yang diperlukan meliputi proses pembelajaran yang terjadi dikelas serta proses berpikir siswa baik dari perspektif sosial yang mencakup norma sosial kelas, sosio-matematik dan praktik matematik dikelas maupun perspektif psikologi mencakup pandangan (beliefs) tentang peran sendiri di kelas serta tentang aktivitas matematika, pandangan dan nilai matematika secara khusus, serta konsepsi dan aktivitas matematika.

3. Restrospective Analysis

Tujuan tahap ini adalah menganalisis data yang telah diperoleh untuk mengetahui apakah menukung atau sesuai tidak dengan konjektur yang sudah dirancang. Data yang dianalisis meliputi rekaman vidio proses pembelajaran dan hasil interview terhadap siswa dan guru, lembar hasil pekerjaan siswa, catatan lapangan serta rekaman vidio dan audio yang memuat proses penelitian dari awal.

Proses pelaksanaan penelitian dipandu oleh suatu instrumen yang disebut Hypothetical Learning Trajectory (HLT) sebagai perluasan dari percobaan pikiran (tougt experiment) yang dikembangkan oleh Freudenthal. Simon (1995) mendefinisikan HLT sebagai berikut: The Hypothetical learning trajectory is made up of three components: the learning goal that defines the derection, the learning activities and the hypothetical learning process a prediction of how the students’thinking and understanding will evole in the context of learning activities (p.136). (HLT terdiri dari tiga komponen: tujuan pembelajaran yang mendefinisikan arah (tujuan pembelajaran), kegiatan belajar dan hipotesis proses belajar untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks kegiatan belajar).

Dalam proses belajar-mengajar digunakan HLT sebagai bagian dari apa yang disebut siklus mengajar matematika (mathematical learning cycle) untuk satu atau dua pembelajaran, atau untuk lebih dari dua pembelajaran. HLT dapat menghubungkan antara teori pembelajaran (instructional theory) dan percobaan pembelajaran secara kongkrit. Berikut ini peran HLT dalam setiap tahap penelitian desain (Bakker, 2014):

1. Tahap Preparation and Design

Pada tahap ini HLT dirancang untuk membimbing proses perancangan bahan pembelajaran yang akan dikembangkan dan diadaptasi.

2. Tahap Design Experiment

Perubahan dalam HLT biasanya dipengaruhi oleh kejadian yang terjadi dalam kelas dan alternatif jawaban yang belum dapat diantisipasi strategi yang belum terlaksana serta kegiatan yang terlalu sulit untuk dilaksanakan.

3. Tahap Restrospective Analysis

Pada tahap ini, HLT berperan sebagai petunjuk dalam menentukan fokus analisis bagi peneliti. Karena prediksi dibuat berkaitan proses belajar siswa, maka peneliti dapat membandingkan antisipasi dari prediksi melalui observasi selama percobaan pembelajaran (teaching experiment).

E. Operasi Pada Himpunan a. Irisan Himpunan

Irisan himpunan A dan B atau A ∩ B adalah suatu himpunan yang anggota-anggotanya merupakan anggota himpunan A yang sekaligus menjadi

Irisan himpunan A dan B atau A ∩ B adalah suatu himpunan yang anggota-anggotanya merupakan anggota himpunan A yang sekaligus menjadi