• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebermaknaan Hidup Wanita Aceh Bergelar Syarifah

BAB II Tinjauan Pustaka

D. Kebermaknaan Hidup Wanita Aceh Bergelar Syarifah

SAW yang berasal dari keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hasan dan Husain. Saat ini kemurnian keturunan ahlul bait Rasulullah SAW masih tetap terjaga dan telah tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di

Indonesia (al-Masyhur, 2013). Banyak keturunan Nabi Muhammad SAW datang ke Indonesia sejak zaman kebesaran Aceh. Mereka berasal dari Hadramaut, dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Kedudukan mereka di Nusantara telah turun temurun sehingga mereka telah menjadi bagian dari warga Negara Indonesia tempat mereka berdomisili.

Menurut al-Masyhur (2012), kaum Alawiyin (ahlul bait Rasulullah SAW) diseluruh dunia memelihara nasab-nasab mereka. Sudah menjadi keharusan bagi keturunan Hasan dan Husain untuk menjaga nasabnya, sehingga tidak mudah orang merusak keturunan mereka. al-Masyhur (2012) menambahkan bahwa seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukur, dikarenakan Allah SWT telah menjadikan mereka manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan. Oleh karena itu, tidak seharusnya mereka kufur akan nikmat yang telah diberikan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan dirinya melalui pernikahan yang tidak

sekufu’, yaitu dengan menikahkan para Syarifah dengan laki-laki yang bukan Sayyid.

Keadaan pada saat ini berbanding terbalik sebagaimana fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Kemuliaan sebagai keturunan Rasulullah SAW seharusnya menjadi kenikmatan dan kebanggaan bagi seorang Syarifah (al-Masyhur, 2012). Kenikmatan dan kebanggaan sebaliknya, telah menjadi suatu masalah pada saat ini. Aturan menikah harus dengan laki-laki bergelar Sayyid menyebabkan sebagian wanita bergelar Syarifah sulit untuk menikah. Beberapa wanita bergelar Syarifah bahkan tidak menikah hingga usia lanjut.

Suatu keharusan bahwa seorang Sya rifah menikah dengan laki-laki bergelar Sayyid (al-Masyhur, 2012). Keadaan tersebut menjadi lebih sulit bagi Syarifah ketika ia menyukai laki-laki yang bukan dari golongan Sayyid, sedangkan ia harus mempertahankan nasabnya sebagai keturunan Rasulullah. Berdasarkan hasil data awal, beberapa dari mereka bahkan lebih memilih untuk tidak menikah dan hidup melajang. Ada juga Syarifah yang kebingungan dengan kelanjutan hidupnya ketika usianya memasuki masa dewasa, yang dituntut oleh tugas perkembangan yaitu menikah. Oleh sebab itu, kenikmatan menjadi seorang Syarifah membawa mereka pada situasi penderitaan ketika memasuki usia dewasa awal. Lebih lanjut lagi, ketika usia bertambah dan hidup sebagai seorang yang melajang tentunya memunculkan penderitaan lain bagi Syarifah.

Fenomena melajang bagi wanita hingga usia lanjut menjadi suatu masalah tersendiri. Hal ini juga dialami oleh wanita bergelar Syarifah. Permasalahan psikologis seperti kesepian dan hasrat untuk memiliki anak menjadi hal yang harus dihadapi oleh para wanita bergelar Syarifah. Belum lagi tekanan sosial dari lingkungan sekitar menambah penderitaan bagi mereka (DeGenova, 2008).

Penderitaan yang dialami wanita bergelar Syarifah adalah salah satu keadaan yang sulit untuk diubah. Menurut Frankl, nasib dan tugas-tugas individu adalah unik bagi individu di setiap periode waktu dalam kehidupan dan dalam semua situasi tentunya memiliki makna, sehingga merupakan tugas individu untuk menemukan makna dari penderitaan tersebut (dalam Schultz,

1994). Makna yang dimaksud adalah arti yang dapat diperoleh dari penghayatan tentang segala hal yang dilaksanakan, dihadapi, dan dijalani dalam berbagai situasi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa setiap pengalaman hidup tentu memiliki makna, asalkan seseorang mampu melihat atau menemukan makna tersebut (Frankl, 2004). Demikian halnya pada wanita bergelar Syarifah. Penderitaan yang dialami sebagai seorang Syarifah dan menjadi wanita yang hidup melajang hingga memasuki usia lanjut merupakan sebuah tantangan unik yang menawarkan arti untuk dimaknai. Makna tersebut dapat diperoleh ketika wanita bergelar Syarifah mampu melihat makna dari penderitaan yang dialami.

Pencarian makna hidup merupakan suatu pergerakan dan perjuangan menuju tujuan tertentu yang layak bagi seseorang, yaitu makna (Frankl, dalam Schultz, 1994). Dalam proses pencarian makna hidup, individu dapat memilih untuk tetap aktif mencari makna kehidupan atau memilih untuk menghentikan pencarian makna hidupnya. Mereka yang tidak berhasil menemukan makna hidup pada umumnya akan merasa kehampaan, putus asa, sehingga individu akan berada dalam keraguan. Individu yang berhasil menemukan makna hidup akan merasakan kepuasaan dan kebahagiaan dalam kehidupan yang dijalani (Bastaman, 2007).

Individu yang tetap aktif mencari makna hidup merupakan individu yang memiliki motivasi dan berkeinginan menjadi pribadi yang berharga dan berarti. Makna hidup dapat ditemukan melalui lima tahapan, yaitu tahap

derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna, dan tahap kehidupan bermakna (Bastaman, 1996). Kelima tahapan penemuan makna hidup ini berperan aktif ketika individu mengubah kondisi hidup tidak bermakna menjadi kehidupan yang lebih baik.

Tahap derita adalah tahap dimana seseorang mengalami peristiwa tragis, dan mengalami kehidupan tanpa makna. Tahap penerimaan diri merupakan tahap dimana seseorang mampu memahami diri dan timbul perubahan sikap (changing attitude) dalam menghadapi berbagai masalah. Perubahan sikap biasanya disertai peningkatan gairah hidup dan secara sadar melakukan berbagai kegiatan yang terarah, seperti pengembangan bakat, keterampilan dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi makna hidup dan tujuan hidup. Ketika tahap ini berhasil dilalui, maka akan ada perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan penghayatan hidup bermakna (the meaningful life) disertai perasaan bahagia (Bastaman, 1996).

Tahapan penemuan makna hidup juga dipengaruhi oleh empat sumber nilai makna hidup, yaitu, creative values, experiential values, attitudinal values dan hopeful values (Bastaman, 2007). Nilai kreatif realisasinya melalui berbagai kegiatan seperti berkarya, bekerja, interaksi sosial dan melaksanakan tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab. Nilai penghayatan dapat diperoleh dengan penerimaan diri yang baik, keyakinan diri, emosi yang positif, dan peningkatan ibadah melalui realisasi nilai-nilai agama.

Realisasi nilai bersikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaannya. Realisasinya melalui sikap ikhlas,

tawaqal, optimis, dan dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa (Bastaman, 2007). Dalam kehidupan wanita bergelar Syarifah, realisasi ketiga nilai-nilai tersebut tampak dari bagaimana ia menjalani kehidupannya dengan penuh ikhlas, optimis dan tawakkal. Wanita bergelar Syarifah juga memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana ia menyikapi terhadap pengalaman hidupnya. Baik memilih untuk aktif dalam penemuan makna maupun pasif mencari makna. Proses pencarian makna hidup pada wanita bergelar Syarifah merupakan proses yang dijalani untuk mencari makna dalam pengalaman hidup sebagai wanita bergelar Syarifah, ahlul bait dari Rasulullah SAW, dengan segala aturan budaya yang mengikatnya. Tentunya mereka memiliki kebebasan untuk memilih caranya sendiri untuk melanjutkan kehidupan.

Dokumen terkait