• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pernikahan Sayyid/Syarifah

BAB II Tinjauan Pustaka

B. Sistem Pernikahan Sayyid/Syarifah

Penggunaan gelar Sayyid/Sya rifah merupakan suatu gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau, yaitu Hasan bin Ali dan Husain bin Ali. Mereka merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib.

Keturunan Hasan dan Husain disebut dengan Sayyid dengan jamak Sadat. Hal ini dikarenakan Nabi SAW mengatakan ‘Kedua Anakku ini

menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di syurga.’ Di beberapa daerah lain disebut dengan Syarif, yang berarti orang mulai atau orang berbangsa, dengan jamak Asyraf. Bagi wanita keturunan ahlul bait Rasulullah SAW mendapat gelar berupa Sayyidah atau Syarifah (Al Hinduan, 2007).

Menurut Prof. Dr. HAMKA (al-Masyhur,2013), sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Hasan dan Husain datang ke Indonesia. Sejak dari Semenanjung Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Banyak jasa mereka dalam penyebaran agaman Islam di seluruh Nusantara. Penyebaran Islam dan pendiri kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang berasal dari Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah putus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayyid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid al-Qadri. Kerajaan Siak merupakan keluarga bangsa Sayyid Bin Syahab.

Al-Masyhur (2013) mengemukakan bahwa kebanyakan para Sayyid yang datang ke Indonesia menjadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut (Yaman) dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang ke Indonesia dari berbagai keluarga. Berbagai keluarga yang banyak dikenal adalah keluarga al-Attas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, al-Habsyi, al-Haddad, Bin Smith, Bin syahab, dan lain-lain.

Menurut Al-Masyhur (2012) menyatakan bahwa para keturunan Rasulullah SAW yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah SWT, karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. keturunan Rasulullah SAW menjadi manusia yang memiliki kemuliaan dan keutamaan, sehingga mereka seharusnya tetap mempertahankan kemuliaan dan keutamaan pada diri dan keturunan mereka melalui pernikahan. Mereka

menjaga keturunan mereka dengan mengawinkan wanita-wanita Sya rifah dengan laki-laki Sayyid.

Berdasarkan hasil pre-eliminary research yang dilakukan peneliti dengan Sayyid Lukman, yaitu ketua Sayyid Se-Aceh saat ini, dikatakan bahwa aturan pernikahan Sayyid/Syarifah didasarkan pada pernikahan putri Nabi Muhammad SAW, yaitu Fathimah dengan sepupu Nabi Muhammad yaitu Ali bin Abi Thalib. Berikut pernyataan Sayyid Lukman.

“Perkawinan Saiyidina Ali radhiallahu ‘anhu dengan Siti Fathimah

radhiallahu ‘anhu adalah sekufu (sederajat) dan beliau adalah contoh yang wajib kami ikuti, karena beliau adalah nenek moyang kami. Perkawinan beliau menghasilkan keturunan yaitu Al Hasan dan Al Husein yang merupakan asal usul Syarif/Sayyid dan Syarifah/Sayyidah. Itu perlu kamu ketahui. Keturunan Al Hasan dan Al Husein inilah yang tidak boleh dikawini oleh siapapun, kecuali dari golongan itu sendiri.

Bahwa ada hadist yang mengatakan: ‘bahwa keturunan Rasulullah SAW tidak akan terputus hingga hari kemudian’.”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Berdasarkan pre-eliminary resea rch peneliti juga menemukan bahwa akan ada berbagai konsekuensi jika para Sya rifah menikah bukan dengan laki-laki Sayyid, diantaranya adalah: akan putus hubungan nasabnya dengan keluarga dan Rasulullah SAW; mendapatkan dosa; dan keturunannya tidak lagi bergelar Sayyid/Syarifah. Seperti ungkapan berikut.

“Wanita Sayyid/Syarif yakni Syarifah, apabila telah mempersuamikan

lelaki biasa, maka putuslah hubungan kekeluargaannya dari rumpun familinya, kecuali family yang sudah setuju, namun kenyataan yang kita lihat, jauh lebih banyak family yang tidak setuju daripada yang setuju, sehingga terasinglah wanita tersebut dari keluarganya dan putus pula silaturrahminya. Lagi pula, orang yang sengaja memutuskan silaturrahmi

dengan cucu Rasulullah SAW akan menjadi dosa besar dan menimbulkan permusuhan yang tidak akan berakhir. Bahkan sampai anak cucunya kelak, karena dianggap mengkhianati bangsanya dan memurkai turunannya yang suci dari Rasulullah SAW, nauzubillahi minzallik !”

(Komunikasi Personal, Februari 2014)

Jika telah terjadi pernikahan anatara Syarifah dengan lelaki yang bukan Sayyid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan Sayyid, karena anak mengikuti garis ayahnya. Hal ini mengakibatkan keutamaan dan kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah SWT untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang Syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan Sayyid (al Masyhur, 2012).

Lampiran berkas surat tanggal 28 Agustus 1995 yang ditujukan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, menjelaskan isi ceramah yang disampaikan oleh Habib Muhammad Mohdar Al Mahdar dan Habib Musthafa

Al Haddad di Mesjid Jami’ Sulthan Abdurrahman. Ceramah tersebut berisikan

pembahasan mengenai masalah Hukum Perkawinan/Pernikahan antara perempuan Syarifah dengan laki-laki yang bukan dari keturunan Syarif/Sayyid. Berikut kutipan isi ceramah.

“Tidak ada satu dalilpun yang dapat mengesahkan Pernikahan Syarifah

pada bukan Sayyid/Syarif. Berani mengesahkannya berarti gugurlah semua kitan dan fatwa dari pada Imam al-Mujtahid serta para ulama yang besar, dan memang begitulah sejarah yang di alami oleh Keturunan Rasulullah SAW mulai dari: Sayyidina Hasan ra.; Sayyidina Husain, juga cucunya Al Hasan dan Al Husein. Kembalilah pada sejarah pada Zaman Pemerintahan Bani Umayyah dan BAni Abbas apa yang terjadi saat itu. Tapi jangan lupa bahwa duna sudah tua, yang tak pernah terjadi akan terjadi, salah satu contoh: 1) Berlainan Agama dapat kawin, yang satu Islam yang satunya agama selain Islam, padahal HUKUM SUDAH

ADA, tapi seperti itu; 2) Seorang akan kawin pada seorang wanita sesama Islam, dalam hal ini Walinya tidak setuju, tapi dinikahkan juga, menurut Hadist, BATAL NIKAH TANPA WALI, kalaupun keduanya kawin, jelas HUKUMNYA ZINA !. kedua calon suami isteri akan kawin, walinya tidak setuju, kemudian mereka lari kesuatu daerah, yang oleh penghulu setempat dinikahkan, apa Hukumnya SAH? – tentu tidak, padahal orang tua perempuan masih ada, hanya tidak setuju saja. Kasus tersebut dalam hal ini sudah sering terjadi, padahal HUKUMNYA JELAS ADA. Bagi kami yang tahu Hukum Perkawinan Syarifah tetap mempertahankannya, kalau tidak siapa llagi yang akan menegakkannya. Karena Datuk kami Rasulullah SAW telah memberi contoh kepada anak keturunannya (ahlul bait) dan ‘ilmu rumah tangga tak akan jatuh pada orang luar, kecuali orang tumah tak mau belajar dan orang luar yang mau

belajar malah lebih tahu’. Bagi yang mau memakai silahkan, begitu juga

yang tidak terserah masing-masing.”

Banyak sumber hukum yang menjelaskan mengenai sistem pernikahan Sayyid/Syarifah. Berbagai dalil dalam Al Qur’an, Hadist, Ijma’ Ulama, dan

hukum Qias yang menjelaskan hukum pernikahan Sayyid dan Syarifah. Namun, dalam hal ini peneliti tidak membahas lebih dalam, dikarenakan fokus penelitian ini di pandang dari kacamata psikologi, mengenai keadaan Syarifah yang melajang karena nilai yang dianutnya, yakni tidak boleh menikah dengan lelaki yang bukan dari golongan Sayyid.

C. Tahapan Perkembangan Dewasa Madya dan Dewasa Akhir (Usia Lanjut)

Dokumen terkait