• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Ambang Batas; Terciptanya Sistem Multipartai Sederhana Secara Alamiah

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 72-79)

2.6 Arah Kebijakan Hukum Pemerintah untuk Pemilu

2.6.2 Kebijakan Ambang Batas; Terciptanya Sistem Multipartai Sederhana Secara Alamiah

Sistem multipartai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia

dapat dikatakan merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Selain

karena kenyataan yang harus dihadapi, majemuknya bangsa Indonesia harus

tetap dihormati dan dihargai, termasuk dalam hal kebebasan rakyat dalam

berkumpul dan berserikat, khususnya dibidang politik, yang akhirnya

mendorong berdirinya ratusan partai politik. Hal tersebut merupakan hak dan

telah dijamin oleh konstitusi. Namun disisi lain, terkait ketertiban dan demi

tujuan yang rasional, pemerintah dan pembentuk undang-undang memiliki

wewenang untuk merancang suatu sistem pemilu yang tepat sasaran bagi

pembangunan demokrasi. Keterbatasan kursi di parlemen, dianutnya sistem

pemerintahan presidensil didalam konstitusi, dan masalah efektifitas

pemerintahan karena iklim politik yang kondusif, merupakan faktor pendorong

dan sekaligus fakta yang harus dipertimbangkan dalam menyusun satu

undang-undang politik. Terutama undang-undang pemilu yang menjadi

lembaga perwakilan. Merancang undang-undang pemilu yang baik dan tepat

sasaran akan berdampak pada baiknya output yang merupakan input bagi

proses suksesi kepemimpinan negara, untuk itu haruslah dirancang dengan

pertimbangan yang seksama. Adanya syarat dan tata cara merupakan bagian

dari mekanisme proses seleksi pada umumnya. Karena tujuan dari seleksi

adalah untuk mencari kandidat terbaik dari semua peserta. Hal ini dikaitkan

dengan kepesertaan pemilu, maka peserta pemilu yang terdiri dari

perseorangan dan partai harus diseleksi mana yang terbaik diantara mereka.

Meski pada akhirnya juri adalah rakyat itu sendiri yang akan menentukan

pilihan sesuai aspirasi masing-masing. Namun demikian, sistem pemilu

hendak menyajikan pserta terbaiknya bagi para pemilih dan hendak

menyajikan pemenang pemilu yang terbaik guna duduk sebagai pengisi

jabatan lembaga negara. Partai secara lembaga dapat diukur kualitasnya dari

sisi popularitasnya di mata rakyat, selain itu ada aspek kesiapan secara

infrastuktur dan suprastruktur yang harus dipenuhi untuk mencapai

popularitas di mata rakyat. Dengan demikian, adalah rasional bila partai yang

suprastruktur. Untuk itu, terwujud dalam bentuk aturan yang memang bersifat

membatasi, dan itulah hakikat dari seleksi guna mencari peserta pemilu yang

terbaik. Pembatasan yang sifatnya positif dan dibenarkan karena landasan

rasionalnya merupakan kebutuhan bersama. Adalah satu hal yang tepat bila,

partai politik yang layak dipilih pada saat pemilu legislatif adalah partai yang

secara kelembagaan sudah mapan, persebaran perwakilan pengurusnya

siap diseluruh daerah di Indonesia, dan memiliki anggota yang baik secara

kualitas dan kuantitas, yang dengan demikian siap bekerja untuk negara dan

rakyat. Selain itu, bukanlah menjadi suatu hal yang diskriminatif dan

menciderai demokrasi bila, peraturan mengenai syarat persentase tertentu

ditetapkan untuk menjadi tiket masuk bagi partai untuk bisa duduk di kursi

parlemen. Karena sistem kerja parlemen adalah untuk bermusyawarah

membawa aspirasi konstituennya dan rakyat pada umumnya. Sifat hubungan

politik antarentitas politik dalam parlemen adalah suatu kepastian, karena

dalam bermusyawarah tersebut ada adu argumen dan ide untuk menyusun

undang-undang, dan oleh karenanya, sedapat mungkin banyaknya jumlah

dibatasi, karena demi kelancaran dan efektifitas kinerja parlemen secara

kelembagaan ditengah lembaga negara lainnya. Jangan sampai kinerja

parlemen terhambat karena masalah komunikasi politik didalam parlemen

sendiri yang tidak selesai. Terlebih, fungsi parlemen yang juga untuk

membantu pemerintah dalam menghasilkan produk hukum yang akan

diterapkan dalam kegiatan pemerintahan harus bersifat cepat dan tepat.

Sistem presidensial pemerintahan Indonesia menuntut adanya kerja

sama dari parlemen. Setidak-tidaknyanya ada dua hingga tiga entitas politk

yang boleh ada dalam parlemen, dimana terdiri dari entitas politik yang

mendukung pemerintah, entitas politik yang menjadi loyal oposisi, dan bila

diperlukan adalah entitas penengah yang akan berfungsi sebagai penetralisir

atau kekuatan penyeimbang bagi munculnya perbedaan pendapat yang

membuat lamanya kinerja parlemen dalam menghasilkan keputusan untuk

menghasilkan produk undang-undang. Pemerintah pun bisa bergerak

menjalankan program pembangunan dengan baik. Kondisi kondusif seperti

demikianlah yang dibutuhkan dalam sistem pemerintahan presidensil di

dianggap menentukan kinerja sistem presidensial itu dalam praktik adalah

diterapkannya sistem multi-partai yang menyebabkan timbulnya kesulitan-

kesulitan bagi Presiden untuk mendapatkan dukungan mayoritas politik di

parlemen.62 Kebutuhan tersebut harus dapat diartikulasikan dalam bentuk

udang-undang paket politik, termasuk undang-undang pemilu. Sehingga

adanya pembatasan jumlah partai yang boleh duduk di kursi parlemen adalah

satu pilihan sadar dan penuh pertimbangan rasional. Untuk itu, persentase

pun menjadi hal yang maklum, mengingat didalamnya tersimpan ukuran

dukungan rakyat terhadap partai tersebut, dan disisi lain ada jumlah kursi

yang terbatas di parlemen yang harus dibagi ke beberapa partai politik. Untuk

itu jumlah 2% seperti yang diatur dalam UU pemilu 1999 dan 3% yang diatur

dalam UU pemilu 2004, adalah satu pilihan logis demi menghasilkan

komposisi anggota parlemen yang berkualitas dari sisi dukungan rakyat.

Electoral threshold atau parlementary threshold merupakan bentuk formulasi

yang perlu dilakukan guna menghasilkan lembaga perwakilan yang

berkualitas, karena semakin sedikit entitas politik yang ada dalam parlemen

62 Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidentil, Makalah, data diakses dari < http://www.jimly.com/makalah/namafile/108/MEMPERKUAT_SISTEM_ PRESIDENTIL__Jember_.pdf> pada 14 Desember 2011 pukul 15.00

maka akan semakin cepat pula kinerja yang dihasilkan guna mendukung

program pembangunan pemerintah. Bahkan formulasi tersebut masih

dianggap bersifat spekulatif, dan kurang dapat mencapai kondisi yang

diinginkan, sehingga masih harus diusahakan adanya bentuk-bentuk

pembatasan lain yang menghasilkan pengurangan atau penyederhanaan

banyaknya entitas politik dalam lembaga perwakilan. Sebagaimana dikatakan

oleh Prof. Jimly tentang usaha pembatasan ini, bahwa penyederhanaan

alamiah jumlah partai melalui kebijakan ‘threshold’ itu dapat dikatakan ada

gunanya, akan tetapi jelas tidak mencukupi (necessary but insufficient) untuk

mengatasi masalah majemuknya entitas politik di DPR.63

Bab III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Kajian mengenai bagaimanakah pola pengaturan sistem kepartaian

dalam rangka pemilihan umum yang diberlakukan di Indonesia; dan

bagaimanakah arah kebijakan hukum pemerintah untuk mengatur kegiatan

politik dalam pemilihan umum di era pasca reformasi, merupakan kunci untuk

mengetahui tentang bagaimana arah kebijakan hukum pemerintah terhadap

produk hukum yang mngatur kehidupan politik di Indonesia. Seletah melalui

pembahasan akhirnya didapatkan mengenai adanya pola pada pengaturan

sistem kepartaian di Indonesia.

Sistem kepartaian diarahkan menjadi multipartai sederhana,

tujuannya adalah untuk mendukung sistem pemerintahan presidensil agar

lebih efektif, karena dengan sedikitnya jumlah parpol dalam parlemen akan

mempercepat tugas DPR dalam menyelesaikan pembahasan RUU yang

akan disahkan pemerintah. Cara dan pola yang diterapkan oleh pemerintah

dan DPR untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan menerapkan

konsep ambang batas (threshold) seperti yang telah diterapkan pada pemilu

1999 dan 2004 yaitu ambang batas pemilih (electoral threshold) dan yang

diterapkan pada 2009 yaitu ambang batas kursi parlemen (parliamentary

parlemen sedikit. Selain itu ada pola pembatasan lain yaitu dengan

meningkatkan persyaratan parpol untuk dapat mengikuti pemilu. Pola-pola

pengaturan tersebut dimasukkan menjadi materi muatan pada UU pemilu

yang cukup krusial mengundang sentimen parpol, karena kepentingan

mereka besar mengenai masalah tersebut. Proses tawar-menawar yang

terjadi di DPR menunjukkan adanya konfigurasi politik yang cukup

demokratis di negara kita, karena pemerintah tidak serta-merta memaksakan

keinginannya untuk membatasi keneradaan partai di DPR, justru tawaran

pembatasan parpol lebih tinggi diinginkan oleh parpol dengan kekuatan besar

di parlemen, yang mana hal ini memunculkan sentimen negatif dari parpol

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 72-79)

Dokumen terkait