2.6 Arah Kebijakan Hukum Pemerintah untuk Pemilu
2.6.2 Kebijakan Ambang Batas; Terciptanya Sistem Multipartai Sederhana Secara Alamiah
Sistem multipartai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia
dapat dikatakan merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Selain
karena kenyataan yang harus dihadapi, majemuknya bangsa Indonesia harus
tetap dihormati dan dihargai, termasuk dalam hal kebebasan rakyat dalam
berkumpul dan berserikat, khususnya dibidang politik, yang akhirnya
mendorong berdirinya ratusan partai politik. Hal tersebut merupakan hak dan
telah dijamin oleh konstitusi. Namun disisi lain, terkait ketertiban dan demi
tujuan yang rasional, pemerintah dan pembentuk undang-undang memiliki
wewenang untuk merancang suatu sistem pemilu yang tepat sasaran bagi
pembangunan demokrasi. Keterbatasan kursi di parlemen, dianutnya sistem
pemerintahan presidensil didalam konstitusi, dan masalah efektifitas
pemerintahan karena iklim politik yang kondusif, merupakan faktor pendorong
dan sekaligus fakta yang harus dipertimbangkan dalam menyusun satu
undang-undang politik. Terutama undang-undang pemilu yang menjadi
lembaga perwakilan. Merancang undang-undang pemilu yang baik dan tepat
sasaran akan berdampak pada baiknya output yang merupakan input bagi
proses suksesi kepemimpinan negara, untuk itu haruslah dirancang dengan
pertimbangan yang seksama. Adanya syarat dan tata cara merupakan bagian
dari mekanisme proses seleksi pada umumnya. Karena tujuan dari seleksi
adalah untuk mencari kandidat terbaik dari semua peserta. Hal ini dikaitkan
dengan kepesertaan pemilu, maka peserta pemilu yang terdiri dari
perseorangan dan partai harus diseleksi mana yang terbaik diantara mereka.
Meski pada akhirnya juri adalah rakyat itu sendiri yang akan menentukan
pilihan sesuai aspirasi masing-masing. Namun demikian, sistem pemilu
hendak menyajikan pserta terbaiknya bagi para pemilih dan hendak
menyajikan pemenang pemilu yang terbaik guna duduk sebagai pengisi
jabatan lembaga negara. Partai secara lembaga dapat diukur kualitasnya dari
sisi popularitasnya di mata rakyat, selain itu ada aspek kesiapan secara
infrastuktur dan suprastruktur yang harus dipenuhi untuk mencapai
popularitas di mata rakyat. Dengan demikian, adalah rasional bila partai yang
suprastruktur. Untuk itu, terwujud dalam bentuk aturan yang memang bersifat
membatasi, dan itulah hakikat dari seleksi guna mencari peserta pemilu yang
terbaik. Pembatasan yang sifatnya positif dan dibenarkan karena landasan
rasionalnya merupakan kebutuhan bersama. Adalah satu hal yang tepat bila,
partai politik yang layak dipilih pada saat pemilu legislatif adalah partai yang
secara kelembagaan sudah mapan, persebaran perwakilan pengurusnya
siap diseluruh daerah di Indonesia, dan memiliki anggota yang baik secara
kualitas dan kuantitas, yang dengan demikian siap bekerja untuk negara dan
rakyat. Selain itu, bukanlah menjadi suatu hal yang diskriminatif dan
menciderai demokrasi bila, peraturan mengenai syarat persentase tertentu
ditetapkan untuk menjadi tiket masuk bagi partai untuk bisa duduk di kursi
parlemen. Karena sistem kerja parlemen adalah untuk bermusyawarah
membawa aspirasi konstituennya dan rakyat pada umumnya. Sifat hubungan
politik antarentitas politik dalam parlemen adalah suatu kepastian, karena
dalam bermusyawarah tersebut ada adu argumen dan ide untuk menyusun
undang-undang, dan oleh karenanya, sedapat mungkin banyaknya jumlah
dibatasi, karena demi kelancaran dan efektifitas kinerja parlemen secara
kelembagaan ditengah lembaga negara lainnya. Jangan sampai kinerja
parlemen terhambat karena masalah komunikasi politik didalam parlemen
sendiri yang tidak selesai. Terlebih, fungsi parlemen yang juga untuk
membantu pemerintah dalam menghasilkan produk hukum yang akan
diterapkan dalam kegiatan pemerintahan harus bersifat cepat dan tepat.
Sistem presidensial pemerintahan Indonesia menuntut adanya kerja
sama dari parlemen. Setidak-tidaknyanya ada dua hingga tiga entitas politk
yang boleh ada dalam parlemen, dimana terdiri dari entitas politik yang
mendukung pemerintah, entitas politik yang menjadi loyal oposisi, dan bila
diperlukan adalah entitas penengah yang akan berfungsi sebagai penetralisir
atau kekuatan penyeimbang bagi munculnya perbedaan pendapat yang
membuat lamanya kinerja parlemen dalam menghasilkan keputusan untuk
menghasilkan produk undang-undang. Pemerintah pun bisa bergerak
menjalankan program pembangunan dengan baik. Kondisi kondusif seperti
demikianlah yang dibutuhkan dalam sistem pemerintahan presidensil di
dianggap menentukan kinerja sistem presidensial itu dalam praktik adalah
diterapkannya sistem multi-partai yang menyebabkan timbulnya kesulitan-
kesulitan bagi Presiden untuk mendapatkan dukungan mayoritas politik di
parlemen.62 Kebutuhan tersebut harus dapat diartikulasikan dalam bentuk
udang-undang paket politik, termasuk undang-undang pemilu. Sehingga
adanya pembatasan jumlah partai yang boleh duduk di kursi parlemen adalah
satu pilihan sadar dan penuh pertimbangan rasional. Untuk itu, persentase
pun menjadi hal yang maklum, mengingat didalamnya tersimpan ukuran
dukungan rakyat terhadap partai tersebut, dan disisi lain ada jumlah kursi
yang terbatas di parlemen yang harus dibagi ke beberapa partai politik. Untuk
itu jumlah 2% seperti yang diatur dalam UU pemilu 1999 dan 3% yang diatur
dalam UU pemilu 2004, adalah satu pilihan logis demi menghasilkan
komposisi anggota parlemen yang berkualitas dari sisi dukungan rakyat.
Electoral threshold atau parlementary threshold merupakan bentuk formulasi
yang perlu dilakukan guna menghasilkan lembaga perwakilan yang
berkualitas, karena semakin sedikit entitas politik yang ada dalam parlemen
62 Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidentil, Makalah, data diakses dari < http://www.jimly.com/makalah/namafile/108/MEMPERKUAT_SISTEM_ PRESIDENTIL__Jember_.pdf> pada 14 Desember 2011 pukul 15.00
maka akan semakin cepat pula kinerja yang dihasilkan guna mendukung
program pembangunan pemerintah. Bahkan formulasi tersebut masih
dianggap bersifat spekulatif, dan kurang dapat mencapai kondisi yang
diinginkan, sehingga masih harus diusahakan adanya bentuk-bentuk
pembatasan lain yang menghasilkan pengurangan atau penyederhanaan
banyaknya entitas politik dalam lembaga perwakilan. Sebagaimana dikatakan
oleh Prof. Jimly tentang usaha pembatasan ini, bahwa penyederhanaan
alamiah jumlah partai melalui kebijakan ‘threshold’ itu dapat dikatakan ada
gunanya, akan tetapi jelas tidak mencukupi (necessary but insufficient) untuk
mengatasi masalah majemuknya entitas politik di DPR.63
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kajian mengenai bagaimanakah pola pengaturan sistem kepartaian
dalam rangka pemilihan umum yang diberlakukan di Indonesia; dan
bagaimanakah arah kebijakan hukum pemerintah untuk mengatur kegiatan
politik dalam pemilihan umum di era pasca reformasi, merupakan kunci untuk
mengetahui tentang bagaimana arah kebijakan hukum pemerintah terhadap
produk hukum yang mngatur kehidupan politik di Indonesia. Seletah melalui
pembahasan akhirnya didapatkan mengenai adanya pola pada pengaturan
sistem kepartaian di Indonesia.
Sistem kepartaian diarahkan menjadi multipartai sederhana,
tujuannya adalah untuk mendukung sistem pemerintahan presidensil agar
lebih efektif, karena dengan sedikitnya jumlah parpol dalam parlemen akan
mempercepat tugas DPR dalam menyelesaikan pembahasan RUU yang
akan disahkan pemerintah. Cara dan pola yang diterapkan oleh pemerintah
dan DPR untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan menerapkan
konsep ambang batas (threshold) seperti yang telah diterapkan pada pemilu
1999 dan 2004 yaitu ambang batas pemilih (electoral threshold) dan yang
diterapkan pada 2009 yaitu ambang batas kursi parlemen (parliamentary
parlemen sedikit. Selain itu ada pola pembatasan lain yaitu dengan
meningkatkan persyaratan parpol untuk dapat mengikuti pemilu. Pola-pola
pengaturan tersebut dimasukkan menjadi materi muatan pada UU pemilu
yang cukup krusial mengundang sentimen parpol, karena kepentingan
mereka besar mengenai masalah tersebut. Proses tawar-menawar yang
terjadi di DPR menunjukkan adanya konfigurasi politik yang cukup
demokratis di negara kita, karena pemerintah tidak serta-merta memaksakan
keinginannya untuk membatasi keneradaan partai di DPR, justru tawaran
pembatasan parpol lebih tinggi diinginkan oleh parpol dengan kekuatan besar
di parlemen, yang mana hal ini memunculkan sentimen negatif dari parpol