• Tidak ada hasil yang ditemukan

politik hukum adat studi masyarakat (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "politik hukum adat studi masyarakat (2)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Hak untuk berkumpul dan berserikat serta mengeluarkan pendapat

baik lisan maupun tulisan merupakan satu dari sekian banyak hak dasar bagi

manusia yang dilundungi dan diakui secara universal. Dalam instrumen Hak

Asasi Manusia (HAM) Internasional, hak tersebut dikelompokkan kedalam

hak sipil dan politik, yang hingga hari ini bisa dikatakan merupakan satu hak

yang paling dibutuhkan oleh semua masyarakat di dunia.1 Dalam UUD NRI

tahun 1945, hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang pertama kali

diakui untuk diatur dan dilindungi oleh konstitusi Indonesia sebelum hak asasi

lainnya yang baru diakui kemudian melalui amandemen. Hak untuk

berkumpul dan berserikat untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan

maupun tulisan merupakan hak yang harus diberikan negara kepada

(2)

rakyatnya dalam rangka pembangunan negara yang demokratis, tanpanya

sulit dan tidak mungkin suatu negara akan bisa maju kehidupan berbangsa

dan bernegaranya terutama dibidang politik.2

Berpolitik merupakan naluri dasar manusia yang mungkin sering tidak

disadari. Hari ini, kebanyakan rakyat memandang politik sebagai satu aktifitas

yang kotor dan tidak disukai karena diartikan sebagai sebuah tindakan yang

hanya mencari keuntungan dan kekuasaan pribadi atau golongan. Padahal

politik bagi manusia adalah perbuatan dan perilakunya sendiri, karena pada

dasarnya manusia adalah insan politik (zoon politicon) yang hal tersebut

terlihat pada pilihan-pilihan sikap dan tindakan yang didasarkan pada motif

untuk mencapai satu tujuan yang dikehendakinya. Manusia akan selalu

bertindak demikian karena ia sadar hal tersebut dibutuhkan demi kepentingan

hidupnya, dan hal tersebut berjalan secara sadar karena rasionalitas logika

(akal) yang dimilikinya. Oleh karena hal tersebut melekat pada diri manusia

dan sifatnya adalah kebutuhan, maka harus diakui sebagai hak asasi yang

mendasar bagi manusia.

(3)

Secara sederhana dapat dikatakan demikian, dan hal tersebut

berlaku pada macam-macam sikap tindak manusia disegala dimensi

kehidupannya. Dalam rangka untuk kepentingan yang lebih luas dan

mencakup kepentingan banyak orang, politik harus dikompromikan bersama

agar tercipta titik temu kepentingan antarmanusia. Begitulah yang terjadi

dalam hal bermasyarakat dan bernegara, kepentingan-kepentingan manusia

yang beraneka ragam harus terbingkai dalam satu institusi agar tertib dan

dapat diidentifikasi corak kepentingannya itu. Pada akhirnya setiap manusia

akan bertemu dan berkumpul pada orang lain yang memiliki kesamaan

kepentingan dan menggabungkan kesamaannya tersebut dalam satu

lembaga yang merupakan identitas bagi kesatuan kepentingan mereka.

Lembaga yang menghimpun aspirasi beberapa orang yang memiliki

kesamaan itulah yang kemudian terwujudkan dalam bentuk Partai Politik

(parpol).3

Menurut Prof. Miriam Boediardjo, parpol merupakan lembaga untuk

menyalurkan aspirasi politik melalui fungsinya yang sebagai sarana

(4)

komunikasi politik.4 Ditambah dengan pendapat Yves Meny dan Andrew

Knapp, bahwa parpol memiliki fungsi untuk mengelaborasikan pilihan

kebijakan-kebijakan yang akan diusungnya melalui anggota-anggotanya yang

duduk didalam parlemen.5 Melalui fungsi yang dipaparkan kedua pakar ilmu

politk tersebut, dapatlah dikatakan bahwa parpol dalam kehidupan demokrasi

suatu negara diakui sebagai satu pilar demokrasi yang cukup vital. Mengingat

arti pentingnya sebagai wahana dan penyaluran aspirasi politik seseorang

kepada lembaga negara (parlemen-DPR). Parpol pun turut menjadi objek

yang sering disebut dalam konstitusi yang berkaitan dengan kegiatan

ketatanegaraan seberti mekanisme pengisian jabatan presiden atau anggota

parlemen. Sehingga bisa dikatakan bahwa parpol merupakan objek yang

keberadaannya dilindungi konstitusi karena keberadaannya yang dibutuhkan

sebagai sarana kegiatan ketatanegaraan selain lembaga negara. Namun

tidak diartikan sebagai pelaku pelaksana kekuasaan negara yang diberikan

konstitusi. Justru diaturnya parpol dalam konstitusi merupakan sarana

perantaraan dari rakyat kepada institusi pemerintahan negara yang

4 Mirian Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2000). Hal. 163-164.

5 Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe

(5)

mengemban kewenangan dari negara sebagai pelaku kekuasaan

kenegaraan.

Hal-hal tersebut merupakan fungsinya yang penting dalam kehidupan

demokrasi sebuah negara. Lebih lanjut, fungsi parpol yang menurut Miriam

Budiardjo sebagai pengelola konflik dan yang menurut Yves Meny dan

Andrew Knapp sebagai lembaga pengintegrasi dan pemobilisasi, bila dilihat

pada aplikasinya ditataran kenyataan, adalah untuk mengelola aspirasi,

menentukan calon pemimpin lembaga-lembaga negara, dan perumus

kebijakan-kebijakan yang akan disahkan menjadi undang-undang di

parlemen, sehingga kehidupan bernegara menjadi tertib, damai dan aman.6

Parpol merupakan wujud konkret bagi penegakkan hak warga negara untuk

turut serta dalam pemerintahan. Tanpa adanya parpol, peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan negara sulit tercapai, sehingga sebagai

salah satu unsur sebab dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,

pengaturan terhadap parpol pun sama mendesaknya dengan pengaturan

terhadap lembaga-lembaga negara lainnya.

(6)

Biasanya pengaturan tentang parpol ini bersamaan dengan

pengaturan terhadap kegiatan pemilihan umum (pemilu), karena antara

parpol dan pemilu terdapat hubungan seperti kendaraan bermotor dengan

lalu lintas jalan raya. Pengaturan parpol dan pemilu dilakukan guna

menertibkan kegiatan pemilu yang pesertanya adalah parpol-parpol yang

akan saling bersaing menarik suara rakyat untuk mengisi jabatan lembaga

negara. Mekanisme ini merupakan rangkaian penting dalam rangka peralihan

kekuasaan negara secara aman tertib dan damai. Kegiatan pemilu yang

merupakan pesta demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi politik,

adalah momentum dimana rakyat dengan sukarela dan penuh kesadaran

melakukan penyerahan (sebagian) kedaulatannya pada sebagian orang

warga negara lainnya yang akan menjabat sebagai kepala negara dan

anggota parlemen. Dengan mekanisme demikian, maka dimulainya

kehidupan bernegara akan dapat segera berjalan yang telah berbekal pada

kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat kepada sebagian rakyat yang

lainnya.7 Akhirnya terciptalah suatu kehidupan bernegara yang demokratis

(7)

secarah sah menurut hukum.

Tentunya guna mencapai tujuan seperti pada uraian diatas, menuntut

adanya satu tata tertib pemilu dan mekanisme seleksi bagi parpol dan calon

anggota legisatif maupun calon pasangan presiden dan wakil presiden.

Dengan pengertian, bukan untuk membatasi demokrasi, namun teknis aturan

untuk sukses menyelenggarakan negara yang demokratis adalah satu

kesatuan yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan negara demokratis itu

sendiri. Sederhananya, aturan main pun harus tetap ada dalam satu

permainan yang adil dan terbuka (fair play).

Berkaitan dengan aturan main tersebut, adanya sistem pemilu

merupakan bagian yang harus diperhatikan dengan seksama agar tetap

mampu membingkai unsur demokratis yang sehat dalam suatu pemilu.

Sistem pemilu dimaksudkan agar semua kepentingan politik mampu

tersalurkan secara tertib dan hasilnya dapat diakui sebagai satu capaian

bersama seluruh rakyat yang sah secara hukum. Pada sistem pemilu

ditentukan juga didalamnya sistem kepartaian yang dianut untuk menciptakan

(8)

Dengan diaturnya sistem pemilu dalam undang-undang, maka hasil pemilu

akan sempurna secara kesahan hukum (legalitas) dan secara kesahan politik

(legitimitas). Selain untuk mencapai kedua hal tersebut, sistem pemilu dan

sistem kepartaian disusun agar mampu melahirkan kegiatan

penyeleng-garaan pemerintahan negara yang efektif dan efisien. Terdapat beberapa

studi yang mengatakan adanya hubungan antara keduanya, meski hal

tersebut tidak mutlak, namun turut andil dalam kesuksesan untuk

menghasilkan pemerintahan yang efektifit dan efisien.8

Praktek ketatanegaraan di Indonesia diakui sebagai salah satu

praktek ketatanegaraan yang selalu mengkombinasikan teori sistem

pemerintahan. Sehingga hasilnya agak sulit untuk tergambarkan sebagai

satu sistem pemerintahan yang terkategori dalam tataran teori yang ada.

Banyak faktor yang menyebabkannya, dan hal tersebut adalah fakta bagi

negara Republik Indonesia yang sifatnya majemuk. Termasuk dengan adanya

pemikiran atas kecocokan antara sistem pemerintahan dan sistem

kepartaian. Meski bukan suatu yang baku, namun studi dan pemikiran yang

8 Syamsuddin Haris, Penyederhanaan Sistem Kepartaian, diunduh dari

(9)

muncul dari para pakar menawarkan satu pilihan yang dapat menjadi saran

perbaikan atas kondisi yang dirasakan saat ini.

Kita melihat saat ini, sistem pemerintahan Indonesia adalah

Presidensil dan partai yang mendukung pemerintahan begitu banyak, dan

meski demikian, masih sulit menentukan satu bentuk rumusan hubungan

antarparpol yang ada dalam parlemen untuk mendukung penuh program

pemerintah. Koalisi yang ada pun belum menjawab kebutuhan dukungan

penuh tersebut. Agaknya akibat yang muncul ini bisa diakui sebagai satu

tanda adanya ketidakcocokan antara sistem presidensil dengan sistem

multipartai.9 Demikianlah yang secara teori diungkapkan, bahwa dalam

praktek negara demokrasi moderen menunjukkan adanya hubungan antara

sistem pemerintahan dan sistem kepartaian. Namun sekali lagi, hal itu hanya

analisis ilmiyah, dan pilihan jatuh di tangan rakyat dan pemerintah Indonesia

mau mengambil pilihan yang terbaik bagi kondisi dan karakternya tersendiri.

Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat untuk memerintah

memiliki kewenangan merancang perangkat hukum guna mengatur kegiatan

(10)

pemilu sebaik-baiknya. Kewenangan itu dapat dengan bijak diarahkan untuk

kebaikan kehidupan ketatanegaraan selanjutnya dengan melalui

perancangan perundang-undangan paket politik yang didalamnya mengatur

masalah penyelenggaraan kegiatan pemilu (tata tertib, sistem dan syarat

mengikuti pemilu), (lembaga) penyelenggara pemilu, dan syarat-syarat bagi

peserta pemilu. Undang-undang paket politik tersebut berdasarkan kebiasaan

ketatanegaraan yang berlaku dilakukan setiap lima tahun sekali, dan hal

demikian dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme input bagi proses

penyelenggaraan negara yang akan berjalan setelah dilakukannya pemilu.

Sehingga dasar hukum pelaksanaan pemilu harus terus direvisi agar mampu

mencapai satu bentuk penyelenggaraan pemilu yang baik, dimana

penyelenggaraan pemilu yang baik tersebut ditujukan untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu,

pemerintah dan DPR harus mampu merumuskan bersama satu kebijakan

hukum (legal policy) yang arahnya adalah demi perbaikan penyelenggaraan

pemerintahan di periode lima tahun berikutnya.

(11)

Melalui uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan menjadi dua

pertanyaan penelitian dalam makalah ini, yaitu:

1. Bagaimanakah pola pengaturan sistem kepartaian dalam rangka

pemilihan umum yang diberlakukan di Indonesia?

2. Bagaimanakah arah kebijakan hukum pemerintah untuk mengatur

kegiatan politik dalam pemilihan umum di era pasca reformasi?

Untuk menjawab dua pertanyaan tersebut, maka disusunlah struktur

makalah yang akan tersaji pada bagian berikutnya.

Bab II

Pembahasan

2.1 Partai Politik; Salah Satu Pilar Demokrasi

(12)

untuk berkumpul dan berserikat serta mengeluarkan pikiran baik lisan

maupun tulisan. Hak ini amat penting bagi tegaknya demokrasi dalam suatu

pemerintahan negara. Tanpa adanya penghormatan terhadap hak ini, tidak

mungkin dalam suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis. Sejalan

dengan penghormatan terhadap hak, maka pembentukan partai politik

merupakan langkah nyata untuk menjamin tegaknya hak tersebut. Hanya

dengan membentuk partai politik-lah pelaksanaan hak untuk berkumpul dan

berserikat, dapat dilakukan secara sempurna. Terutama dalam hal aktualisasi

hak untuk turut serta dalam pemerintahan, dimana ada aspirasi yang harus

disampaikan dan sarana organisasi untuk mengantarkan seseorang bisa ikut

dalam pemilihan umum. Maka partai politik merupakan sarana yang secara

konstitusional diakui sah untuk mengikutinya.

Dengan demikian, dalam rangka memperbaiki kehidupan bernegara

kearah demokratisasi yang sesungguhnya, partai politik pun harus ikut

diperhatikan untuk terjaminnya kualitas hasil yang hendak dicapai. Partai

politik hadir sebagai subjek dalam pergaulan kehidupan bernegara, baik dan

(13)

kualitas masing-masing subjek pelakunya tersebut. Oleh karena itu, demi

tegaknya demokratisasi bernegara sebagaimana dimaksud, maka sarana

penyalur aspirasi dan orang-orang yang membawanya, partai politik harus

dibangun dengan kokoh agar mampu hadir sebagai pilar penyangga

demokrasi yang akan memayungi kehidupan bernegara.

2.1.1 Fungsi dan Peran Partai Politik

Partai politik mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting dalam

setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat

strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan

banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya

menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider, “Political

parties created democracy”.10 peranan partai politik sebagai media dan

wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain seperti

pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan

sebagainya, peranan partai politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam

(14)

dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (values and

interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan

dalam konteks kegiatan bernegara.11

Partai politik-lah yang bertindak sebagai perantara dalam

proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara

warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels

dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical

Tendencies of Modern Democracy”, 12

“...organisasi merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”.

Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan

oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, menurut Yves Meny

and Andrew Knapp13, “A democratic system without political parties or with a

single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu sistem politik

11 Jimly, Ibid.,

12 Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi

(Jakarta: Penerbit Rajawali,1984). Hal. 23.

(15)

dengan hanya 1 (satu) partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk disebut

demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.14

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, partai politik berperan sebagai

sarana:15

1. sarana komunikasi politik,

2. sosialisasi politik (political socialization),

3. sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan 4. pengatur konflik (conflict management).

Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp16, fungsi partai politik

itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan

pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen

politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;

Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya.

Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam

upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political

interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam

14 Jimly, Dinamika Partai Politik, Ibid.,Hal. 2.

15 Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2000). Hal. 163-164.

(16)

masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai

politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang

bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu

diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan

menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.17

Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan

penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi

dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan

kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari

masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan

sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai-lah yang menjadi

struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran

dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif

masyarakat warga negara.18

2.1.2 Sistem Kepartaian

(17)

Andrew Heywood berpendapat bahwa sistem partai politik adalah

sebuah jaringan dari hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam

sebuah sistem politik yang berjalan. Untuk mempermudah memahami sistem

partai politik Heywood kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan

tipe-tipe sistem kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik

yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan

melalui pemilu.19 Parameter “jumlah partai politik” untuk menentukan tipe

sisem partai politik pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger

pada tahun 1954 dimana Duverger membedakan tipe sistem politik menjadi 3

sistem, yaitu;20

1. sistem partai tunggal, 2. sistem dua partai, dan 3. sistem multi partai.

Definisi yang diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita dengan

mudah menentukan sistem partai politik di sebuah negara. Kalau di negara

tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh atau satu partai politik

19 Andrew Heywood, Politics, 2nd ed. (New York: Palgrave Foundations, 2002)

(18)

yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa sistem

tersebut adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua partai politik

maka sistem partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di dalam

negara tersebut tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan sebagai

sistem multi partai.21 Di lain pihak, Sartori menyatakan bahwa yang paling

terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan

mengenai hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan

pemerintahan, dan secara lebih specifik apakah kekuatan mereka

memberikan prospek untuk memenangkan atau berbagi (sharing) kekuasaan

pemerintah.22

2.2 Euphoria Demokrasi Politik di Awal Reformasi

Memasuki tahun 1998, era baru pemerintahan Indonesia dimulai

dengan ditandai turunnya presiden Soeharto. Kemudian era reformasi pun

dimulai dengan bertitik tolak pada tuntutan pemilu yang dipercepat, padahal

baru lewat setahun lebih (1997) Indonesia melaksanakan pemilu, namun

21 Ibid.,

(19)

karena situasi yang serba krisis, terutama kepercayaan terhadap

pemerintahan, maka pemerintahan transisi yang dipimpin oleh presiden B.J

Habibie harus segera mempersiapkan pemilu yang akan dilaksanakan pada

tahun 1999. Dengan persiapan yang sangat cepat, dilaksanakanlah pemilu

sebagai titik tolak awal demokrasi yang selama orde baru diberangus.

Bagaikan suatu bendungan yang dibobol, maka gelombang

kebebasan berpolitik pun tumpah ruah membanjiri arena perpolitikan nasional

dengan dibolehkannya mendirikan partai baru untuk mengikuti pemilu (tidak

hanya tiga parpol lagi), maka bermunculanlah partai politik seperti jamur di

musim hujan. Tercatat sebanyak 141 partai baru didirikan dan setelah

mengikuti seleksi berdasarkan undang-undang pemilu yang ada, tersaringlah

menjadi 48 partai politik peserta pemilu. Ini merupakan pemilu dengan

peserta terbanyak setelah pemilu tahun 1955 yang pertama kali diadakan

bangsa Indonesia.

Pada bagian ini akan mulai dibahas mengenai pola pengaturan

pemilu khususnya mengenai kebijakan pemerintah dalam menetapkan sistem

(20)

yang mengatur mengenai pembatasan partai politik untuk dapat mengikuti

pemilu. Dimana undang-undang pemilu ini disusun untuk menjadi dasar

pelaksanaan pemilu periode yang akan datang. Sehingga parlemen dan

pemerintah memiliki nuansa kepentingan politik yang tinggi dalam proses

penyusunannya. Hal ini disebabkan oleh adanya konfigurasi politik yang

pastinya berusaha akan mempertahankan pengaruhnya melalui rancangan

pemilu yang lebih mengamankan kedudukan partai-partai yang sedang

berpengaruh di pemerintahan. Dan disisi lain merupakan ancaman bagi

partai-partai kecil dan baru akan dibentuk menjelang pemilu.

2.2.1 Pesta Demokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Orde Baru

Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi disemua

sektor kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik.

Salah satu reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang bagi

masyarakat untuk mendirikan partai politik yang dianggap mampu

merepresentasikan politik mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai

politik warisan Orde Baru dinilai tidak merepresentasikan masyarakat

(21)

tumbuh di dalam masyarakat. Dari ratusan parpol tersebut hanya 48 partai

yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Pemilu 1999 menghasilkan beberapa

partai politik yang mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat Indonesia

adalah 5; PDI.Perjuangan, P.Golkar, PKB, PPP, dan PAN.23

2.2.2 Kembalinya Kedaulatan di Tangan Rakyat

Pada rejim Orde Baru pemilihan presiden seolah-olah tidak

memberikan kesan yang berarti bagi republik karena setiap sidang umum

untuk memilih presiden dapat dipastikan anggota MPR secara aklamasi

memilih kembali Presiden Suharto. Pemilihan presiden dan wakil presiden

yang terjadi di Gedung DPR/MPR pada tahun 1999 kembali menjadi sorotan

publik masyarakat Indonesia dan internasional. Pertama kalinya anggota

MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui pemungutan suara. Sistem

pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh anggota MPR

sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan tuntutan untuk pemilihan

(22)

presiden dan wakil presiden secara langsung pada saat itu semakin kuat.24

Akhirnya pada tahun 2001 terjadi amandemen ketiga terhadap UUD

1945, salah satu materi yang diamandemen adalah presiden dan wakil

presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya,

pada tahun 2004 rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara

secara langsung. Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk

mendapatkan pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi

yang kuat karena dipilih dan didukung secara langsung oleh mayoritas rakyat

Indonesia. Pemilu presiden dan wakil presiden 2004 menghasilkan

pemerintahan yang memiliki legitimasi yang kuat.

2.2.3 Demokrasi; Mengapa Dibatasi Ambang Batas (Threshold)

Dalam perbendaharaan konseptual ilmu politik sesungguhnya hanya

dikenal satu ambang batas pemilihan umum, yakni ambang batas masuk

parlemen (electoral threshold).25 Tetapi pasca-Orde Baru dikenal dua macam

24 Sejarah pemilu tahun 1999, KPU. Diunduh dari <http://www.kpu.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=42> pada 16 Desember 2011 pukul 19.15.

25 Ambang Batas Masuk DPR, Apa yang Hendak di Capai?

(23)

ambang batas, yaitu ambang batas persentase jumlah kursi atau persentase

jumlah suara agar berhak mengikuti pemilu berikutnya -sebagian orang

menyebut electoral threshold- dan ambang batas persentase jumlah suara

atau jumlah kursi untuk dapat masuk parlemen (parliamentary threshold).

Dalam perbendaharaan ilmu politik, electoral threshold tidak lain adalah

parliamentary threshold. Ambang batas ini merupakan instrumen sistem

pemilu untuk mencapai sistem politik demokrasi yang disepakati bersama.26

Setidak-tidaknya terdapat tiga unsur yang hendak dikembangkan,

yakni sistem perwakilan rakyat, sistem kepartaian, dan efektivitas

pemerintahan dalam memenuhi janji kepada rakyat. Ambang batas jumlah

suara pemilih merupakan salah satu instrumen untuk mengurangi jumlah

parpol di DPR dan DPRD. Makin tinggi persentase ambang batas, makin

sedikit parpol yang menempatkan kadernya di DPR dan DPRD.

Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengurangi jumlah

parpol di DPR dan DPRD adalah menurunkan besaran daerah pemilihan

(dapil, district magnitude) alias jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil.

(24)

Apabila jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil diturunkan dari 3-10

kursi menjadi 3-6 kursi untuk DPR dan dari 3-12 kursi menjadi 3-6 kursi untuk

DPRD, niscaya jumlah parpol yang akan mendapatkan kursi akan berkurang.

Akan tetapi, penurunan ini tampaknya tidak akan efektif mengurangi jumlah

partai di DPR dan DPRD, apabila tidak disertai kebijakan ambang batas.27

Tujuan lain yang hendak dicapai kebijakan ambang batas adalah

sistem kepartaian pluralisme moderat.28 Sejumlah politisi menyebutnya

sebagai “sistem multipartai sederhana” yang ditandai empat karakteristik:29

1. peran utama parpol sebagai pengorganisasi warga negara untuk mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan melalui perekrutan, kaderisasi, dan pencalonan para tokoh untuk ditawarkan kepada pemilih;

2. jumlah parpol yang tidak terlalu sedikit, tetapi juga tidak terlalu banyak, sehingga mampu mewadahi kemajemukan masyarakat; jarak ideologi antarparpol yang tidak terlalu jauh berseberangan sehingga kompetisi dan perdebatan di parlemen masih mungkin mencapai kesepakatan; serta

3. pelembagaan demokrasi dalam pengelolaan parpol sehingga tidak saja kedaulatan partai berada pada anggota tetapi juga anggaran yang diperlukan ditanggung oleh iuran, dan parpol secara sendiri atau gabungan berperan sebagai pihak yang memerintah ataupun

27 Data diakses dari <http://www.jkmhal.com/print.php?sec=content&cat= 1&id=13408> diunduh pada 15 Desember 2011 pikul 13.30

28 Ibid.,

(25)

oposisi.

Peningkatan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary

threshold/ PT) tidak bisa dinilai mencederai demokrasi, Karena peningkatan

PT bukan berarti melarang berdirinya partai akan tetapi terkait

kemampuannya meraih kepercayaan rakyat untuk duduk di parlemen. Hal

demikian itu adalah mekanisme seleksi dan berbeda dengan diskriminasi.

2.3 Pemilihan Umum; Ajang Pembuktian Kualitas Partai Politik

Pemilihan umum (pemilu) merupakan kegiatan utama dalam suatu

negara demokrasi moderen. Melalui pemilu terlaksanakannya satu kegiatan

yang sangat esensial yaitu sebagai momentum transfer kedaulatan dari

tangan rakyat kepada penguasa yang akan bekerja menjalankan

pemerintahan negara. Didalam pemilu ada peserta pemilu yaitu partai politik

yang merupakan wujud entitas berbagai aspirasi politik rakyat. Parpol yang

paling disukai rakyat akan keluar sebagai pemenang dan akan menjalankan

pemerintahan dengan ide-ide yang telah mereka rancang dan tawarkan

(26)

benar-benar menjunjung tinggi demokrasi tapi juga tepat dengan sistem

ketatanegaraan, harus-lah dirancang satu sistem pemilu yang mampu

memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Didalam sistem tersebut ada aturan dan syarat yang harus diikuti

peserta pemilu. Selain itu aturan main juga mengarahkan agar parpol mampu

hadir sebagai suatu representasi yang layak dan memadai untuk dipercaya

menjalankan tanggung jawab pemerintahan negara. Artinya secara

kelembagaan, parpol harus memenuhi beberapa kriteria minimal tertentu.

Selain itu, sistem pemilu harus pula menentukan konfigurasi politik seperti

apa yang cukup mewakili kondisi masyarakat. Dimana terejawantahkan pada

sistem kepartaian yang dianut dalam pemilu.

Sistem kepartaian ini penting sebagai penentu input kekuatan politik

yang akan mengisi jalannya pemerintahan. Karena mereka adalah pelaku

pengemban aspirasi politik rakyat yang akan mengarahkan jalannya

pemerintahan. Sehingga sistem kepartaian pun harus dirancang agar sesuai

dan tidak mengganggu jalannya siste pemerintahan yang sudah ditetapkan

(27)

merupakan variabel terikat terhadap sistem pemerintaan. Untuk itu

undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu harus disusun agar

menghasilkan input yang baik bagi sistem pemerintahan yang akan

dijalankan oleh peserta pemenang pemilu yang tidak lain adalah partai politik.

2.3.1 Sistem Pemilihan Umum

Satu uraian praktis yang dapat menjabarkan pengertian apakah itu

sistem pemilu adalah, suatu sistem yang akan menterjemahkan pilihan rakyat

yang telah diberikannya saat pemungutan suara dan yang akan

menghasilkan partai pemenang (yang anggotanya akan duduk sebagai wakil

rakyat di parlemen) atau seorang pejabat negara (yang pengisiannya

dilakukan melalui pemilihan oleh rakyat).30 Didalam sistem pemilu terdapat

suatu formulasi konsep yang akan dijadikan dasar untuk menentukan

pengitungan dari perolehan suara yang ada menjadi perolehan kursi yang

telah dialokasikan. Secara umum formulasi untuk menetukan perhitungan

suara tersebut dikenal dengan konsep; mayoritas atau distrik, proporsional,

campuran, dan konsep perhitungan lainnya. Pengertian dari formula

(28)

mayoritas atau disterik adalah, dalam satu daerah pemilihan hanya

ditentukan satu orang yang akan mewakili rakyat dari distrik itu, dan disebut

mayoritas adalah, karena konsep perhitungannya diambil dari satu calon

yang suaranya terbanyak. Sedangkan pada formula proporsional,

penentuannya dilakukan dengan membuat perbandingan antara jumlah kursi

di parlemen dengan banyaknya daerah pemilihan di suatu negara. Yang

akhirnya akan didapatkan nilai suara untuk satu kursi. Pada formula

campuran, konsep perhitungan dilakukan dengan menggabungkan kedua

konsep perhitungan sebelumnya.31

Pemilihan suatu sistem pemilu akan berpengaruh mendalam

pada kehidupan politik di masa depan suatu negara yang bersangkutan,

dan pemilihan suatu sistem pemilu ini akan menimbulkan suatu tarikan

kepentingan politik bagi elemen-elemen yang ada. Karena penentuan satu

sistem pemilu sendiri merupakan suatu pilihan politik pemerintah. Yang mana

pilihan politik ini berdampak luas dan berpengaruh bagi jalannya kehidupan

politik setelah pemilu usai. Hal demikian terjadi karena pasti suatu sistem

(29)

pemilu ditetapkan oleh hukum negara yang akan digunakan dalam pemilu.

Selain cara penentuan kursi dari hasil perolehan suara, sistem pemilu

mengatur pula mengenai sistem kepartaian yang berlaku. Di Indonesia dari

sejak awal kemerdekaan sudah menganut multipartai sejak Indonesia

mencapai kemerdekaan. Melalui Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta

Nomer X/1949, merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di

Indonesia.32 Sebenarnya banyak konsep yang mendasari penentuan sistem

kepartaian, namun yang berlaku di dunia adalah yang berdasarkan jumlah

partai yang ikut dalam pemilu. Konsep multipartai inilah yang dianut

Indonesia didalam peraturan perundang-undangan paket politik sejak tahun

1999 hingga sekarang.

2.3.2 Dampak Sistem Multipartai

Menurut Giovani Sartori, Ia menyatakan bahwa yang paling

terpenting dari sebuah sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan

(30)

mengenai hubungan partai politik yang berkaitan dengan pembentukan

pemerintahan, dan secara lebih spesifik adalah mengenai kekuatan

parpol-parpol tersebut dalam memberikan prospek untuk memenangkan atau

pembagian kekuasaan pemerintah.33 Teori Sartori tentang sistem kepartaian

ini mengarah pada efektitifas pemerintahan setelah pemilu selesai.

Menyinggung mengenai efektifitas pemerintahan, tidak dipungkiri

bahwa sistem pemerintahan yang dianut negara-negara di dunia memiliki

karakteristik masing-masing beserta dengan kekurangan dan kelebihannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem pemerintahan hanya dikenal dengan

dua macam, yaitu sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Di

Indonesia sendiri pemerintahannya menganut sistem presidensil dengan

kombinasi pada sistem kepartaiannya adalah multipartai. Menurut pandangan

Prof. Jimly Asshiddiqie pun kombinasi antara sistem pemerintahan

presidensil dan sistem kepartaian multipartai memang cenderung

menimbulkan konflik antara eksekutif dengan legislatif.34 Tidak sedikit

program-program pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan dari

33 Partono, Ibid.

34 Lihat Jimly dalam Pidato Ilmiyah, Memperkuat Sistem Pemerintahan

(31)

parlemen mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak oleh DPR.

Dengan demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat

berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia saat ini

juga banyak dialami negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan

presidensial. Mainwaring berpendapat bahwa hanya empat negara penganut

sistem presidensial yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang efektif

dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica,

Columbia, dan Venezuela.35 Salah satu alasan Amerika dengan sistem

presidensial mampu menghasilkan pemerintah yang efektif karena ditopang

oleh sistem dwi-partai. Sedangkan Indonesia mempraktekan sistem

presidensial dan sistem multi partai.

Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi

partai kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan

stabil dibandingkan dengan sistem parlementer yang dikombinasikan dengan

sistem dua partai. Menurut Mainwaring (2008) terdapat beberapa alasan/

(32)

kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi

partai:36

1. Pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program – program pemerintah, semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif, sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.

2. Personal Presiden – termasuk kepribadian dan kapasitas– merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu presiden juga dituntut memiliki kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Selain sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit.

4. Lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di eksekutif maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa politisi di parlemen yang tidak mengindahkan etika dalam berpolitik,

(33)

seperti halnya kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict of interest karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak mengundurkan diri dari jabatan di partai politik.

2.3.3 Undang-Undang Pemilu; Legal Policy Pemerintah Bidang Politik

Didalam konstitusi, pengaturan mengenai Pemilihan Umum (pemilu)

dapat ditemui pada Bab VII B, Pasal 22E yang terdiri dari enam ayat.

Substansi pada ketentuan konstitusional tersebut mengatur seputar asas,

ruang lingkup kegiatan pemilu, peserta pemilu yang terdiri dari partai politik

dan perseorangan, penyelenggara pemilu (sifat kelembagaanya), dan pola

pengaturan pemilu yang diamanatkan dalam bentuk Undang-Undang (UU).

Menurut Prof. Satya Arianto, kebijakan hukum (legal policy)

merupakan satu dari tiga pengertian politik hukum yang memiliki pengertian

suatu perangkat hukum yang telah atau akan dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah.37 Untuk itu, dalam konteks upaya penyederhanaan sistem

kepartaian multipartai yang berlaku di Indonesia, pemerintah berdasarkan

perintah UUD 1945 diberikan kebebasa untuk mengatur pelaksanaan pemilu

yang didalamnya ada aturan mengenai pembatasan partai politik sebagai

(34)

peserta. Dialam undang-undang pemilu tersebut terdapat satu dua pasal

yang intinya mengarahkan agar keikutsertaan partai politik menjadi semakin

sederhana (sedikit) dalam sistem multipartai yang telah berjalan.

Undang-undang pemilu, merupakan satu produk hukum yang disusun

tiap lima tahun sekali guna mendasar pelaksanaan pemilihan umum

sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi. Secara tegas Pasal 22E (1)

dan (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap

lima tahun sekali”, dan ditambahkan dengan, “Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Merujuk pada ketentuan

konstitusi tersebut, pemerintah dan DPR pada akhirnya mengatur mengenai

pelaksanaan pemilu per lima tahun dengan undang-undang yang berbeda.

Artinya untuk setiap periode pemilu yang akan datang disusun

undang-undang sebagai dasar hukum pelaksanaannya.

Sebenarnya tidak ada sama sekali ketentuan dalam konstitusi yang

menyatakan bahwa undang-undang pemilu harus dibuat per lima tahun.

(35)

tahun..” bagi pelaksanaan kegiatan pemilu sesuai periodisasi masa jabatan.

Kemudian pasal tentang pemilu tersebut ditutup dengan adanya pelimpahan

wewenang bagi norma dibawahnya (undang-undang) sebagai sarana

pengaturan yang lebih rinci mengenai pemilu. Dengan menarik kenyataan

bahwa periodisasi jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang lima tahun,

kemudian dijadikan pula ukuran waktu bagi pemerintah untuk menyusun

undang-undang pemilu. Padahal bila dilihat dari objek pelaku pelaksana

undang-undang pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mana

pada Pasal 22E ayat (5) dinyatakan bahwa penyelenggara pemilu memiliki

sifat kelembagaan yang nasional, tetap, dan mandiri. Berangkat dari ayat

tersebut, penyelenggara pemilu sebagai objek pelaksana yang diatur

undang-undang pemilu memiliki sifat tetap, maka dengan demikian tidak-lah

harus tempo penyusunan undang-undang pemilu ini dilakukan tiap lima tahun

pada saat sebelum pemilu periode berikutnya akan dimulai.

Prakteknya selama ini, yaitu pada penyelenggaraan pemilu tahun

1999, 2004 dan 2009, undang-undang pemilu selalu dibuat yang baru.

(36)

pemilu dengan aturan untuk penyelenggaranya dijadikan satu dalam

undang-undang yang sama. Selanjutnya baru pada tahun 2008, dilakukan pemisahan

sehingga aturan mengenai penyelenggaraan pemilu dan penyelenggara

pemilu dipisahkan menjadi undang-undang tersendiri. Karena khusus

mengenai undang-undang tentang penyelenggara pemilu harus tidak

berubah-ubah tiap lima tahun dengan mengikuti periodisasi pemilu. Hal ini

karena tanggung jawab KPU sebagai penyelenggaran pemilu memiliki

kesibukan sepanjang tahun untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan

pemilukada di daerah yang pelaksanaannya berlangsung sepanjang tahun di

seluruh Indonesia. Sedangkan aturan main pemilu yang disusun dalam

bentuk undang-undang memang perlu senantiasa direvisi meski tidak harus

dalam jangka waktu lima tahun sekali. Namun karena konstitusi sendiri yang

memberikan kelonggaran dan pilihan terbuka lebar bagi pembentuk

undang-undang, maka dalam hal ini pemerintah dan DPR berkesempatan untuk

mengatur standar pemilu secara berbeda-beda tiap lima tahun.

Dapatlah dimengerti bila pola pengaturan yang demikian itu

(37)

tiap periode pemilihan umum. Pada bagian inilah nampak jelas terlihat bahwa

melalui undang-undang pemilu, pemerintah dan DPR dapat “bermain”

merancang aturan main bagi mereka sendiri. Selaras dengan pengertian

politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy), dimana produk

undang-undang yang dibuat diarahkan kepada pembaharuan-pembaharuan sesuai

kebutuhan yang diinginkan pembuat undang-undang.38 Kenyataannya

memang tepat demikian, dimana pemerintah dan DPR yang notabene adalah

berasal dari partai politik, dan partai politik adalah salah satu peserta pemilu,

maka kepentingan mereka sangat besar terhadap isi aturan main yang pada

periode mendatang akan mereka jalani.

Mengacu pada hipotesa mengenai pola hubungan yang terjadi dalam

proses pembentukan undang-undang dengan konfigurasi politik di suatu

negara, yang bunyinya,39 ”konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan

karakter produk hukum tertentu di negara tersebut”, maka bila digunakan

untuk menganalisis kasus yang terjadi pada undang-undang pemilu adalah

38 Satya Arinanto, Ibid., Hal. 22.

(38)

adanya pengaruh yang besar dari pihak pemerintah dan DPR. Sebagaimana

diketahui bahwa pada kedua lembaga tersebut sulit untuk menghindari akan

adanya pengaruh kekuatan politik dibelakangnya yang senantiasa mewarnai

keputusan yang dihasilkan.

Kemudian bila ditelaah lebih lanjut mengenai corak konfigurasi politik

dengan produk hukum yang dihasilkannya, hal ini bisa ditelusuri dengan

melihat proses pembentukan undang-undang tersebut. Menurut Prof. Satya

Arinanto dalam perkuliahannya, menerangkan bahwa adanya dikotomisasi

yang terjadi pada konfigurasi politik dengan produk hukum yang

dihasilkannya. Dikotomisasi tersebut mengatakan bahwa, bila konfigurasi

politik yang demoktaris maka ada kecenderungan yang besar pada produk

hukum yang dihasilkannya berkarakter positif atau responsif, sedangkan bila

konfigurasi politik suatu negara otoriter maka ada kecenderungan yang besar

pada produk hukum yang dihasilkannya berkarakter negatif atau konserfatif.40

Dengan adanya kecenderungan tersebut, pada kasus penyusunan

undang-undang pemilu ini terlihat adanya kaitan yang cukup kuat antara

(39)

pengaruh konfigurasi politik baik dari pihak pemerintah maupun DPR dalam

penentuan materi muatan undang-undang pemilu. Dimana dengan melihat

proses penyusunannya yang dilakukan antara eksekutif dan legislatif, dari

fenomena yang ada menunjukkan adanya hubungan tarik-menarik

kepentingan antara kedua lembaga negara tersebut. Satu pihak dari

pemerintah dapat dipastikan ada kekuatan politik dibelakangnya, yaitu partai

politik pendukung pemerintah, sedangkan pada legislatif pun ada pengaruh

kekuatan politik didalamnya, yaitu fraksi-fraksi baik yang mendukung

pemerintah maupun yang senantiasa memposisikan diri sebagai oposisi.

Dari pola hubungan ini dapatlah dilihat akan adanya mekanisme yang

cukup terbuka (atau karena sistem yang berlaku harus dibuka) dari pihak

pemerintah dalam membuat UU pemilu, sehingga dengan adanya

keterbukaan tersebut terjadilah fenomena tarik-menarik kepentingan yang

cukup alot. Disini pemerintah tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya

begitu saja tanpa melibatkan unsur kekuatan politik lainnya, dikarenakan

kedudukan pemerintah pun secara politik tidak terlalu kuat dan dominan

(40)

dibentuk). Dengan demikian, untuk menentukan bentuk hubungan antara

konfigurasi politik macam apa dan produk hukum macam apa yang dihasilkan

dari pola hubungan yang demikian itu, menurut penjelasan lebih lanjut dari

Prof. Satya mengenai adanya dikotomi dalam hubungan antara konfigurasi

politik dengan produk hukumnya, maka dikatakan bahwa bila dalam proses

pembentukan undang-undang dibuka kesempatan bagi partisipasi rakyat

secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum, dalam hal ini

dilakukan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, maka konfigurasi

politik yang terjadi adalah konfigurasi politik yang demokratis.41

Dikatakan demikian karena dalam proses penyusunan UU pemilu ini

ditentukan berdasarkan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut

mekanisme check and balances antarlembaga negara yang mana didalam

konstitusi diberikan kekuasaan pembentukan undang-undang. DPR sebagai

lembaga legislatif adalah pemegang kekuasaan pembentukan

undang-undang dan pemerintah adalah rekan kerjanya. Sehingga dalam prakteknya,

pemerintah tidak dalam posisi yang mampu memaksakan kehendaknya

(41)

sendiri. Justru DPR-lah yang memiliki kesempatan untuk mengarahkan

jalannya proses legislasi. Dengan adanya pola hubungan ini, proses

pembentukan UU pemilu dinilai sangat demokratis karena dilakukan secara

terbuka antara pemerintah dan DPR.

Terjadinya fenomena tarik-menarik kepentingan antara pemerintah

dan DPR dan bahkan antarfraksi yang ada didalam DPR sendiri. Satu sisi hal

tersebut dinilai sebagai konfigurasi politik yang demokratis, namun bila

ditelaah lebih lanjut, bahwa fenomena seperti ini terjadi hanya pada produk

undang-undang yang memiliki sensitifitas politik cukup tinggi dan tidak begitu

terlalu berlaku umum pada undang-undang lain yang sifatnya tidak ada

muatan politiknya. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa undang-undang

pemilu yang termasuk undang-udang paket politik adalah undang-undang

yang sangat menentukan nasib hidupnya kekuatan-kekuatan politik yang

berkuasa dalam pemerintahan dan DPR. Sehingga mereka yang merasa

posisi politiknya cukup kuat berkeinginan besar untuk mempertahankannya

dengan memanfaatkan kesempatan yang masih dimilikinya guna

(42)

dengan yang dinyatakan oleh pemikir-pemikir hukum dan politik seperti kaum

sophis di Yunani yang mengatakan bahwa hukum adalah apa yang berfaedah

bagi orang yang lebih kuat, serta sebagai mana yang diungkapkan oleh

Gumplowics bahwa hukum berdasarkan atas penaklukan yang lemah oleh

yang kuat, dan hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang

kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.42

Agaknya pernyataan dari sebagian pemikir jaman dahulu masih

dapat dilihat keberlakuannya di jaman sekarang. Mengenai hukum sebagai

sarana kelompok kuat untuk melanggengkan kekuasaannya, jelas terlihat

dari proses pembentukan UU pemilu ini. Dimana kelompok politik kuat akan

berusaha mengatur permainan agar dirinya mampu bertahan lama, dan

dengan demikian para kompetitor lainnya akan sulit menyaingi. Nuansa

berfikir demikian dirasakan oleh partai-partai kecil baik yang ada di DPR

maupun yang akan berdiri menjelang pemilu. Dengan adanya muatan

ambang batas yang dimasukkan dalam UU pemilu akan membawa dampak

pada nasib keberadaan mereka di medan perpolitikan nasional. Terutama

(43)

kesempatan untuk duduk di kursi parlemen.

Apabila kita kembali pada pembahasan sebelumnya yang mengkaji

mengenai hubungan sistem pemerintahan yang dianut dengan sistem

kepartaian didalam UU pemilu, maka akan terlihat jelas bahwa tujuan dari

adanya kebijakan hukum yang diarahkan dalam undang-undang paket politik

adalah untuk kepentingan penyelarasan antara sistem pemerintahan

presidensil dengan sistem multipartai yang berlaku saat ini.

Dimana pengaruh sistem multipartai yang dikombinasikan dengan

sistem pemerintahan presidensil kurang kompatibel untuk menciptakan iklim

pemerintahan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan keputusan yang

cepat guna penyelesaikan program pembangunan yang telah ditetapkan

didalam RPJM sebagai politik hukum pemerintah di era reformasi.43 Sehingga

dalam rangka mempercepat proses keluarnya keputusan dan pelaksanaan

kebijakan-kebijakan politik pemerintah untuk pembangunan nasional.

Presiden dan menteri-menterinya harus mendapatkan dukungan penuh dari

(44)

parlemen.44 Untuk kepentingan tersebut-lah upaya-upaya penyederhanaan

multipartai yang diberlakukan pada saat pemilu perlu dilakukan, sehingga

pemerintah berkepentingan untuk menyusun UU pemilu yang berisi

pembatasan-pembatasan bagi kepesertaan parpol dalam pemilu.

Langka-langkah penyederhanaan multipartai ini berdampak pada susunan konfigurasi

politik di parlemen supaya hanya terdiri setidaknya dua atau paling banyak

tiga unsur kekuatan politik. Sehingga pemerintah tidak perlu direpotkan untuk

melakukan manuver-manuver politik yang berkepanjangan demi

mengkompromikan kebijakannya agar mendapat persetujuan parlemen.

Demikianlah benang merah yang terjadi antara isu sistem kepartaian

dan sistem pemerintahan yang dikaitkan dengan politik hukum pemerintah

dalam mengarahkan materi muatan UU pemilu agar mengarah pada sistem

multipartai sederhana.

Berikut ini contoh situasi yang terjadi yang menggambarkan adanya

hubungan antara konfigurasi politik dengan penyusunan materi UU pemilu

pada pemilu 1999 yang dilaksanakan berdasarkan pada Undang-undang

(45)

Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Setelah

RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi

Pemilihan Umum (KPU) yang anggota- anggotanya adalah wakil dari partai

politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol

membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971

adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan

karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali

ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141

partai.45

Kemudian ternyata bahwa Pemilu yang dilaksanakan pada 7 Juni

1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. konsep pembatasan terhadap

parpol sebagai peserta pemilu sudah dilakukan. Setidaknya hal tersebut

terlihat pada syarat minimal suatu parpol memiliki perwakilan dan anggota di

(46)

beberapa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal tersebut diatur

b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;

c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya dipropinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.”

Selain syarat peserta pemilu yang membatasi keikutsertaan partai

politik dalam pemilu, diatur juga mengenai ambang batas pemilih (electoral

treshold) yang menentukan apakah suatu partai boleh mengikuti pemilu

kembali di periode selanjutnya (tahun 2004). Aturan tersebut diatur pada

Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4);

(47)

“Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain”.

Pada masa awal reformasi, ambang batas telah diberlakukan dengan

besaran 2%, dan ketentuan ini berlaku untuk keikutsertaan partai politik pada

periode pemilu berikutnya di tahun 2004. Pembatasan ini berhasil menyaring

48 partai politik peserta pemilu dari 141 yang mendaftarkan diri. Setelah

melalui pemungutan suara hingga penetapan oleh KPU, maka dihasilkan

hanya 5 partai yang mendapatkan perolehan suara diatas 2%. Kemudian

pada periode berikutnya ke-5 parpol tersebut boleh mengikuti pemilu dengan

hanya sedikit melakukan penyesuaian persyaratan faktual, tanpa harus

mengubah tanda gambar dan nama partai. Berikut adalah hasil perolehan

pemilu tahun 1999.46

1. PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74% = 153 kursi. 2. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% = 120 kursi. 3. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61% = 51 kursi.

4. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71% = 58 kursi 5. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12% = 34 kursi.

(48)

2.4 Pemilu Tahun 2004

Pemilu legislatif tahun 2004 diikuti 24 partai politik, dan telah

dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai

politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk

dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Pemilu ini dibagi

menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap), Tahap pertama (atau

pemilu legislatif”) adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk

persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi

anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April

2004.47

Pemilu tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan UU No. 12 tahun 2003

tentang pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD (LN-RI TAHUN 2003 NO.

37). Berisi pengaturan tentang peserta yang boleh mengikuti pemilu yaitu

partai politik dan perseorangan, syarat partai politik yang boleh mengikuti

pemilu, hak pilih para pemilih, penyelenggara pemilu, KPU, perlengkapan

pemilu, sistem penentuan daerah pemilihan dan jumlah kursi, daftar pemilih,

(49)

mekanisme dan persyaratan pencalonan anggota legislatif, kampanye,

pemungutan dan perhitungan suara, penetapan kursi calon terpilih,

pengawasan dan penegakan hukum, ketentuan pidana, dan aturan-aturan

lain yang sifatnya tambahan, perbaikan dan keadaan-keadaan darurat.

Pada undang-undang ini, yang perlu dicatat adalah mengenai

pengaturan pelaksanaan pemilu, penyelenggaraan pemilu dan pengawas

pemilu yang dijadikan dalam satu undang-undang, dan oleh karena itu diberi

nama undang-undang pemilihan umum.

2.4.1 Hasil Pemilu

Pelaksanaan pemilu telah diikuti oleh 24 partai politik yang telah

disaring dari 200 partai politik yang mendaftarkan diri ke Depkumham. Ke-24

parpol peserta pemilu tersebut dan perolehan suaranya adalah sebagai

berikut:48

Ranking Partai Politik Perolehan Suara Jml.

(50)
(51)

19 Partai Penegak

Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU Waktu : Rabu, 5 Mei 2004

Berdasarkan catatan hasil pemilu tersebut, terlihat hanya ada tujuh

partai yang lolos ambang batas yang ditetapkan sebesar 3% berdasarkan

Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan anggota DPR,

DPD, DPRD. Kemudian apabila diperbandingkan dari sisi kepesertaannya,

partai politik yang ikut pada pemilu 2004 dibandingkan dengan partai politik

peserta pemilu 1999 terdapat pengurangan jumlah peserta yang cukup

signifikan, yaitu dari 48 parpol peserta pemilu pada tahun 1999 menjadi 24

parpol peserta pemilu pada tahun 2004. Bila dilihat secara matematis, maka

(52)

diterapkannya konsep ambang batas pemilih (electoral threshold) sebesar

2% pada tahun sebelumnya.

2.4.2 Konsep Ambang Batas yang Dianut

Menurut ketentuan yang ada pada UU No. 12/ 2003, pengaturan

mengenai ambang batas ini dapat kita temukan pada Pasal 9 ayat (1),

dimana ditentukan nilai ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk dapat

mengikuti pemilu pada periode berikutnya sebesar 3% pada tingkat pemilihan

legislatif nasional. Pola pengaturan ambang bantas ini juga diterapkan bagi

pemilu legislatif ditingkat daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang nilainya

lebih tinggi, yaitu sebesar 4% yang tersebar pada separuh jumlah daerah di

Indonesia.

Pemilu tahun 2004 dipengaruhi hasil pemilu 1999 yang terlihat pada

keikutsertaan ke-5 parpol peraih suara terbanyak. Mereka mengikuti pemilu

berikutnya dengan tanpa mengubah nama dan tanda gambar karena

perolehan suaranya diatas 2% sebagai mana ditentukan pada Pasal 39 ayat

(53)

para peserta pemilu di tahun 2004 terikat dengan ketentuan persyaratan

peserta yang ditetapkan oleh undang-undang yang baru yaitu UU No. 12

tahun 2003, dengan meningkatkan persyaratan keterwakilan dan persebaran

pengurusnya di daerah bila dibandingkan dengan undang-undang

sebelumnya. Bunyi pasal mengenai persyaratan parpol peserta pemilu di

tahun 2004 adalah sebagai berikut, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003

tetang pemilu angota DPR, DPD, DPRD:

“Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;

b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;

c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;

d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;

e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap;

(54)

Bila dicermati, maka terdapat kenaikan jumlah persebaran pengurus

dari yang semula setengan menjadi dua pertiga dan ditambah dengan

keanggotaan sebanyak seribu orang ditiap perwakilannya di daerah tersebut

yang harus dibuktikan dengan adanya kartu tanda anggota partai yang

bersangkutan. Ketentuan ini merupakan satu bentuk formulasi yang

tujuannya membatasi partai untuk ikut pemilu, namun bila dikaji dari segi

tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas parpol peserta pemilu dari

periode sebelumnya. Melalui peningkatan kualitas syarat partai ini pun,

masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam pemilu tahun 2004 tidak

kehilangan semangat, justru dari segi jumlah malah meningkat, terbukti pada

data yang dicatat Depkumham bahwa jumlah pendaftar ada 200 partai politik.

Namun dari segi jumlah yang lolos turun drastis dari 48 partai yang diloloskan

menjadi 24 partai yang diloloskan.

Dengan demikian, secara tujuan, undang-undang pemilu di tahun

2004 ini cukup efektif mengurangi jumlah partai, yang mana maksudnya

adalah meningkatkan kualitas peserta yang boleh ikut pemilu. Meski dari

(55)

penguasa yang notabene pemerintah dan DPR sebagai perancang

undang-undang tersebut adalah partai-partai besar yang tidak mau tersaingi oleh

partai-partai lain (baru).

Selain dari segi persyaratan peserta, pembatasan juga ditentukan

dengan adanya penetapan nilai ambang batas pemilih (Electoral Threshold)

yang juga nilainya ditingkatkan dari periode pemilu tahun 1999. Dimana pada

UU No. 3 tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) ditentukan sebesar 2%, dan pada UU

No. 12 tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) sebesar 3%. Berkut ini bunyi lengkapnya

pasal tersebut:

“Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:

a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;

b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia”

Dengan adanya ketentuan tersebut, pada periode pemilu berikutnya

(56)

pemilu dan harus mengubah nama dan tanda gambar partainya. Terkait

adanya kenaikan persentase ambang batas ini, tidak sedikit masyarakat yang

terafiliasi dengan partai yang tidak lolos ambang batas di periode pemilu

sebelumnya menjadi semakin menilai pemerintah yang berasal dari

partai-partai besar bersikap represif dengan adanya atau munculnya partai-partai-partai-partai

baru, dan mereka menilai hal tersebut telah melanggar hak konstitusional

mereka. Hal ini diaktualisasikan dengan mengajukan pasal 9 ayat (1) UU No.

12 tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi namun telah ditolak melalui putusan

nomor: 16/PUU-V/ 2007, dengan demikian penetapan ambang batas dalam

pemilu bukanlah melanggar hak konstitusional apalagi menciderai demokrasi

dan oleh karena itu masih bisa terus berlaku pada periode pemilu berikutnya.

Jadi Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melangkah pada

keputusan bersamanya dengan diundangkannya UU No. 12 tahun 2003 yang

menghendaki akan adanya pengurangan atau perampingan jumlah parpol

yang boleh ikut pemilu pada periode berikutnya. Keputusan politik yang

tercermin pada produk undang-undang ini merupakan kebijakan hukum dari

(57)

lembaga pembentuknya, terutama DPR yang terdiri dari partai-partai.

2.5 Pemilu Tahun 2009

Pada tahun 2009 rangkaian kegiatan pemilu dilaksanakan mulain dari

tanggal 12 Juli 2008 hingga 1 Oktober 2009, sedangkan pemungutan suara

dilaksanalan tanggal 9 April 2009. Dasar hukum pelaksanaan pemilu diatur

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan kepesertaannya diikuti oleh

semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus

badan hukum dari Dephukham yang lolos verifikasi KPU, yang

keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di

wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan

dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik.49

2.5.1 Hasil Pemilu

Tahun 2009 merupakan pemilu kedua yang diadakan pasca

(58)

reformasi. Bisa katakan pada pemilu ini pertarungan politik antarkekuatan

partai justru makin sengit, sehingga upaya penyederhanaan multipartai

sedikit terhambat karena jumlah partai yang menjadi peserta pemilu malah

bertambah dari periode sebelumnya. Lebih jelasnya mengenai hasil pemilu

tahun 2009 dapat diliat pada tabel berikut.50

No Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara Persentase

Demokrat (31) 21.703.137 20,85%

Golkar (23) 15.037.757 14,45%

PDIP (28) 14.600.091 14,03%

PKS (8) 8.206.955 7,88%

PAN (9) 6.254.580 6,01%

PPP (24) 5.533.214 5,32%

PKB (13) 5.146.122 4,94%

(59)

Gerindra (5) 4.646.406 4,46%

Hanura (1) 3.922.870 3,77%

PBB (27) 1.864.752 1,79%

PDS (25) 1.541.592 1,48%

PKNU (34) 1.527.593 1,47%

PKPB (2) 1.461.182 1,40%

PBR (29) 1.264.333 1,21%

PPRN (4) 1.260.794 1,21%

PKPI (7) 934.892 0,90%

PDP (16) 896.660 0,86%

Barnas (6) 761.086 0,73%

PPPI (3) 745.625 0,72%

PDK (20) 671.244 0,64%

(60)

PPD (12) 550.581 0,53%

Patriot (30) 547.351 0,53%

PNBK (26) 468.696 0,45%

Kedaulatan (11) 437.121 0,42%

PMB (18) 414.750 0,40%

PPI (14) 414.043 0,40%

Pakar Pangan (17) 351.440 0,34%

Pelopor (22) 342.914 0,33%

PKDI (32) 324.553 0,31%

PIS (33) 320.665 0,31%

PNI Marhaenisme (15) 316.752 0,30%

Partai Buruh (44) 265.203 0,25%

PPIB (10) 197.371 0,19%

Referensi

Dokumen terkait

 Mengumpulkan informasi ALU  Mengumpulkan informasi Tugas Menyelesaikan masalah tentang Organisasi Processor Observasi Mengamati kegiatan/aktivitas siswa secara individu

Bentuk non-test;  Tulisan makalah  Presentasi kelompok 2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang penetapan kadar beberapa senyawa farmasi berdasarkan metode titrasi asam

Akan tetapi dorongan yang lebih mendasar lagi tentang pendidikan agama di lingkungan keluarga ini bagi umat Islam khususnya adalah karena dorongan syara (ajaran

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa Strategi Promosi menjadi salah satu strategi yang bisa dijadikan prediktor oleh pihak perusahaan untuk meningkatkan

Setiap Pemegang saham public DVLA yang secara tegas memberikan suara tidak setuju atas rencana Penggabungan Usaha pada saat RUPSLB DVLA dan bermaksud untuk menjual saham

Beberapa permasalahan keselamatan penerbangan, di antaranya: 1) kendala dalam pemenuhan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan

Pada saat menggunakan website, maka keseluruhan kegiatan pemasaran secara online akan dilakukan oleh karyawan yang memenuhi spesifikasi dan dapat mengoperasikan

Khusus untuk pelamar kalangan sarjana dan diploma, berijazah Sarjana (S1), Diploma Empat (D4), atau Diploma Tiga (D3) dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN)/Perguruan Tinggi Swasta