2.4 Pemilu Tahun
2.4.2 Konsep Ambang Batas yang Dianut
Menurut ketentuan yang ada pada UU No. 12/ 2003, pengaturan
mengenai ambang batas ini dapat kita temukan pada Pasal 9 ayat (1),
dimana ditentukan nilai ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk dapat
mengikuti pemilu pada periode berikutnya sebesar 3% pada tingkat pemilihan
legislatif nasional. Pola pengaturan ambang bantas ini juga diterapkan bagi
pemilu legislatif ditingkat daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang nilainya
lebih tinggi, yaitu sebesar 4% yang tersebar pada separuh jumlah daerah di
Indonesia.
Pemilu tahun 2004 dipengaruhi hasil pemilu 1999 yang terlihat pada
keikutsertaan ke-5 parpol peraih suara terbanyak. Mereka mengikuti pemilu
berikutnya dengan tanpa mengubah nama dan tanda gambar karena
perolehan suaranya diatas 2% sebagai mana ditentukan pada Pasal 39 ayat
para peserta pemilu di tahun 2004 terikat dengan ketentuan persyaratan
peserta yang ditetapkan oleh undang-undang yang baru yaitu UU No. 12
tahun 2003, dengan meningkatkan persyaratan keterwakilan dan persebaran
pengurusnya di daerah bila dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya. Bunyi pasal mengenai persyaratan parpol peserta pemilu di
tahun 2004 adalah sebagai berikut, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003
tetang pemilu angota DPR, DPD, DPRD:
“Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;
c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap;
f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepad KPU.”
Bila dicermati, maka terdapat kenaikan jumlah persebaran pengurus
dari yang semula setengan menjadi dua pertiga dan ditambah dengan
keanggotaan sebanyak seribu orang ditiap perwakilannya di daerah tersebut
yang harus dibuktikan dengan adanya kartu tanda anggota partai yang
bersangkutan. Ketentuan ini merupakan satu bentuk formulasi yang
tujuannya membatasi partai untuk ikut pemilu, namun bila dikaji dari segi
tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas parpol peserta pemilu dari
periode sebelumnya. Melalui peningkatan kualitas syarat partai ini pun,
masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam pemilu tahun 2004 tidak
kehilangan semangat, justru dari segi jumlah malah meningkat, terbukti pada
data yang dicatat Depkumham bahwa jumlah pendaftar ada 200 partai politik.
Namun dari segi jumlah yang lolos turun drastis dari 48 partai yang diloloskan
menjadi 24 partai yang diloloskan.
Dengan demikian, secara tujuan, undang-undang pemilu di tahun
2004 ini cukup efektif mengurangi jumlah partai, yang mana maksudnya
adalah meningkatkan kualitas peserta yang boleh ikut pemilu. Meski dari
penguasa yang notabene pemerintah dan DPR sebagai perancang undang-
undang tersebut adalah partai-partai besar yang tidak mau tersaingi oleh
partai-partai lain (baru).
Selain dari segi persyaratan peserta, pembatasan juga ditentukan
dengan adanya penetapan nilai ambang batas pemilih (Electoral Threshold)
yang juga nilainya ditingkatkan dari periode pemilu tahun 1999. Dimana pada
UU No. 3 tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) ditentukan sebesar 2%, dan pada UU
No. 12 tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) sebesar 3%. Berkut ini bunyi lengkapnya
pasal tersebut:
“Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia”
Dengan adanya ketentuan tersebut, pada periode pemilu berikutnya
pemilu dan harus mengubah nama dan tanda gambar partainya. Terkait
adanya kenaikan persentase ambang batas ini, tidak sedikit masyarakat yang
terafiliasi dengan partai yang tidak lolos ambang batas di periode pemilu
sebelumnya menjadi semakin menilai pemerintah yang berasal dari partai-
partai besar bersikap represif dengan adanya atau munculnya partai-partai
baru, dan mereka menilai hal tersebut telah melanggar hak konstitusional
mereka. Hal ini diaktualisasikan dengan mengajukan pasal 9 ayat (1) UU No.
12 tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi namun telah ditolak melalui putusan
nomor: 16/PUU-V/ 2007, dengan demikian penetapan ambang batas dalam
pemilu bukanlah melanggar hak konstitusional apalagi menciderai demokrasi
dan oleh karena itu masih bisa terus berlaku pada periode pemilu berikutnya.
Jadi Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melangkah pada
keputusan bersamanya dengan diundangkannya UU No. 12 tahun 2003 yang
menghendaki akan adanya pengurangan atau perampingan jumlah parpol
yang boleh ikut pemilu pada periode berikutnya. Keputusan politik yang
tercermin pada produk undang-undang ini merupakan kebijakan hukum dari
lembaga pembentuknya, terutama DPR yang terdiri dari partai-partai.
2.5 Pemilu Tahun 2009
Pada tahun 2009 rangkaian kegiatan pemilu dilaksanakan mulain dari
tanggal 12 Juli 2008 hingga 1 Oktober 2009, sedangkan pemungutan suara
dilaksanalan tanggal 9 April 2009. Dasar hukum pelaksanaan pemilu diatur
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan kepesertaannya diikuti oleh
semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus
badan hukum dari Dephukham yang lolos verifikasi KPU, yang
keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan
dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik.49
2.5.1 Hasil Pemilu
Tahun 2009 merupakan pemilu kedua yang diadakan pasca
49 Mendagri, artikel diakses dari <http://www.setneg.go.id/index.php?option= com_content&task=view&id=3521&Itemid=281> pada 17 Desember 2011 pukul 17.20
reformasi. Bisa katakan pada pemilu ini pertarungan politik antarkekuatan
partai justru makin sengit, sehingga upaya penyederhanaan multipartai
sedikit terhambat karena jumlah partai yang menjadi peserta pemilu malah
bertambah dari periode sebelumnya. Lebih jelasnya mengenai hasil pemilu
tahun 2009 dapat diliat pada tabel berikut.50
No Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara Persentase
Demokrat (31) 21.703.137 20,85% Golkar (23) 15.037.757 14,45% PDIP (28) 14.600.091 14,03% PKS (8) 8.206.955 7,88% PAN (9) 6.254.580 6,01% PPP (24) 5.533.214 5,32% PKB (13) 5.146.122 4,94%
50 KPU, Data perolehan suara pemilu 2009, data diakses dari <http://partai.info/pemilu2009/> pada 15 Desember 2011 pukul 16.00
Gerindra (5) 4.646.406 4,46% Hanura (1) 3.922.870 3,77% PBB (27) 1.864.752 1,79% PDS (25) 1.541.592 1,48% PKNU (34) 1.527.593 1,47% PKPB (2) 1.461.182 1,40% PBR (29) 1.264.333 1,21% PPRN (4) 1.260.794 1,21% PKPI (7) 934.892 0,90% PDP (16) 896.660 0,86% Barnas (6) 761.086 0,73% PPPI (3) 745.625 0,72% PDK (20) 671.244 0,64% RepublikaNusantara (21) 630.780 0,61%
PPD (12) 550.581 0,53% Patriot (30) 547.351 0,53% PNBK (26) 468.696 0,45% Kedaulatan (11) 437.121 0,42% PMB (18) 414.750 0,40% PPI (14) 414.043 0,40% Pakar Pangan (17) 351.440 0,34% Pelopor (22) 342.914 0,33% PKDI (32) 324.553 0,31% PIS (33) 320.665 0,31% PNI Marhaenisme (15) 316.752 0,30% Partai Buruh (44) 265.203 0,25% PPIB (10) 197.371 0,19% PPNUI (42) 146.779 0,14%
PSI (43) 140.551 0,14%
PPDI (19) 137.727 0,13%
Merdeka (41) 111.623 0,11%
Jumlah 104.099.785
100%
Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009
Terlihat pada tabel diatas bahwa terdapat begitu banyak partai yang
perolehan suaranya tidak signifikan, bahkan tidak sampai menyentuh angka
1%. Dari total peserta pemilu yang berjumlah 44 parpol, hanya 17 parpol
yang memperoleh suara diatas 1%, sedangkan 27 parpol lainnya
memperolehan suaranya sangat kecil atau sering disebut dengan partai
desimal. Sedangkan partai yang lolos ambang batas yang ditetapkan UU
berikut:51
1. Demokrat 21.703.137 suara 20,85% 150 kursi
2. Golkar 15.037.757 suara 14,45% 107 kursi
3. PDI-P 14.600.091 suara 14,03% 95 kursi
4. PKS 8.206.955 suara 7,88% 57 kursi
5. P AN 6.254.580 suara 6,01% 43 kursi
6. PPP 5.533.214 suara 5,32% 37 kursi
7. PKB 5.146.122 suara 4,94% 27 kursi
8. Gerindra 4.646.406 suara 4,46% 26 kursi
9. Hanura 3.922.870 suara 3,77% 18 kursi
Sedangkan jumlah suara sah yang masuk adalah 104.099.785 suara
dan karena diterapkan nilai ambang batas sebesar 2,5% maka perolehan
suara parpol yang tidak mencapai angka tersebut tidak dihitung atau
terbuang. Dengan melihat angka yang tidak terhitung, yaitu dari hasil
penjumlahan suara dan persentase parpol yang tidak lolos ambang batas
diperoleh angka yang sangat besar yaitu 18,33% dan 10.128.407 suara yang
tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
2.5.2 Konsep Ambang Batas yang Dianut
51 Keterangan: Perhitungan perolehan kursi Parlemen / DPR bagi 9 Parpol yang lolos dari Parliamentary Threshold tsb di atas dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. KPU tgl 9 Mei 2009, data diakses dari <http://partai.info/pemilu2009/> pada 14 desember 2011 pukul 16.00
Berdasarkan pada Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008 yang
mengatur tentang ambang batas, ditentukan sebesar 2,5%. Konsep ambang
batas yang dianut pada pemilu 2009 ini adalah ambang batas parlemen,
yang artinya angka 2,5% digunakan untuk menentukan partai politik peserta
pemilu yang dapat diikutkan dalam perhitungan kursi di parlemen, dan bukan
untuk menentukan boleh tidaknya ikut pemilu diperiode berikutnya.
Untuk penetapan kursi DPR, Parpol peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Sedangkan untuk penentuan perolehan kursi DPRD, langsung dihitung dari
suara sah yang diperoleh. Calon terpilih anggota DPR dan DPRD ditetapkan
berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari
Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP).
Selain dengan menerapkan konsep baru dalam membatasi
banyaknya parpol di parlemen. Namun disis lain, UU pemilu tahun 2009 ini
justru membolehkan parpol yang pada periode pemilu sebelumnya untuk
dengan peraturan yang mensyaratkan parpol yang akan mengikuti pemilu
dengan syarat tambahan berupa adanya keterwakilan anggota perempuan
sebesar 30% yang sebelumnya tidak ada pada periode pemilu tahun 2004.
Ketentuan mengenai syarat peserta parpol tersebut diatur pada Pasal 8 UU
No. 10 tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, DPRD, yang terdiri dari 2
pasal dan 7 ayat.
Apabila dicermati, maka terdapat perubahan konsep pengaturan
ambang batas bagi peserta pemilu di tahun 2009 ini. Dimana yang
dibatasibukalah partai politik untuk ikut pemilu, akan tetapi banyaknya calon
anggota DPR untuk duduk di kursi DPR, yang mana dibatasi dari jumlah
peroleha suara nasional. Sedangkan konsep mengenai batasan parpol untuk
mengikuti pemilu berikutnya sudah dihapuskan dengan ditetapkannya satu
ketentuan baru pada Pasal 8 ayat (2) yang justru menegaskan mengenai
kebolehan partai politik dapat mengikuti pemilu di periode berikutnya.
Melihat adanya perbedaan tersebut, nampaknya pada saat
pembentuk undang-undang menyusun UU pemilu untuk tahun 2009 ini telah
pemerintah dan DPR. Hal ini sejalan dengan pernyataan hipotesis mengenai
kaitan antara konfigurasi politik dengan karakter produk hukum. Dimana bila
terdapat perubahan pada konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau
sebaliknya, maka akan berimplikasi pada perubahan karakter produk
hukum.52 Dalam hal ini, perubahan yang terjadi pada penyusunan UU pemilu
terutama yang mengatur mengenai pembatasan kepesertaan parpol dalam
pemilu, disebabkan oleh adanya tarika-tarikan kekuatan politik yang begitu
kuat antara pemerintah dan DPR, juga tarikan-tarikan pengaruh politik
didalam fraksi-fraksi di DPR, sehingga bermuara pada kompromi-kompromi
politik yang menghasilkan produk UU pemilu di tahun 2009. Yaitu dengan
ditiadakannya pembatasan parpol untuk ikut sebagai peserta pemilu, dan
berubah menjadi pembatasan yang untuk duduk sebagai anggota parlemen.
Situasi ini menunjukkan keterbukaan dari pihak pemerintah yang
pada periode sebelumnya menghendaki adanya penyederhanaan sistem
multipartai pada pemilu. Dengan dihapuskannya konsep ambang batas untuk
mengurangi peserta pemilu, maka pemerintah dan kekuatan politik yang ada
di DPR dapatlah digambarkan sebagai sebuah konfigurasi politik yang datar
(tidak ada yang cukup menonjol) yang kemampuan saling mempengaruhi
satu sama lainnya sama kuat, dimana tidak adanya satu kekuatan politik pun
yang cukup dominan sehingga mampu mempengaruhi terhadap
pembentukan kebijakan hukum terhadap pelaksanaan pemilu.
Namun demikian, kita dapati bahwa konfigurasi politik yang demikian
menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan kebijakan politik yang
demokratis dan liberal, dengan membiarkan semua aspirasi dari berbagai
pihak dibiarkan masuk untuk sama-sama menghasilkan satu agregasi
gagasan untuk mengatur jalannya pemilu, sehingga produk hukum yang
dihasilkan pun diupayakan menjadi milik bersama untuk sedapat mungkin
memenuhi kepentingan semua pihak (stake holder).