• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ambang Batas yang Dianut

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 52-66)

2.4 Pemilu Tahun

2.4.2 Konsep Ambang Batas yang Dianut

Menurut ketentuan yang ada pada UU No. 12/ 2003, pengaturan

mengenai ambang batas ini dapat kita temukan pada Pasal 9 ayat (1),

dimana ditentukan nilai ambang batas bagi parpol peserta pemilu untuk dapat

mengikuti pemilu pada periode berikutnya sebesar 3% pada tingkat pemilihan

legislatif nasional. Pola pengaturan ambang bantas ini juga diterapkan bagi

pemilu legislatif ditingkat daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang nilainya

lebih tinggi, yaitu sebesar 4% yang tersebar pada separuh jumlah daerah di

Indonesia.

Pemilu tahun 2004 dipengaruhi hasil pemilu 1999 yang terlihat pada

keikutsertaan ke-5 parpol peraih suara terbanyak. Mereka mengikuti pemilu

berikutnya dengan tanpa mengubah nama dan tanda gambar karena

perolehan suaranya diatas 2% sebagai mana ditentukan pada Pasal 39 ayat

para peserta pemilu di tahun 2004 terikat dengan ketentuan persyaratan

peserta yang ditetapkan oleh undang-undang yang baru yaitu UU No. 12

tahun 2003, dengan meningkatkan persyaratan keterwakilan dan persebaran

pengurusnya di daerah bila dibandingkan dengan undang-undang

sebelumnya. Bunyi pasal mengenai persyaratan parpol peserta pemilu di

tahun 2004 adalah sebagai berikut, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003

tetang pemilu angota DPR, DPD, DPRD:

“Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;

b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;

c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;

d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;

e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap;

f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepad KPU.”

Bila dicermati, maka terdapat kenaikan jumlah persebaran pengurus

dari yang semula setengan menjadi dua pertiga dan ditambah dengan

keanggotaan sebanyak seribu orang ditiap perwakilannya di daerah tersebut

yang harus dibuktikan dengan adanya kartu tanda anggota partai yang

bersangkutan. Ketentuan ini merupakan satu bentuk formulasi yang

tujuannya membatasi partai untuk ikut pemilu, namun bila dikaji dari segi

tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas parpol peserta pemilu dari

periode sebelumnya. Melalui peningkatan kualitas syarat partai ini pun,

masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam pemilu tahun 2004 tidak

kehilangan semangat, justru dari segi jumlah malah meningkat, terbukti pada

data yang dicatat Depkumham bahwa jumlah pendaftar ada 200 partai politik.

Namun dari segi jumlah yang lolos turun drastis dari 48 partai yang diloloskan

menjadi 24 partai yang diloloskan.

Dengan demikian, secara tujuan, undang-undang pemilu di tahun

2004 ini cukup efektif mengurangi jumlah partai, yang mana maksudnya

adalah meningkatkan kualitas peserta yang boleh ikut pemilu. Meski dari

penguasa yang notabene pemerintah dan DPR sebagai perancang undang-

undang tersebut adalah partai-partai besar yang tidak mau tersaingi oleh

partai-partai lain (baru).

Selain dari segi persyaratan peserta, pembatasan juga ditentukan

dengan adanya penetapan nilai ambang batas pemilih (Electoral Threshold)

yang juga nilainya ditingkatkan dari periode pemilu tahun 1999. Dimana pada

UU No. 3 tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) ditentukan sebesar 2%, dan pada UU

No. 12 tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) sebesar 3%. Berkut ini bunyi lengkapnya

pasal tersebut:

“Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:

a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;

b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia”

Dengan adanya ketentuan tersebut, pada periode pemilu berikutnya

pemilu dan harus mengubah nama dan tanda gambar partainya. Terkait

adanya kenaikan persentase ambang batas ini, tidak sedikit masyarakat yang

terafiliasi dengan partai yang tidak lolos ambang batas di periode pemilu

sebelumnya menjadi semakin menilai pemerintah yang berasal dari partai-

partai besar bersikap represif dengan adanya atau munculnya partai-partai

baru, dan mereka menilai hal tersebut telah melanggar hak konstitusional

mereka. Hal ini diaktualisasikan dengan mengajukan pasal 9 ayat (1) UU No.

12 tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi namun telah ditolak melalui putusan

nomor: 16/PUU-V/ 2007, dengan demikian penetapan ambang batas dalam

pemilu bukanlah melanggar hak konstitusional apalagi menciderai demokrasi

dan oleh karena itu masih bisa terus berlaku pada periode pemilu berikutnya.

Jadi Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melangkah pada

keputusan bersamanya dengan diundangkannya UU No. 12 tahun 2003 yang

menghendaki akan adanya pengurangan atau perampingan jumlah parpol

yang boleh ikut pemilu pada periode berikutnya. Keputusan politik yang

tercermin pada produk undang-undang ini merupakan kebijakan hukum dari

lembaga pembentuknya, terutama DPR yang terdiri dari partai-partai.

2.5 Pemilu Tahun 2009

Pada tahun 2009 rangkaian kegiatan pemilu dilaksanakan mulain dari

tanggal 12 Juli 2008 hingga 1 Oktober 2009, sedangkan pemungutan suara

dilaksanalan tanggal 9 April 2009. Dasar hukum pelaksanaan pemilu diatur

dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan kepesertaannya diikuti oleh

semua Parpol yang memiliki kursi di DPR dan Parpol baru yang berstatus

badan hukum dari Dephukham yang lolos verifikasi KPU, yang

keseluruhannya berjumlah 44 Partai Politik, termasuk 6 Partai Politik Lokal di

wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini lebih besar bila dibandingkan

dengan peserta Pemilu tahun 2004 yang berjumlah 24 Partai Politik.49

2.5.1 Hasil Pemilu

Tahun 2009 merupakan pemilu kedua yang diadakan pasca

49 Mendagri, artikel diakses dari <http://www.setneg.go.id/index.php?option= com_content&task=view&id=3521&Itemid=281> pada 17 Desember 2011 pukul 17.20

reformasi. Bisa katakan pada pemilu ini pertarungan politik antarkekuatan

partai justru makin sengit, sehingga upaya penyederhanaan multipartai

sedikit terhambat karena jumlah partai yang menjadi peserta pemilu malah

bertambah dari periode sebelumnya. Lebih jelasnya mengenai hasil pemilu

tahun 2009 dapat diliat pada tabel berikut.50

No Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara Persentase

Demokrat (31) 21.703.137 20,85% Golkar (23) 15.037.757 14,45% PDIP (28) 14.600.091 14,03% PKS (8) 8.206.955 7,88% PAN (9) 6.254.580 6,01% PPP (24) 5.533.214 5,32% PKB (13) 5.146.122 4,94%

50 KPU, Data perolehan suara pemilu 2009, data diakses dari <http://partai.info/pemilu2009/> pada 15 Desember 2011 pukul 16.00

Gerindra (5) 4.646.406 4,46% Hanura (1) 3.922.870 3,77% PBB (27) 1.864.752 1,79% PDS (25) 1.541.592 1,48% PKNU (34) 1.527.593 1,47% PKPB (2) 1.461.182 1,40% PBR (29) 1.264.333 1,21% PPRN (4) 1.260.794 1,21% PKPI (7) 934.892 0,90% PDP (16) 896.660 0,86% Barnas (6) 761.086 0,73% PPPI (3) 745.625 0,72% PDK (20) 671.244 0,64% RepublikaNusantara (21) 630.780 0,61%

PPD (12) 550.581 0,53% Patriot (30) 547.351 0,53% PNBK (26) 468.696 0,45% Kedaulatan (11) 437.121 0,42% PMB (18) 414.750 0,40% PPI (14) 414.043 0,40% Pakar Pangan (17) 351.440 0,34% Pelopor (22) 342.914 0,33% PKDI (32) 324.553 0,31% PIS (33) 320.665 0,31% PNI Marhaenisme (15) 316.752 0,30% Partai Buruh (44) 265.203 0,25% PPIB (10) 197.371 0,19% PPNUI (42) 146.779 0,14%

PSI (43) 140.551 0,14%

PPDI (19) 137.727 0,13%

Merdeka (41) 111.623 0,11%

Jumlah 104.099.785

100%

Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009

Terlihat pada tabel diatas bahwa terdapat begitu banyak partai yang

perolehan suaranya tidak signifikan, bahkan tidak sampai menyentuh angka

1%. Dari total peserta pemilu yang berjumlah 44 parpol, hanya 17 parpol

yang memperoleh suara diatas 1%, sedangkan 27 parpol lainnya

memperolehan suaranya sangat kecil atau sering disebut dengan partai

desimal. Sedangkan partai yang lolos ambang batas yang ditetapkan UU

berikut:51

1. Demokrat 21.703.137 suara 20,85% 150 kursi

2. Golkar 15.037.757 suara 14,45% 107 kursi

3. PDI-P 14.600.091 suara 14,03% 95 kursi

4. PKS 8.206.955 suara 7,88% 57 kursi

5. P AN 6.254.580 suara 6,01% 43 kursi

6. PPP 5.533.214 suara 5,32% 37 kursi

7. PKB 5.146.122 suara 4,94% 27 kursi

8. Gerindra 4.646.406 suara 4,46% 26 kursi

9. Hanura 3.922.870 suara 3,77% 18 kursi

Sedangkan jumlah suara sah yang masuk adalah 104.099.785 suara

dan karena diterapkan nilai ambang batas sebesar 2,5% maka perolehan

suara parpol yang tidak mencapai angka tersebut tidak dihitung atau

terbuang. Dengan melihat angka yang tidak terhitung, yaitu dari hasil

penjumlahan suara dan persentase parpol yang tidak lolos ambang batas

diperoleh angka yang sangat besar yaitu 18,33% dan 10.128.407 suara yang

tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.

2.5.2 Konsep Ambang Batas yang Dianut

51 Keterangan: Perhitungan perolehan kursi Parlemen / DPR bagi 9 Parpol yang lolos dari Parliamentary Threshold tsb di atas dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. KPU tgl 9 Mei 2009, data diakses dari <http://partai.info/pemilu2009/> pada 14 desember 2011 pukul 16.00

Berdasarkan pada Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 tahun 2008 yang

mengatur tentang ambang batas, ditentukan sebesar 2,5%. Konsep ambang

batas yang dianut pada pemilu 2009 ini adalah ambang batas parlemen,

yang artinya angka 2,5% digunakan untuk menentukan partai politik peserta

pemilu yang dapat diikutkan dalam perhitungan kursi di parlemen, dan bukan

untuk menentukan boleh tidaknya ikut pemilu diperiode berikutnya.

Untuk penetapan kursi DPR, Parpol peserta Pemilu harus memenuhi

ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Sedangkan untuk penentuan perolehan kursi DPRD, langsung dihitung dari

suara sah yang diperoleh. Calon terpilih anggota DPR dan DPRD ditetapkan

berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari

Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP).

Selain dengan menerapkan konsep baru dalam membatasi

banyaknya parpol di parlemen. Namun disis lain, UU pemilu tahun 2009 ini

justru membolehkan parpol yang pada periode pemilu sebelumnya untuk

dengan peraturan yang mensyaratkan parpol yang akan mengikuti pemilu

dengan syarat tambahan berupa adanya keterwakilan anggota perempuan

sebesar 30% yang sebelumnya tidak ada pada periode pemilu tahun 2004.

Ketentuan mengenai syarat peserta parpol tersebut diatur pada Pasal 8 UU

No. 10 tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, DPRD, yang terdiri dari 2

pasal dan 7 ayat.

Apabila dicermati, maka terdapat perubahan konsep pengaturan

ambang batas bagi peserta pemilu di tahun 2009 ini. Dimana yang

dibatasibukalah partai politik untuk ikut pemilu, akan tetapi banyaknya calon

anggota DPR untuk duduk di kursi DPR, yang mana dibatasi dari jumlah

peroleha suara nasional. Sedangkan konsep mengenai batasan parpol untuk

mengikuti pemilu berikutnya sudah dihapuskan dengan ditetapkannya satu

ketentuan baru pada Pasal 8 ayat (2) yang justru menegaskan mengenai

kebolehan partai politik dapat mengikuti pemilu di periode berikutnya.

Melihat adanya perbedaan tersebut, nampaknya pada saat

pembentuk undang-undang menyusun UU pemilu untuk tahun 2009 ini telah

pemerintah dan DPR. Hal ini sejalan dengan pernyataan hipotesis mengenai

kaitan antara konfigurasi politik dengan karakter produk hukum. Dimana bila

terdapat perubahan pada konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau

sebaliknya, maka akan berimplikasi pada perubahan karakter produk

hukum.52 Dalam hal ini, perubahan yang terjadi pada penyusunan UU pemilu

terutama yang mengatur mengenai pembatasan kepesertaan parpol dalam

pemilu, disebabkan oleh adanya tarika-tarikan kekuatan politik yang begitu

kuat antara pemerintah dan DPR, juga tarikan-tarikan pengaruh politik

didalam fraksi-fraksi di DPR, sehingga bermuara pada kompromi-kompromi

politik yang menghasilkan produk UU pemilu di tahun 2009. Yaitu dengan

ditiadakannya pembatasan parpol untuk ikut sebagai peserta pemilu, dan

berubah menjadi pembatasan yang untuk duduk sebagai anggota parlemen.

Situasi ini menunjukkan keterbukaan dari pihak pemerintah yang

pada periode sebelumnya menghendaki adanya penyederhanaan sistem

multipartai pada pemilu. Dengan dihapuskannya konsep ambang batas untuk

mengurangi peserta pemilu, maka pemerintah dan kekuatan politik yang ada

di DPR dapatlah digambarkan sebagai sebuah konfigurasi politik yang datar

(tidak ada yang cukup menonjol) yang kemampuan saling mempengaruhi

satu sama lainnya sama kuat, dimana tidak adanya satu kekuatan politik pun

yang cukup dominan sehingga mampu mempengaruhi terhadap

pembentukan kebijakan hukum terhadap pelaksanaan pemilu.

Namun demikian, kita dapati bahwa konfigurasi politik yang demikian

menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan kebijakan politik yang

demokratis dan liberal, dengan membiarkan semua aspirasi dari berbagai

pihak dibiarkan masuk untuk sama-sama menghasilkan satu agregasi

gagasan untuk mengatur jalannya pemilu, sehingga produk hukum yang

dihasilkan pun diupayakan menjadi milik bersama untuk sedapat mungkin

memenuhi kepentingan semua pihak (stake holder).

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 52-66)

Dokumen terkait