• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Pemilu; Legal Policy Pemerintah Bidang Politik

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 33-48)

2.3 Pemilihan Umum; Ajang Pembuktian Kualitas Partai Politik

2.3.3 Undang-Undang Pemilu; Legal Policy Pemerintah Bidang Politik

Didalam konstitusi, pengaturan mengenai Pemilihan Umum (pemilu)

dapat ditemui pada Bab VII B, Pasal 22E yang terdiri dari enam ayat.

Substansi pada ketentuan konstitusional tersebut mengatur seputar asas,

ruang lingkup kegiatan pemilu, peserta pemilu yang terdiri dari partai politik

dan perseorangan, penyelenggara pemilu (sifat kelembagaanya), dan pola

pengaturan pemilu yang diamanatkan dalam bentuk Undang-Undang (UU).

Menurut Prof. Satya Arianto, kebijakan hukum (legal policy)

merupakan satu dari tiga pengertian politik hukum yang memiliki pengertian

suatu perangkat hukum yang telah atau akan dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah.37 Untuk itu, dalam konteks upaya penyederhanaan sistem

kepartaian multipartai yang berlaku di Indonesia, pemerintah berdasarkan

perintah UUD 1945 diberikan kebebasa untuk mengatur pelaksanaan pemilu

yang didalamnya ada aturan mengenai pembatasan partai politik sebagai

37 Satya Arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Kuliah Politik Hukum (Salemba: PPs-FHUI, 2010). Hal. 21.

peserta. Dialam undang-undang pemilu tersebut terdapat satu dua pasal

yang intinya mengarahkan agar keikutsertaan partai politik menjadi semakin

sederhana (sedikit) dalam sistem multipartai yang telah berjalan.

Undang-undang pemilu, merupakan satu produk hukum yang disusun

tiap lima tahun sekali guna mendasar pelaksanaan pemilihan umum

sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi. Secara tegas Pasal 22E (1)

dan (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap

lima tahun sekali”, dan ditambahkan dengan, “Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Merujuk pada ketentuan

konstitusi tersebut, pemerintah dan DPR pada akhirnya mengatur mengenai

pelaksanaan pemilu per lima tahun dengan undang-undang yang berbeda.

Artinya untuk setiap periode pemilu yang akan datang disusun undang-

undang sebagai dasar hukum pelaksanaannya.

Sebenarnya tidak ada sama sekali ketentuan dalam konstitusi yang

menyatakan bahwa undang-undang pemilu harus dibuat per lima tahun.

tahun..” bagi pelaksanaan kegiatan pemilu sesuai periodisasi masa jabatan.

Kemudian pasal tentang pemilu tersebut ditutup dengan adanya pelimpahan

wewenang bagi norma dibawahnya (undang-undang) sebagai sarana

pengaturan yang lebih rinci mengenai pemilu. Dengan menarik kenyataan

bahwa periodisasi jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang lima tahun,

kemudian dijadikan pula ukuran waktu bagi pemerintah untuk menyusun

undang-undang pemilu. Padahal bila dilihat dari objek pelaku pelaksana

undang-undang pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mana

pada Pasal 22E ayat (5) dinyatakan bahwa penyelenggara pemilu memiliki

sifat kelembagaan yang nasional, tetap, dan mandiri. Berangkat dari ayat

tersebut, penyelenggara pemilu sebagai objek pelaksana yang diatur

undang-undang pemilu memiliki sifat tetap, maka dengan demikian tidak-lah

harus tempo penyusunan undang-undang pemilu ini dilakukan tiap lima tahun

pada saat sebelum pemilu periode berikutnya akan dimulai.

Prakteknya selama ini, yaitu pada penyelenggaraan pemilu tahun

1999, 2004 dan 2009, undang-undang pemilu selalu dibuat yang baru.

pemilu dengan aturan untuk penyelenggaranya dijadikan satu dalam undang-

undang yang sama. Selanjutnya baru pada tahun 2008, dilakukan pemisahan

sehingga aturan mengenai penyelenggaraan pemilu dan penyelenggara

pemilu dipisahkan menjadi undang-undang tersendiri. Karena khusus

mengenai undang-undang tentang penyelenggara pemilu harus tidak

berubah-ubah tiap lima tahun dengan mengikuti periodisasi pemilu. Hal ini

karena tanggung jawab KPU sebagai penyelenggaran pemilu memiliki

kesibukan sepanjang tahun untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan

pemilukada di daerah yang pelaksanaannya berlangsung sepanjang tahun di

seluruh Indonesia. Sedangkan aturan main pemilu yang disusun dalam

bentuk undang-undang memang perlu senantiasa direvisi meski tidak harus

dalam jangka waktu lima tahun sekali. Namun karena konstitusi sendiri yang

memberikan kelonggaran dan pilihan terbuka lebar bagi pembentuk undang-

undang, maka dalam hal ini pemerintah dan DPR berkesempatan untuk

mengatur standar pemilu secara berbeda-beda tiap lima tahun.

Dapatlah dimengerti bila pola pengaturan yang demikian itu

tiap periode pemilihan umum. Pada bagian inilah nampak jelas terlihat bahwa

melalui undang-undang pemilu, pemerintah dan DPR dapat “bermain”

merancang aturan main bagi mereka sendiri. Selaras dengan pengertian

politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy), dimana produk undang-

undang yang dibuat diarahkan kepada pembaharuan-pembaharuan sesuai

kebutuhan yang diinginkan pembuat undang-undang.38 Kenyataannya

memang tepat demikian, dimana pemerintah dan DPR yang notabene adalah

berasal dari partai politik, dan partai politik adalah salah satu peserta pemilu,

maka kepentingan mereka sangat besar terhadap isi aturan main yang pada

periode mendatang akan mereka jalani.

Mengacu pada hipotesa mengenai pola hubungan yang terjadi dalam

proses pembentukan undang-undang dengan konfigurasi politik di suatu

negara, yang bunyinya,39 ”konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan

karakter produk hukum tertentu di negara tersebut”, maka bila digunakan

untuk menganalisis kasus yang terjadi pada undang-undang pemilu adalah

38 Satya Arinanto, Ibid., Hal. 22.

adanya pengaruh yang besar dari pihak pemerintah dan DPR. Sebagaimana

diketahui bahwa pada kedua lembaga tersebut sulit untuk menghindari akan

adanya pengaruh kekuatan politik dibelakangnya yang senantiasa mewarnai

keputusan yang dihasilkan.

Kemudian bila ditelaah lebih lanjut mengenai corak konfigurasi politik

dengan produk hukum yang dihasilkannya, hal ini bisa ditelusuri dengan

melihat proses pembentukan undang-undang tersebut. Menurut Prof. Satya

Arinanto dalam perkuliahannya, menerangkan bahwa adanya dikotomisasi

yang terjadi pada konfigurasi politik dengan produk hukum yang

dihasilkannya. Dikotomisasi tersebut mengatakan bahwa, bila konfigurasi

politik yang demoktaris maka ada kecenderungan yang besar pada produk

hukum yang dihasilkannya berkarakter positif atau responsif, sedangkan bila

konfigurasi politik suatu negara otoriter maka ada kecenderungan yang besar

pada produk hukum yang dihasilkannya berkarakter negatif atau konserfatif.40

Dengan adanya kecenderungan tersebut, pada kasus penyusunan

undang-undang pemilu ini terlihat adanya kaitan yang cukup kuat antara

pengaruh konfigurasi politik baik dari pihak pemerintah maupun DPR dalam

penentuan materi muatan undang-undang pemilu. Dimana dengan melihat

proses penyusunannya yang dilakukan antara eksekutif dan legislatif, dari

fenomena yang ada menunjukkan adanya hubungan tarik-menarik

kepentingan antara kedua lembaga negara tersebut. Satu pihak dari

pemerintah dapat dipastikan ada kekuatan politik dibelakangnya, yaitu partai

politik pendukung pemerintah, sedangkan pada legislatif pun ada pengaruh

kekuatan politik didalamnya, yaitu fraksi-fraksi baik yang mendukung

pemerintah maupun yang senantiasa memposisikan diri sebagai oposisi.

Dari pola hubungan ini dapatlah dilihat akan adanya mekanisme yang

cukup terbuka (atau karena sistem yang berlaku harus dibuka) dari pihak

pemerintah dalam membuat UU pemilu, sehingga dengan adanya

keterbukaan tersebut terjadilah fenomena tarik-menarik kepentingan yang

cukup alot. Disini pemerintah tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya

begitu saja tanpa melibatkan unsur kekuatan politik lainnya, dikarenakan

kedudukan pemerintah pun secara politik tidak terlalu kuat dan dominan

dibentuk). Dengan demikian, untuk menentukan bentuk hubungan antara

konfigurasi politik macam apa dan produk hukum macam apa yang dihasilkan

dari pola hubungan yang demikian itu, menurut penjelasan lebih lanjut dari

Prof. Satya mengenai adanya dikotomi dalam hubungan antara konfigurasi

politik dengan produk hukumnya, maka dikatakan bahwa bila dalam proses

pembentukan undang-undang dibuka kesempatan bagi partisipasi rakyat

secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum, dalam hal ini

dilakukan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, maka konfigurasi

politik yang terjadi adalah konfigurasi politik yang demokratis.41

Dikatakan demikian karena dalam proses penyusunan UU pemilu ini

ditentukan berdasarkan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut

mekanisme check and balances antarlembaga negara yang mana didalam

konstitusi diberikan kekuasaan pembentukan undang-undang. DPR sebagai

lembaga legislatif adalah pemegang kekuasaan pembentukan undang-

undang dan pemerintah adalah rekan kerjanya. Sehingga dalam prakteknya,

pemerintah tidak dalam posisi yang mampu memaksakan kehendaknya

sendiri. Justru DPR-lah yang memiliki kesempatan untuk mengarahkan

jalannya proses legislasi. Dengan adanya pola hubungan ini, proses

pembentukan UU pemilu dinilai sangat demokratis karena dilakukan secara

terbuka antara pemerintah dan DPR.

Terjadinya fenomena tarik-menarik kepentingan antara pemerintah

dan DPR dan bahkan antarfraksi yang ada didalam DPR sendiri. Satu sisi hal

tersebut dinilai sebagai konfigurasi politik yang demokratis, namun bila

ditelaah lebih lanjut, bahwa fenomena seperti ini terjadi hanya pada produk

undang-undang yang memiliki sensitifitas politik cukup tinggi dan tidak begitu

terlalu berlaku umum pada undang-undang lain yang sifatnya tidak ada

muatan politiknya. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa undang-undang

pemilu yang termasuk undang-udang paket politik adalah undang-undang

yang sangat menentukan nasib hidupnya kekuatan-kekuatan politik yang

berkuasa dalam pemerintahan dan DPR. Sehingga mereka yang merasa

posisi politiknya cukup kuat berkeinginan besar untuk mempertahankannya

dengan memanfaatkan kesempatan yang masih dimilikinya guna

dengan yang dinyatakan oleh pemikir-pemikir hukum dan politik seperti kaum

sophis di Yunani yang mengatakan bahwa hukum adalah apa yang berfaedah

bagi orang yang lebih kuat, serta sebagai mana yang diungkapkan oleh

Gumplowics bahwa hukum berdasarkan atas penaklukan yang lemah oleh

yang kuat, dan hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang

kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.42

Agaknya pernyataan dari sebagian pemikir jaman dahulu masih

dapat dilihat keberlakuannya di jaman sekarang. Mengenai hukum sebagai

sarana kelompok kuat untuk melanggengkan kekuasaannya, jelas terlihat

dari proses pembentukan UU pemilu ini. Dimana kelompok politik kuat akan

berusaha mengatur permainan agar dirinya mampu bertahan lama, dan

dengan demikian para kompetitor lainnya akan sulit menyaingi. Nuansa

berfikir demikian dirasakan oleh partai-partai kecil baik yang ada di DPR

maupun yang akan berdiri menjelang pemilu. Dengan adanya muatan

ambang batas yang dimasukkan dalam UU pemilu akan membawa dampak

pada nasib keberadaan mereka di medan perpolitikan nasional. Terutama

kesempatan untuk duduk di kursi parlemen.

Apabila kita kembali pada pembahasan sebelumnya yang mengkaji

mengenai hubungan sistem pemerintahan yang dianut dengan sistem

kepartaian didalam UU pemilu, maka akan terlihat jelas bahwa tujuan dari

adanya kebijakan hukum yang diarahkan dalam undang-undang paket politik

adalah untuk kepentingan penyelarasan antara sistem pemerintahan

presidensil dengan sistem multipartai yang berlaku saat ini.

Dimana pengaruh sistem multipartai yang dikombinasikan dengan

sistem pemerintahan presidensil kurang kompatibel untuk menciptakan iklim

pemerintahan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan keputusan yang

cepat guna penyelesaikan program pembangunan yang telah ditetapkan

didalam RPJM sebagai politik hukum pemerintah di era reformasi.43 Sehingga

dalam rangka mempercepat proses keluarnya keputusan dan pelaksanaan

kebijakan-kebijakan politik pemerintah untuk pembangunan nasional.

Presiden dan menteri-menterinya harus mendapatkan dukungan penuh dari 43 Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Salemba, 8 Maret 2006. Hal. 13. Lihat juga pada Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pidato Ilmiah yang disampaikan pada dies Natalis Ke-47 Universitas Jember tahun 2011.

parlemen.44 Untuk kepentingan tersebut-lah upaya-upaya penyederhanaan

multipartai yang diberlakukan pada saat pemilu perlu dilakukan, sehingga

pemerintah berkepentingan untuk menyusun UU pemilu yang berisi

pembatasan-pembatasan bagi kepesertaan parpol dalam pemilu. Langka-

langkah penyederhanaan multipartai ini berdampak pada susunan konfigurasi

politik di parlemen supaya hanya terdiri setidaknya dua atau paling banyak

tiga unsur kekuatan politik. Sehingga pemerintah tidak perlu direpotkan untuk

melakukan manuver-manuver politik yang berkepanjangan demi

mengkompromikan kebijakannya agar mendapat persetujuan parlemen.

Demikianlah benang merah yang terjadi antara isu sistem kepartaian

dan sistem pemerintahan yang dikaitkan dengan politik hukum pemerintah

dalam mengarahkan materi muatan UU pemilu agar mengarah pada sistem

multipartai sederhana.

Berikut ini contoh situasi yang terjadi yang menggambarkan adanya

hubungan antara konfigurasi politik dengan penyusunan materi UU pemilu

pada pemilu 1999 yang dilaksanakan berdasarkan pada Undang-undang 44 Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pidato Ilmiah yang disampaikan pada dies Natalis Ke-47 Universitas Jember tahun 2011. Hal. 3

Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Setelah

RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi

Pemilihan Umum (KPU) yang anggota- anggotanya adalah wakil dari partai

politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol

membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971

adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan

karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali

ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah

partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141

partai.45

Kemudian ternyata bahwa Pemilu yang dilaksanakan pada 7 Juni

1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. konsep pembatasan terhadap

parpol sebagai peserta pemilu sudah dilakukan. Setidaknya hal tersebut

terlihat pada syarat minimal suatu parpol memiliki perwakilan dan anggota di

45 Sejarah pemilu tahun 1999, KPU. Diunduh dari <http://www.kpu.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=42> pada 16 Desember 2011 pukul 19.15.

beberapa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal tersebut diatur

didalam pasal 39 ayat (1);

“Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik;

b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;

c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya dipropinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;

d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.”

Selain syarat peserta pemilu yang membatasi keikutsertaan partai

politik dalam pemilu, diatur juga mengenai ambang batas pemilih (electoral

treshold) yang menentukan apakah suatu partai boleh mengikuti pemilu

kembali di periode selanjutnya (tahun 2004). Aturan tersebut diatur pada

Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4);

“Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD l atau DPRD Il yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum”.

“Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain”.

Pada masa awal reformasi, ambang batas telah diberlakukan dengan

besaran 2%, dan ketentuan ini berlaku untuk keikutsertaan partai politik pada

periode pemilu berikutnya di tahun 2004. Pembatasan ini berhasil menyaring

48 partai politik peserta pemilu dari 141 yang mendaftarkan diri. Setelah

melalui pemungutan suara hingga penetapan oleh KPU, maka dihasilkan

hanya 5 partai yang mendapatkan perolehan suara diatas 2%. Kemudian

pada periode berikutnya ke-5 parpol tersebut boleh mengikuti pemilu dengan

hanya sedikit melakukan penyesuaian persyaratan faktual, tanpa harus

mengubah tanda gambar dan nama partai. Berikut adalah hasil perolehan

pemilu tahun 1999.46

1. PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74% = 153 kursi. 2. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% = 120 kursi. 3. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61% = 51 kursi.

4. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71% = 58 kursi 5. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12% = 34 kursi.

46 Sejarah pemilu 1999, KPU. Data diunduh dari <http://www.kpu.go.id/index.php? option=com _content&task=view&id=42> pada 16 desember 2011, pukul 19.30

Dalam dokumen politik hukum adat studi masyarakat (2) (Halaman 33-48)

Dokumen terkait