2.3 Pemilihan Umum; Ajang Pembuktian Kualitas Partai Politik
2.3.3 Undang-Undang Pemilu; Legal Policy Pemerintah Bidang Politik
Didalam konstitusi, pengaturan mengenai Pemilihan Umum (pemilu)
dapat ditemui pada Bab VII B, Pasal 22E yang terdiri dari enam ayat.
Substansi pada ketentuan konstitusional tersebut mengatur seputar asas,
ruang lingkup kegiatan pemilu, peserta pemilu yang terdiri dari partai politik
dan perseorangan, penyelenggara pemilu (sifat kelembagaanya), dan pola
pengaturan pemilu yang diamanatkan dalam bentuk Undang-Undang (UU).
Menurut Prof. Satya Arianto, kebijakan hukum (legal policy)
merupakan satu dari tiga pengertian politik hukum yang memiliki pengertian
suatu perangkat hukum yang telah atau akan dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah.37 Untuk itu, dalam konteks upaya penyederhanaan sistem
kepartaian multipartai yang berlaku di Indonesia, pemerintah berdasarkan
perintah UUD 1945 diberikan kebebasa untuk mengatur pelaksanaan pemilu
yang didalamnya ada aturan mengenai pembatasan partai politik sebagai
37 Satya Arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Kuliah Politik Hukum (Salemba: PPs-FHUI, 2010). Hal. 21.
peserta. Dialam undang-undang pemilu tersebut terdapat satu dua pasal
yang intinya mengarahkan agar keikutsertaan partai politik menjadi semakin
sederhana (sedikit) dalam sistem multipartai yang telah berjalan.
Undang-undang pemilu, merupakan satu produk hukum yang disusun
tiap lima tahun sekali guna mendasar pelaksanaan pemilihan umum
sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi. Secara tegas Pasal 22E (1)
dan (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali”, dan ditambahkan dengan, “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Merujuk pada ketentuan
konstitusi tersebut, pemerintah dan DPR pada akhirnya mengatur mengenai
pelaksanaan pemilu per lima tahun dengan undang-undang yang berbeda.
Artinya untuk setiap periode pemilu yang akan datang disusun undang-
undang sebagai dasar hukum pelaksanaannya.
Sebenarnya tidak ada sama sekali ketentuan dalam konstitusi yang
menyatakan bahwa undang-undang pemilu harus dibuat per lima tahun.
tahun..” bagi pelaksanaan kegiatan pemilu sesuai periodisasi masa jabatan.
Kemudian pasal tentang pemilu tersebut ditutup dengan adanya pelimpahan
wewenang bagi norma dibawahnya (undang-undang) sebagai sarana
pengaturan yang lebih rinci mengenai pemilu. Dengan menarik kenyataan
bahwa periodisasi jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang lima tahun,
kemudian dijadikan pula ukuran waktu bagi pemerintah untuk menyusun
undang-undang pemilu. Padahal bila dilihat dari objek pelaku pelaksana
undang-undang pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang mana
pada Pasal 22E ayat (5) dinyatakan bahwa penyelenggara pemilu memiliki
sifat kelembagaan yang nasional, tetap, dan mandiri. Berangkat dari ayat
tersebut, penyelenggara pemilu sebagai objek pelaksana yang diatur
undang-undang pemilu memiliki sifat tetap, maka dengan demikian tidak-lah
harus tempo penyusunan undang-undang pemilu ini dilakukan tiap lima tahun
pada saat sebelum pemilu periode berikutnya akan dimulai.
Prakteknya selama ini, yaitu pada penyelenggaraan pemilu tahun
1999, 2004 dan 2009, undang-undang pemilu selalu dibuat yang baru.
pemilu dengan aturan untuk penyelenggaranya dijadikan satu dalam undang-
undang yang sama. Selanjutnya baru pada tahun 2008, dilakukan pemisahan
sehingga aturan mengenai penyelenggaraan pemilu dan penyelenggara
pemilu dipisahkan menjadi undang-undang tersendiri. Karena khusus
mengenai undang-undang tentang penyelenggara pemilu harus tidak
berubah-ubah tiap lima tahun dengan mengikuti periodisasi pemilu. Hal ini
karena tanggung jawab KPU sebagai penyelenggaran pemilu memiliki
kesibukan sepanjang tahun untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan
pemilukada di daerah yang pelaksanaannya berlangsung sepanjang tahun di
seluruh Indonesia. Sedangkan aturan main pemilu yang disusun dalam
bentuk undang-undang memang perlu senantiasa direvisi meski tidak harus
dalam jangka waktu lima tahun sekali. Namun karena konstitusi sendiri yang
memberikan kelonggaran dan pilihan terbuka lebar bagi pembentuk undang-
undang, maka dalam hal ini pemerintah dan DPR berkesempatan untuk
mengatur standar pemilu secara berbeda-beda tiap lima tahun.
Dapatlah dimengerti bila pola pengaturan yang demikian itu
tiap periode pemilihan umum. Pada bagian inilah nampak jelas terlihat bahwa
melalui undang-undang pemilu, pemerintah dan DPR dapat “bermain”
merancang aturan main bagi mereka sendiri. Selaras dengan pengertian
politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy), dimana produk undang-
undang yang dibuat diarahkan kepada pembaharuan-pembaharuan sesuai
kebutuhan yang diinginkan pembuat undang-undang.38 Kenyataannya
memang tepat demikian, dimana pemerintah dan DPR yang notabene adalah
berasal dari partai politik, dan partai politik adalah salah satu peserta pemilu,
maka kepentingan mereka sangat besar terhadap isi aturan main yang pada
periode mendatang akan mereka jalani.
Mengacu pada hipotesa mengenai pola hubungan yang terjadi dalam
proses pembentukan undang-undang dengan konfigurasi politik di suatu
negara, yang bunyinya,39 ”konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan
karakter produk hukum tertentu di negara tersebut”, maka bila digunakan
untuk menganalisis kasus yang terjadi pada undang-undang pemilu adalah
38 Satya Arinanto, Ibid., Hal. 22.
adanya pengaruh yang besar dari pihak pemerintah dan DPR. Sebagaimana
diketahui bahwa pada kedua lembaga tersebut sulit untuk menghindari akan
adanya pengaruh kekuatan politik dibelakangnya yang senantiasa mewarnai
keputusan yang dihasilkan.
Kemudian bila ditelaah lebih lanjut mengenai corak konfigurasi politik
dengan produk hukum yang dihasilkannya, hal ini bisa ditelusuri dengan
melihat proses pembentukan undang-undang tersebut. Menurut Prof. Satya
Arinanto dalam perkuliahannya, menerangkan bahwa adanya dikotomisasi
yang terjadi pada konfigurasi politik dengan produk hukum yang
dihasilkannya. Dikotomisasi tersebut mengatakan bahwa, bila konfigurasi
politik yang demoktaris maka ada kecenderungan yang besar pada produk
hukum yang dihasilkannya berkarakter positif atau responsif, sedangkan bila
konfigurasi politik suatu negara otoriter maka ada kecenderungan yang besar
pada produk hukum yang dihasilkannya berkarakter negatif atau konserfatif.40
Dengan adanya kecenderungan tersebut, pada kasus penyusunan
undang-undang pemilu ini terlihat adanya kaitan yang cukup kuat antara
pengaruh konfigurasi politik baik dari pihak pemerintah maupun DPR dalam
penentuan materi muatan undang-undang pemilu. Dimana dengan melihat
proses penyusunannya yang dilakukan antara eksekutif dan legislatif, dari
fenomena yang ada menunjukkan adanya hubungan tarik-menarik
kepentingan antara kedua lembaga negara tersebut. Satu pihak dari
pemerintah dapat dipastikan ada kekuatan politik dibelakangnya, yaitu partai
politik pendukung pemerintah, sedangkan pada legislatif pun ada pengaruh
kekuatan politik didalamnya, yaitu fraksi-fraksi baik yang mendukung
pemerintah maupun yang senantiasa memposisikan diri sebagai oposisi.
Dari pola hubungan ini dapatlah dilihat akan adanya mekanisme yang
cukup terbuka (atau karena sistem yang berlaku harus dibuka) dari pihak
pemerintah dalam membuat UU pemilu, sehingga dengan adanya
keterbukaan tersebut terjadilah fenomena tarik-menarik kepentingan yang
cukup alot. Disini pemerintah tidak bisa lagi memaksakan kehendaknya
begitu saja tanpa melibatkan unsur kekuatan politik lainnya, dikarenakan
kedudukan pemerintah pun secara politik tidak terlalu kuat dan dominan
dibentuk). Dengan demikian, untuk menentukan bentuk hubungan antara
konfigurasi politik macam apa dan produk hukum macam apa yang dihasilkan
dari pola hubungan yang demikian itu, menurut penjelasan lebih lanjut dari
Prof. Satya mengenai adanya dikotomi dalam hubungan antara konfigurasi
politik dengan produk hukumnya, maka dikatakan bahwa bila dalam proses
pembentukan undang-undang dibuka kesempatan bagi partisipasi rakyat
secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum, dalam hal ini
dilakukan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat di DPR, maka konfigurasi
politik yang terjadi adalah konfigurasi politik yang demokratis.41
Dikatakan demikian karena dalam proses penyusunan UU pemilu ini
ditentukan berdasarkan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut
mekanisme check and balances antarlembaga negara yang mana didalam
konstitusi diberikan kekuasaan pembentukan undang-undang. DPR sebagai
lembaga legislatif adalah pemegang kekuasaan pembentukan undang-
undang dan pemerintah adalah rekan kerjanya. Sehingga dalam prakteknya,
pemerintah tidak dalam posisi yang mampu memaksakan kehendaknya
sendiri. Justru DPR-lah yang memiliki kesempatan untuk mengarahkan
jalannya proses legislasi. Dengan adanya pola hubungan ini, proses
pembentukan UU pemilu dinilai sangat demokratis karena dilakukan secara
terbuka antara pemerintah dan DPR.
Terjadinya fenomena tarik-menarik kepentingan antara pemerintah
dan DPR dan bahkan antarfraksi yang ada didalam DPR sendiri. Satu sisi hal
tersebut dinilai sebagai konfigurasi politik yang demokratis, namun bila
ditelaah lebih lanjut, bahwa fenomena seperti ini terjadi hanya pada produk
undang-undang yang memiliki sensitifitas politik cukup tinggi dan tidak begitu
terlalu berlaku umum pada undang-undang lain yang sifatnya tidak ada
muatan politiknya. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa undang-undang
pemilu yang termasuk undang-udang paket politik adalah undang-undang
yang sangat menentukan nasib hidupnya kekuatan-kekuatan politik yang
berkuasa dalam pemerintahan dan DPR. Sehingga mereka yang merasa
posisi politiknya cukup kuat berkeinginan besar untuk mempertahankannya
dengan memanfaatkan kesempatan yang masih dimilikinya guna
dengan yang dinyatakan oleh pemikir-pemikir hukum dan politik seperti kaum
sophis di Yunani yang mengatakan bahwa hukum adalah apa yang berfaedah
bagi orang yang lebih kuat, serta sebagai mana yang diungkapkan oleh
Gumplowics bahwa hukum berdasarkan atas penaklukan yang lemah oleh
yang kuat, dan hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang
kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.42
Agaknya pernyataan dari sebagian pemikir jaman dahulu masih
dapat dilihat keberlakuannya di jaman sekarang. Mengenai hukum sebagai
sarana kelompok kuat untuk melanggengkan kekuasaannya, jelas terlihat
dari proses pembentukan UU pemilu ini. Dimana kelompok politik kuat akan
berusaha mengatur permainan agar dirinya mampu bertahan lama, dan
dengan demikian para kompetitor lainnya akan sulit menyaingi. Nuansa
berfikir demikian dirasakan oleh partai-partai kecil baik yang ada di DPR
maupun yang akan berdiri menjelang pemilu. Dengan adanya muatan
ambang batas yang dimasukkan dalam UU pemilu akan membawa dampak
pada nasib keberadaan mereka di medan perpolitikan nasional. Terutama
kesempatan untuk duduk di kursi parlemen.
Apabila kita kembali pada pembahasan sebelumnya yang mengkaji
mengenai hubungan sistem pemerintahan yang dianut dengan sistem
kepartaian didalam UU pemilu, maka akan terlihat jelas bahwa tujuan dari
adanya kebijakan hukum yang diarahkan dalam undang-undang paket politik
adalah untuk kepentingan penyelarasan antara sistem pemerintahan
presidensil dengan sistem multipartai yang berlaku saat ini.
Dimana pengaruh sistem multipartai yang dikombinasikan dengan
sistem pemerintahan presidensil kurang kompatibel untuk menciptakan iklim
pemerintahan yang efektif dan efisien untuk menghasilkan keputusan yang
cepat guna penyelesaikan program pembangunan yang telah ditetapkan
didalam RPJM sebagai politik hukum pemerintah di era reformasi.43 Sehingga
dalam rangka mempercepat proses keluarnya keputusan dan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan politik pemerintah untuk pembangunan nasional.
Presiden dan menteri-menterinya harus mendapatkan dukungan penuh dari 43 Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Salemba, 8 Maret 2006. Hal. 13. Lihat juga pada Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pidato Ilmiah yang disampaikan pada dies Natalis Ke-47 Universitas Jember tahun 2011.
parlemen.44 Untuk kepentingan tersebut-lah upaya-upaya penyederhanaan
multipartai yang diberlakukan pada saat pemilu perlu dilakukan, sehingga
pemerintah berkepentingan untuk menyusun UU pemilu yang berisi
pembatasan-pembatasan bagi kepesertaan parpol dalam pemilu. Langka-
langkah penyederhanaan multipartai ini berdampak pada susunan konfigurasi
politik di parlemen supaya hanya terdiri setidaknya dua atau paling banyak
tiga unsur kekuatan politik. Sehingga pemerintah tidak perlu direpotkan untuk
melakukan manuver-manuver politik yang berkepanjangan demi
mengkompromikan kebijakannya agar mendapat persetujuan parlemen.
Demikianlah benang merah yang terjadi antara isu sistem kepartaian
dan sistem pemerintahan yang dikaitkan dengan politik hukum pemerintah
dalam mengarahkan materi muatan UU pemilu agar mengarah pada sistem
multipartai sederhana.
Berikut ini contoh situasi yang terjadi yang menggambarkan adanya
hubungan antara konfigurasi politik dengan penyusunan materi UU pemilu
pada pemilu 1999 yang dilaksanakan berdasarkan pada Undang-undang 44 Jimly Asshiddiqie, Memperkuat Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pidato Ilmiah yang disampaikan pada dies Natalis Ke-47 Universitas Jember tahun 2011. Hal. 3
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Setelah
RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota- anggotanya adalah wakil dari partai
politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol
membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971
adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan
karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali
ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141
partai.45
Kemudian ternyata bahwa Pemilu yang dilaksanakan pada 7 Juni
1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. konsep pembatasan terhadap
parpol sebagai peserta pemilu sudah dilakukan. Setidaknya hal tersebut
terlihat pada syarat minimal suatu parpol memiliki perwakilan dan anggota di
45 Sejarah pemilu tahun 1999, KPU. Diunduh dari <http://www.kpu.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=42> pada 16 Desember 2011 pukul 19.15.
beberapa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Hal tersebut diatur
didalam pasal 39 ayat (1);
“Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik;
b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;
c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya dipropinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.”
Selain syarat peserta pemilu yang membatasi keikutsertaan partai
politik dalam pemilu, diatur juga mengenai ambang batas pemilih (electoral
treshold) yang menentukan apakah suatu partai boleh mengikuti pemilu
kembali di periode selanjutnya (tahun 2004). Aturan tersebut diatur pada
Pasal 39 ayat (3) dan ayat (4);
“Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD l atau DPRD Il yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/ kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum”.
“Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain”.
Pada masa awal reformasi, ambang batas telah diberlakukan dengan
besaran 2%, dan ketentuan ini berlaku untuk keikutsertaan partai politik pada
periode pemilu berikutnya di tahun 2004. Pembatasan ini berhasil menyaring
48 partai politik peserta pemilu dari 141 yang mendaftarkan diri. Setelah
melalui pemungutan suara hingga penetapan oleh KPU, maka dihasilkan
hanya 5 partai yang mendapatkan perolehan suara diatas 2%. Kemudian
pada periode berikutnya ke-5 parpol tersebut boleh mengikuti pemilu dengan
hanya sedikit melakukan penyesuaian persyaratan faktual, tanpa harus
mengubah tanda gambar dan nama partai. Berikut adalah hasil perolehan
pemilu tahun 1999.46
1. PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74% = 153 kursi. 2. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% = 120 kursi. 3. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61% = 51 kursi.
4. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71% = 58 kursi 5. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12% = 34 kursi.
46 Sejarah pemilu 1999, KPU. Data diunduh dari <http://www.kpu.go.id/index.php? option=com _content&task=view&id=42> pada 16 desember 2011, pukul 19.30