• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODA PENELITIAN

5.6 Kebijakan Ekonomi pada Subsektor Tanaman Perkebuna

tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR‐Bun dan dalam pembukaan

wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

Dalam rangka mempercepat pembangunan perkebunan terutama yang terkait dengan upaya peremajaan perkebunan rakyat dan meningkatkan peran perkebunan dalam ekonomi nasional, maka sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan subsidi bunga investasi untuk program Revitalisasi Perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao, seluas 2 juta ha dengan bunga 10 persen flat per tahun. (Ditjebun, 2007b)

5.6.1. Kebijakan Ekonomi pada Komoditas Kelapa Sawit

Kebijakan pemerintah di bidang perkebunan kelapa sawit, bertujuan memacu peningkatan luas areal perkebunan. Sejalan dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit ini diharapkan produksinya juga dapat meningkat sehingga dapat mengantisipasi gejolak-gejolak harga minyak goreng dalam negeri dan dapat dijadikan sebagai komoditi andalan ekspor nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung usaha peningkatan luas areal perkebunan.

Kebijakan pemerintah melalui pemberian Kredit Liquiditas Bank Indonesia (KLBI) tahun 1978, memberikan keleluasaan kepada pihak swasta

93

nasional menanamkan investasinya telah mendorong peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit.

Selanjutnya kebijakan pemerintah di bidang regulasi perdagangan tahun 1978 dikeluarkan dua tahap, melalui Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi), tahap pertama: No. 251/Kpts/OM/5/1978, No 15/M/SK/5/1978 dan No.23/KPB/V/1978 yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1978, tahap kedua: No.275/KPB/XII/78, No.764/Kpts/Um/12/1978, dan No.252/M/SK/12/1978 yang ditetapkan tanggal 16 Desember 1978.

Adapun tujuan kebijakan tersebut untuk menjamin kestabilan harga minyak goreng dan kelangsungan pasokan bahan baku CPO kepada Industri minyak goreng domestik sehubungan dengan terjadinya krisis kopra akhir tahun 1970-an. Dengan menetapkan patokan harga jual CPO yang akan dialokasikan dan didistribusikan kepada masing-masing industri minyak goreng dalam negeri dan diekspor.

Kebijakan tersebut tidak efektif karena harga minyak goreng di dalam negeri tetap saja fluktuatif mengikuti harga yang terjadi di pasar dunia. Sehingga pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor pada Tahun 1981, dimana ekspor CPO turun hingga 61 persen, namun pada tahun tahun berikutnya terus meningkat.

Untuk menghambat ekspor yang terus meningkat karena harga CPO di pasar dunia yang sangat tinggi dan menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng domestik pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor minyak sawit sebesar 37.18 persen pada tahun 1984 untuk produk minyak sawit

dan produk sejenisnya melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 47/KMK/001/1984. Selanjutnya pada agustus 1986 terjadi penurunan harga CPO mencapai titik terendah maka pemerintah menetapkan kebijakan pembebasan pajak atas ekspor minyak sawit dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 549/KMK/001/86.

Pada tahun 1991 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan paket deregulasi atas tataniaga minyak sawit meningat kondisi produksi minyak sawit mulai meningkat dengan memberikan kebebasan kepada produsen bebas menjual ke pasar domestik atau pasar dunia tanpa peraturan alokasi dan izin yang rumit. Kemudian tahun 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.439/KMK.017/1994 efektif berlaku 1 September 1994 dimana pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor yang fleksibel untuk produk CPO dan olahannya bervariasi antara 40 hingga 60 persen. Tahun 1999 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penetapan tarif ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan (1) No.30/KMK.01/1999 sebesar 40 persen, (2) No. 89/KMK/017/1999 sebesar 30 persen, (3) No.360/KMK/017/1999 sebesar 10 persen. Selanjutnya tahun 2008 pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 223/PMK.011/2008 mengatur tentang penatapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dengan tarif bea keluar.

5.5.2. Kebijakan Ekonomi pada Komoditas Karet

Karet alam yang diperdagangkan saat ini umumnya sudah memasuki tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan mengikuti mekanisme pasar.

95

Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat, dan Jepang, karet alam diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif maupun non tarif. Tidak adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang tidak dapat menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika dilakukan hambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam negerinya.

Kebijakan pajak ekspor untuk komoditas karet alam pernah diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1969 -1975 sebesar 10 persen, dan pada tahun 1976-1981 diturunkan menjadi sebesar 5 persen. Sejak tahun 1982 pemerintah menghapus pajak ekspor atau mengenakan tarif sebesar 0 persen untuk komoditas karet alam (Limbong, 1994). Saat ini ekspor karet alam Indonesia tidak dibatasi tarif atau pajak ekspor. Sedangkan untuk komoditas karet alam yang di impor oleh Indonesia dikenakan bea masuk atau tarif impor sebesar 5 persen yang bertujuan melindungi produsen domestik.

Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjulan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk mengubah keputusan yang merugikan ini.

Selain kebijakan perdagangan dalam hal pajak baik ekspor maupun impor, pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang terkait dengan upaya distorsi perdagangan karet alam melalui pembentukan International Tripartite Rubber Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC).

VI. KERAGAAN INDUSTRI KELAPA SAWIT DAN KARET

Dokumen terkait