• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia memasuki masa krisis awal tahun 1998, sektor pertanian lebih tangguh bertahan dan mampu pulih lebih cepat dibanding sektor-sektor lain. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten, sektor-sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di samping itu sektor pertanian memiliki peranan dalam penyediaan kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa, penyedia lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan (Deptan, 2006).

Kinerja sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat dari berbagai indikator antara lain Produk Domestik Bruto (PDB), produksi komoditas, ekspor impor, dan kesejahteraan petani. Berdasarkan hasil evaluasi pembangunan pertanian yang dilakukan oleh Deptan (2005, 2009) selama periode tahun 2000-2003 rata-rata laju pertumbuhan tahunan PDB sektor pertanian mencapai 1.83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis ekonomi (1998-1999) yang hanya mencapai 0.88 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1.57 persen. Untuk periode tahun 2005-2009, pertumbuhan PDB pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) memperlihatkan kenaikan setiap tahunnya yaitu rata-rata 3.30 persen.

Pada periode tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk teh. Selanjutnya produksi komoditas pertanian selama tahun 2005-2008 mengalami

peningkatan antara lain tebu (3.82 persen), kelapa sawit (8.88 persen), jambu mete (7.80 persen), mangga (14.22 persen), anggrek (28.79 persen), sapi potong (5.53 persen), ayam ras pedaging (6.52 persen), dan telur (10.17 persen).

Kinerja neraca perdagangan (balance of trade) komoditas pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan (tidak termasuk perikanan dan kehutanan) selama periode 1995-2004 untuk produk segar dan olahan mengalami peningkatan secara konsisten. Pada periode sebelum krisis (1995-1997) surplus neraca perdangan 0.5 juta dollar AS, pada masa krisis (1998-1999) neraca perdagangan mengalami surplus 1.4 miliar dollar AS selanjutnya pada periode pasca krisis (2000-2004) ekspor meningkat pesat dan neraca perdagangan meningkat dua kali lipat menjadi 2.2 miliar dollar AS. Neraca perdagangan pertanian, selama periode 2005-2009, tumbuh sangat mengesankan. Pada tahun 2005 terjadi surplus neraca perdagangan baru US$ 6 447.51 juta, namun tiga tahun kemudian telah naik tiga kali lipat menjadi US$ 17 971.57 juta pada tahun 2008. Sementara komoditas andalan ekspor masih tetap dari subsektor tanaman perkebunan terutama komoditi kelapa sawit dan karet.

Salah satu indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Nilai tukar petani secara nasional menunjukkan perbaikan signifikan pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2003. Nilai tukar petani pada tahun 2003 telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa Orde Baru tahun 1995. Selama tahun 2005-2009, rata-rata NTP mencatat angka mendekati 100 yang menunjukkan bahwa yang dibelanjakan petani masih lebih besar dari yang didapatkan.

3

Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian merupakan salah satu subsektor yang mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional (Deptan, 2007). Kontribusi subsektor tanaman perkebunan dalam pembentukan devisa negara dapat dilihat dari kontribusi subsektor tersebut dalam perdagangan internasional dimana subsektor tanaman perkebunan mengalami surplus neraca perdagangan (BPS, 2009). Kelapa sawit dan karet merupakan komoditi tanaman perkebunan yang memiliki potensi pengembangan dan berpeluang untuk dikembangkan lebih luas lagi menjadi kegiatan industri yang dapat menopang perekonomian nasional.

Pada masa mendatang diperkirakan konsumsi kelapa sawit dan karet dunia akan terus meningkat. Peningkatan ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain perkembangan teknologi, pertambahan jumlah penduduk, dan pertambahan pendapatan. Permintaan kelapa sawit dunia (CPO) sampai dengan tahun 2010, konsumsi CPO diperkirakan akan berkisar antara 31.73 – 32.97 juta ton. Selanjutnya tahun 2017, konsumsi akan berkisar antara 36.80 – 39.28 juta ton dan pada tahun 2025, konsumsi CPO dunia diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton (Susila, 2001). Sedangkan menurut perkiraan International Rubber Study Group (IRSG), pada tahun 2020 dengan proyeksi permintaan karet dunia mencapai 10.9 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar sembilan persen, akan terjadi kekurangan pasokan karet bila produksi karet tidak mengalami pertumbuhan yang tinggi (di atas sembilan persen). Dengan demikian pengembagan kedua komoditi ini memiliki masa depan yang cerah.

Perdagangan hasil produksi komoditi kelapa sawit dan karet dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional. Dengan perdagangan

internasional dapat meningkatkan pemberdayaan sumberdaya domestik di suatu negara, sebagai sarana pelepasan atau penyaluran surplus bagi komoditi pertanian dan sebagai sumber devisa utama yang pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi (Prabowo, 2006). Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekspor komoditas pertanian tahun 2005, 2006, dan 2007 secara berurutan adalah sebesar 3.69 persen, 18.25 persen, dan 22.21 persen (BPS, 2008).

Tabel 1. Neraca Ekspor Impor Sektor Pertanian Indonesia

No 2006 2007 2008

Subsektor Nilai (USD) Nilai (USD) Nilai (USD) 1 Tanaman Pangan Ekspor 264 154 289 049 231 690 Impor 2 568 454 2 729 147 2 455 255 Neraca (2 304 300) (2 440 098) (2 223 565) 2 Tanaman Hortikultura Ekspor 238 064 254 765 294 134 Impor 527 414 795 121 693 792 Neraca (289 350) (540 356) (399 658) 3 Tanaman Perkebunan Ekspor 13 972 064 19 964 870 18 968 369 Impor 1 675 067 2 731 627 3 113 710 Neraca 12 296 997 17 233 243 15 854 659 4 Peternakan Ekspor 388 939 748 531 782 992 Impor 1 190 396 1 695 459 1 653 914 Neraca (801 457) (946 928) (870 922) 5 Pertanian Ekspor 14 863 221 21 257 215 20 277 185 Impor 5 961 331 7 951 354 7 916 671 Neraca 8 901 890 13 305 861 12 360 514

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan devisa dapat dilihat dari kontribusi sektor tersebut dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data departemen pertanian pada kurun waktu 2006-2008 ekspor komoditi pertanian yang terbagi dalam empat subsektor yaitu: subsektor tanaman pangan, hortikultura,

5

perkebunan, dan peternakan mengalami kecendrungan semakin meningkat. Dari keempat subsektor, subsektor tanaman perkebunan memberikan kontribusi terbesar dalam ekspor komoditi pertanian.

Neraca ekspor dan impor sektor pertanian pada Tabel 1, selama kurun waktu 2006-2008 mengalami surplus neraca perdagangan. Hal ini menunjukan bahwa kinerja sektor pertanian benar-benar tumbuh dan mampu memberikan kontribusi dalam perbaikan neraca perdagangan non migas. Dari keempat subsektor, hanya subsektor tanaman perkebunan yang menyandang status ”net exporter” dimana nilai

ekspor melebihi nilai impor. Ini tidak terlepas dari peranan komoditi kelapa sawit dan karet dimana jumlah ekspornya mencapai 62 persen dari total ekspor subsektor tanaman perkebunan.

Dokumen terkait