• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Internasional dalam Pencegahan Praktek Illegal fishing

Secara teoritis, model pencegahan illegal fishing telah dikembangkan dan dipopulerkan oleh Kuperan dan Sutinen (1998) berdasarkan model-model serupa yang dikembangkan sebelumnya oleh Becker (1968); Stiegler (1971) tentang aspek-aspek ekonomi yang menentukan keputusan seseorang untuk melanggar atau tidak melanggar peraturan demi kepentingan pribadi.

Model yang dikembangkan Kuperan dan Sutinen (1998) untuk menguji keputusan nelayan dalam mematuhi atau melanggar keputusan zona penangkapan di Malaysia. Model ini juga digunakan untuk menguji hal yang sama di Philipina dan Indonesaia (Kuperan et al. 1997). Setelah diadopsi dari kasus pelanggaran zona penangkapan ikan ke praktek illegal fishing secara umum bahwa, seseorang nelayan atau perusahaan penangkap ikan, untuk mematuhi atau melanggar peraturan dapat digambarkan dalam suatu model pencegahan praktek illegal fishing. Model ini dikenal dengan Model Dasar Pencegahan IUU (illegal,

unreported and unregulated) yang dapat digambarkan seperti pada persamaan berikut:

VIOLT = ƒ(CPUEI, CPUEN, PROB) dimana :

VIOLT : sama dengan 1 jika nelayan atau perusahaan perikanan melakukan praktek perikanan IUU atau sama dengan 0 jika tidak melakukan praktek perikanan IUU

CPUEI : produktivitas (catch per unit effort) jika melakukan praktek perikanan IUU

CPUEN : produkticitas (catch per unit effort) jika tidak melakukan praktek perikanan IUU

PROB : total peluang nelayan atau perusahaan perikanan diketahui melakukan praktek perikanan IUU, ditangkap dan dihukum jika terbukti melanggar peraturan.

Hingga saat ini, secara internasional, berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka mengatasi praktek illegal fishing. Kronologis upaya dunia internasional dalam mengatasi illegal fishing adalah sebagai berikut:

(1) Pada tahun 1992, International Conference on Responsible Fishing di Cancun, Meksiko, mengadopsi Cancun Declaration, yang intinya meminta FAO menyusun suatu petunjuk internasional yang bernama Cod of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Sebagai tindak lanjut, United Nations Conference on Sustainable Development (UNCED) yang dilakukan di Rio, Brasil, menghasilkan dokumen Agenda 21. Pasal 12 Agenda 21 ini menegaskan masalah perikanan IUU, praktek perubahan berndera kapal dalam rangka menghindari pengawasan serta kurangnya kerjasama antar negara dalam mengelola perikanan laut lepas (high seas).

(2) Pada tahun 1995, PPB menyetujui UN Fish Stock Agreement dan pada tahun tersebut FAO mengeluarkan CCRF. CCRF mencakup pengelolaan seluruh sumberdaya perikanan sedangkan UN Fish Stock Agreement lebih fokus pada pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan di laut lepas.

(3) Pada tahun 1997, pertemuan CCAMLR merupakan pertemuan yang pertama kali menggunakan istilah perikanan IUU (illegal, unreported and unregulated fishing). Sejak saat itu, perikanan IUU digunakan luas dikalangan CCAMLR sendiri maupun organisasi dunia lainnya seperti FAO, IMO, CCSBT, IOTC, ICCAT, NAFO dan NEAFC.

(4) Pada tahun 1999, sidang PBB mengadopsi Resolusi 54/32 tentang pengentasan perikanan IUU

(5) Pada tahun 2002, pertemuan Word Summit tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, memutuskan IPOA (International Plan of Action) tentang perikanan IUU yang sudah harus dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama pada akhir 2004.

(6) Pada tahun 2005, dilakukan konferensi tentang Governance of High Seas Fisheries and the UN Fish Agreement di Newfoundland and Labrador, Kanada. Konferensi ini pun berupaya untuk mempercepat aksi negara-negara di dunia dalam mengentaskan perikanan IUU, terutama di laut lepas.

Berbagai upaya sistematis yang dilakukan negara-negara maupun badan internasional, namun pada kenyataannya, praktek illegal fishing belum bisa sepenuhnya dipadamkan. Rencana aksi dengan berbagai pendekatan masih harus terus dilaksanakan. Demikian pula dengan berbagai pihak, terutama produsen, pedagang, dan konsumen ikan dan produk perikanan, serta LSM perlu diikutsertakan. Dengan begitu, diharapkan praktek illegal fishing dapat diminimalkan.

Berdasarkan hasil analisis fonomena perkembangan kebijakan internasional dalam penanggulangan illegal fishing, Nikijuluw (2008) menyebutkan setidaknya terdapat ada 4 pendekatan yang selama ini ditempuh untuk mencegah dan membasmi praktek perikanan IUU yaitu:

(1) Regulasi perdagangan

Regulasi perdangangan merupakan pendekatan yang ampuh dalam mengatasi dan meniadakan praktek perikanan IUU. Biar bagaimanapun, ikan yang ditangkap lewat illegal fishing harus dipasarkan di pasar domestik maupun internasional. Oleh karena itu, jika perdagangan diperketat, dikelola atau diatur dengan baik agar supaya pasar tidak menerima produk atau

komoditas yang dihasilkan melalui dara IUU itu, dengan sendirinya hal tersebut berdampak ke belakang, yaitu menekan praktek penangkapan dengan cara IUU.

Ada 4 mekanisme pengaturan pasar atau perdagangan dalam rangka mencegah praktek perikanan IUU yaitu:

1) Deklarasi asal produk atau yang dikenal dengan Rules of Origin (ROO) adalah skema yang pada hakekatnya mengharuskan negara penghasil atau produsen mendeklarasikan asal-usul produk yang diperdagangkan. Mekanisme ini telah dilakukan baik di AS maupun UE. Di AS, setiap pedagang eceran wajib memberitahukan asal-usul produk yang dijualnya termasuk produk yang dimaksud diproduksi dengan cara penangkapan atau budidaya. Sementara itu di UE, seluruh produk perikanan harus memiliki label yang diantaranya tertera informasi tentang negara asal produk serta cara produks tersebut dihasilkan.

2) Kewajiban produk atau komoditas yang diperdagangkan melalui asas yang dapat ditelusuri (traceability), yaitu kemampuan menelusuri proses produksi, pengolahan, dan distribusi suatu produk. Skema traceability ini pun dapat menjadi alat untuk mencegah masuknya produk perikanan hasil praktik IUU ke pasar internasional. Meskipun produk perikanan yang dihasilkan melalui cara IUU tidak akan secara terus terang dideklarasikan oleh pelakunya, namun produk yang tidak dideklarasikan proses produksinya akan mengalami kesulitan dalam pemasaran dan perdagangan.

3) Kewajiban melakukan dokumentasi ikan hasil tangkapan (catch documentastion), yaitu keharusan bagi setiap negara produsen untuk melakukan pencatatan rutin terhadap seluruh produksi perikanannya. Pencatatan ini dilakukan secara sistematis dengan didampingan atau dipantau oleh pengamat (observer) di pelabuhan-pelabuhan perikanan. Laporan dari observer dan dokumentasi hasil tangkapan menjadi dokumen penting untuk menyakinkan pembeli dan konsumen internasional bahwa produk dihasilkan melalui cara-cara yang benar.

4) Kewajiban memiliki sertifikat produk. Salah satu sertifikat produk yang umu digunakan saat ini adalah skema ecolabelling. Ecolabelling adalah sertifikat yang diberikan kepada produk-produk yang produksinya tidak memiliki dampak, atau dampak yang tidak merugikan, terhadap lingkungan. Dengan asusmsi bahwa produk perikanan IUU umumnya dihasilkan dengan cara-cara yang tidak mengindahkan keberlanjutan lingkungan dan sumberdaya, skema ecolabelling dapat juga mencegah maraknya perikanan IUU.

Keberhasilan mekanisme perdagangan yang kontra terhadap perikanan IUU sebagaimana dijelaskan di atas, sangat tergantung juga pada komitmen pemangku kepentingan seperti importir, penyedia jasa angkutan (transshipment), pedagang, pemasok sarana perdagangan, pengelola bank, pengelola asuransi, serta publik sebagai konsumen. Pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan harus mengambil aksi dan tindakan untuk meningkatkan kesedaran publik tentang dampak dan akibat praktek perikanan IUU. Pemerintah juga harus mendorong dan mengarahkan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan praktek perdagangan yang benar dengan cara menjauhkan diri dari semua tindakan yang mendukun praktek perikanan IUU.

(2) Peningkatan peran swasta

Lembaga swasta atau non-pemerintah dapat memiliki peran signifikan dalam mengatasi masalah perikanan IUU. Sebagai contoh adalah MSC (Marine Stewardship Council) yaitu organisasi independen, tidak mencari keuntungan, berskala internasional dan bermarkas di London. MSC mendorong industri pengolahan perikanan yang bersertifikat. Bekerjasama dengan Unilever, 46% bisnis perikanan Unilever di UE adalah ikan-ikan yang bersertifikat olej MSC. Demikian pula Wal-Mart yang gerainya tersebar di 24 negara berkomitmen menjual ikan yang sudah bersertifikat. Namun harus diakui bahwa tidak banyak perusahaan swasta memiliki komitment seperti itu.

Di negara berkembang yang kontrol konsumen atau lembaga konsumennya masih sangat terbatas, sangat sulit untuk mencari perusahaan swasta yang memiliki komitmen untuk melawan perikanan IUU. Perusahaan

lokal umumnya tidak peduli dengan hal itu. Lain halnya dengan perusahaan- perusahaan swasata di Eropa dan AS umumnya menunjukkan sikap tegas anti perikanan IUU meskipun kebijakan kolektif asosiasi industri perikanan ini belum sepenuhnya diikuti oleh seluruh anggota.

(3) Peningkatan peran pemerintah

Peran pemerintah sangat penting dalam meniadakan, memerangi dan mencegak praktek perikanan IUU. Tanpa peran pemerintah, mustahil dapat mengentaskan praktek perikanan IUU. Ketika pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat, sektor swasta dan pasar dapat berfungsi dan berperan secara baik dalam mengentaskan perikanan IUU.

Dalam hal kegiatan MCS (monitoring, controling and surveilling), pemerintah seyogyanya melakukan secara komprehensif dan efektif sejak dimulainya hingga berakhirnya suatu kegiatan penangkapan ikan. Kegiatan MCS tersebut harus mencakup aspek-aspek berikut:

1) Merumuskan dan mengimplementasikan skim yang mengatur tentang akses ke sumberdaya dan daerah penangkapan ikan. Skema ini harus mencakup juga pengaturan tentang otorisasi (atau izin) bagi kapal penangkapan ikan. Surat penangkapan ikan harus disimpan dan dibawa pada saat operasi penangkapan ikan. Otorisasi ini sekurangnya memuat informasi tentang: nama kapal, daerah penangkapan, jenis ikan, jeni alat tangkap, dan masa berlaku otorisasi itu.

2) mengembangkan sistem pelaporan semua kapal, termasuk nama pemilik saat ini serta nelayan (operator) yang dikuasakan melakukan operasi penangkapan ikan

3) Menjalankan MCS melalui Vessel Monitoring System (VMC) sesuai dengan standar nasional, regional dan internasional, termasuk syarat-syarat untuk semua kapal ikan yang berada di dalam perairan jurisdiksinya untuk mamasang VMS di atas kapal.

4) Mengembangkan dan mengimplementasikan program observer (pengamat independen di atas kapal) termasuk mengharuskan penempatan observer di semua kapal ikan yang beroperasi di perairan yurisdiksinya.

5) Mengembangkan pelatihan dan pendidikan bagi semua pihak yang ikut melaksanakan MCS

6) Mempromosikan dan mengembangkan pemahaman dan pengetahuan di kalangan industri tentang pentingnya MCS seperti partisipasi mereka dalam mengatasi perikanan IUU

(4) Peningkatan peran RFMO

Kerjasama regional, diantara negara-negara dalam suatu kawasan, bisa merupakan cara efektif dalam mengatasi perikanan IUU. Kerjasama tersebut bisa dalam bentuk atau konteks organisasi perikanan regional atau RFMO (Regional Fisheries Management Organization). Melalui kerjasama regiaonal, kapasitas masing-masing negara dalam memerangi perikanan IUU dapat ditingkatkatkan, disamping itu dapat ditujukan untuk membangun sistem, komitmen dan pengaturan bersama yang berlaku di kawasan. Penggabungan dan pengelolaan bersama sumberdaya pengawasan yang dimiliki masing- masing negara akan membuat kemampuan patroli dan pengawasan lapangan lebih meningkat yang akhirnya dapat mengurangi perikanan IUU.

Sepuluh RFMO yang cukup besar dan banyak kegiatannya dalam pencegahan perikanan adalah sebagai berikut:

1) Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) 2) Indian Ocean Tuna Commission(IOTC)

3) Commission for Consevation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Westerniand Central Pacific Ocean, sering disingkat dengan Westerniand Central Pacific Fisheries Commission (WOCFC)

4) Commission for the Conservation of AntarcticMarin Living Resources (CCAMLR)

5) International Commission for the Conservation og Atlantic Tuna (ICCAT0 6) Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO)

7) North-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC)

8) General Fiheries Commission for the Mediterranean (GFCM) 9) South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO)

Dokumen terkait