• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Penaggulangan Illegal fishing di Indonesia

Secara umum illegal fishing definisinya yaitu aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh armada penangkapan asing atau armada nasional di wilayah teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami dengan secara sederhana bahwa illegal fishing berarti penangkapan ikan yang dilakukan dengan melanggar aturan yang ada. Dengan kata lain, jika belum ada peraturan yang berlaku, dapat dikatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan tersebut tidak dikatagorikan sebagai illegal fishing. Makna labih jauh menurut Nikijuluw (2008) yaitu bahwa kegiatan penangkapan ikan dapat dikatakan ilegal jika sudah terdapat aturan-aturan tetapi ternyata dalam penerapannya aturan-aturan tersebut tidak efektif ditegakkan di lapangan.

Atas dasar definisi illegal fishing di atas, pembahas lebih jauh mengenai illegal fishing tidak terlepas dari dinamika produk hukum yang berlaku. Di Indonesia ada beberapa payung hukum yang terkait dengan illegal fishing berikut segala problematikanya baik mengenai kelemahan dari segi isi kandungan hukum itu sendiri maupun implementasi penegakan hukumnya. Penjabaran dibawah ini akan menggambarkan roadmap dinamika kebijakan yang digunakan sebagai payung hukum penanggulangan praktek illegal fishing di Indonesia.

4.2.1 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2004

Dalam aspek hukum mengenai illegal fishing, Indonesia telah memiliki payung serta rujukan bagi keseluruhan aturan atau regulasi perikanan yaitu

Undang-Undang RI Nomor 31 tentang Perikanan (UU 31/2004). Dalam UU 31/2004 ini mengatur beberapa hal yaitu:

(1) Pokok-pokok pembangunan perikanan yang berawal dari penataan atau pengelolaan sumberdaya perikanan, pemanfaatan, pengawasan hingga pengolahannya dan pemasaran produk perikanan.

(2) Arahan bagi pembangunan masyarakat perikanan, terutama pemberdayaan masyarakat serta pengembangan usaha perikanan.

(3) Perbuatan atau peristiwa pidana yang dikelompokan menjadi dua katagori yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran perikanan.

(4) Pidana kejahatan dapat terjadi karena:

1) penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif

2) penggunaan metode dan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan

3) kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan 4) perusakan lingkungan perikanan

5) Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan

6) Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan (5) Pidana pelanggaran dapat terjadi karena:

1) membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan menteri

2) pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia

3) mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak memiliki ijin penangkapan ikan, tidak penyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka,m atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan izinnya

4) melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar 5) melakukan penelitian perikanan tanpa izin pemerintah

6) pelanggaran dalam hal jenis, jumlah,dan ukuran alat penangkapan ikan serta alat bantu penangkapan ikan ; daerah , jalur, dan musim penangkapan

ikan; ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch); serta sistem pemantauan kapal perikanan.

Selanjutnya, menurut Siddiq Moeslim (Ketua Masyarkat Perikanan Nusantara) dalam Samudra Edisi 59, (2008) mengemukakan bahwa dari sekian kasus illegal fishing ini hal-hal yang perlu menjadi perhatian antara lain peninjauan terhadap Undang-undang 31 tahun 2004 tentang perikanan dimana setelah UU tersebut belum ada aturan turunan baik PP maupun Permen yang menjabarkan peraturan secara teknis. Kondisi ini menyebabkan terjadi penafsiran yang berbeda dari berbagai pihak terkait. DKP, TNI AL dan Polri sebagai institusi pengawas ternyata mempunyai pandangan yang berbeda terhadap penanganan kasus illegal fishing. Seyogyanya pengawasan hanya ada satu institusi sehingga akan lebih efektif dan fokus dalam penanganannya. Meskipun pada saat ini terdapat Badan Koordinasi Kemamanan Laut (Bakorkamla), namun hanya sebatas koordinasi di tingkat atas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing penegak hukum mempunyai kewenangan dan dasar hukum yang berbeda-beda, padahal obyek atau target yang diperiksa sama. Supaya sistem pengawasan lebih efektif dan efisien, perlu dipertimbangkan pola pengawasan dengan satu aturan dan satu petugas.

4.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006

Dalam perkembangannya, pada bulan Juli 2006, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Seiring dengan dinamika yang ada di lapangan, pada tahun 2008, dilakukan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2006 tersebut meskipun belum berumur 2 tahun. Hal ini sebagai salah satu respon positif pemerintah karena dalam peraturan tersebut ternyata masih terdapat celah bagi para pelaku illagal fishing. Celah tersebut adalah: (1) belum termuatnya klausul tentang dermaga apung dalam peraturan tersebut; (2) klausul yang menyangkut persyarakat membuat industri pengolahan bagi pengusaha yang mendapatkan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) masih sangat longgar. Dermaga apung pada dasarnya berfungsi sebagai tempat kegiatan bongkar muat hasil

tangkapan ikan, namun dermaga apung tersebut sekaligus sebagai tempat rawan terjadinya transhipment atau pemindahan muatan ikan di tengah laut untuk dibawa langsung keluar negeri. Tidak adanya klausul inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku illegal fishing untuk melakukan pembongkaran ikan secara liar dimana dalam praktek di lapangan kapal-kapal tramper yang umumnya berstatus sewa membawa barang berupa bahan bakar minyak dan perlengkapan penangkapan ikan untuk dipasok langsung ke kapal ikan tanpa dilengkapi dokukmen PIB (Pemberitahuan Impor Barang). Sebaliknya, ikan-ikan yang dipindahkan dari kapal ikan dibawa langsung oleh kapal tramper tanpa surat PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang).

Departemen Kelautan dan Perikaan menjelaskan beberapa hal yang perlu disempurnakan dari peraturan tersebut seperti (Samudra Edisi 59, 2008):

(1) dalam hal jumlah kapal yang boleh diimpor atau dibeli tidak dibatasi. Jika hal tersebut tidak dibatasi ada kecenderungan semua kapal berasal dari impor. Dalam penyempurnaan peraturan itu, jumlah kapal yang boleh diimpor hanya 40% dari alokasi yang diberikan, sedangkan sisanya harus dibangun di Indonesia.

(2) jumlah pelabuhan lapor yang dulu bisa empat atau lebih untuk semua kapal. Keadaan ini sering disalahgunakan pelaku usaha sehingga menyulitkan untuk pengawasan. Sekarang aturannya akan diubah untuk kapal impor jumlah pelabuhan lapor dibatasi dua pelabuhan yang lokasinya dekat dengan tempat industri perusahaan tersebut dan dok kapal.

(3) perubahan peraturan dari sisi pendaratan ikan. Jika dulu ikan yang diolah di atas kapal tidak wajib dibongkar dan didaratkan di pelabuhan untuk kemudian diolah. Pada aturan yang baru, setelah diolah di Indonesia selanjutnya baru diperbolehkan untuk diekspor ke negara tujuan yang diinginkan.

(4) Peran perusahaan swasta. Dalam revisi aturan tersebut, DKP berupaya mendorong perusahaan swasta melakukan kegiatan pengolahan ikan baik dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan lain atau membangun usaha pengolahan sendiri.

(5) Pemindahan muatan hasil penangkapan ikan di tengah laut ke kapal pengangkut. Hal ini diperbolehkan asalkan dalam satu group perusahaan atau

manajemen. Namun, kapal angkut ikan tersebut harus tetap mendaratkan ikan di pelabuhan yang sudah ditentukan. Jika ternyata langsung membawa ke luar negeri berarti sudah melakukan pelanggaran.

(6) Kebijakan penentuan cluster atau kapling-kapling kawasan penangkapan ikan. Kapling-kapling tersebut nantinya dilelang kepada perusahaan yang berminat menangkap ikan di daerah tersebut. Jadi satu wilayah kapling dapat dimanfaatkan oleh satu perusahaan. Aturan ini merupakan hal baru yang dimasukkan dalam revisi Peraturan Menteri Nomor 17 tahun 2006.

4.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 Tahun 2006

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun 2006 ini merupakan payung hukum mengenai pembentukan Tim Illegal fishing. Tugas Tim Illegal fishing adalah memberikan masukan atau laporan jika memang ada perusahaan yang tidak membangun industri pengolahan, maka akan diberi teguran. Jika tidak dihiraukan maka akan dilanjutkan dengan pembekuan izin, sampai pencabutan izin.

4.4.1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05 Tahun 2008

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap ini digunakan oleh pemerintah sebagai payung hukum terhadap kebijakan kluster perikanan tangkap.

Pada ketentuan Pasal 74 disebutkan bahwa, pengelolaan perikanan tangkap akan dilakukan secara klaster dengan batasan wilayah sebesar koordinat daerah penangkapan ikan. Pemberlakuan klaster ini direncanakan diimplementasikan dimulai 2010. Pengelolaan secara eksklusif diberikan pada pihak tertentu dengan sistem tender. Gagasan sistem klaster perikanan tangkap akan diterapkan di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu:

(1) WPP-RI 571 meliputiperairan Selatn Malaka dan Laut Andaman;

(2) WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda;

(3) WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat; (4) WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China

Selatan;

(5) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa;

(6) WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali;

(7) WPP-RI 714 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera;

(8) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau;

(9) WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara pulau Halmahera;

(10)WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik; (11)WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor

bagian Timur.

Zonasi perikanan tangkap akan diterapkan mulai dari pinggir pantai sampai melampaui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau di atas 12 mil laut. Menurut Dirjen Perikanan Tangkap DKP (http://hariansib.com, 2009) menyatakan bahwa penetapan klaster atau pengaplingan kawasan perairan akan mendorong pengawasan sumber daya ikan peningkatan kesejahteraan nelayan, keuntungan pengusaha, maupun pendapatan negara. Ditegaskan pula bahwa aturan baru itu sebenarnya memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha perikanan tangkap secara lebih adil, yaitu dengan dilakukan pembatasan jangka waktu berlakunya SIUP yang sebelumnya berlaku selama perusahaan menjalankan usahanya, menjadi selama 30 tahun dan dapat diperpanjang. SIUP yang selama ini identik dengan pembagian alokasi menjadi tidak dikuasai oleh pelaku usaha tertentu, akan tetapi dapat diberikan kepada pelaku usaha yang lain. Selain itu, jangka waktu realisasi SIUP juga dibatasi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi SIUP atau alokasi yang idle. Disamping itu, pelaksanaan pengawasan terhadap illegal fishing juga diharapkan akan lebih efektif karena berada dalam pengawasan pemerintah daerah yang bersangkutan. Kewajiban untuk melaporkan

ikan hasil tangkapan yang tidak harus didaratkan kepada pengawas perikanan setempat akan diatur di Peraturan Menteri.

Selanjutnya, Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan (PUPI) Departemen Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa hak eksklusif pengelolaan ke pihak tertentu tidak akan mengesampingkan hak ekonomi dan sosial masyarakat. Pengelolaan dapat dilakukan bersama oleh pemerintah dan swasta, atau swasta dan masyarakat. Pengelola kluster perikanan tangkap wajib mengukur potensi sumber daya ikan, reproduksi, dan memperhitungkan volume tangkapan bagi perikanan yang berkelanjutan. Pemberlakuan kluster perikanan, akan memberikan pemasukan berupa pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Kebijakan DKP tersebut dianggap sebagai kebijakan yang cukup kontroversial oleh berberapa pakar dan aktivis bidang perikanan, diantaranya adalah:

(1) Daniel Monintja (guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) menyatakan bahwa Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali secara matang dampak penetapan kluster penangkapan ikan terhadap usaha kecil di wilayah itu (Kompas, 10 Juli 2009)

(2) Rokhmin Dahuri (guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) menegaskan bahwa pengavlingan laut ini berbahaya karena pengusaha yang memenangi tender belum diketahui track record-nya. Pemenang tender kemungkinan besar akan memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk melakukan eksploitasi besar-besaran sementara nelayan tradisional tidak diberikan kesempatan. Aturan yang mewajibkan pembangunan industri pengolahan juga berpotensi dilanggar (http://hariansib.com)

(3) Riza Damanik (Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) berpendapat bahwa pembentukan klaster perikanan tangkap mencederai semangat desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan perikanan. Proses mengatasi illegal fishing juga akan semakin sulit dilakukan karena peran negara dan partisipasi aktif nelayan dalam mengelola sumber daya laut semakin tersisih (http://hariansib.com) (4) Shidiq Moeslim (Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara), berpendapat bahwa

penguasaan daerah tangkapan oleh segelintir pelaku usaha besar yang memiliki sarana dan armada tangkap yang lengkap. Namun, di sisi lain, ruang gerak usaha nelayan lokal akan makin sempit. Pemberlakuan kluster mengancam keberlangsungan sumber daya ikan dan menempatkan nelayan kecil semakin terpinggirkan. Ditegaskan pula bahwa penguasaan kawasan tangkap secara eksklusif akan menyulitkan pemerintah melakukan pengawasan perairan. Apalagi, penangkapan ikan di perairan Laut Arafura saat ini sudah berlebihan (overfishing). Pemerintah seharusnya berkonsentrasi mengatasi hal itu, dengan menertibkan perizinan tangkapan dan pengawasan perairan daripada membuka peluang bagi bentuk usaha monopoli baru dan legalitas penjarahan ikan (Kompas, 10 Juli 2009)

(5) Komisi IV DPR RI (Arifin Djunaedi) meminta agar DKP mengkaji ulang rencana penerapan kluster perikanan tangkap untuk pengelolaan perikanan, karena dikhawatirkan merugikan nelayan tradisional. Pembentukan kluster perikanan tangkap dengan pemberian hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola perikanan di suatu kawasan bertolak belakang dengan upaya peningkatan kemampuan nelayan tradisional. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengamanatkan bahwa negara menjamin setiap warga negara memiliki akses yang sama untuk menangkap ikan di perairan Indonesia (http://www.indonesi aboat.com).

4.4.2 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009

UU No 45 Tahun 2009 ini merupakan revisi dari UU No 31 Tahun 2004 yang disahkan pada bulan September 2009. Undang-undang tersebut sangat responsif terhadap pemberantasan illegal fishing dan membuka peluang bagi aparat penegak hukum untuk menghibahkan kapal-kapal asing yang terbukti bersalah untuk diberikan pada kelompok nelayan atau koperasi nelayan.

Beberapa kelompok nelayan telah secara resmi mengajukan permohonan hibah. Bahkan ada juga yang mengusulkan beberapa kapal canggih dapat diserahkan kepada pihak TNI-AL atau kepolisian sebagai kapal patroli (Sularso 2009).

Berdasarkan catatan DKP pasca September, telah terjaring kurang lebih 48 kapal asing yang berpotensi untuk dihibahkan/dilelang dan terdapat 31 kapal yang memungkinkan untuk dihibahkan sesuai undang-undang yang baru. Undang- undang baru ini tidak berlaku surut, sisa kapal lainnya tidak bisa dihibahkan dan akan dilakukan proses lelang karena mereka ditangkap sebelum UU baru diterbitkan.

Undang-undang 45 tahun 2009 tersebut adalah senjata mutakhir untuk memberantas tindak illegal fishing oleh kapal asing. Hal ini selaras dengan target nol kasus illegal fishing kapal asing pada tahun 2015. Namun undang-undang ini tidak akan berarti tanpa ada dukungan dan kerjasama dari aparat terkait. UU tersebut akan efektif jika adanya dukungan politik dari DPR-RI, kerjasama dan pemahaman tentang substansi undang-undang mulai dari level penyidik, jaksa hingga hakim. DPR-RI telah menjalankan perannya ketika mendesak program- program pemerantasan illegal fishing sebagai prioritas dalam 100 hari. Hakim dan jaksa djuga diharapkan jeli untuk memasukkan tuntutan hibah kapal ke proses persidangan. Hakim harus berani memberikan bentuk sanksi tegas dan jangan sampai terjadi lagi kasus illegal fishing dipeti eskan.

Dokumen terkait