• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kebijakan penanggulangan illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kebijakan penanggulangan illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA

ARIFIN NEKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Penanggulangan Illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2010

(3)

ABSTRACT

ARIFIN NEKA, Policy Analysis for Reduction of Illegal fishing in North Halmahera Regency. Supervised by EKO SRI WIYONO and DANIEL R. MONINTJA

A research on Illegal fishing was done in North Development of Fisheries Judicial System North Halmahera Regency from June up to November 2009. The aims of the research were to identify the types of illegal fishing violations, identifying regions and countries of the illegal fishing violator, and then develop an appropriate policy strategy for the prevention of Illegal fishing in the North Halmahera waters. The research involved internal and external strategy factors toward the work on fishing and aqua culture the prevention of Illegal fishing. The result shows that the illegal fishing violations in North Halmahera waters was practiced by foreign fishermen (Philippine Citizen) is a violation of the requirement or standard operating procedure of fishing, while types of violations by Indonesian fishers are not having a driver's license Fishing. Results of SWOT and AHP analysis shows that the policy priorities for the prevention of illegal fishing are : (1) Development of monitoring system; (2) Development of Fisheries Judicial System; (3) Increasing regional and international cooperation; (4) Licensing system improvement; (5) Regionalization of Fisheries Management; (5); (6) Development of integrated fishery industry; (7) People Fisheries Development.

(4)

Kabupaten Halmahera Utara. Dibawah bimbingan EKO SRI WIYONO dan DANIEL R. MONINTJA.

Kabupaten Halmahera Utara termasuk wilayah yang berbatasan dengan negara lain yakni Philipina. Permasalahan yang sering dihadapi sebagai wilayah perbatasan, baik persoalan yang muncul sebagai akibat politik, sosial budaya maupun ekonomi. Isu yang dihadapi perairan Halmahera Utara yang paling menonjol adalah masalah pencurian potensi sumberdaya laut atau yang dikenal dengan illegal fishing, baik yang dikenal dengan oleh kapal-kapal asing maupun wilayah daerah lain. Kebijakan mengatasi illegal fishing masih belum optimal, karena sampai sekarang masih marak kegiatan illegal fishing di Laut Halmahera. Bertolak dari kenyataan tersebut, untuk mengetahui sejauhmana efektifitas kebijakan mengatasi terhadap illegal fishing dan bagaimana solusi alternatif kebijakan mengatasi illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara maka diperlukan penelitian Analisis Kebijakan Penanggulangan Illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran illegal fishing; mengidentifikasi daerah dan negara-negara pelanggar (pelaku illegal fishing); dan menyusun strategi kebijakan yang tepat untuk penanggulangan illegal fishing di perairan Halmahera Utara.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan metode analisis meliputi: (1) analisis deskriptif, digunakan untuk mengetahui jenis-jenis pelanggara, jumlah pelanggaran, dan negara pelanggar; (2) analisis SWOT (Strength –Weaknes, Opportunity-Threat), digunakan untuk merumuskan strategi kebijakan yang tepat dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalisir kelemahan dan ancaman; dan (3) QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix), digunakan untuk menentukan skala prioritas strategi kebijakan digunakan analsis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis pelanggaran praktek illegal fishing di perairan Halmahera Utara yang dilakukan oleh nelayan asing (Warga Negara Philipina) adalah pelanggaran persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan, sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka warga negara Indonesia berupa pelanggaran tidak memiliki Urat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI). Penanganan illegal fishing dapat dilakukan dengan fokus pada strategi diversifikasi artinya harus melakukan diversifiksi jenis kegiatan penanggulangan illegal fishing, karena kekuatan yang dimiliki cukup untuk mengatasi ancaman yang ada.

(5)

sistem peradian perikanan; (3) Peningkatkan kerjasama regional dan Internasional; (4) Perbaikan sistem perijinan; (5) Regionalisasi pengelolaan perikanan; (6) Pengembangan industri perikanan terpadu; (7) Pengembangan perikanan rakyat.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA

ARIFIN NEKA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Kebijakan Penanggulangan Illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara

Nama Mahasiswa : Arifin Neka

NRP : C452070144

Program Studi : Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Kabupaten Halmahera Utara adalah wilayah kepulauan di sebelah selatan Samudra Pasifik yang merupakan korelasi pulau-pulau kecil dan besar berdasarkan UU No.1 Tahun 2003 dan diresmikan pada tanggal 31 Mei 2003 dengan ibukota di Tobelo.

Berdasarkan letak geografis, Halmahera Utara termasuk wilayah yang berbatasan dengan negara lain yakni Philipina. Permasalahan yang sering dihadapi Halmahera Utara sebagai wilayah perbatasan, baik persoalan yang muncul sebagai akibat politik, sosial budaya maupun ekonomi. Permasalahan ekonomi umumnya berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam habis batas, terutama pemanfaatan sumberdaya perikanan. Banyak masalah yang muncul di seluruh perairan perbatasan Indonesia termasuk perairan Halmahera Utara.

Masalah-masalah yang muncul di perairan Halmahera Utara yang paling menonjol adalah masalah pencurian-pencurian potensi sumberdaya laut atau yang dikenal dengan illegal fishing, baik yang dikenal dengan oleh kapal-kapal asing maupun wilayah daerah lain.

Penelitian ini dibuat sebagai bahan dasar dalam pengembangan penelitian dan menjadi konsepsi teoritis yang penting untuk dibuktikan melalui penelitian dengan bantuan dan bimbingan para dosen pembimbing. Oleh karena itu, melalui tulisan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para dosen dan Komisi pembimbing.

Demikian juga Bapak Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor dan Pengelola Mayor Sistem dan Permodelan dan Perikanan Tangkap.

Bogor, November 2010

Arifin Neka

(11)

Halaman

2.1 IUU (Illegal Unreported and Unregulated) Perikanan... 8

2.2 Kegiatan Pemanfaatan dan Pengembangan Perikanan. ... 13

2.3 Konsep Strategi ... 14

2.4 Kebijakan ... 15

2.4.1 Definisi... 15

2.4.2 Kebijakan perikanan nasional ... 16

2.4.3 Kebijakan perikanan international ... 18

2.4.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)... 19

2.5 Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional ... 21

2.6 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ... 22

2.7 SWOT ... 23

2.8 Kondisi Kawasan Perbatasan ... 24

2.8.1 Kondisi umum... 24

2.8.2 Isu penanganan kawasan perbatasan... 25

2.8.3 Tantangan pengembangan kawasan perbatasan... 25

3 METODOLOGI ... 27

3.3.3 Analytical hierarchy process (AHP) ... 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Perairan Halmahera Utara ... 37

(12)

4.4.1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05

Tahun 2008 ... 46

4.4.2 Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ... 49

4.5 Kebijakan Internasional dalam Pencegahan Praktek Illegal fishing... 50

4.6 Aspek penting penyebab illegal fishing... 57

4.6.1 Aspek sumberdaya ikan dan lingkungan... 57

4.6.2 Aspek hukum dan politik ... 58

4.6.3 Aspek ekonomi ... 60

4.7 Identifikasi Praktek Illegal fishing di Perairan Halmarena Utara ... 62

4.8 Analisis Strategi Kebijakan Penanggulangan Illegal fishing di Perairan Halmahera Utara ... 69

4.8.1 Analisis faktor internal... 69

4.8.2 Analisis faktor eksternal... 75

4.8.3 Analisis alternatif strategi ... 78

4.8.4 Penentuan alternatif strategi... 77

4.9 Prioritas Kebijakan Penanggulangan Illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara ... 81

4.9.1 Level kriteria ... 82

4.9.2 Level sub kriteria... 83

4.9.4 Level alternatif kebijakan... 84

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran... 93

DAFTAR PUSTAKA... 94

(13)

1 Skala penilaian perbandingan ... 33 2 Matriks untuk berbanding berpasangan ... 34 3 Perkembangan produksi penangkapan ikan di Kabupaten

Halmahera Utara Tahun 2004-2005... 39 4 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kabupaten Halmahera

Utara tahun 2004 – 2005. ... 40 5 Jumlah unit penangkapan dan jumlah nelayan serta nelayan setiap

kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara Tahun 2004 – 2005... 41 6 Jenis perkara dan putusan pengadilan terhadap kegiatan illegal

fishing di Perairan Halmahera hasil pengawasan KP HIU 005

Tahun 2008. ... 64 7 Kebutuhan pelaku sistem penanggulangan Illegal fishing di

Perairan Halmahera Utara. ... 70 8 Matrik IFAS penanggulangan illegal fishing di Perairan Halmahera

Utara... 74 9 Matrik EFAS penanggulangan illegal fishing di Perairan

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir keberadaan IUU fishing di Indonesia (Sumber:

majalah Samudera edisi 56 thn VI, Februari 2008). ... 13 2 Diagram analisis SWOT (Sumber : Rangkuti, 2001)... 24 3 Hirarki kebijakan penanggulangan illegal fishing di Kabupaten

Halmahera Utara ... 32 4 Diagram Lingkar Sebab Akibat Sistem Penanggulangan Illegal

fishing di Perairan Halmahera Utara. ... 73 5 Diagram input output sistem penanggulangan illegal fishing di

Perairan Halmahera Utara. ...Error! Bookmark not defined.9 6 Diagram analisis SWOT. ... 79 7 Nilai prioritas dan inconsistency ratio level aktor ... 82 8 Nilai prioritas kebijakan penanggulangan illegal fishing di

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian ... 96

2 Penilaian responden terhadap kekuatan dan kelemahan penanggulangan illegal fishing di Halmahera Utara ... 97

3 Penilaian responden terhadap peluang dan ancaman penanggulangan illegal fishing di Halmahera Utara ... 98

4 Kapal-kapal illegal fishing yang tertangkap di Halmahera Utara ... 99

5 Peta administrasi Kabupaten Halmahera Utara ... 100

6 Peta Bathymetri perairan laut Kabupaten Halamhera Utara... 101

7 Peta ekosistem pesisir Kabupaten Halmahera Utara ... 102

8 Rencana alur pelayaran Kabupaten Halmahera Utara ... 103

9 Peta zona pengembangan perikanan tangkap Kabupaten Halmahera Utara... 104

10 Peta rencana pengembangan prasarana perikanan tangkap Kabupaten Halmahera Utara... 105

11 Peta zona pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Halmahera Utara... 106

12 Peta rencana pengembangan industri pengolahan hasil perikanan Kabupaten Halmahera Utara... 107

(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan jalur lalu lintas pelayaran Internasional. Sumber daya laut yang terkandung di dalamnya sangat potensial, baik untuk bahan industri kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya.

Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia seluas 5.866 juta km2, sangat mungkin bila sektor ini diharapkan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia di masa depan. Berdasarkan letak geografis, negara Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga yaitu: India, Tailand, Malaysia, Singapura, Philipina, Papua New Guinea (PNG), Timor Leste, Australia dan Vietnam.

(17)

Food and Agriculture Organisation ( FAO ) pada tahun 2001 merumuskan satu panduan khusus untuk membantu mengatasi kegiatan IUU fishing di samudra dunia, panduan tersebut ( Internasional Plan of Action to Prevent , Determine and Eliminate IUU-fishing ( IPOA-IUU fishing pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan IUU-fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya perikanan yang komprehensip, terintegrasi, efektif, transparan serta memperhatikan kelestarian sumber daya bagi negara-negara perikanan dinia. Panduan tersebut disepakati oleh Commite on Fiseries ( COFI ) dari FAO secara konsensus pada tahun 2001. Dokumen dimaksud pada bagian awalnya berisikan pemahaman mengenai arti dan istilah ( Illegal , unreported dan unregullated ). Istilah atau definisi perikanan IUU :

1) Kegiatan perikanan yang termasuk kategori illegal adalah kegiatan penangkapan ikan yang :

( 1 ) Dilakukan oleh kapal-kapal nasional maupun kapal asing di perairan dalam yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut ataupun bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut.

( 2 ) Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konserfasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut, ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional yang berllaku lainnya yang relevan; atau

( 3 ) Bertentangan dengan hukum nasional ataupun kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dianut oleh negara-negara yang mengatakan kerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait.

2) Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori ( unreported ) mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang ;

(18)

mana bertentangan dengan hukum dan per-undang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau

( 2 ) Dilakukan dalam wilayah , dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut.

3) Definisi yang termasuk kegiatan perikanan yang termasuk kategori (unregulated ) mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang;

( 1 ) Di area dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan program-program pengelolaan dari organisasi tersebut; atau

( 2 ) Di area atau terhadap stok yang tiidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara ( bendera ) terhadap ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. Beberapa kegiatan penangkapan ikan yang tidak di ataur ( unregulated ) diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku.

IPOA-IUU fishing dipandang sebagai suatu kumpulan instrumen yang berguna untuk menghadapi masalah IUU fishing . Sudah barang tentu tidak semua instrumen tersebut akan sesuai digunakan di berbagai situasi dan ditiap perairan. Oleh karena itu, kehadiran panduan tersebut diharapkan dapat;

1.Membantu negara-negara anggota FAO untuk lebih mengenal berbagai instrumen yang tersedia.

2.Memberi saran tentang instrumen yang sesuai dengan situasi dan kondisi perairan tertentu dan kondisi negara.

3.Memberi arahan tentang bagaimana menggunakan instrumen tersebut secara efektif.

(19)

sesegera mungkin namun tidak lebih dari 3 tahun sejak dokumen tersebut diadopsi. Illegal , Unreported, and Unregulated (IUU fishing) merupakan permasalahan global (menjadi isu internasional) dalam pembangunan kelautan dan perikanan . Kegiatan IUU fishing mengakibatkan kerugian ekonomi, kerugian sosial, rusaknya terumbu karang, berkurangnya jumlah ikan dunia secara signifikan dan menyulitkan upaya negara-negara dalam pengelolaan sumber daya perikanan di laut yang berada dalam yurisdiksinya. Menurut catatan The Food and Agriculture Organization ( FAO ) jumlah IUU fishing diperkirakan seperempat dari jumlah total penangkapan ikan duniadengan kecendrungan jumlah yang terus meningkat dari sisi kwantitas maupun cakupannya.

Pada tahun 1999 FAO telah merumuskan upaya-upaya penanganan permasalahan IUU fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action (IPOA) dengan tetap mengacu pada Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) disamping itu dunia internasional telah pula menyelenggarakan beberapa konvensi internasional yang melibatkan negara-negara di dunia dalam upaya merumuskan aksi penanggulangan IUU fishing . Karena sifatnya yang luas, ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari konvensi tersebut cenderung masih bersifat sektoral dan lebih terfokus pada kepentingan negara-negara maju ketimbang kepentingan negara berkembang. Disamping itu peraturan dan kebijakan penanggulangan IUU fishing di masing-masing berbeda satu sama lain, sehingga kerapkali memicu terjadinya perbedaan cara pandang dan tindak bagi negara yang Zona Ekonomi Exlusive (ZEE)nya berbatasan langsung.

(20)

sunberdaya ikan tersebut bila dikonversikan dengan produk ikan sekitar 43,208 ton. Produksi tersebut bila dimanfaatkan diperkirakan mampu menyerap sekitar 17, 970 tenaga kerja baik di subsektor perikanan tanggkap, pengolahan, jasa kelautan maupun pendukungnya.

Masalah yang berkaitan dengan IUU fishing di indonesia antara lain disebabkan karena adanya kendala-kendala dalam penanganannya, ( Mukhtar, 2008 ) antara lain ;

( 1 ) Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana dan prasarana dan fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang belum memadai terutama dari sisi kwantitas, belum lengkapnya peraturan per-undang -per-undangan dibidang perikanan , masih lemahnya koodinasi antar aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan , penerapan sistem MCS yang belum sempurna.

( 2 ) belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan izin dan penggandaan izin.

( 3 ) lemahnya Low Enforcement karena wibawa hukum menurun. ( 4 ) ketidakadilan bagi masyarakat.

( 5 ) maraknya pelanggaran dan aktifitas-aktifitas ilegal.

Masalah IUU fishing tersebut umumnya terjadi di wilayah-wilayah perbatasan. Kecenderungan masalah tersebut hususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi dsumber daya yang cukup untuk dimanfaatkan .

(21)

menunjukkan bahwa kawasan perbatasan tidak hanya meliputi wilayah daratan tetapi juga wilayah perairan yang termasuk dalam teritorial negara.

Gambaran uraian singkat di atas masalah di sekitar pulau-pulau terluar, menjadi landasan teoritis tentang IUU fishing, kebijakan regional , nasional maupun internasional tentang IUU fishing untuk mengelola pulau-pulau kecil terluar serta gambaran aktifitas illegal fishing dasar kajian tentang pentingnya penanganan pencegahan perikanan ilegal di sekitar perairan kabupaten halmahera utara dan perairan kabupaten pulau morotai.

ang dapat dikemas dalam perumusan masalah ini adalah :

(1) Terjadinya pencurian ikan atau illegal fishing di perairan Halmahera Utara oleh kapal asing.

(2) Tidak tersedianya pos pengamanan di sekitar daerah perbatasan. (3) Minimnya sarana pengawasan.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, antara lain:

(1) Mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran illegal fishing.

(2) Mengidentifikasi daerah dan negara-negara pelanggar (pelaku illegal fishing).

(3) Menyusun strategi kebijakan yang tepat untuk penanggulangan illegal fishing di perairan Halmahera Utara.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam menangani penanggulangan illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara.

1.4 Hipotesis

(22)

1.5 Kerangka Pemikiran

Menurut Dahuri (2008), kegiatan penangkapan ikan secara ilegal atau dikenal dengan illegal fishing telah merugikan Negara sebesar US$ 4 milyar atau setara Rp 38 trilyun. Oleh sebab itu, harus dilakukan penindakan terhadap IUU Fishing agar kegiatan-kegiatan yang sangat merugikan negara tersebut dapat dikurangi.

Salah satu caranya adalah dengan mengidentifikasi jenis-jenis pelanggaran illegal fishing, mengidentifikasi daerah dan negara pelanggar (pelaku illegal fishing), dan kemudian menyusun strategi kebijakan yang tepat untuk penanggulangan illegal fishing di perairan Halmahera Utara.

(23)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 IUU (Illegal Unreported and Unregulated) Perikanan

Menurut Guru Besar Teknologi Penangkapan Ikan IPB (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr Ir H Ari Purbayanto, MSc (dalam majalah Samudera edisi 56 thn VI, Februari 2008), para nelayan asing lebih memilih mencuri ikan ketimbang harus berinvestasi di sektor perikanan. Hal ini karena iklim investasi indonesia memang belum kondusif, masih banyak pungutan liar yang tidak jelas.

Sistem pengawasan perikanan yang diterapkan pemerintah Indonesia masih lemah. Ditambah adanya oknum petugas atau aparat di lapangan yang cenderung melindungi pelaku pencurian ikan ketimbang menertibkannya. Hal tersebut menambah maraknya aksi kapal asing yang mencuri ikan di Indonesia.

Illegal fishing sendiri merupakan bagian dari IUU (Illegal Unreported and Unregulated) perikanan. Secara umum illegal fishing definisinya yaitu aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh armada penangkapan asing atau armada nasional di wilayah teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unreported fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan data sejumlah hasil tangkapan, lokasi pennagkapan ikan, dan sebagainya kepada pihak yang berwenang, sedangkan unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang belum diatur.

(24)

Departemen Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa penyebab maraknya aktivitas IUU-Fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut :

(1) rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada

(2) terbatasnya kemampuan sarana dan prasarana pengawasan di laut

(3) kemampuan sumberdaya manusia (SDM) nelayan Indonesia yang masih rendah, dan

(4) penegakan hukum yang belum berjalan optimal

Diperkirakan setiap tahun Indonesia menderita kerugian sebesar 2 miliar dollar AS dari adanya kegiatan IUU-Fishing (Nikijuluw 2008). Modus kegiatan illegal fishing di Indonesia umumnya dilakukan oleh kapal-kapal ikan yang dalam pengoperasiannya belum dilengkapi dengan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) maupun Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Kapal-kapal ini sudah pasti tidak melaporkan hasil tangkapannya ke pemerintah termasuk membayar retribusinya. Ada juga kapal-kapal yang memiliki SIUP dan SIPI tetapi tidak mematuhi ketentuan yang tertulis didalamnya yaitu jenis alat tangkap, jalur penangkapan, ukuran Gross Tonage (GT) dan mesin kapal (Darmawan 2006). Kegiatan penangkapan ikan yang termasuk illegal fishing juga adalah penggunaan bahan/alat berbahaya atau penggunaan alat tangkap yang dilarang dilakukan pengoperasiannya di Indonesia ataupun beroperasi pada wilayah yang tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan.

Adapun kasus-kasus kegiatan dengan tidak melaporkan hasil tangkapan/produksi atau melaporkan secara tidak benar dikenal dengan sebutan unreported. Unreported umumnya dilakukan untuk menghindari pungutan retribusi terhadap hasil tangkapannya. Kegiatan penjualan ikan di tengah laut yang tidak didata atau dilaporkan sebelumnya kepada aparat juga termasuk kategori kegiatan unreported fishing. Ikan-ikan yang telah dijual di tengah laut dan langsung di bawa ke luar negeri juga termasuk dalam kategori unreported karena termasuk kegiatan penyelundupan.

(25)

dalam menentukan apakah pelanggaran telah dilakukan oleh aktivitas perikanan yang dicurigai. Disisi lain para pelaku juga memerlukan referensi yang dipahami dengan makna yang sama seperti yang dipahami oleh penegak hukum. Beberapa kegiatan perikanan yang belum diatur adalah pencatatan hasil tangkapan dari sport fishing, penggunaan pemikat ikan (attracting device, adanya ghost fishing dan beberapa aktivitas lainnya (Darmawan 2006).

Pada tahun 2001, FAO berhasil merumuskan satu panduan khusus untuk membantu mengatasi kegiatan IUU-Fishing di dunia. Panduan ini dikenal dengan nama “International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU-Fishing” (IPOA- IUU-Fishing). Pedoman ini disusun untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan IUU-Fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan menyeluruh, terintegrasi, efektif, transparan sera memperhatikan kelestarian sumberdaya bagi Negara-negara perikanan dunia. Dokumen ini untuk bagian awalnya berisikan tentang pemahaman mengenai arti dari istilah illegal, unreported, unregulated, dan selanjutnya berisikan program-proram aksi yang dapat diikuti oleh Negara perikanan di dunia.

Selanjutnya pedoman ini juga berisikan program-program yang dapat dipergunakan oleh Negara untuk memerangi kegiatan IUU Fishing, baik sendiri maupun berkolaborasi dengan negara tetangga maupun dalam lingkup regional.

IUU Fishing merupakan kegiatan perikanan yang sangat merugikan. Praktek IUU Fishing ini sangat mengancam manajemen perikanan yang bertanggungjawab. Menurut Widodo (2003), dalam ZEE dari negara-negara pantai, IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:

(1) Illegal fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan:

1) Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan dibawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari negara itu, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara tersebut.

(26)

melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan; atau yang melanggar hukum nasional, atau kewajiban Internasional, termasuk yang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan.

(2) Unreported fishing, mengacu pada kegiatan penangkapan:

1) Tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar (missreported), kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan.

2) Dilakukan di dalam area di bawah kompetensi sebuah organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.

(3) Unregulated fishing mengacu pada kegiatan penangkapan:

1) Di dalam area suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut, atau oleh suatu fishing entity dengan cara yang tidak konsisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengelolaan dari organisasi tersebut.

2) Di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tiadanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi atas sumberdaya hayati kelautan dibawah tanggung jawab hukum internasional.

Modus praktek IUU Fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia (DKP 2002) termasuk di perairan ZEE dikategorikan dalam 4 golongan, meliputi:

(27)

(2) Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan dokumen. Motif ini cenderung rawan terjadi karena pengaturan mengenai pengalihan pemilikan kapal ikan milik asing ke nelayan lokal yang belum tegas bahkan justru memunculkan celah bagi kegiatan yang ilegal.

(3) Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak yang tidak berwenang mengeluarkan ijin. Kasus ini terjadi karena adanya penyalahgunaan kewenangan.

(4) Kapal ikan Indonesia tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin), meski jumlahnya kecil dan kerugian yang ditimbulkannya diidentifikasi lebih kecil daripada kapal ikan asing namun juga perlu mendapat perhatia khusus.

Kenapa melakukan ilegal fishing di Wilayah Perairan RI?

Kegiatan IUU Fishing ini dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Keberadaan dan faktor-faktor penyebab praktek IUU Fishing di Indonesia dapat di uraikan pada gambar:

Illegal fishing oleh kapal Indonesia

Illegal fishing oleh kapal asing

• Rendahnya produktivitas kapal di negara asal, • Pengembangan Distant Water Fishing oleh

negara-negara maju (peluang pemanfaatan SDI di ZEE negara-negara berkembang-Ratifikasi UNCLOS), • Agar bisa menikmati subsidi BBM

• Tidak ada peluang mendapatkan ijin,

• Menghindari pungutan perikanan kapal asing. Over-exploited

fishing ground

Under-exploited fishing ground

• Tidak ada peluang mendapatkan ijin,

• Menghindari pungutan perikanan

(28)

Gambar 1 Diagram alir keberadaan IUU fishing di Indonesia (Sumber: majalah Samudera edisi 56 thn VI, Februari 2008).

2.2 Kegiatan Pemanfaatan dan Pengembangan Perikanan

(29)

Perikanan sebagai bagian dari pembangunan maritim Indonesia hanya dapat berlangsung dengan baik dan berkelanjutan jika dirancang dan dilaksanakan dengan memperhatikan:

(1) Lingkungan stategi

Beberapa lingkungan strategis yang pembangunan perikanan adalah peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi ikan yang selanjutnya mengarah pada peningkatan permintaan berbagai produk perikanan.

(2) Potensi dan pemanfaatan sumber daya ikan.

Potensi lestari sumberdaya ikan laut menurut laporan tim “stock assessment” adalah sekitar 7,1 juta ton, sedangkan tingkat pengusahaannya adalah masih sangat kecil terutema di wilayah peraran timur Indonesia (Direktorat Jenderal Perikanan 1997).

(3) Permasalahan-permasalahan dalam sistem produksi.

Masalah-masalah tersebut antara lain seperti tidak meratanya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, kegiatan perikanan ilegal serta kerusakan lingkungan.

(4) Ilmu pengetahuan teknologi dan sumberdaya manusia.

Masih kurangnya tingkat pengusahaan IPTEK dan terbatasnya sdm yang mengelola seluruh sistem agribisnis perikanan. Diketahui bahwa negara-negara lain yang justru lebih baik potensi sumberdaya alamnya seperti Jepang, mampu mengembangkan dan menjadikan sektor perikanan sebagai aktor utama pembangunan melalui pengusahaan IPTEK yang baik. (5) Hukum dan kelembagaannya.

Sistem regulasi harus tertata dan tersosialisasikan dengan baik sehingga terintegrasi ke semua elemen yang terkait dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan,

2.3 Konsep Strategi

(30)

dalam Tjiptono (1997), konsep strategi dapar di definisikan berdasarkan perspektif yang berbeda yaitu dari:

(1) Apa yang ingin dilakukan suatu organisasi, dan (2) Apa yang akhirnya dilakukan organisasi.

Berdasarkan perspektif pertama strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan arah dan mencapai tujuan organisasi serta mengimplementasikan misinya. Makna yang terkandung dari strategi ini adalah bahwa orang mengambil keputusan, memainkan perang yang aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi dalam lingkungan yang turbulent dan selalu mengalami perubahan, dan pandangan ini banyak diterapkan berdasarkan perspektif kedua, strategidapat didefinisikan sebagai pola respon organisasi terhadap lingkungan sepanjang waktu. Dalam strategi ini, seseorang mengambil keputusan hanya menggapai dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara pasif dan tidak merumuskan strategi secara eksplisit (Tjiptono 1997).

Konsep strategi menurut Rangkuti (2001), merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitanya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta alokasi sumberdaya. Lebih lanjut Argyris (1985), Steiner dan Miner (1977) dan Mintzberg (1979) yang diacu dalam Rangkuti (2001), mendefinisikan strategi sebagai respons yang secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal secara kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi organisasi.

2.4 Kebijakan

2.4.1 Definisi

Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor politik berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut (Jenkins diacu dalam Julianingsi 2004).

(31)

pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah yang diutarakan (Jones 1977) menurutnya

Kebijakan terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut: (1) Goal atau tujuan yang diinginkan;

(2) Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesfik untuk mencapai tujuan; (3) Program,yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan;

(4) Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; dan

(5) Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).

Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik dan kebijakan privat. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintahan yang legitimate untuk menborong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu atau lembaga swasta). kebijakan publik memiliki 2(dua) ciri pokok, yaitu 1. Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemeritahan dan 2. Bersipat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan privat masyarakat luas (publik). Kebijakan publik adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain (Hogwood Gun, 1996 diacu dalam Julianingsih 2004).

2.4.2 Kebijakan perikanan nasional

(32)

berdasarkan jenis ikan terdiri dari pelagis besar 1,05 juta ton, pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, udang 0,08 juta ton. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB atau TAC (Total Allowable Catch) dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut adalah sebesar 5,01 juta ton/tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari (Departeman Kelautan dan Perikanan,1999). Beberapa jenis ikan telah mengalami gejala tangkap lebih (over fishing) di beberapa perairan nusantara (Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 tahun 2002).

Sumberdaya hayati laut memiliki sifat dapat diperbaharui ,mamun demikan kemampuan untuk pulihnya bersifat terbatas, oleh karnanya, pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang tidak terkendali dapat berdampak pada menurunnya populasi sumberdaya, yang apabila tidak segera direhabilitasi pada gilirannya akan terjadi kelangkaan spesies. Kecenderungan yang terjadi pada negara indonesia saat ini adalah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan semakin besar, sementara disisi lain, tuntutan untuk melestarikan sumberdaya kelautan dan perikanan juga semakin besar sejalan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pelestarian sumberdaya alam (Lampiran Keputusan Menteri Kealutan dan Perikanan No.18 tahun 2002).

Dalam lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.18/MEN /2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2001-2004, disebutkan bahwa departemen kelautan dan perikanan sebagai suatu organisasi perikanan yang bertanggung jawab melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dibidang kelautan dan perikanan. Lembaga ini memiliki tugas pokok dalam membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan:

(1) penetapan kebijakan dibidang kelautan dan perikanan untuk mendukung pembangunan secara makrro;

(2) penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dibidang kelautanan dan perikanan;

(33)

(4) penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa dibidang kelautanan dan perikanan;

(5) pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil;

(6) penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolanan dan pemanfaatan sumberdaya perairan di wilayah laut di luar 12 mil, termaksuk perairan Nusantara dan dasar lautnya serta ZEE indonesia dan landasan kontinen;

(7) penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut international; dan

(8) pemberian ijin bidang kelautan dan perikanan, di wilayah laut diluar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya, seta ZEE indonesia dan landasan kontinen (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 tahun 2002).

2.4.3 Kebijakan perikanan internasional

Pengolaan sumberdaya ikan yang berdaya guna tidak menjadi tanggung jawab satu negara saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh elemen yang turut serta dalam pemanfaatan sumberdaya ini. Pengelolaan yang baik oleh satu negara tidak akan dapat menunjukan keberhasilan pengelolaan secara keseluruhan jika negara lain atau elemen-elemen lain tidak turut mengelola sumberdaya ini secara bijak. Dalam hal penangkapan ikan yang berada di dalamnya merupakan sumberdaya bersama (common property), sudah tentu hal ini pun menuntut pengelola yang secara bersama pula, oleh karena itu kerjasama international dianggap sebagai solusi terbaik untuk dapat mengatasi masalah yang timbul.

(34)

yang menjadi pesertanya setelah mulai prosesratifikasi (Direktorat Kelembagaan Internasinal-DKP, 2003). Organisasi Internasional yang berperan dalam hal ini adalah FAO (Fisheries and Agriculture Organization). Dasar hukum dalam dalam pembentukan organisasi regional ini adalah pasal 64 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mewajibkan kerjasama antar negara melalui organisasi internasional. di kawasan laut dimana tidak terdapat organisasi perikanan demikian, maka negara-negara yang terlibat wajib bekerjasama untuk mendirikan organisasi tersebut dan berperan serta dalam kegiatannya (Direktorat Kelembagaan Internasional-DKP 2003).

2.4.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

CCRF adalah salah satu hasil kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke -28 FAO tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi nomor : 4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen CCRF. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari CCRF tersebut. Tatalaksana ini menjadi azas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek yang bertanggungjawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi , pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan sumberdaya hayati (Direktorat Kelembagaan Internasional 2003).

Enam topik yang diatur adalah pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, pengembangan akuakultur , integrasi perikanan kedalam pengelolaan kawasan pesisir, penanganan pasca panen dan perdagangan, serta penelitian perikanan.

Prinsip-prinsip umum CCRF antara lain:

(35)

(2) Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati dan kelestarian sumber-sumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

(3) Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan kesediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya.

(4) Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan sumber-sumber perikanan dan habitatnya.

(5) Dalam rangka konservari dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisas i perikanan regional harue menerapkan prinsip kehati-hatian (Precautionary approach) seluas-luasnya.

(6) Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan kenekaragaman dan populasinya.

(7) Cara penangkapan ikan, penganan, pemprosesan, dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya.

(8) Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi.

(9) Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir.

(10) Setiap negara harus menaati dan melaksanakan mekanisme monitoring, controling dan surveillance (MSC) yang diarahkan pada penataan dan penagakan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan. (11) Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif

(36)

(12) Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik baik di dalam maupun di luar wilayah yuridiksinya.

(13) Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan dibidang perikanan.

(14) Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prisip-prinsip, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization (WTO).

(15) Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerja sama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuen internasionala yang relevan.

(16) Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konaervasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

(17) Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional.

(18) Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahah kehidupan nelayan dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, suber penghasilan dan keamanan pangan. (19) Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.

2.5 Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional

(37)

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan kaidah perilaku, dimana negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain. Hubungan-hubungan tersebut juga meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1) Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu, dan

(2) Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

Ketentuan hukum internasional terutama berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan kepentingan-kepentingan negara-negara. Biasanya, ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan ketentuan yang harus ditaati negara-negara, dan dalam hal yang sama traktat-traktat dapat membebankan kewajiban-kewajiban yang disetujui sendiri untuk dilaksanakan oleh negara penandatangan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa tidak ada bahan atau individu, baik orang maupun badan hukum lain yang dapat tercakup dalam penguasaan atau kelimpahan hukum internasional (Starke 2001).

Baird (2010) menyebutkan bahwa solusi untuk IUU fishing tidak dapat menjadi solusi tunggal, dikarenakan tidak ada faktor tunggal dalam permasalahan IUU fishing di dunia. Hukum laut itu sendiri adalah suatu produk dari politik, ekonomi dan kadang-kadang hukum kepentingan negara.

2.6 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

(38)

ZEE merupakan suatu rezim hukum khusus dimana negara pantai memiliki hak dan kedaulatan untuk melakukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, termasuk yurisdiksi lainnya, sedang kepentingan masyarakat internasional seperti kebebasan berlayar tetap berlaku (Wirjono 1984).

Berdasarkan pengumuman pemerinrah RI tanggal 21 Mei 1980 tentang ZEE Indonesia dan lahirnya konvensi dewan PBB tentang hukum laut internasional tahun 1982, maka sejak saat itu hak kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan laut bertambah sekitar 2,7 juta km2. Dengan demikian maka segala kekayaan sumberdaya yang ada di dalamnya seperti salah satunya sumberdaya hayati laut menjadi hak bangsa Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkannya (Direktorat Jenderal Perikanan 1994a).

Beberapa yang menjadi alasan bagi kebijaksanaan pemanfaatan ZEE Indonesia adalah:

(1) Masih terbatasnya kemampuan armada perikanan Indonesia,

(2) Perusahaan Indonesia perlu meningkatkan kemampuan dalam bidang usaha dan penguasaan teknologi melalui kerjasama dengan perusahaan luar negeri, dan

(3) Peningkatan pendapatan devisa negara migas dan pendapatan non-pajak.

Dengan pertimbangan tersebut dan dengan adanya kewajiban internasional sesuai dengan konvensi UNCLOS, maka pemerintah menetapkan kebijakan pemanfaatan ZEE Indonesia dengan mengoperasikan kapal perikanan asing dan perusahaan perikanan indonesia melalui sistem lisensi yang selanjutnya diganti dengan sistem charter (Ditjenkan 1994b).

2.7 SWOT

(39)

untuk merumuskan strategi (Rangkuti 2001). Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif adalah dengan memaksimalkan kekuatan (strength), dan peluang (opportunities), serta meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal dan faktor internal (Rangkuti 2001).

Gambar 2 Diagram analisis SWOT (Sumber: Rangkuti 2001). 2.8 Kondisi Kawasan Perbatasan

2.8.1 Kondisi umum

Kondisi umum kawasan perbatasan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: - Aspek sosial ekonomi

Merupakan daerah yang kurang berkembang yang disebabkan antara lain oleh: lokasinya yang relative terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spot).

- Aspek pertahanan keamanan

(40)

- Aspek politis

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan social, namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian Negara tetangga, maka hal ini pun, selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.

2.8.2 Isu penanganan kawasan perbatasan

Dalam keyataan di lapangan banyak ditemui kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana dikemukakan di atas, melibatkan banyak instansi, baik antar instansi terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitme ndan kebijakan pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan (prosperity/development approach).

2.8.3 Tantangan pengembangan kawasan perbatasan

(41)

Kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan daerah perbatasan menghadapi tantangan anatara lain yang mencakup delapan aspek sebagai berikut:

(1) Aspek geografis.

Meliputi kebutuan jalan penghubung, landasan pacu (airstrip), dan sarana komunikasi serta sarana penghubung lainnya yang memadai untuk keperluan pembangunan daerah perbatasan antar negara.

(2) Aspek demografis

Meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya memalui kegiatan transmigrasi dan pemukiman kembali (resettlement) penduduk setempat. (3) Aspek sumberdaya alam

Meliputi survey dan pemetaan sumberdaya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai objek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya.

(4) Aspek politik

Meliputi pemahanman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas serta sebagai mitra aparat hamkam dalam pembunaan teritorial setempat.

(5) Aspek ekonomi

Meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat sinkron dengan kegiatan ekonomi wilayah sekitar.

(6) Aspek sosial budaya

Meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap enentrasi budaya asing. (7) Aspek hankam

(42)

3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan mulai bulan Juni hingga Juni hingga November 2009 di Kabupaten Halmahera Utara. Adapun tahapan Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, penyusunan proposal dan kuesioner (dua bulan), tahap pengumpulan data (satu bulan) dan tahap analisis data, penyusunan dan konsultasi laporan tesis (tiga bulan).

Lokasi penelitian di kawasan perairan Kabupaten Halmahera Utara dan perbatasan Kabupaten Morotai, dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan observasi langsung. Data yang di peroleh meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperloreh langsung dari contoh/responden dengan metode purposive sampling melalui teknik wawancara dan dibantu dengan insturmen survei berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis dan alternatif jawabannya yang telah disediakan dalam bentuk kuisioner (Sugiyono 2006). Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait (stakeholder). Jumlah responden pada masing-masing stakeholder adalah 1 orang yang memiliki kewenangan atau informasi akurat tentang IUU Fishing di Halmahera Utara. Stakeholder terdiri dari :

(1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara. (2) Komandan TNI AL Ternate di Provinsi Maluku Utara, (3) Kasatpol Air Sektor Utara Ternate di Provinsi Maluku,

(4) Komandan Polisi Resort Tobelo Kabupaten Halmahera Utara, (5) Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Ternate di Provinsi Maluku,

(6) Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara, (7) Komandan Polisi Sektor Morotai Kabupaten Morotai,

(43)

Untuk data sekunder diperoleh dengan metode studi literatur dan sumber data berasal dari kantor Dinas Perikanan Kabupaten Halut dan instansi terkait dengan penanganan illegal fishing.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Analisis deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran, jumlah pelanggaran, dan negara pelanggar. Data yang telah terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan serangkaian metode dan hasilnya disajikan dalam bentuk tematik berupa tabel, gambar dan grafik.

3.3.2 Analisis SWOT

SWOT digunakan untuk memilih alternatif strategi kebijakan pengembangan penanggulangan illegal fishing. Data primer yang didapat dari hasil wawancara/kuesioner/data survey maupun data sekunder dari berbagai instansi kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis Strength, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT). Unsur-unsur SWOT diberi bobot (nilai) kemudian dihubungkan untuk memperoleh beberapa alternatif stategi dengan rangking tertinggi merupakan alternatif strategi kebijakan.

Analisis SWOT ini dilakukan dengan : 1). Menganalisis Faktor Strategis Internal dan Eksternal, 2). Membuat Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS = Internal Strategic Faktors Analysis Summary) dan Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS = External Strategic Faktors Analysis Summary), 3). Menyusun keputusan alternatif kebijakan strategis, dan 5) Membuat matriks QSPM (Quantitative Strategic Planing Manatement) untuk menetukan alternatif kebijakan strategis terbaik berdasarkan skala prioritas.

(1) Menganalisis faktor strategis internal dan eksternal

(44)

1) Menginventarisir faktor internal yang mempengaruhi pencapaian goals/sasaran, visi, dan misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail) dengan teknik brainstorming dan atau NGT/Non Group Tecnique. Kemudian mendiskusikan setiap faktor internal apakah termasuk kekuatan atau kelemahan dibandingkan dengan perusahaan lain, dengan cara poling pendapat.

Kekuatan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya sudah baik. Kelemahan adalah kegiatan (proses) dan sumberdaya belum baik. 2) Menginventarisir faktor eksternal yang mempengaruhi pencapaian

goals/sasaran, visi dan misi yang telah ditetapkan secara rinci (detail) dengan teknik brainstorming dan NGT/NonGroup Tecnique. Kemudian mendiskusikan setiap faktor eksternal apakah termasuk peluang atau ancaman dibanding perusahaan lain, dengan cara poling pendapat.

Peluang adalah faktor eksternal yang positif Ancaman adalah faktor eksternal yang negatif

(2) Membuat Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS= Internal Strategic Faktors Analysis Summary) dan Matriks Faktor Strategis Eksternal (EFAS = External Strategic Faktors Analysis Summary)

Tujuannya adalah melihat berapa posisi tiap faktor yang telah termasuk ke dalam kekuatan, kelemahan, peluang ataupun ancaman setelah dilakukan pembobotan, peratingan, dan penilaian.

(3) Merumusan strategi umum (Grand strategy)

Tujuannya merumuskan strategi umum (grand strategy), adalah mengembangkan perusahaan dengan memanfaatkan hasil Analisis SWOT kedalam suatu format dengan memilih 5-10 faktor utama tiap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.

(4) Membuat keputusan strategis

(45)

1) Strategi yang menghubungkan antara S dan O, strategi dibuat berdasarkan jalan pikiran yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaat peluang yang sebesar-besarnya.

2) Strategi yang menghubungkan antara S dan T, strategi yang dipilih adalah menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.

3) Strategi yang menghubungkan antara W dan O, strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

4) Strategi yang menghubungkan antara W dan T, strategi ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. (5) Menentukan alaternatif strategis dengan matriks QSPM

Tujuannya untuk menetukan pilihan alternatif kebijakan strategis terbaik berdasarkan skala prioritas. Ada enam langkah untuk membuat matriks QSPM:

1) Menuliskan kembali peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan. 2) Memberikan bobot untuk masing-masing peluang, ancaman, kekuatan

dan kelemahan berdasarka IFAS dan EFAS.

3) Menuliskan alternatif strategi yang akan dievaluasi.

4) Bila faktor yang bersangkutan ada pengaruhnya terhadap alternatif strategi yang sedang dipertimbangkan, diberi nilai AS (attractiveness score) berkisar antara 1 s/d 4. Nilai 1 (tidak diterima), nilai 2 (mungkin dapat diterima), nilai 3 (kemungkinan besar dapat diterima), dan nilai 4 (dapat diterima). Namun jika tidak ada pengeruhnya terhadap alternatif strategi yang sedang dipertimbangkan tidak perlu diberikan nilai. 5) Menghitung bobot attractiveness score (WAS) dengan mengkalikan

bobot dengan AS.

(46)

3.3.3 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analisis Jenjang Keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pitsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an.

Analisis ini sangat berguna pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman ataupun intuisi. AHP ini umumnya digunakan pada pengambilan keputusan yang memiliki banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya, dan penentuan prioritas dari strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty 1993).

(47)

Gambar 3 Hirarki kebijakan penanggulangan illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara. FOKUS/TUJUAN

fishing di Halmahera Utara

AKTOR PENEGAK HUKUM NELAYAN PEMERINTAH

DAERAH

LSM & LEMBAGA INTERNASIONAL

LAINNYA

KRITERIA EKONOMI SOSIAL & BUDAYA

(48)

Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses PHA yang disarankan oleh Saaty (1993) seperti pada Tabel 1. Dalam kondisi pembangunan yang makin kompleks analisis sistematis sangat diperlukan, bahkan sedapat mungkin faktor lain, seperti faktor politis harus dapat dijadikan bagian internal keseluruhan analisis. Dengan menggunakan metode PHA permasalahan yang komlpeks tersebut akan dapat dirangkum sepenuhnya.

Tabel 1 Skala penilaian perbandingan Intensitas elemen lainnya (very srtong)

Satu elemen yang kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek.

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan.

Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka jika dibandingkan dengan aktivitas y maka j mempunyai nilai kebalikkannya dibanding dengan i.

Prinsip-prinsip dasar menggunakan PHA yaitu : 1) Menyusun hierarki

(49)

Membuat matriks banding berpasang:

• Matriks banding berpasang dibuat dari puncak hierarki, kemudian satu tingkat dibawahnya dan seterusnya dibuat untuk keseluruhan tingkatan hierarki. • Matriks banding berpasang dapat berdasarkan pendapat perseorangan (matriks

individu), dapat pula berdasarkan pendapat dari beberapa orang (matriks gabungan)

• Matriks banding berpasang diisi dengan bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen yang lainnya.

Tabel 2 Mariks untuk berbanding berpasangan C A1 A2 A3 A4 … An

C : Kriteria atau sifat yang digunakan untuk pembandingan

A1, A2, ... Cn : Set elemen yang akan dibandingkan, satu tingkat dibawah C. a12, a13 …1 : Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap Aj

Formulasi untuk menentukan vektor prioritas dari elemen-elemen pada setiap matriks:

1) Formulasi dengan menggunakan rata-rata aritmetik

Menjumlahkan nilai-nilai dalam setiap kolom (Nkj).

(50)

aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris i dan kolom j n : jumlah elemen

• Membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi (Ndij).

Nkj aij Ndij= Keterangan :

Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasi pada baris i dan kolom j

Aij : Nilai setiap entri dalam matriks pada baris i dan kolom j Nkj : Nilai kolom ke j

• Vektor prioritas dari setiap elemen, diperoleh dengan merata-ratakan nilai sepanjang baris (Vpi).

Vpi : Vektor prioritas dari elemen i

Ndij : Nilai setiap entri dalam matriks yang dinormalisasi pada baris i dan kolom j

2) Formulasi dengan menggunakan rata-rata geometrik

• Perkalian baris (Zi) dengan menggunakan rumus.

)

(51)

( )

Vpi : Vektor Prioritas elemen i Zi : Perkalian baris I

3) Pendapat gabungan dengan menggunakan rumus:

)

4) Rasio konsistensi dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Perhitungan akar ciri atau nilai eigen (eigen value) maksimum (α maks) dengan

rumus :

VA = aij x Vp dengan VA = (V aij)

Dimana : VA adalah vektor antara

Perhitungan Indeks Konsistensi (CI), dengan rumus :

1

Perhitungan Rasio Konsistensi (CR), dengan rumus :

RI CI

(52)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Perairan Halmahera Utara

Perikanan tangkap adalah kegiatan memproduksi ikan dengan menangkap (capture) dari perairan di daratan (inland capture atau inland fisheries), seperti sungai, muara sungai, danau, waduk dan rawa; serta perairan laut (marine capture atau marine fisheries), seperti perairan pantai dan laut lepas. Inland fisheries disebut juga perikanan perairan umum. Ikan yang ditangkap berasal dari stok suatu perairan. Ketersediaan stok ini sangat dipengaruhi oleh proses reproduksi dan pertumbuhan alamiah serta aktivitas penangkapan dan pencemaran lingkungan. Cakupan perikanan tangkap yang akan digambarkan dalam kajian ini lebih difokuskan pada perikanan tangkap dari laut (marine capture atau marine fisheries).

Kabupaten Halmahera Utara yang secara geografis berada pada posisi kordinat 10,57'-20,0' Lintang Utara dan 128,17'-128,18' Bujur Timur, memiliki luas perairan mencapai 19.536,02 km2 atau 76 % dari luas wilayah keseluruhan serta mengandung berbagai sumber daya perikanan yang bernilai ekonomis penting.

Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jendral Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut (1983), Perairan Halmahera Utara memiliki Potensi perikanan Laut (standing stock) sebesar 148.473,8 ton/ tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005). Berdasarkan data standing stock perikanan Halmahera Utara sebesar 148.473,8 Ton/tahun, maka potensi lestari Maksimum Sustainable Yeild (MSY) yang dapat dimanfaatkan setiap tahun diperkirakan sebesar 86.660,6 ton/tahun dengan perincian sebagai berikut :

Perikanan Pelagis : 48.946,4 ton/tahun Perikanan Demersal : 32.664,2 ton/tahun

(53)

dengan jumlah potensi lestari yang dapat dimanfaatkan (Maximum Sustainable Yield, MSY) sebesar 347.191,24 ton/tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar sebesar 211.590,00 ton/tahun dan ikan demersal 135.005,24 ton/tahun. Sampai dengan tahun 2002, tingkat pemanfaatan baru mencapai 92,052,21 ton/tahun atan 26,5 1 % dan potensi yang dapat dimanfaatan (Dinas Perikanan dan Kelautan 2008). Artinya, tingkat pemanfaatannya masih rendah (under exploitation) dan potensi sumberdaya di kawasan perairan Maluku Utara cukup prospektif untuk dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Perikanan laut di Halmahera Utara merupakan daerah sebaran jenis ikan Pelagis dan Demersel yang mempunyai nilai ekonomis penting. Di beberapa Wilayah Kecamatan merupakan daerah penangkapan jenis ikan komersial, cakalang, tuna, kerapu, kakap merah, baronang, seperti : Kecamatan Galela, Loloda Utara, Morotai Utara, Morotai Selatan, Morotai Selatan Barat, Tobelo dan Tobelo Selatan.

Gambar

Gambar 1   Diagram alir keberadaan IUU fishing di Indonesia (Sumber: majalah
Gambar 2  Diagram analisis SWOT (Sumber: Rangkuti 2001).
Gambar 3  Hirarki kebijakan penanggulangan illegal fishing di Kabupaten Halmahera Utara
Tabel 1  Skala penilaian perbandingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan agar peneliti selanjutnya yang ingin menggunakan media Cards of the formula pada perkuliahan mekanika dapat dikembangkan dan digunakan untuk

Dalam kegiatan ini, anggota Diklat 38 FDC diberikan kesempatan untuk membuktikan hasil dari pendidikan dan pelatihan yang diberikan selama mengikuti pendidikan dan pelatihan

Tinggi tanaman pada semua nomor yang diuji di seluruh lokasi pengujian tidak berbeda nyata kecuali pada nomor Lokal 1 yang ditanam di Karang Anyar dan Lokal 2 yang

Subagyo Perpustakaan | Pola Layanan Kliping Surat kabar (Service Pattern of Newspaper Clipping)..

Namun demikian, bukan berarti bahwa Cooking Aple hanya cocok untuk dimasak saja. Sebagian orang menyukai jenis apel ini sebagai buah pencuci mulut juga. Begitu pula

Perbedaan utama dari generator sinkron magnet permanen dengan generator sinkron biasa adalah pada cara pembangkitan (sistem eksitasi) fluks magnetik, yaitu

Berdasarkan dengan judul penulisan hukum, yaitu Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Pelaku Illegal Fishing Oleh Pemerintah Indonesia Dalam Konvensi Hukum Laut 1982,